• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSES PENCAPAIAN INDIVIDUASI PADA TOKOH UTAMA NOVEL ”SANG ALKEMIS” MENURUT TEORI ANALITIS JUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PROSES PENCAPAIAN INDIVIDUASI PADA TOKOH UTAMA NOVEL ”SANG ALKEMIS” MENURUT TEORI ANALITIS JUNG"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Bernadetha Puspitarini

NIM : 009114006

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

(2)
(3)
(4)

Pada saat itulah Tuhan bekerja.

Dalam kelemahan kita, Tuhan ingin menyatakan kuasa-Nya yang ajaib. Manusia hanya perlu belajar untuk hening dan mendengarkan suara-Nya.

Tuhan akan mengutus malaikat-malaikatNya untuk menemani kita. Dia tidak pernah berjanji bahwa kita tidak akan menemui karang terjal

lagi, namun dia berjanji bahwa ketika sedang bersusah payah mendaki karang terjal itu, Dia akan ada disisi kita dan ikut mendaki bersama kita. Dia akan menerangi jalan kita dengan cahayaNya yang tak pernah

pudar.

Sebuah karya yang tidak sempurna ini aku persembahkan untuk semua orang yang sedang berjuang meraih mimpi mereka dan semua orang yang

sedang mencari apa mimpi mereka.

“Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (II Korintus 12:9)

(5)
(6)

MENURUT TEORI ANALITIS JUNG

Bernadetha Puspitarini

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pencapaian individuasi pada Santiago, tokoh utama novel “Sang Alkemis” berdasarkan teori analitis Jung. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, dengan menggunakan analisis narasi sebagai metode analisis data. Penelitian ini berawal dari fenomena bahwa saat ini banyak manusia yang terlalu mengandalkan rasio dan mengabaikan sisi ketidaksadaran dalam dirinya. Masyarakat memerlukan suatu panduan yang dapat mengispirasi mereka untuk lebih memperhatikan sisi ketidaksadaran agar terwujud suatu pribadi yang seimbang. Salah satu media yang dapat dipakai adalah novel “Sang Alkemis”. “Sang Alkemis” telah menjadi buku yang banyak terjual di berbagai penjuru dunia dan telah diterjemahkan ke dalam 66 bahasa. Penulisnya, Paulo Coelho telah menjadi salah satu penulis paling berpengaruh di abad ini.

Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perjalanan Santiago dalam mencari harta karun dapat dianalogikan dengan proses pencapaian individuasi. Hal lainnya adalah untuk mencari tahu apa saja langkah yang digunakan Santiago dalam mencari harta karun dan apakah langkah tersebut sama dengan langkah-langkah untuk mencapai individuasi. Yang terakhir adalah untuk mengetahui apakah ada perubahan dalam karakter Santiago selama melakukan perjalanan mencari harta karun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjalanan Santiago mencari harta karun dapat dianalogikan dengan proses individuasi. Santiago juga menggunakan langkah yang sama dengan langkah-langkah untuk mencapai individuasi. Hasil penelitian menunjukkan ada perubahan-perubahan dalam karakter Santiago. Yang terakhir, Santiago memang menunjukkan ciri-ciri individu yang terindividuasi namun bukan berarti bahwa Santiago telah mencapai individuasi karena individuasi merupakan proses yang dinamis dan terus terjadi sepanjang kehidupan individu.

(7)

Bernadetha Puspitarini

Faculty of Psychology

Sanata Dharma University

The aim of this research is to know how is the process of individuation on Santiago, “The Alchemist’s” main character based on Jung’s analytical theory. This research is a descriptive qualitative research and using narrative analysis as a data analysis method. This research started from the phenomenon that people often pay attention only to their ratio and disregard their unconscious. They need a guide that could inspire them to pay attention on their unconscious to create a balance personality. One of the media that could be used is a novel called “The Alchemist”. “The Alchemist” has became a best seller book in the whole world and has been translated into 66 languages. Paulo Coelho, the author of “The Alchemist” has become one of the most influential author in this century.

The focus of the research is to find out whether the Santiago’s journey in searching his treasure, could be compared with the process of individuation. The next thing is to know what is Santiago’s steps in his journey and compare it with steps in reach out the individuation. The last thing is to find out are there any changes in Santiago’s character during his journey to searching his treasure.

The results of this research shows that Santiago’s journey can be analogized with the process of individuation. Santiago also used the same steps in searching his treasure, with steps to reach the individuation. The result of this research also shows changes in Santiago’s character during his journey to searching his treasure. Finally, Santiago shows characteristics of individuated person but it does not mean that Santiago is individuated person because individuation is a dynamic process that will continues to happen during someone’s life.

(8)
(9)

Nya, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi yang dikerjakan dalam waktu yang tidak singkat ini, membuat penulis sadar akan cinta kasih Tuhan lewat orang-orang yang selalu menemani dan membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si, selaku dekan fakultas psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. DR. A. Supratiknya, sebagai dosen pembimbing yang tidak kenal lelah dalam membimbing penulis, juga kepada bapak Heri Widodo, S.Psi., M.si yang dulu juga menjadi dosen pembimbing penulis.

3. Kepada orang tuaku yang dengan sabar senantiasa menemaniku dan memberikan dukungan dalam banyak hal.

4. Kepada kakak-kakakku dan para keponakanku, terima kasih banyak atas doanya.

5. Semua dosen Fakultas Psikologi, yang telah mendidik penulis dalam menyelesaikan studi.

6. Mas Gandung, mbak Nanik, mas Puji, mas Doni, pak Gi’, yang membantu banyak hal selama penulis studi di Fakultas Psikologi.

7. Dictus yang selama 10 tahun ini selalu mendukungku dalam meraih mimpi-mimpiku.

(10)

kebersamaan kita selama ini.

9. Sahabatku Dita, Rensi, Kristin, QQ, mas Tedy, mas Heri, Indra, Wulan. Terima kasih atas semua pengalaman indah yang kita lewati bersama. 10.Saudaraku Erlin, terima kasih banyak untuk pinjaman bukunya dan waktu

untuk diskusi.

11.Bang Herman yang telah mengajariku banyak hal tentang kehidupan.

12.Semua pihak yang secara tidak langsung telah membantuku dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kelemahan yang terdapat dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat berguna bagi penulis di waktu yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya.

(11)

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. v

ABSTRAK... vi

ABSTRACT………. vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI…………... viii

KATA PENGANTAR………. ix

DAFTAR ISI……… xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah……….. 7

C. Tujuan Penelitian……… 7

D. Manfaat Penelitian………. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengantar Psikologi Analitis Jung……….. 9

1. Struktur Kepribadian………. 11

a. Kesadaran……… 11

b. Ketidaksadaran………... 12

1) Ketidaksadaran Pribadi……… 14

(12)

c) Anima dan Animus………. 19

2. Tipe Kepribadian………... 21

a. Sikap……… 21

b. Fungsi……….. 22

3. Self………. 25

B. Pengertian Proses Individuasi………. 25

1. Karakteristik Pokok pada Proses Individuasi……… 26

2. Langkah-langkah Pokok dalam Proses Individuasi………... 28

3. Ciri-ciri Individu yang Terindividuasi………... 30

C. Sinopsis Novel Sang Alkemis………. 31

D. Latar Belakang Penulis Novel “Sang Alkemis”……….. 35

E. Kritik Sastra terhadap Novel “Sang Alkemis”………. 38

F. Pertanyaan-pertanyaan Panduan………. 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian………. 40

B. Metode Analisis Data……… 40

C. Sumber Data dan Subjek Penelitian……….. 42

D. Rancangan Penelitian... 43

1. Analisis Teks secara Keseluruhan……… 43 2. Analisis Teks Langkah-langkah Santiago dalam Mencari Harta

(13)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Teks Secara Keseluruhan……… 46

B. Analisis langkah-langkah Santiago dalam Mencari Harta Karun.. 104

C. Analisis Karakter Santiago……… 113

D. Analisis Perubahan Karakter Santiago………. 121

E. Pembahasan……… 124

F. Keterbatasan Penelitian………. 131

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……… 132

B. Saran……… 133

DAFTAR PUSTAKA………. 134

(14)

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan teknologi saat ini berkembang dengan begitu pesat. Teknologi sebagai hasil dari rasio manusia, dapat memberikan kemudahan dalam berbagai bidang kehidupan. Teknologi mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat. Pada era industri saat ini, setiap manusia diharapkan untuk dapat menguasai teknologi agar tidak tertinggal dari manusia lain.

Kemajuan teknologi selain membawa perubahan positif, ternyata juga membawa perubahan negatif bagi manusia. Rasio sebagai penghasil teknologi mendominasi pribadi individu. Segala sesuatu dinilai hanya berdasarkan rasionalitasnya saja. Peristiwa yang tidak dapat dijelaskan dengan rasio, dianggap tidak pernah terjadi. Menurut sebuah penelitian yang dikutip oleh Sentanu, manusia terbiasa menggunakan rasio yang hanya memiliki kekuatan sekitar 12 persen dari seluruh kekuatan otak dan mengabaikan kekuatan lain yang berada dalam ketidaksadaran (2005). Banyak manusia yang melupakan bahwa kepribadian tidak hanya terdiri dari rasio saja dan aspek kesadaran, namun juga sisi batiniah yang termasuk dalam ketidaksadaran. Ketidaksadaran dalam diri manusia juga perlu diolah dan dikembangkan agar terjadi suatu keseimbangan dalam kepribadian.

(15)

manusia, terdapat bagian-bagian yang belum dikembangkan secara utuh dan maksimal. Jung mengatakan bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan untuk mengoptimalkan segala potensi yang ada dalam dirinya dan menjadi yang terbaik di antara sesamanya (dalam Cremers, 1986). Jung juga menyebutkan bahwa dalam seluruh perkembangan manusia terdapat suatu rencana hidup tersembunyi yang secara diam-diam mempengaruhi seluruh perkembangan itu dan jika seseorang tidak mampu untuk mengenalinya, dia akan mengalami suatu kekosongan batin (dalam Cremers, 1986). Apabila ada suatu bagian dalam kepribadian diabaikan atau kurang dikembangkan, maka bagian tersebut akan menjadi pusat resistensi yang berusaha merampas energi dari sistem yang berkembang secara lebih penuh, dan jika terlalu banyak resistensi maka individidu tersebut akan menjadi neurotik (Hall & Lindzey, 1993). Kepribadian yang utuh hanya dapat dicapai jika individu mau mengembangkan semua bagian dalam dirinya. Manusia menjadi kehilangan jati dirinya jika tidak ada keseimbangan dalam kepribadian. Banyak orang terutama yang hidup di kota besar mengalami hal ini. Mereka mengalami keresahan spiritual tanpa tahu apa penyebabnya. Salah satu akibat dari keresahan spiritual yang dialami oleh manusia adalah pelampiasan kepada hal-hal yang negatif seperti obat-obatan terlarang atau bahkan bunuh diri (Widyasmoro & Christantiowati, 2004).

(16)

memetik pelajaran berharga sehingga hidupnya menjadi lebih baik adalah melalui karya sastra (Sumardjo, 1984). Ada banyak karya sastra yang baik, namun penulis akan meneliti satu novel berjudul “Sang Alkemis”. “Sang Alkemis” adalah novel laris karya Paulo Coelho, seorang penulis berkebangsaan Brasil. “Sang Alkemis” terjual sebanyak 100 juta kopi di seluruh dunia dan telah diterjemahkan ke dalam 66 bahasa termasuk bahasa Indonesia (Rakadewa & Setiawan, 2007). Paulo Coelho sebagai pengarang banyak mendapat pujian dan penghargaan internasional atas karyanya tersebut. Pujian dan penghargaan tersebut tidak hanya datang dari pengamat sastra saja, melainkan juga dari tokoh politik dan banyak orang dari berbagai pihak di seluruh dunia (Tim Matabaca, 2006). Novel “Sang Alkemis” menjadi salah satu buku yang paling banyak dibaca sepanjang sejarah dan menempatkan Coelho sebagai salah satu penulis yang paling berpengaruh di abad ini (Martin & Ballesteros, 2002).

(17)

Kesuksesan novel “Sang Alkemis” terletak pada kisahnya yang sederhana namun penuh makna dan mampu menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. Menurut komentar banyak pembaca “Sang Alkemis” yang dirangkum dalam majalah Matabaca, Coelho melalui tokoh Santiago mampu mengajak pembacanya untuk mencari panggilan hidupnya dan kemudian berjuang mewujudkan panggilan itu (Tim Matabaca, 2006). Di tengah-tengah kemajuan teknologi dan manusia yang cenderung bersifat materialistis dan hanya mengejar nilai-nilai keduniawian, novel “Sang Alkemis” dianggap memberikan angin segar dan menginspirasi orang untuk lebih memperhatikan nilai-nilai rohani seperti relasi dengan Tuhan dan sesama (Chusnato, 2006). Salah satu pujian internasional untuk novel “Sang Alkemis” yang dimuat pada sampul bukunya terbitan Alvabet, berasal dari Philippe Douste Blazy, mantan menteri kebudayaan Prancis. Blazy menyatakan bahwa novel “Sang Alkemis” telah mendorong berjuta-juta pembacanya untuk bermimpi, hasrat untuk mencari dan menjadi dirinya sendiri (2001).

(18)

bagi Santiago. Santiago harus mengorbankan banyak hal seperti domba-domba yang dimilikinya dan harus setia pada tujuan yang ingin dicapainya, walaupun terkadang ada banyak kesulitan yang harus diatasi. Santiago juga belajar untuk mengoptimalkan semua potensi yang ada dalam dirinya termasuk sisi ketidaksadarannya, sehingga pada akhirnya dia menjadi individu yang berkembang secara utuh.

(19)

kepribadian yang matang dan seimbang, yang tidak hanya berguna bagi dirinya sendiri tapi juga bagi relasinya dengan Tuhan dan sesama.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penulis akan membandingkan perjuangan Santiago dengan proses pencapaian individuasi menurut psikologi analitis Jung. Penulis akan melihat langkah-langkah apa saja yang harus ditempuh oleh Santiago untuk dapat menemukan harta karun dan membandingkannya dengan langkah-langkah dalam mencapai proses individuasi. Penulis juga akan melihat perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada kepribadian Santiago selama melakukan perjalanan mencari harta karun.

(20)

B. Rumusan Masalah

1. Apakah perjalanan tokoh utama novel “Sang Alkemis” dalam mencari harta karun dapat dianalogikan dengan proses pencapaian individuasi? 2. Langkah-langkah apa saja yang digunakan tokoh utama novel “Sang

Alkemis” dalam mencari harta karun dan apakah langkah yang digunakan sama dengan langkah-langkah dalam proses individuasi?

3. Apakah ada perubahan yang terjadi pada tokoh utama novel “Sang Alkemis” selama melakukan perjalanan mencari harta karun?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan perjalanan tokoh utama novel “Sang Alkemis” dalam mencari harta karun dan membandingkannya dengan proses pencapaian individuasi.

2. Mendeskripsikan langkah-langkah yang digunakan oleh tokoh utama novel “Sang Alkemis” selama mencari harta karun dan membandingkannya dengan langkah-langkah dalam proses individuasi. 4. Mendeskripsikan perubahan-perubahan yang terjadi pada diri tokoh utama

novel “Sang Alkemis” selama melakukan perjalanan mencari harta karun.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

(21)

dianggap kurang dapat memberikan kontribusi kepada perkembangan psikologi dan kurang mendapat perhatian. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi titik tolak untuk dilakukannya penelitian lain yang lebih mendalam.

2. Manfaat Praktis

(22)

A. Pengantar Psikologi Analitis Jung

Individuasi merupakan inti atau tujuan akhir yang ingin dicapai dari seluruh teori yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung. Individuasi adalah suatu konsep yang cukup kompleks dan akan sangat sulit untuk memahaminya tanpa pengetahuan yang memadai mengenai dasar-dasar teori Jung yang tertuang dalam psikologi analitisnya. Berdasarkan atas hal tersebut, maka penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai prinsip dasar teori Jung, sebelum membahas tentang individuasi.

Carl Gustav Jung mengawali karirnya sebagai seorang psikiater di Zurich. Jung sangat mengagumi Sigmund Freud dan karya-karyanya, hingga Jung menjadi murid dan sahabat setia Freud. Persahabatan antara Jung dan Freud hanya bertahan selama kurang lebih tujuh tahun, dan berakhir dengan perpecahan diantara keduanya. Perpecahan tersebut terutama disebabkan karena Jung tidak setuju dengan pandangan-pandangan Freud yang terlalu menekankan pada seksualitas, selain itu juga disebabkan karena alasan pribadi (Fordham, 1956 ; Hall & Lindzey, 1993).

(23)

perbedaan yang bertolak belakang dengan psikoanalisa Freud. Teori-teori dalam psikologi analitis memandang manusia secara lebih positif dibandingkan dengan pikoanalisa Freud. Menurut Jung, setiap manusia memiliki kecenderungan dalam dirinya untuk dapat berkembang secara utuh seumur hidupnya (Jung dalam Cremers, 1986). Pandangan-pandangan Jung dalam psikologi analitis banyak dipengaruhi oleh ketertarikannya terhadap berbagai bidang seperti filsafat, agama, kebudayaan timur, mitologi, gnosis dan terutama alkimia. Jung menyatakan bahwa dengan mempelajari bidang-bidang tersebut, Jung dapat mengungkapkan banyak segi dari struktur kepribadian manusia secara utuh (dalam Cremers, 1986).

(24)

Jung memandang bahwa kepribadian atau psike adalah suatu sistem yang kompleks dan terdiri dari aspek-aspek berlawanan yang masing-masing mempunyai realitas sendiri, maka agar tercapai perkembangan yang sehat dan utuh, individu harus mau mengembangkan semua potensi dalam dirinya menjadi satu kesatuan yang harmonis (Hostie, 1957). Tujuan kepribadian manusia adalah totalitas psikis dimana terdapat kerjasama antara berbagai bagian, karena dominasi yang berlebihan pada satu aspek akan menyebabkan gangguan psikis pada kepribadian. Menurut Jung banyak keputusasaan yang melanda masyarakat modern disebabkan karena manusia terlalu mengandalkan rasionya dalam segala hal, sehingga terlalu berat sebelah dalam menekankan kesadaran dengan mengorbankan ketidaksadaran (dalam Schultz, 1991). Melalui teorinya dalam psikologi analitis, Jung mencoba menawarkan suatu cara untuk mencapai kepribadian yang utuh dan seimbang dengan menjalankan individuasi yang menekankan harmonisasi berbagai bagian dalam kepribadian.

1. Struktur Kepribadian

Jung membagi struktur kepribadian menjadi dua bagian pokok yaitu kesadaran dan ketidaksadaran. Ketidaksadaran dibagi lagi menjadi dua yaitu ketidaksadaran pribadi dan ketidaksadaran kolektif.

a. Kesadaran

(25)

dengan dunia luar dan membentuk identitas pada individu (Hall & Lindzey, 1993 ; Naisaban, 2004).

b. Ketidaksadaran

Jung (1978) menggambarkan ketidaksadaran sebagai berikut:

Unconscious contains everything psychic that hasn’t reached the treshold of consciousness or whose energy charge isn’t sufficient to maintain it in consciousness, or that will reached consciousness only in the future. .

Ketidaksadaran dengan kata lain adalah bagian dari psike yang berisi segala sesuatu yang belum mencapai kesadaran karena tidak memiliki cukup energi untuk mencapainya, atau hal-hal yang hanya akan mencapai kesadaran dimasa yang akan datang. Jung dalam bukunya yang lain menyebutkan bahwa ketidaksadaran sangat sedikit yang berkaitan dengan kesadaran, sehingga kebanyakan orang akan menyangkal keberadaannya, namun ketidaksadaran tetap akan termanifestasi dalam banyak hal seperti perilaku individu, hasil karya manusia dan bahkan juga dalam mimpi (1980).

(26)

dengan tanda. Tanda menurut Jung hanyalah sebagai pengganti atau perwakilan dari suatu benda atau peristiwa yang benar-benar mencerminkan apa yang terlihat dari luar (dalam Fordham, 1956).

Selain dari mimpi dan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar individu, Jung menambahkan bahwa simbol juga muncul pada apa yang disebut Jung sebagai sinkronisitas. Sinkronisitas adalah keterkaitan antara dua peristiwa yang tidak terjadi karena hubungan sebab akibat, namun oleh makna (Franz, 1964 ; Hart, 1997). Sinkronisitas menurut Jung dapat menghubungkan ketidaksadaran individu dengan ketidaksadaran individu lainnya (dalam Kalia, Singh dan Singh, 2002). Pemahaman individu terhadap simbol menurut Jung sangat penting untuk mengetahui isi dari ketidaksadaran yang berguna uintuk terwujudnya individuasi (1964).

Ketidaksadaran menurut Jung yang dikutip oleh Fordham, memiliki peran yang sangat penting untuk perkembangan psike. Fordham (1956) menjelaskan bahwa “The unconscious therefore in Jung’s view, isn’t merely a cellar where man dumps his rubbish, but the

source of conscious and of the creative and destructive spirit of

(27)

Jung membagi ketidaksadaran menjadi dua bagian yaitu ketidaksadaran pribadi dan ketidaksadaran kolektif.

1) Ketidaksadaran Pribadi

Ketidaksadaran pribadi adalah bagian dari psike yang didalamnya terdapat hal-hal seperti pengalaman, harapan dan dorongan yang pernah disadari tetapi kemudian dilupakan atau diabaikan, serta hal-hal yang terlalu lemah untuk dibawa ke kesadaran (Hall & Lindzey, 1993).

Fordham (1956) dalam bukunya menjelaskan bahwa isi dari ketidaksadaran pribadi dapat muncul dalam kesadaran lewat beberapa cara. Fordham menyatakan sebagai berikut:

The memories of personal unconscious, though not entirely under the control of the will, can when repressions weakens (as for instance in sleep), be recalled. Sometimes they return of their own accord, sometimes a chance association or shock will bring them to light, sometimes they appear somewhat disguised in dreams and fantasies, sometimes especially if they are causing disturbances as in neurosis, they need to be ‘dug out’.

Dalam ketidaksadaran pribadi terdapat kelompok perasaan, pikiran, persepsi dan ingatan yang terorganisasi yang disebut Jung dengan istilah kompleks (Fordham, 1956). Kompleks

(28)

dimilikinya (Schultz, 1991). Salah satu contohnya adalah kompleks ibu. Seseorang yang memiliki kompleks ibu, pikiran, perasaan dan perbuatannya sangat didominasi oleh konsep tentang ibu.

2) Ketidaksadaran Kolektif

Jung (dalam Kalia, Singh dan Singh, 2002) mendefinisikan ketidaksadaran kolektif sebagai berikut:

It is the re servoir of our experiences as a species, a kind of knowledge we are all born with. And yet we can never be directly conscious of it. It influences all of our experiences and behaviors, most especially the emotional ones, but we only know about it indirectly, by looking at those influences.

(29)

manusia purba dalam menghadapi binatang buas (Hall & Lindzey, 1993).

Komponen utama dalam ketidaksadaran kolektif adalah

arketipe. Konsep ini muncul sebagai hasil penyelidikan Jung terhadap sejumlah dongeng, mitos dan mimpi dari berbagai kebudayaan. Jung menemukan adanya pola dasar tertentu yang sama yang muncul pada dongeng, mitos dan mimpi tersebut. Misalnya saja pola mengenai kebangkitan kembali yang muncul pada banyak kebudayaan di dunia. Pola-pola dasar ini menurut Jung merupakan warisan masa lampau yang tertanam pada psike dan bisa mengungkapkan diri secara spontan (1978).

Secara garis besar arketipe dapat diartikan sebagai suatu bentuk pemikiran atau ide-ide yang tertanam dalam psike yang menjadi dasar pandangan individu dan diproyeksikan terhadap pengalaman individu. Meskipun arketipe berada pada taraf tidak sadar, namun pengaruhnya dapat dilihat pada beberapa hal seperti mimpi dan muncul secara tidak langsung pada hasil karya manusia.

Ada banyak arketipe dalam psike, namun Jung menyebutkan beberapa arketipe yang pengaruhnya sangat penting bagi individu terutama dalam mencapai individuasi. Arketipe

(30)

a) Persona

Kata persona berasal dari bahasa latin yang berarti topeng yang sering dipakai berganti-ganti oleh seorang pemain drama ketika sedang mementaskan sebuah pertunjukan (Sebatu, 1994). Sesuai dengan asal katanya,

persona menurut Jung adalah topeng yang dipakai individu sebagai reaksi terhadap tuntutan-tuntutan di lingkungan luar individu (dalam Hall & Lindzey, 1993). Individu memakai persona dengan tujuan untuk memunculkan kesan baik pada lingkungan luar.

Persona berguna bagi individu untuk menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan yang berbeda-beda. Sebagai contohnya seorang wanita yang menjadi atasan di kantornya harus memakai persona yang membuat dirinya tegas dan disegani oleh bawahannya, namun sebagai seorang istri di rumah dia harus memakai persona yang berbeda dalam menghadapi suaminya. Individu dapat memakai lebih dari satu persona tergantung dari peranan yang harus dijalankan dalam situasi yang berbeda-beda.

(31)

menyebabkan kepribadian yang sebenarnya tidak berkembang, karena individu hanya berusaha untuk menampilkan kesan baik pada lingkungan luar yang belum tentu merupakan perwujudan dari kepribadian individu yang sesungguhnya (Sebatu, 1994).

b) Shadow

Shadow atau bayang-bayang adalah sisi gelap atau sering disebut juga sebagai sisi yang jahat dalam diri manusia yang diusahakan seminimal mungkin untuk ditampilkan ke lingkungan luar. Jung menyatakan bahwa

arketipe ini terdiri dari insting-insting binatang yang diwarisi manusia dalam evolusinya dalam bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah (Hall & Lindzey, 1993). Shadow muncul dalam bentuk pikiran, perasaan dan

perilaku yang tidak menyenangkan dan seringkali tidak dapat dikendalikan oleh individu. Shadow biasanya disembunyikan dari lingkungan luar dengan memakai

(32)

dalam suatu masyarakat, akan semakin besar shadow yang ada dalam diri individu.

Shadow sebenarnya juga memiliki segi positif karena didalamnya terdapat sumber-sumber spontanitas dan kreativitas yang juga penting bagi individu. Shadow

tidak seharusnya disangkal karena shadow tidak mungkin dihilangkan. Menyangkal keberadaan shadow hanya akan membuat shadow muncul ke kesadaran dalam bentuk yang tidak bisa dikendalikan oleh individu. Menurut Jung, yang terbaik adalah menerima shadow sebagai bagian dari psike

dan diseimbangkan dengan aspek-aspek lainnya sehingga dapat berkembang secara utuh (dalam Fordham, 1956).

c) Anima dan Animus

(33)

ArketipeAnima dan Animus pada umumnya muncul dalam bentuk pikiran, perasaan dan emosi yang dapat berakibat positif maupun negatif. Arketipe ini berkembang dari pengalaman individu hidup bersama lawan jenisnya.

Anima banyak dipengaruhi oleh pengalaman pria dengan ibunya, sedangkan animus banyak dipengaruhi oleh pengalaman wanita dengan ayahnya. Apabila individu merasa bahwa ayah atau ibunya memiliki pengaruh negatif terhadap dirinya, maka anima dan animus dapat muncul dalam bentuk negatif.

Anima pada pria dapat muncul dalam bentuk negatif dalam bentuk seperti emosi yang tidak stabil, fantasi-fantasi erotis atau bersikap tidak rasional. Animus juga dapat muncul dalam bentuk negatif seperti sifat keras kepala, sulit dikendalikan dan sangat rasional. Selain dari pengaruh negatifnya, anima dan animus juga membawa pengaruh positif bagi individu. Arketipe ini membantu individu untuk memahami karakter lawan jenisnya dan menemukan pasangan ideal bagi individu dengan menciptakan gambaran dalam ketidaksadaran. Anima dan

(34)

animus dapat menjadi pemandu bagi individu untuk mencapai individuasi (Franz, 1968).

2. Tipe Kepribadian

Salah satu sumbangan Jung yang dianggap penting bagi ilmu psikologi adalah teorinya mengenai tipe kepribadian. Jung membedakan tipe kepribadian manusia berdasarkan sikap, yaitu cara yang digunakan individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya. Jung kemudian juga mengembangkan empat fungsi dari aktivitas mental. Fungsi kepribadian ditentukan dari aktivitas mental yang paling dominan pada individu dalam merespon lingkungannya. Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu:

a. Sikap

Sikap dibedakan Jung menjadi dua, yaitu ekstrovert dan

introvert. Ekstrovert adalah sikap dimana individu lebih tertarik kepada dunia luar. Ketertarikan ini biasanya diwujudkan dengan ketergantungan terhadap orang lain dan sangat dipengaruhi oleh hal-hal di lingkungan sekitarnya. Ada beberapa ciri khas yang terdapat pada individu yang memiliki sikap ektrovert, yang penulis rangkum dari Fordham (1956), yaitu:

1) Memiliki kemampuan yang baik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.

(35)

3) Menyukai kegiatan yang melibatkan banyak orang. 4) Optimis dan sangat antusias dalam melakukan banyak

hal.

Introvert adalah sikap dimana individu lebih tertarik kepada dunia batinnya dan lebih dikendalikan oleh hal-hal yang ada dalam dirinya. Berikut ini adalah beberapa ciri khas sikap

introvert yang juga dirangkum dari Fordham (1956), yaitu: 1) Lebih suka melakukan kegiatan seorang diri. 2) Memiliki daya imajinasi yang tinggi.

3) Suka berefleksi atas peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dirinya.

4) Memiliki pendirian yang kuat.

Setiap individu sebenarnya memiliki baik sikap ekstrovert

maupun introvert, namun hanya salah satu sikap saja yang berkembang dan mendominasi. Sikap yang tidak dominan bukan hilang namun menjadi tidak sadar ( Schultz, 1991).

b. Fungsi

(36)

dalam menilai situasi dan bertindak. Individu ini sangat teguh dalam memegang prinsip dan cenderung memaksakan kehendaknya pada orang lain. Individu ini juga tidak menyukai hal-hal yang tidak rasional dan cenderung memendam emosinya. Perilaku-perilaku tadi menyebabkan individu dengan fungsi pikiran menjadi orang yang mengabaikan relasi interpersonal. Segi positif dari fungsi pikiran adalah bahwa individu dapat menciptakan gagasan dan pemikiran baru yang berguna bagi orang lain.

Fungsi perasaan adalah fungsi dimana individu sangat menekankan penilaian terhadap situasi atau hal-hal yang ada di sekitarnya. Individu yang didominasi oleh fungsi ini merupakan orang yang simpatik dan suka menolong. Individu ini juga sangat mementingkan relasi interpersonal. Fungsi perasaan sangat bermanfaat dalam memahami dan menjalin hubungan dengan orang lain. Kelemahan dari individu yang didominasi oleh fungsi perasaan adalah cenderung bermuka dua dan tidak tulus.

(37)

Fungsi intuisi adalah fungsi yang menggunakan persepsi yang tidak berada dalam kesadaran namun melewati ketidaksadaran. Fungsi intuisi seringkali muncul sebagai sebuah solusi dalam masalah yang sulit dipecahkan dengan logika. Individu yang didominasi oleh fungsi ini suka mencari makna di balik suatu peristiwa. Individu ini juga menyukai hal-hal yang tidak rasional.

Secara garis besar keempat fungsi tadi bisa dijelaskan secara ringkas. Fungsi pendriaan menyatakan keberadaan suatu benda. Fungsi pikiran menyatakan nama benda tersebut. Fungsi perasaan menyatakan apakah benda tersebut baik atau buruk. Fungsi intuisi menyatakan darimana benda itu berasal dan kemana perginya (Fordham, 1956).

(38)

3. Self

Self atau arketipe diri merupakan arketipe paling utama dalam kepribadian. Self adalah arketipe yang merupakan perwujudan dari kesatuan antara semua aspek atau bagian dalam keribadian. Self tidak sama dengan ego

yang hanya merupakan pusat dari kesadaran, melainkan sebagai pusat dari kepribadian yang meliputi kesadaran dan ketidaksadaran. Arketipe ini muncul jika individu telah mencapai individuasi. Self merupakan tujuan akhir dari kepribadian dan untuk mencapainya arketipe lain dalam kepribadian harus disadari dan dikembangkan secara optimal terlebih dahulu. Individuasi berarti perubahan pusat kepribadian yang semula berpusat pada ego menjadi berpusat pada self (Franz, 1964).

B. Pengertian Proses Individuasi

(39)

individuasi, psike mengembangkan pusat baru yaitu self , menggantikan ego yang hanya menitikberatkan pada kesadaran.

1. Karakteristik Pokok pada Proses Individuasi

Dalam proses individuasi terdapat beberapa karakteristik pokok yang dapat menjadi acuan bagi individu untuk melihat apakah proses yang dijalani benar-benar merupakan proses individuasi.

(40)

belum memasuki usia paruh baya, namun mengalami peristiwa atau tragedi yang mampu membuatnya meninggalkan orientasi hidupnya yang lama. Menurut Hart, ada banyak individu dalam parohan hidup pertama yang menjalani proses individuasi dengan petunjuk dari Jung (1997).

b. Ada pengambilan keputusan secara sadar dari individu untuk meninggalkan cara hidupnya yang lama dan menjalankan cara hidup yang baru dengan semua konsekuensinya (Franz, 1964). c. Proses individuasi adalah proses yang membutuhkan waktu yang

tidak singkat dan tidak mungkin dilewati tanpa rasa sakit secara psikis (Cremers, 1986 ; Fordham, 1956 ; Franz, 1964). Rasa sakit dan penderitaan yang dialami individu selama menjalani proses individuasi disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1) Individu harus mengembangkan ketidaksadaran yang selama ini belum dikembangkan termasuk di dalamnya adalah menyadari sisi gelap dalam kepribadian yang seringkali disangkal. Hal ini tidak mudah bagi banyak individu.

(41)

d. Setiap individu memiliki jalan unik yang berbeda satu sama lain dalam menjalankan proses individuasi (Franz, 1964).

e. Dalam proses individuasi, individu akan menemui banyak

peristiwa simbolik yang muncul baik dalam bentuk mimpi pada saat tertidur maupun dalam bentuk beberapa peristiwa yang memiliki keterkaitan makna atau disebut juga dengan

sinkronisitas. Simbol-simbol tersebut berguna untuk memandu individu dalam mencapai individuasi jika individu tidak mengabaikannya dan dapat mencari makna yang terselubung di balik simbol-simbol tersebut (Fordham, 1956 ; Franz, 1964 ; Jung, 1964).

f. Ada perubahan pusat kepribadian dari ego menjadi self. Tujuan dari proses individuasi adalah terwujudnya self yang merupakan simbol dari keutuhan kepribadian. Pada mulanya individu masih

berpusat pada kesadaran dan mengabaikan ketidaksadaran, namun perlahan-lahan individu mulai mengembangkan ketidaksadarannya dan pusat kepribadian berubah menjadi self.

2. Langkah-langkah Pokok dalam Proses Individuasi

(42)

a. Pada langkah pertama, individu harus menyadari shadow atau sisi gelap yang ada dalam dirinya. Individu harus memahami bahwa shadow adalah bagian dari dirinya yang harus dikembangkan dan bukannya disangkal. Dimulai dengan menyadari sisi gelap yang selama ini dia proyeksikan pada orang lain terutama sesama jenis, misalnya keburukan yang dilihat pada orang lain namun sebenarnya merupakan cerminan dari sisi gelapnya sendiri. Kekuatan dari shadow harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat menjadi sumber-sumber kreativitas. Kemudian individu dapat melepaskan persona yang dapat menjauhkan dari jati dirinya yang sesungguhnya. Walaupun Jung menempatkan shadow sebagai arketipe pertama yang harus dikembangkan, namun shadow harus terus dikembangkan sepanjang rentang kehidupan individu.

b. Langkah yang kedua adalah mengembangkan arketipe anima

pada pria atau animus pada wanita. Individu harus menyadari

anima atau animusnya baik yang bersifat positif maupun negatif. Individu harus mengakui bahwa dalam dirinya terdapat aspek dari lawan jenisnya dan mulai mengungkapkan sifat-sifat anima

(43)

misalnya ketegasan bersamaan dengan sifat-sifat feminim. Individu perlu mengelola kekuatan-kekuatan positif dari anima

atau animusnya.

c. Langkah yang ketiga sebenarnya bukan langkah yang harus dilakukan sesudah langkah pertama dan kedua, namun langkah ini harus terus dilakukan bersamaan dengan langkah pertama dan kedua selama individu menjalani proses individuasi. Langkah ini berhubungan dengan sikap dan fungsi psikologis. Walalupun individu memiliki salah satu sikap dan fungsi yang mendominasi dirinya, namun individu harus mengembangkan semua sikap dan fungsi psikologis. Individu harus mengembangkan baik sikap introvert maupun ekstrovert dan mengembangkan baik fungsi pikiran, perasaan, pendriaan maupun intuisinya.

Ketiga langkah tersebut bila dapat ditempuh dengan maksimal, akan menuntun individu menuju pada arketipe self yang melambangkan kesempurnaan sekaligus menunjukkan bahwa individu berhasil mencapai individuasi.

3. Ciri-ciri Individu yang Terindividuasi

(44)

adalah terwujudnya Self sebagai pusat kepribadain yang memiliki ciri sebagai berikut:

a. Penerimaan Diri

Individu yang sudah mencapai individuasi menerima dirinya yang sesungguhnya. Individu ini menyadari segala kelemahan-kelemahannya dan meninggalkan persona yang menutupi kepribadiannya yang asli dan unik yang berbeda dari orang lain. b. Memiliki kepribadian yang terintegrasi secara seimbang

Individu yang terindividuasi telah mengembangkan ketidaksadarannya seimbang dengan kesadaran. Tidak ada lagi sikap atau fungsi yang lebih dominan, karena semuanya telah dikembangkan secara optimal.

c. Memiliki relasi yang dekat dengan Tuhan dan sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya.

Inidvidu yang terindividuasi menyadari bahwa setiap manusia saling terhubung dengan semua makhluk yang ada di alam semesta. Individu yang terindividuasi memiliki rasa empati dan rasa persaudaraan yang tinggi.

C. Sinopsis Novel “Sang Alkemis”

(45)

pemuda yang tinggal di daerah Andalusia, Spanyol. Orang tua Santiago bekerja sebagai petani dan keluarganya hidup dalam kemiskinan. Orang tua Santiago menginginkan Santiago menjadi seorang pastor agar bisa menjadi kebanggaan bagi keluarganya yang miskin. Santiago sempat belajar di seminari hingga uisanya 16 tahun, namun kemudian Santiago memutuskan untuk keluar karena sebenarnya Santiago tidak ingin menjadi pastor. Sejak kecil Santiago selalu ingin berkelana mengelilingi dunia dan mengunjungi banyak tempat.

Ayah Santiago pada awalnya tidak merestui keinginan putranya karena untuk berkelana mengelilingi dunia dibutuhkan banyak uang sedangkan mereka hanyalah petani miskin. Orang-orang yang bisa berkelana hanyalah orang kaya atau para gembala. Santiago lalu memutuskan untuk menjadi gembala dan karena tekad putranya sangat kuat, ayah Santiago akhirnya merestui dan memberi dua koin emas hasil penemuannya di ladang kepada Santiago untuk membeli domba-domba.

(46)

Santiago ke sebuah piramida di Mesir. Anak kecil dalam mimpi Santiago mengatakan bahwa kalau Santiago mau pergi ke piramida Mesir, dia akan menemukan harta karun yang terpendam.

Santiago memutuskan untuk menanyakan arti mimpinya pada seorang peramal gipsi. Peramal tersebut menyarankan supaya Santiago menuruti perkataan anak kecil dalam mimpinya untuk pergi ke piramida Mesir. Santiago tidak percaya begitu saja pada ucapan peramal tersebut. Santiago tidak mau lagi mempercayai mimpinya, hingga pada suatu hari Santiago bertemu dengan seorang lelaki tua. Lelaki tersebut mengaku sebagai raja Salem. Santiago belum pernah bertemu dengan lelaki tersebut, tapi lelaki itu mengetahui masa lalu Santiago dan mimpi yang dialami Santiago. Lelaki tersebut berusaha meyakinkan Santiago untuk mengikuti mimpinya. Pergulatan bati terjadi dalam diri Santiago, apakah akan pergi meninggalkan domba-dombanya atau tetap menjadi gembala dan melupakan mimpinya. Santiago akhirnya memutuskan untuk mengikuti mimpinya dan kemudian menjual domba-dombanya sebagai biaya perjalanan ke Mesir.

(47)

pada saat-saat terakhir Santiago berubah pikiran dan memutuskan untuk terus mencari harta karun di Mesir karena itulah impian sejatinya.

Santiago bergabung dengan serombongan orang yang juga akan melintasi padang pasir menuju Mesir. Dalam rombongan tersebut, ada seorang lelaki Inggris yang menjadi teman Santiago dan mengajarkan kepada Santiago tentang alkimia. Santiago juga mengalami banyak hambatan selama melintasi padang pasir. Perjalanan Santiago sempat berhenti karena saat itu sedang terjadi perang suku, sehingga Santiago terpaksa tinggal beberapa saat di sebuah pemukiman penduduk. Pertemuan Santiago dengan seorang gadis penduduk setempat membuat Santiago ragu-ragu untuk meneruskan perjalanannya karena Santiago jatuh cinta dengan gadis tersebut. Santiago mau melanjutkan perjalanannya setelah mendapat bimbingan dari seorang lelaki tua yang disebut sebagai sang alkemis, yang kemudian menjadi guru Santiago.

(48)

D. Latar Belakang Penulis Novel “Sang Alkemis”

Novel “Sang Alkemis” ditulis oleh Paulo Coelho, seorang penulis berkebangsaan Brasil. Coelho lahir di Brasil pada tahun 1947 dalam keluarga kelas menengah. Ayah Coelho adalah seorang insinyur dan ibunya adalah ibu rumah tangga. Sejak kecil, Coelho selalu bercita-cita menjadi penulis, namun keinginan tersebut ditentang oleh kedua orang tuanya. Orang tua Coelho mengiginkan anaknya menjalani profesi yang lebih terhormat seperti insinyur atau pengacara, karena saat itu seniman adalah profesi yang dianggap kurang terhormat bagi banyak masyarakat di Brasil. Penolakan orang tuanya membuat Coelho menjadi anak yang sering membangkang dan akibatnya Coelho dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena dianggap memiliki gangguan jiwa. Coelho sempat menjalani perawatan di rumah sakit jiwa sebanyak dua kali.

Setelah menjalani perawatan,Coelho tidak lantas mengikuti keinginan orang tuanya. Coelho justru bergabung dengan sebuah kelompok teater. Perbuatan Coelho membuat orang tuanya kembali membawanya ke rumah sakit jiwa. Pengalaman menjalani perawatan di rumah sakit jiwa sebanyak tiga kali tidak juga membuat Coelho bertambah baik seperti yang diharapkan oleh orang tuanya. Coelho bahkan sempat menjalani kehidupan sebagai anak jalanan dan mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

(49)

gagasan. Isi komik yang diterbitkan oleh Coelho dan temannya dianggap melawan pemerintahan saat itu, sehingga Coelho dipenjara dan mengalami percobaan pembunuhan.

Pengalaman dipenjara dan percobaan pembunuhan membuat Coelho tersadar untuk hidup secara normal. Coelho berniat untuk mencari pekerjaan yang layak dan akhirnya diterima di sebuah pekerjaan rekaman, dimana dia bertemu dengan istri pertamanya. Pada tahun 1977, Coelho berpisah dengan istri pertamanya dan keluar dari pekerjaannya. Pada tahun 1979, Coelho bertemu dengan seorang teman lama dan kemudian menikah dengannya.

Peristiwa besar yang mengubah hidup Coelho terjadi ketika Coelho dan istrinya bepergian ke Eropa. Coelho bertemu dengan seorang pria yang menyarankan Coelho untuk kembali ke akar kristianitasnya. Coelho kemudian melakukan sebuah perjalanan spiritual melalui sebuah rute dari Prancis ke Spanyol. Perjalanan tersebut menjadi titik balik dalam kehidupan Coelho sekaligus menjadi awal kesuksesan Coelho sebagai penulis.

(50)

Buku-buku Coelho selanjutnya, yang hampir sebagian besar berupa novel, juga menjadi buku laris di seluruh dunia. Hingga tahun 2006, Coelho telah menerbitkan 20 buku. Sebagian besar buku-buku Coelho bertemakan spritualitas kristiani dan cinta, baik cinta terhadap Tuhan maupun sesama manusia. Pengalaman-pengalaman dalam hidup Coelho banyak tercermin dalam buku-bukunya. Coelho selalu berusaha untuk membagikan pencarian spiritualnya kepada para pembacanya. Coelho ingin menekankan mengenai pentingnya mewujudkan mimpi dan selalu berada pada jalan yang disediakan Tuhan. Coelho selalu berusaha meyakinkan pembacanya bahwa segala sesuatu adalah mungkin jika didasari oleh cinta. Coelho berharap agar pembacanya menjadi terinspirasi untuk bisa menjadi dirinya sendiri dan tidak pernah lelah untuk mencari makna hidupnya di tengah-tengah masyarakat yang didominasi oleh budaya materialistis dan hedonisme.

(51)

F. Kritik Sastra Terhadap Novel “Sang Alkemis”

Novel “Sang Alkemis” pertama kali diterbitkan pada tahun 1988 dalam bahasa Portugis. Novel ini tidak langsung menuai kesuksesan dan hanya mampu terjual sebanyak 900 kopi, baru pada tahun 1990 “Sang Alkemis” mampu terjual sebanyak ribuan kopi (Martin & Ballesteros, 2002). Setelah itu “Sang Alkemis” terus menuai kesuksesan dan terjual jutaan kopi di berbagai negara. Paulo Coelho banyak diundang ke berbagai negara untuk menemui para penggemarnya. Hingga saat ini dari seluruh buku karya Coelho, “Sang Alkemis” adalah buku yang paling banyak terjual. “Sang Alkemis” seringkali diulas dalam berbagai surat kabar dan majalah. Coelho mendapat banyak penghargaan karena novel “Sang Alkemis”.

(52)

G. Pertanyaan-pertanyaan Panduan

1. Apakah perjalanan Santiago dalam mencari harta karun di Piramida Mesir dapat dianalogikan dengan proses pencapaian individuasi dengan mengacu pada karakteristik pokok dalam proses individuasi?

2. Langkah-langkah apa saja yang ditempuh oleh Santiago dalam mencari harta karun dan apakah langkah tersebut sama dengan langkah-langkah untuk mencapai proses individuasi?

3. Bagaimanakah karakter Santiago sebelum melakukan perjalanan mencari harta karun ?

4. Adakah perubahan-perubahan karakter pada Santiago selama melakukan perjalanan mencari harta karun?

5. Apakah pada akhir cerita Santiago dapat menemukan harta karun yang dicarinya dan apakah hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Santiago berhasil mencapai individuasi?

6. Apakah kontribusi novel “Sang Alkemis” bagi kepribadian pembacanya?

(53)

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif, dimana penulis ingin melukiskan atau menggambarkan keadaan dari subyek secara jelas dan mendetail. Penelitian deskriptif sendiri adalah suatu prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 2005). Menurut Grix, penelitian deskriptif tidak bertujuan untuk menjelaskan pengaruh atau dampak dari faktor tertentu pada masalah yang akan diteliti, namun untuk memberikan penjelasan yang mendetail mengenai sebuah kasus, orang atau suatu proses (2004). Dalam penelitian ini, penulis mencoba memberikan gambaran secara mendetail mengenai proses pencapaian individuasi pada Santiago, tokoh utama novel “Sang Alkemis” menurut teori psikologi analitis Jung.

B. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis narasi atau narrative analysis.

(54)

beberapa elemen yang mengungkapkan masalah tertentu pada suatu waktu dan tempat (Richmond, 2002). Ada tiga pendekatan umum yang paling sering dipakai dalam analisis narasi, yaitu pendekatan biografis, psikologis dan linguistik (Krenske, 2002). Dalam penelitian ini pendekatan yang dipakai tentu saja pendekatan psikologis yang lebih menekankan pada individu yang menjadi tokoh cerita. Pendekatan ini mencoba menjelaskan bagaimana individu mencari makna hidup dan mengatasi permasalahan dalam hidupnya, juga motivasi hidupnya (Rossiter dalam Krenske, 2002).

Neuendorf mengatakan bahwa analisis narasi menekankan pada karakter tokoh cerita yang meliputi konflik yang dialami, pilihan hidup yang harus diambil, kesulitan-kesulitan dan perkembangan karakternya (2002). Sedangkan Richmond membagi empat kategori pada analisis narasi sebagai kerangka panduan dalam menganalisis tokoh cerita (2002). Yang pertama adalah penggambaran setting dan karakter, yang kedua menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tokoh, yang ketiga adalah menganalisis konflik yang terjadi dalam cerita dan yang terakhir adalah menggambarkan cara mengatasi konflik yang dialami tokoh cerita (2002).

(55)

Yang ketiga penulis mencoba menggambarkan langkah-langkah yang ditempuh Santiago dalam mencapai tujuannya dan bagaimana dia kemudian memaknai seluruh hidupnya. Hasil dan pembahasan dari penelitian ini seluruhnya berupa teks narasi, karena penulis ingin menyajikan secara detail jawaban dari pertanyaan panduan pada bab II.

C. Sumber Data dan Subjek Penelitian

Sumber data yang dipakai adalah novel “Sang Alkemis” karangan Paulo Coelho. Novel ini diterbitkan pada tahun 2005 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jumlah halaman novel ini ada 213 halaman yang terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama menceritakan kisah awal mula tokoh utama sebagai gembala, bagian kedua atau bagian inti berisi perjuangan tokoh utama mencari harta karun dan bagian Epilog menceritakan saat tokoh utama berhasil menemukan harta karunnya.

Novel “Sang Alkemis”diterjemahkan dari bahasa Portugis dengan judul aslinya “O Alquimista”. Di Indonesia, pada tahun 2001, hak cipta penerbitan dipegang oleh penerbit Alvabet, namun sejak tahun 2006 dipegang oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama dan penulis menggunakan novel “Sang Alkemis” edisi terbaru.

(56)

D. Rancangan Penelitian

1. Analisis Teks Secara keseluruhan

Analisis teks secara keseluruhan, perjalanan Santiago dari awal cerita hingga akhir cerita untuk melihat apakah perjalanan Santiago mencari harta karun di piramida Mesir dapat dianalogikan dengan proses pencapaian individuasi menurut teori psikologi analitis Jung. Penulis akan membandingkan masing-masing karakteristik dan kemudian mencari pada teks, bagian mana yang menunjukkan karakteristik tersebut. Analisis meliputi peristiwa yang terjadi pada Santiago, konflik yang harus dihadapi, cara mengatasi masalah, waktu yang diperlukan Santiago dalam menempuh perjalanan dan juga hubungannya dengan tokoh lain dalam novel. Analisis didasarkan atas karakteristik pokok pada proses individuasi. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:

a. Proses individuasi terjadi pada individu yang berusia paroh baya atau berada pada parohan hidup yang kedua.

b. Ada pengambilan keputusan secara sadar dari individu untuk meninggalkan cara hidupnya yang lama dan menjalankan cara hidup yang baru dengan semua konsekuensinya.

(57)

e. Dalam proses individuasi, individu akan menemui banyak peristiwa simbolik yang harus diartikan maknanya oleh individu tersebut.

f. Ada perubahan pusat kepribadian dari ego menjadi self.

2. Analisis Teks Langkah-langkah Santiago dalam Mencari Harta

Karun

Analisis teks untuk melihat langkah-langkah Santiago dalam mencari harta karun dan membandingkannya dengan langkah-langkah pokok dalam proses individuasi. Penulis akan melihat apakah langkah-langkah yang ditempuh Santiago apakah sama dengan langkah-langkah-langkah-langkah pokok dalam proses individuasi. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut :

a. Individu harus menyadari shadow atau sisi gelap dalam dirinya. b. Mengembangkan arketipe anima dan animus dalam dirinya, dan mengungkapkannya keluar.

c. Individu harus mengembangkan sikap dan fungsi psikologis yang selama ini ditekan dalam dirinya.

3. Analisis Karakter Santiago

(58)

mencari harta karun hingga Santiago berhasil mendapatkan harta karunnya.

4. Analisis Perubahan Karakter Santiago

Dari hasil analisis karakter Santiago sebelum dan selama melakukan perjalanan mencari harta karun, penulis akan melihat adakah perubahan-perubahan pada karakter Santiago terutama pada akhir cerita dan membandingkannya dengan ciri-ciri individu yang terindividuasi. Hal ini penting untuk dapat menyimpulkan apakah Santiago telah berhasil mencapai individuasi. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

(59)

A. Analisis Teks Secara Keseluruhan

Bagian ini akan membandingkan perjalanan Santiago dalam mencari harta karun di piramida Mesir dengan karakteristik pokok pada proses individuasi. Penulis akan menunjukkan teks-teks yang menggambarkan karakteristik pokok dalam proses individuasi yang dialami oleh Santiago.

1. Karakteristik pertama : Proses individuasi terjadi pada individu yang berusia paroh baya atau berada pada parohan hidup yang kedua. Proses individuasi juga dapat terjadi pada individu yang mengalami peristiwa luar biasa atau tragedi yang mampu membuatnya meninggalkan orientasi hidup yang lama dan mencari cara hidup yang baru.

a. Santiago adalah seorang anak muda yang berusia kira-kira 18 tahun. Pada bagian pertama novel diceritakan bahwa Santiago pernah bersekolah di seminari hingga berusia 16 tahun, untuk memenuhi keinginan orang tuanya, namun sebenarnya sejak kecil Santiago ingin berpetualang mengelilingi dunia. Santiago akhirnya memberanikan diri untuk berterus terang pada ayahnya, bahwa dia tidak ingin menjadi seorang pastor.

(60)

sederhana. Mereka harus bekerja keras sekadar untuk bisa makan dan minum, sama seperti domba-domba itu. Dia pernah belajar bahasa Latin, Spanyol dan teologia. Akan tetapi sejak masih kanak-kanak dia sudah ingin tahu tentang dunia, dan baginya ini lebih penting daripada mengenal Tuhan dan mempelajari dosa-dosa manusia. Suatu siang, ketika sedang mengunjungi keluarganya, dia memberanikan diri mengatakan pada ayahnya bahwa dia tidak ingin menjadi Pastor. Dia ingin berkelana. (hal 13-14)

b. Santiago harus menjadi seorang gembala domba kalau dia ingin pergi berkelana, karena keluarganya tidak punya cukup uang.

(2) “Di kalangan kita, hanya para gembala yang berkelana.” “Kalau begitu, aku mau menjadi gembala saja.” (hal 15) c. Santiago kemudian menjadi gembala domba dan setelah berjalan

selama dua tahun, Santiago menjadi sangat dekat dengan domba-dombanya. Mereka menjadi saling tergantung satu sama lain.

(3) Dia bangkit dan mengambil tongkatnya, kemudian mulai membangunkan domba-domba yang masih tidur. Dia memperhatikan bahwa begitu dia terbangun, sebagian besar dombanya juga mulai terjaga. Seolah-olah ada daya misterius yang menautkan hidupnya dengan hidup

domba-domba itu, yang telah bersama-sama dengannya

(61)

digembalakannya menyusuri pedesaan, mencari makanan dan air. “Mereka sudah begitu terbiasa denganku, sehingga tahu jadwalku,” gumamnya. Tapi setelah dipikir-pikir, bisa jadi justru sebaliknya: dialah yang terbiasa dengan jadwal mereka. (hal 8)

d. Segala sesuatunya berjalan biasa saja bagi Santiago dan Santiago juga ingin terus berkelana hingga suatu saat nanti bertemu dengan gadis pujaannya, seperti yang dialaminya di suatu desa di Andalusia. (4) Wajah gadis itu khas daerah Andalusia, rambutnya hitam

bergelombang dan sepasang matanya samar-samar mengingatkan akan bangsa Moor penakluk (hal 10)

(5) Sekarang tinggal empat hari lagi dia akan tiba di desa yang sama itu. Dia berdebar-debar, sekaligus gelisah: barangkali gadis itu sudah melupakannya. Banyak gembala lewat di situ, menjual wol mereka. “Tidak apa,” katanya pada domba-dombanya. “Aku kenal gadis-gadis lain, di tempat-tempat lain.” Tapi di hatinya dia tahu tidak demikian halnya. Dia juga tahu bahwa gembala-seperti halnya para pelaut

dan pedagang keliling-selalu menemukan tambatan hati

di suatu kota, yang sanggup membuat mereka lupa akan

kesenangannya mengembara sesuka hati. (hal 11-12)

(62)

(6) Anak itu merasa terkejut dengan pikiran-pikirannya sendiri. Barangkali gereja dengan pohon Sycamore di dalamnya itu ada hantunya. Barangkali itu sebabnya dia mengalami mimpi yang sama untuk kedua kali. (hal 13)

f. Sesampainya di Tarifa, Santiago memutuskan untuk menanyakan arti mimpinya pada seorang perempuan tua.

(7) Sekonyong-konyong dia teringat, di Tarifa ada

perempuan tua yang bisa menafsirkan mimpi. (hal 17)

(8) “Aku sudah dua kali mendapatkan mimpi yang sama,” kata si anak. “Dalam mimpiku, aku ada di padang bersama domba-dombaku. Tahu-tahu muncul seorang anak kecil,

dan dia mulai bermain-main dengan

binatang-binatangku. Aku tidak suka kalau ada yang berbuat

begitu, sebab domba-domba itu takut pada orang asing.

Tapi anak-anak selalu bisa mengajak mereka bermain

tanpa mereka jadi takut. Entah kenapa. Aku tidak tahu

bagaimana binatang bisa tahu umur manusia.”

“Ceritakan lebih banyak tentang mimpimu,” kata perempuan itu. “Aku mesti meneruskan memasak, dan berhubung uangmu tidak banyak, aku tidak bisa memberimu banyak waktu.” “Anak itu masih terus bermain-main dengan domba-dombaku selama beberapa waktu,” si anak lelaki

(63)

kedua tanganku dan memindahkanku ke

piramida-piramida Mesir.”

Dia diam sejenak untuk melihat apakah perempuan tua itu tahu tentang piramida-piramida Mesir. Tapi perempuan tua itu tidak mengatakan apa-apa. “Kemudian di piramida-piramida Mesir itu,” si anak sengaja mengucapkan keempat kata terakhir itu perlahan-lahan, supaya perempuan itu mengerti. “Anak itu berkata padaku, ‘kalau kau datang kemari, kau akan menemukan harta karun.’ Tapi ketika

dia hendak menunjukkan lokasi persisnya padaku, aku

terbangun. Begitulah berturut-turut.” (hal 19-21)

g. Namun ketika mendengar tafsiran perempuan itu, Santiago tidak mau mempercayainya dan menganggap perempuan itu penipu. Santiago kemudian melanjutkan aktivitasnya kembali.

(9) “Beginilah tafsiranku: Kau harus pergi ke piramida-piramida di Mesir itu. Aku belum pernah mendengar tentangnya, tapi andai ada seorang anak yang menunjukkannya padamu, berarti mereka ada. Disana kau akan menemukan harta yang bakal membuatmu kaya raya.”

Anak itu terkejut, kemudian kesal. Kalau cuma begini tafsirannya, dia tidak perlu meminta bantuan

perempuan tua ini! Tapi kemudian dia ingat bahwa dia

(64)

buang-buang waktu cuma untuk ini,” katanya. “Sudah kukatakan mimpimu sulit. Dalam hidup ini, justru hal-hal sederhanalah yang paling luar biasa; hanya orang-orang bijak yang dapat memahaminya. Berhubung aku bukan orang bijak, aku mesti belajar ketrampilan-ketrampilan lain, misalnya membaca garis tangan.” “Lalu bagaimana aku bisa sampai ke Mesir?” “Aku cuma bisa menafsirkan mimpi. Aku tidak tahu cara mewujudkannya. Karena itulah aku mesti hidup dari pemberian anak-anak perempuanku.” “Bagaimana kalau aku tidak pernah sampai ke Mesir?” “Berarti aku tidak mendapatkan bayaran. Dan ini bukan baru pertama kalinya terjadi.” Lalu perempuan itu menyuruh si anak pergi; katanya dia sudah terlalu banyak membuang-buang waktu untuk anak itu.

Si anak merasa kecewa; dia memutuskan tidak akan

percaya lagi pada mimpi. Dia ingat ada beberapa hal yang

mesti dibereskannya: dia pergi ke pasar untuk makan, dia menukar bukunya dengan yang lebih tebal, dan dia menemukan bangku panjang di alun-alun untuk duduk mencicipi anggur yang baru dibelinya. (hal 21-23)

(65)

(10)Saat dia asyik membaca, seorang laki-laki tua duduk di sampingnya dan mencoba membuka percakapan. (hal 24) (11)”Namaku Melkisedek,” kata orang tua itu. “Berapa banyak

domba-dombamu?” “Cukup banyak,” sahut si anak. Rupanya laki-laki ini ingin tahu lebih banyak tentang kehidupannya. “Kalau begitu, kita punya masalah. Aku tidak bisa menolongmu kalau kau merasa sudah punya cukup domba.” Anak itu mulai jengkel. Bukankah dia tidak meminta bantuan? Justru orang inilah yang tadi minta diberi sedikit anggur, kemudian mengajaknya mengobrol. “Kembalikan bukuku,” kata si anak. “Aku mesti mengumpulkan domba-dombaku, lalu meneruskan perjalanan.” “Beri aku sepersepuluh dari domba-dombamu,” kata si laki-laki tua, “dan akan

kuberitahukan padamu cara menemukan harta karun

itu.” Anak itu teringat mimpinya, dan sekonyong-konyong

(66)

di pasir alun-alun itu. Sesuatu yang cemerlang memancar dari dadanya, sinarnya begitu menyilaukan hingga sesaat membutakan mata anak itu. Dengan gerakan sangat gesit untuk ukuran orang seusianya, laki-laki tua itu menutupi sesuatu tersebut dengan jubahnya. Setelah penglihatan si anak kembali normal, dia bisa membaca apa yang ditulis orang tua itu di pasir. Disana, di pasir alun-alun kota kecil itu, si anak membaca nama-nama ayah-ibunya, dan nama seminari tempat dia bersekolah dulu. Dia juga

membaca nama putri saudagar itu, yang bahkan belum

diketahuinya, serta hal-hal lain yang tidak pernah

diceritakannya pada siapa pun. (hal 28-29)

i. Pria tua itu akhirnya menceritakan mengapa ia muncul di hadapan Santiago dan mengapa Santiago harus mengikuti mimpinya.

(12)”Aku raja Salem,” kata orang tua itu tadi. “Mengapa raja mau berbicara dengan anak gembala?” tanya si anak dengan takjub bercampur malu. “Karena beberapa alasan. Tapi anggap saja yang paling penting karena kau telah berhasil menemukan takdirmu.” Anak itu tidak mengerti apa yang

(67)

segala yang mereka inginkan terwujud dalam hidup mereka. Tapi dengan berlalunya waktu, ada daya misterius yang mulai meyakinkan mereka bahwa mustahil mereka bisa mewujudkan takdir itu. (hal 29-30)

(13)”Mengapa anda mengatakan semua ini padaku?” “Sebab kau sedang mencoba mewujudkan takdirmu. Dan pada

titik ini kau hampir saja melepaskan semuanya.” (hal 32)

(14)”Besok pada jam yang sama, bawakan aku sepersepuluh dari domba-dombamu. Dan akan kuberitahukan padamu cara menemukan harta karun itu. Selamat siang.” Lalu orang tua itu menghilang di sudut alun-alun. (hal 34)

j. Santiago mulai memikirkan perkataan pria tua tersebut. Santiago menimbang-nimbang apakah dia akan tetap menjadi gembala dan melupakan mimpinya itu atau meninggalkan domba-domba yang sudah sangat dikenalnya dan melakukan perjalanan jauh hingga ke Mesir, negeri yang asing baginya.

(15)Si anak lelaki meneruskan membaca bukunya, tapi tak lagi bisa memusatkan pikirannya ke sana. Dia merasa tegang

dan kesal, sebab dia tahu orang tua itu benar. (hal 35)

(16)Tadi, ketika berdiri di depan loket karcis itu, si anak teringat domba-dombanya, dan dia memutuskan akan kembali menjadi gembala saja. Dalam dua tahun dia telah

(68)

mencukur domba, cara mengurus domba betina yang bunting, dan cara melindungi domba-dombanya dar serigala-serigala. Dia mengenal semua padang rumput dan padang penggembalaan di Andalusia. Dan dia tahu harga yang pantas untuk setiap dombanya. Dia memutuskan kembali ke kandang milik temannya dengan mengambil rute paling jauh. Ketika melewati kastil di kota itu, dia menyimpang sejenak dari tujuannya dan menapaki jalan menanjak berbatu sampai ke puncak tembok. Dari sana dia bisa melihat Afrika di kejauhan. Pernah ada yang mengatakan padanya, dari sanalah asalnya bangsa Moor yang kemudian menaklukkan seluruh Spanyol.

Dari tempatnya duduk, dia bisa melihat hampir seantero kota itu termasuk alun-alun tempat dia berbincang-bincang dengan si orang tua. Terkutuklah saat aku bertemu orang tua itu, pikirnya. Dia datang ke kota untuk mencari perempuan yang bisa menafsirkan mimpinya. Tapi perempuan itu dan si orang tua sama sekali tidak terkesan akan profesinya sebagai gembala. Mereka orang-orang penyendiri yang tidak lagi percaya apapun, dan tidak mengerti bahwa gembala lambat

laun makin terikat dengan domba-dombanya. Dia tahu

segala sesuatu tentang masing-masing dombanya: dia

(69)

bulan lagi akan beranak, dan mana saja yang paling malas. Dia tahu cara mencukur mereka, juga cara menyembelih mereka. Mereka pasti akan menderita seandainya dia memutuskan untuk meninggalkan mereka. (hal 35-37)

(17)Dan aku ada disini, di antara domba-domba dan harta karun itu, pikir si anak lelaki. Dia harus memilih antara cara hidup yang telah begitu dikenalnya dan sesuatu yang

ingin dimilikinya. Belum lagi putri saudagar itu, tapi gadis

itu tidaklah sepenting domba-dombanya, sebab gadis itu tidak bergantung padanya. Barangkali gadis itu bahkan tidak ingat lagi padanya. Si anak gembala yakin bagi gadis itu tidaklah penting hari apa dia datang: baginya setiap hari sama saja, itu karena orang-orang tidak menyadari hal-hal indah yang terjadi dalam hidup mereka setiap hari, seiring terbitnya matahari. Telah kutinggalkan ayahku, ibuku, dan kastil kota itu. Mereka telah terbiasa jauh dariku, begitu pula aku. Domba-domba ini juga akan terbiasa dengan ketidakhadiranku, pikir si anak. (hal 37-38)

(70)

(18)Si anak lelaki merasa iri pada angin yang bertiup bebas, namun disadarinya dia pun bisa sebebas angin. Tak ada yang menahannya, kecuali dirinya sendiri.

Domba-dombanya, putri sang saudagar, dan padang-padang Andalusia hanyalah bagian dari rute yang ditempuhnya dalam perjalanannya menggapai takdirnya. Keesokan harinya anak itu menemui si orang tua pada tengah hari.

Dia membawa enam ekor dombanya. (hal 38)

(19)”Dimana harta karun itu berada?” tanya si anak. “Di Mesir, di dekat piramida-piramida.” Anak itu terperanjat. Perempuan Gipsi itu juga berkata demikian, tapi dia tidak memungut bayaran sepeserpun. “Supaya menemukan harta karun itu, kau harus mengikuti pertanda-pertanda yang diberikan. Tuhan telah menyiapkan jalan yang mesti dilalui masing-masing orang. Kau tinggal membaca pertanda-pertanda yang ditinggalkan-Nya untukmu. (hal 39-40) Kesimpulan :

(71)

mempertaruhkan segalanya demi mencari harta karun di negeri yang asing baginya.

2. Karakteristik kedua : Ada pengambilan keputusan secara sadar dari individu untuk meninggalkan orientasi hidupnya yang lama dan menjalankan cara hidup yang baru dengan semua konsekuensinya.

a. Santiago pada awalnya tidak mempercayai mimpinya dan tafsir yang diungkapkan padanya. Namun kemudian, Santiago bertemu dengan seorang pria tua yang mengatakan bahwa Santiago harus mengikuti mimpinya. Sebelum Santiago mengambil keputusan, dia menimbang-nimbang secara matang segala konsekuensi dari keputusannya. Walaupun Santiago banyak dipengaruhi oleh pria tua itu, namun Santiago mengambil keputusan secara sadar untuk mencari harta karun di piramida Mesir.

(20)Tadi, ketika berdiri di depan loket karcis itu, si anak teringat domba-dombanya, dan dia memutuskan akan kembali menjadi gembala saja. (hal 35-36)

(21)Dia harus memilih antara cara hidup yang telah begitu dikenalnya dan sesuatu yang ingin dimilikinya. (hal 37)

(22)Si anak lelaki merasa iri pada angin yang bertiup bebas, namun disadarinya dia pun bisa sebebas angin. Tak ada yang menahannya kecuali dirinya sendiri.

(72)

Andalusia hanyalah bagian dari rute yang ditempuhnya dalam perjalanannya menggapai takdirnya. Keesokan harinya anak itu menemui si orang tua pada tengah hari.

Dia membawa enam ekor dombanya. (hal 38)

Kesimpulan :

Karakteristik kedua terlihat pada teks nomor 21. Santiago mencoba mengambil keputusan yang terbaik untuk hidupnya. Santiago mempertimbangkan apakah tetap menjadi gembala atau meninggalkan segalanya dan mencari harta karun. Teks nomor 22 menunjukkan saat Santiago mengambil keputusan secara sadar tanpa paksaan dari orang lain.

3. Karakteristik ketiga : Proses individuasi membutuhkan waktu yang tidak singkat dan tidak mungkin dilewati tanpa rasa sakit secara psikis.

a. Dalam perjalanannya, Santiago banyak menghadapi rintangan dan juga konflik dalam dirinya sebelum dirinya berhasi menemukan harta karun. Yang pertama adalah rasa sakit karena harus meninggalkan domba-domba yang sudah dipeliharanya selama dua tahun dan sudah sangat dekat dengan mereka.

(23)Dalam dua tahun, dia telah mengenal seluk beluk penggembalaan: dia tahu cara mencukur domba, cara

(73)

(24) Dia tahu segala sesuatu tentang masing-masing dombanya: dia tahu domba-domba mana saja yang pincang,

mana yang dua bulan lagi akan beranak, dan mana saja yang paling malas. Dia tahu cara mencukur mereka, juga cara menyembelih mereka. Mereka pasti akan menderita seandainya dia memutuskan untuk meninggalkan

mereka. (hal 36-37)

b. Rintangan yang kedua adalah ketika Santiago baru saja sampai di Tangier, sebuah kota di Afrika. Santiago lupa karena begitu bersemangat untuk mencari harta karun, bahwa dia seharusnya belajar bahasa Arab agar dapat berkomunikasi dengan lancar.

(25)Selain itu, karena terdorong oleh semangat ingin segera bepergian, dia melupakan satu detail, hanya satu, yang bisa menjadi penghalang baginya dalam mencari harta

karun itu: di negeri ini orang-orangnya hanya berbahasa

Arab. (hal 46)

Referensi

Dokumen terkait