• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1) Ketidaksadaran Pribadi

Ketidaksadaran pribadi adalah bagian dari psike yang didalamnya terdapat hal-hal seperti pengalaman, harapan dan dorongan yang pernah disadari tetapi kemudian dilupakan atau diabaikan, serta hal-hal yang terlalu lemah untuk dibawa ke kesadaran (Hall & Lindzey, 1993).

Fordham (1956) dalam bukunya menjelaskan bahwa isi dari ketidaksadaran pribadi dapat muncul dalam kesadaran lewat beberapa cara. Fordham menyatakan sebagai berikut:

The memories of personal unconscious, though not entirely under the control of the will, can when repressions weakens (as for instance in sleep), be recalled. Sometimes they return of their own accord, sometimes a chance association or shock will bring them to light, sometimes they appear somewhat disguised in dreams and fantasies, sometimes especially if they are causing disturbances as in neurosis, they need to be ‘dug out’.

Dalam ketidaksadaran pribadi terdapat kelompok perasaan, pikiran, persepsi dan ingatan yang terorganisasi yang disebut Jung dengan istilah kompleks (Fordham, 1956). Kompleks

memiliki inti yang bersifat seperti magnet dan menarik berbagai pengalaman dan ide ke arahnya (Hall & Lindzey, 1993). Kompleks dapat menentukan bagaimana individu mengamati dunia dan nilai, minat serta dorongan yang

dimilikinya (Schultz, 1991). Salah satu contohnya adalah kompleks ibu. Seseorang yang memiliki kompleks ibu, pikiran, perasaan dan perbuatannya sangat didominasi oleh konsep tentang ibu.

2) Ketidaksadaran Kolektif

Jung (dalam Kalia, Singh dan Singh, 2002) mendefinisikan ketidaksadaran kolektif sebagai berikut:

It is the re servoir of our experiences as a species, a kind of knowledge we are all born with. And yet we can never be directly conscious of it. It influences all of our experiences and behaviors, most especially the emotional ones, but we only know about it indirectly, by looking at those influences.

Ketidaksadaran kolektif merupakan “gudang” ingatan laten yang diwariskan oleh nenek moyang yang terlepas dari segala segi pribadi dan bersifat universal yang dapat mempengaruhi perilaku walaupun tidak dapat dilihat secara langsung. Manusia mewarisi kemungkinan atau kecenderungan menghidupkan kembali pengalaman generasi masa lampau yang kemudian diproyeksikan pada lingkungan, yang membuat manusia bereaksi terhadap dunia secara selektif. Salah satu contoh yang diberikan oleh Jung adalah kecenderungan manusia untuk takut terhadap binatang buas. Kecenderungan ini menurut Jung diwarisi dari pengalaman

manusia purba dalam menghadapi binatang buas (Hall & Lindzey, 1993).

Komponen utama dalam ketidaksadaran kolektif adalah

arketipe. Konsep ini muncul sebagai hasil penyelidikan Jung terhadap sejumlah dongeng, mitos dan mimpi dari berbagai kebudayaan. Jung menemukan adanya pola dasar tertentu yang sama yang muncul pada dongeng, mitos dan mimpi tersebut. Misalnya saja pola mengenai kebangkitan kembali yang muncul pada banyak kebudayaan di dunia. Pola-pola dasar ini menurut Jung merupakan warisan masa lampau yang tertanam pada psike dan bisa mengungkapkan diri secara spontan (1978).

Secara garis besar arketipe dapat diartikan sebagai suatu bentuk pemikiran atau ide-ide yang tertanam dalam psike yang menjadi dasar pandangan individu dan diproyeksikan terhadap pengalaman individu. Meskipun arketipe berada pada taraf tidak sadar, namun pengaruhnya dapat dilihat pada beberapa hal seperti mimpi dan muncul secara tidak langsung pada hasil karya manusia.

Ada banyak arketipe dalam psike, namun Jung menyebutkan beberapa arketipe yang pengaruhnya sangat penting bagi individu terutama dalam mencapai individuasi. Arketipe

a) Persona

Kata persona berasal dari bahasa latin yang berarti topeng yang sering dipakai berganti-ganti oleh seorang pemain drama ketika sedang mementaskan sebuah pertunjukan (Sebatu, 1994). Sesuai dengan asal katanya,

persona menurut Jung adalah topeng yang dipakai individu sebagai reaksi terhadap tuntutan-tuntutan di lingkungan luar individu (dalam Hall & Lindzey, 1993). Individu memakai persona dengan tujuan untuk memunculkan kesan baik pada lingkungan luar.

Persona berguna bagi individu untuk menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan yang berbeda-beda. Sebagai contohnya seorang wanita yang menjadi atasan di kantornya harus memakai persona yang membuat dirinya tegas dan disegani oleh bawahannya, namun sebagai seorang istri di rumah dia harus memakai persona yang berbeda dalam menghadapi suaminya. Individu dapat memakai lebih dari satu persona tergantung dari peranan yang harus dijalankan dalam situasi yang berbeda-beda.

Persona merupakan aspek yang sangat penting bagi individu, namun kalau seseorang terlalu sering menggunakan persona, maka ia menjadi terasing dari dirinya sendiri. Persona yang terlalu sering dipakai

menyebabkan kepribadian yang sebenarnya tidak berkembang, karena individu hanya berusaha untuk menampilkan kesan baik pada lingkungan luar yang belum tentu merupakan perwujudan dari kepribadian individu yang sesungguhnya (Sebatu, 1994).

b) Shadow

Shadow atau bayang-bayang adalah sisi gelap atau sering disebut juga sebagai sisi yang jahat dalam diri manusia yang diusahakan seminimal mungkin untuk ditampilkan ke lingkungan luar. Jung menyatakan bahwa

arketipe ini terdiri dari insting-insting binatang yang diwarisi manusia dalam evolusinya dalam bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah (Hall & Lindzey, 1993). Shadow muncul dalam bentuk pikiran, perasaan dan

perilaku yang tidak menyenangkan dan seringkali tidak dapat dikendalikan oleh individu. Shadow biasanya disembunyikan dari lingkungan luar dengan memakai

persona, karena shadow yang ditampilkan keluar oleh individu akan mendapatkan celaan atau hukuman sebagai akibat dari penyimpangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu Fordham (1956) menyatakan bahwa semakin ketat suatu aturan atau norma yang berlaku

dalam suatu masyarakat, akan semakin besar shadow yang ada dalam diri individu.

Shadow sebenarnya juga memiliki segi positif karena didalamnya terdapat sumber-sumber spontanitas dan kreativitas yang juga penting bagi individu. Shadow

tidak seharusnya disangkal karena shadow tidak mungkin dihilangkan. Menyangkal keberadaan shadow hanya akan membuat shadow muncul ke kesadaran dalam bentuk yang tidak bisa dikendalikan oleh individu. Menurut Jung, yang terbaik adalah menerima shadow sebagai bagian dari psike

dan diseimbangkan dengan aspek-aspek lainnya sehingga dapat berkembang secara utuh (dalam Fordham, 1956).

c) Anima dan Animus

Arketipe anima dan animus muncul berdasarkan pada teori bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk biseksual. Secara biologis, baik pria maupun wanita memiliki hormon yang terdapat pada lawan jenisnya, demikian juga secara psikologis. Anima adalah aspek feminim yang terdapat pada ketidaksadaran kolektif pria, sedangkan animus adalah aspek maskulin yang terdapat pada ketidaksadaran kolektif wanita (Hall & Lindzey, 1993).

ArketipeAnima dan Animus pada umumnya muncul dalam bentuk pikiran, perasaan dan emosi yang dapat berakibat positif maupun negatif. Arketipe ini berkembang dari pengalaman individu hidup bersama lawan jenisnya.

Anima banyak dipengaruhi oleh pengalaman pria dengan ibunya, sedangkan animus banyak dipengaruhi oleh pengalaman wanita dengan ayahnya. Apabila individu merasa bahwa ayah atau ibunya memiliki pengaruh negatif terhadap dirinya, maka anima dan animus dapat muncul dalam bentuk negatif.

Anima pada pria dapat muncul dalam bentuk negatif dalam bentuk seperti emosi yang tidak stabil, fantasi-fantasi erotis atau bersikap tidak rasional. Animus juga dapat muncul dalam bentuk negatif seperti sifat keras kepala, sulit dikendalikan dan sangat rasional. Selain dari pengaruh negatifnya, anima dan animus juga membawa pengaruh positif bagi individu. Arketipe ini membantu individu untuk memahami karakter lawan jenisnya dan menemukan pasangan ideal bagi individu dengan menciptakan gambaran dalam ketidaksadaran. Anima dan

animus merupakan arketipe yang penting bagi perkembangan individu. Apabila individu mampu mengatasi pengaruh negatif dari arketipe ini, anima dan

animus dapat menjadi pemandu bagi individu untuk mencapai individuasi (Franz, 1968).