• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. pembelajaran individu (Pintrich & Schunk, 2002). Self regulated learning

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. pembelajaran individu (Pintrich & Schunk, 2002). Self regulated learning"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Self Regulated Learning

1. Definisi Self Regulated Learning

Teori sosial kognitif oleh Bandura menyatakan bahwa faktor lingkungan, personal, dan faktor perilaku, memegang peranan penting dalam proses pembelajaran individu (Pintrich & Schunk, 2002). Self regulated learning merupakan suatu proses pengaturan diri dan strategi yang melibatkan metakognisi, motivasional, dan behavioral dalam mengoptimalkan proses pembelajaran (Zimmerman, 1990). Secara metakognisi, siswa membuat perencanaan, mengatur, mengorganisir, mengontrol, dan mengevaluasi tujuan. Siswa bertanggung jawab dalam keberhasilan dan kegagalan, memiliki ketertarikan intrinsik dalam menghadapi tugas yang mengacu kepada motivasional. Serta secara behavioral, siswa mencari bantuan dan masukan, menciptakan lingkungan belajar yang optimal, dan memberikan instruksi serta penguatan terhadap dirinya (Aronson, 2002).

Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004) menjelaskan bahwa self regulated learning sebagai suatu proses dimana siswa mengaktifkan dan mendorong kognisi, perilaku, dan perasaan secara sistematis dan berorientasi pada pencapaian tujuan belajar. Eggen (2004) menambahkan bahwa siswa yang belajar dengan regulasi diri akan berpikir dan bertindak untuk mencapai tujuan pembelajaran akademik, dengan mengidentifikasi tujuan-tujuannya, menerapkan, dan

(2)

mempertahankan strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut, serta mengaktifkan, mengubah, dan mempertahankan cara belajarnya dalam lingkungan.

Strategi self regulated learning mengacu kepada tindakan dan proses yang terarah dalam memperoleh informasi dan keterampilan yang melibatkan persepsi siswa terhadap tujuan, dan bantuan yang digunakan. Siswa yang meregulasi diri dalam belajar akan memilih dan menggunakan strategi self regulated learning untuk mencapai hasil akademik yang diharapkan yang berdasarkan pada timbal balik dari keefektifan dan keterampilan belajar (Zimmerman, 1990).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa self regulated learningmerupakan suatu proses yang melibatkan kognisi, perilaku, dan perasaan individu dalam mencapai tujuan belajar.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi self regulated learning

Berdasarkan perspektif sosial kognitif yang dikemukakan Bandura (Zimmerman, 1989) bahwa self regulated learningditentukan oleh 3 faktor yakni faktor personal, perilaku dan lingkungan :

1) Faktor personal

Self regulated learning terjadi dimana siswa dapat menggunakan proses personal (kognitif) untuk mengatur perilaku dan lingkungan belajar di sekitarnya secara strategis. Faktor personal melibatkan self efficacy yang mengacu kepada penilaian individu terhadap kemampuannya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi hambatan dalam belajar. Persepsi

(3)

self-efficacy siswa tergantung kepada empat tipe yang mempengaruhi pribadi seseorang yaitu pengetahuan siswa, proses metakognitif, tujuan dan afeksi. Pengetahuan self regualated learning harus memiliki kualitas pengetahuan prosedural dan pengetahuan bersyarat. Pengatahuan prosedural mengacu kepada pengetahuan bagaimana menggunakan strategi, sedangkan pengetahuan bersyarat mengarah kepada pengetahuan kapan dan mengapa strategi tersebut berjalan efektif. Pengetahuan self regulated learning tidak hanya bergantung kepada pengetahuan siswa tetapi juga proses metakognitif pada pengambilan keputusan dan perfoma yang dihasilkan dengan melibatkan perencanaan atau analisis tugas yang berfungsi mengarahkan usaha dalam mengontrol belajar.

Pengambilan keputusan metakognitif tergantung juga kepada tujuan jangka panjang siswa dalam belajar. Tujuan merupakan kriteria yang digunakan siswa untuk memonitor mereka dalam belajar. Tujuan dan pemakaian proses metakognitif dipengaruhi oleh persepsi terhadap self efficacy dan afeksi. Afeksi mengacu kepada kemampuan mengatasi emosi yang timbul dalam diri meliputi kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola pikir dalam mencapai tujuan.

Menurut Cobb (2003), motivasi juga menjadi bagian dari diri individu. Motivasi dibutuhkan siswa untuk melaksanakan strategi yang akan mempengaruhi proses belajar. Siswa cenderung akan mengatur waktu secara efektif dan efisien apabila memiliki motivasi belajar. Motivasi instrinsik cenderung lebih memberikan hasil positif dalam belajar dan meraih prestasi

(4)

yang baik. Motivasi ini lebih kuat dan lebih stabil dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari luar (ekstrinsik).

Faktor personal melibatkan penggunaan strategi mengatur materi pelajaran (organizing & transforming), membuat rencana dan tujuan yang ingin dicapai (goal setting and planning), mencatat hal-hal penting (keeping record and monitoring), serta mengulang dan mengingat materi pelajaran (rehearsing and memorizing).

2) Faktor perilaku

Mengacu kepada kemampuan siswa dalam menggunakan strategi self-evaluationsehingga mendapatkan informasi tentang keakuratan dan mengecek kelanjutan dari hasil umpan balik. Perilaku siswa dalam berperilaku yang berhubungan dengan self regulated learning yaitu observasi diri (self observation), penilaian diri (self-judgment), dan reaksi diri (self-reaction). Komponen tersebut terdiri dari perilaku yang dapat diamati, dilatih dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut dikategorikan sebagai faktor perilaku yang mempengaruhi self regulated learning. Faktor perilaku ini melibatkan penggunaan strategi evaluasi terhadap diri (self-evaluation)dan konsekuensi terhadap diri (self-consequences).

3) Faktor lingkungan

Faktor lingkungan berinteraksi secara timbal balik dengan faktor personal dan perilaku. Mengacu kepada sikap proaktif siswa untuk menggunakan strategi pengubahan lingkungan belajar seperti penataan lingkungan belajar, mengurangi kebisingan, dan pencarian sumber belajar yang

(5)

relevan. Matsumoto (2008), menambahkan bahwa faktor budaya turut mempengaruhi penerapan self regulated learning. Nilai-nilai budaya yang dianut siswa akan berperan dalam menerapkan self regulated learning agar tercapainya tujuan belajar. Individu yang menerapkan self regulated learning biasanya menggunakan strategi mencari informasi (seeking information), mengatur lingkungan belajar (environmental structuring), mencari bantuan sosial (seeking social assistance), serta meninjau kembali catatan, tugas, atau tes sebelumnya dan buku pelajaran (review record).

Pemaparan di atas, menunjukkan bahwa selama proses self regulated learning berlangsung, ada tiga faktor yang dapat berpengaruh. Faktor-faktor tersebut adalah faktor personal, perilaku, dan lingkungan.

3. Strategi Self Regulated Learning

Zimmerman dan Martinez-Pons (Boerkarts, Pintrich, & Zeidner, 2000), mengembangkan sebuah struktur wawancara yang dilakukan pada siswa. dari wawancara tersebut dihasilkan 14 strategi belajar yang umumnya digunakan oleh seorang self regulated learner, sebagai berikut:

a. Evaluasi terhadap diri (Self evaluation)

Siswa memiliki inisiatif dalam melakukan evaluasi terhadap kualitas dan kemajuan belajarnya. Siswa memutuskan apakah hal-hal yang telah dipelajari mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Dalam hal ini siswa juga membandingkan informasi yang didapat melalui self monitoring dengan beberapa standar atau tujuan yang dimiliki.

(6)

b. Mengatur materi pelajaran(Organizing and transforming)

Siswa mengatur materi yang dipelajari dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas proses pembelajaran dan mengubah materi pelajaran menjadi lebih sederhana dan mudah dipelajari. Perilaku ini dapat bersifat covert dan overt. c. Mengatur dan merancang tujuan (Goal setting and planning)

Siswa mengatur tujuan-tujuan dari pembelajaran dan perencanaan terhadap pengerjaan tugas, bagaimana memanfaatkan waktu dan menyelesaikan tugas berkaitan dengan tujuan tersebut. Perencanaan akan membantu siswa untuk menemukan konflik dan meminimalisir tugas-tugas yang mendesak serta fokus pada hal-hal yang penting bagi perolehan kesuksesan jangkan panjang.

d. Mencari informasi (Seeking information)

Siswa memiliki inisiatif untuk mencari informasi diluar dirinya (nonsosial) ketika mengerjakan tugas ataupun ketika mempelajari suatu materi pelajaran. Strategi ini dilakukan dengan menetapkan informasi yang penting dan bagaimana cara mendapatkan informasi tersebut.

e. Mencatat hal-hal penting (Keeping records and monitoring)

Strategi ini dilakukan dengan mencatat hal-hal penting yang berhubungan dengan topik yang dipelajari, menyimpan hasil tes, tugas, maupun catatan yang telah dikerjakan.

f. Mengatur lingkungan belajar (Environmental structuring)

Siswa berusaha memilih dan mengatur lingkungan belajar dengan cara tertentu sehingga membantu mereka untuk belajar dengan lebih baik.

(7)

g. Konsekuensi terhadap diri (Self consequences)

Siswa mengatur dan menerapkan reward dan punishment dalam mengontrol hasil yang didapat dalam pengerjaan tugas maupun ujian.

h. Mengulang dan mengingat materi (Rehearsing and memorizing)

Siswa berusaha mempelajari materi pelajaran dan mengingat kembali bahan bacaan dengan perilaku overtdan covert.

i. Mencari bantuan teman sebaya(Seeking help from peers)

Siswa meminta bantuan kepada teman sebaya ketika menghadapi masalah berhubungan dengan tugas yang dikerjakan.

j. Mencari bantuan guru(Seeking help from teachers)

Siswa bertanya kepada guru di dalam atau pun di luar jam belajar untuk dapat membantu menyelesaikan tugas pembelajaran.

k. Mencari bantuan orang dewasa(Seeking help from adults)

Siswa meminta bantuan orang dewasa (seperti orangtua) yang berada di dalam dan di luar lingkungan belajar bila ada yang tidak dimengerti yang berhubungan dengan pelajaran.

l. Mengulang tugas atau tes sebelumnya (Review test)

Siswa mengulang pertanyaan-pertanyaan ujian terdahulu mengenai topik tertentu dan tugas yang telah dikerjakan dijadikan sumber informasi untuk belajar.

m. Mengulang catatan (Review notes)

Sebelum mengikuti ujian, siswa meninjau ulang catatan sehingga mengetahui topik apa saja yang akan di uji.

(8)

n. Meninjau buku pelajaran (Review textbook)

Membaca buku merupakan sumber informasi yang dijadikan pendukung catatan sebagai sarana belajar.

B. Etnis

1. Pengertian Etnis

Burkey mengungkapkan bahwa etnis merupakan kelompok manusia yang memiliki identitas budaya yang sama meliputi bahasa, tradisi, dan pola tingkah laku (Suryadinata, Arifin & Ananta, 2003). Etnis juga dapat ditentukan berdasarkan persamaan asal-usul yang merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan suatu ikatan. Wilbinson (dalam Koentjaraningrat, 2007) mengatakan bahwa pengertian etnis mencakup warna kulit, asal usul acuan kepercayaan, status kelompok minoritas, kelas stratafikasi, keanggotaan politik, dan program belajar.

Berdasarkan teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa etnis merupakan suatu kelompok manusia yang terikat berdasarkan persamaan identitas budaya berupa bahasa, tradisi, dan pola tingkah laku serta persamaam asal-usul berupa warna kulit, kepercayaan, dan status kelompok. Tabel 1 menunjukkan persentase sebaran etnis yang ada di Sumatera Utara (Suryadinata, Arifin & Ananta, 2003).

Tabel 1 Komposisi Etnis di Sumatera Utara Tahun 2000

No Etnis Persentase 1 Batak 41,95 2 Jawa 32,62 3 Lainnya 9,72 4 Nias 6,36 5 Melayu 4,92 6 Minangkabau 2,66 7 Banjar 0,97 8 Banten 0.42

(9)

Lanjutan Tabel 1 No Etnis Persentase 9 Sunda 0,27 10 Betawi 0,04 11 Bugis 0,03 12 Madura 0,02 Total 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa etnis yang terbanyak di Kota Medan adalah etnis Batak. Sedangkan, etnis lainnya termasuk etnis pendatang seperti India, Cina, dan Arab.

2. Etnis Batak

Kebudayaan Batak merupakan salah satu bagian dari sejarah kebudayaan bangsa Indonesia yang tertua di Sumatera khususnya dan di Indonesia pada umumnya (Junus, 1971). Tanah Batak adalah daerah pedalaman di Sumatera Utara dengan Danau Toba sebagai pusatnya. Etnis Batak khususnya terdiri dari sub etnis yaitu Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Toba, dan Batak Angkola Mandailing (Tambunan, 1982). Keunikan karakteristik dari etnis Batak tersebut tercermin dari kebudayaan yang dimiliki baik dari segi agama, mata pencarian, kesenian, dan lain sebagainya. Berdasarkan cerita-cerita suci orang Batak, semua sub-sub suku bangsa memiliki nenek moyang yang satu yaitu Siraja Batak yang tinggal di kaki gunung bukit, yang letaknya disebelah barat Danau Toba. Hal ini berarti orang Batak memiliki konsep bahwa alam beserta isinya diciptakan debata (Ompung) (Koenjtaraningrat, 2007).

Masyarakat Batak adalah salah satu masyarakat yang terus mempertahankan kelestariannya mengikuti garis keturunan bapa (patrilineal).

(10)

Setiap anggota masyarakat mengikuti marga turun-temurun. Marga adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal). Semua individu dari satu marga memakai nama identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecilnya, dan nama marga itu merupakan suatu pertanda bahwa orang-orang yang menggunakannya masih mempunyai kakek yang sama, dan ada satu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga sama terjalin oleh hubungan darah. Suku batak dalam kebudayaannya selalu memelihara kepribadian sendiri, rasa kekeluargaan tetap terjalin dengan baik, bukan saja terhadap keluarga dekat tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga (Tambunan, 1982).

Nilai yang dianut pada masyarakat Batak adalah nilai tentang pentingnya ikatan sosial, kekeluargaan, dan kekerabatan (Muhammad, 2011). Konsep dasar kebudayaan Batak adalah Dalihan Na Tolu yang dihayati sebagai sistem kognitif yang memberikan pedoman bagi orientasi setiap orang batak. Pada tahap selanjutnya, Dalihan Na Tolu adalah pengetahuan kolektif yang menentukan persepsi dan defenisi terhadap realitas. Etnis Batak memiliki falsafah hidup yang lebih dikenal dengan 3H yaitu Hamoraon (kekayaan), Hagabeon, (Menikah dan Keturunan) dan Hasangapon (Nama baik). Adapun jalan menuju tercapai kekayaan (hamoraon) dan kehormatan (hasangapon) adalah melalui pendidikan. Dalam hal pendidikan, keluarga etnis Batak dengan yang lainnya sangat berkompetisi dalam menyekolahkan anak-anaknya. Pola pengasuhan orangtua etnis Batak selalu mendorong pencapaian akademik pendidikan anak di bidang akademik, berupa dukungan, kontrol, dan kekuasaan, yang terlihat dari kebiasaan orangtua dalam mengarahkan kegiatan anak untuk mencapai prestasi. Orang tua

(11)

etnis Batak selalu menekankan falsafah hidup kepada anak-anaknya sehingga etnis Batak cenderung memiliki karakter pekerja keras, gigih, dan selalu berorientasi kedepan (Harahap, 1987).

Setiap orang tua etnis Batak memiliki peran dalam membangun pola pewarisan atau nilai-nilai yang memiliki investasi tersendiri dalam mendidik anak meliputi pemberian doa, nasehat, dan cara pengasuhan, dan modeling dari orangtua dalam bentuk perilaku nyata atau cerita. Pada umumnya, anak yang meraih keberhasilan mendapatkan penghargaan secara terbuka di lingkungan keluarga, gereja, dan kelompok masyarakat. Hal tersebut dengan sendirinya memberikan dampak positif bagi anak untuk menjunjung tinggi dan mengutamakan pendidikan. Keberhasilan suku etnis Batak secara umum tidak didukung oleh kehidupan ekonomi yang mencukupi, namun adanya kegigihan dan kerja keras serta mau berjuang untuk menyelesaikan pendidikan, merubah kehidupan, dan meraih kesuksesan di setiap proses kehidupan. Hal ini dijadikan semangat untuk meraih keberhasilan di bidang pendidikan. Selain itu, prinsip kehidupan orang Batak adalah kewajiban anak untuk patuh kepada orangtua. Dimana kewajiban anak terhadap orangtua baik sebelum maupun sesudah menikah harus tetap berbakti kepada orangtua. Secara kepribadian, orang Batak memiliki sikap dan pembawaan yang agak menonjol dan terkadang dominan dalam beragumentasi dan cenderung memaksakan kehendak dan ingin menang sendiri dalam tingkah laku yang seolah-olah menunjukkan sifat dan ciri khasnya. Begitu juga dengan hubungan sosial yang penting dalam keluarga sesuai dengan etika hubungan sosial saudara laki-laki terhadap saudara perempuan dan

(12)

hubungan suami istri. Kalau ketiga dasar fondasi hubungan dalam keluarga inti dan keluarga besar baik dan harmonis, maka hubungan sosial dalam masyarakat sekelilingnya akan lebih baik dan juga harmonis (Koenjataningrat, 2007).

3. Etnis India Tamil

a. Sejarah etnis India Tamil di Kota Medan

Etnis India Tamil di Indonesia merupakan kelompok etnis yang berasal dari Asia Selatan. Pada tahun 1863, perkebunan tembakau pertama dibuka di Tanah Deli. Pada saat itu, etnis Melayu yang merupakan penduduk asli di Tanah Deli tidak tertarik pada pekerjaan perkebunan sehingga buruh-buruh dari berbagai daerah dan bangsa seperti Cina, India, dan Pulau Jawa didatangkan dalam jumlah besar oleh pengusaha perkebunan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja (Bangkaru, 2001).

Kedatangan Etnis India Tamil dibawa oleh Belanda di awal pembangunan industri perkebunan. Etnis ini dijadikan sebagai buruh kasar dan harus bekerja dalam kondisi yang keras di tanah Deli. Ketika kontrak kerja mereka telah selesai dengan Belanda, sebagian orang Tamil dibawa kembali ke India. Namun, kebanyakan dari mereka tetap tinggal di Medan dan lainnya menyebar ke daerah-daerah lain yang ada di Sumatera Utara (Bangkaru, 2001).

Populasi India Tamil diperkirakan berjumlah 67.000 orang. Etnis ini telah tinggal di Medan lebih dari dua generasi bahkan juga tinggal berdampingan dan menikah dengan kelompok etnik lainnya serta telah berwarga negara Indonesia (Bangkaru, 2001). Dalam berhubungan dengan masyarakat luas, etnis India Tamil

(13)

memiliki falsafah hidup yakni “Yathum Ure, Yawerum Kellir” yang berarti bahwa etnis India Tamil harus saling menjaga budaya dan tingkah laku mereka dengan membina hubungan baik dan saling tolong menolong dengan masyarakat dimanapun mereka tinggal sehingga tidak menimbulkan perselisihan yang dapat mengurangi perasaan aman.

Kebanyakan etnis India Tamil bekerja di bidang perdagangan dan beberapa dari mereka juga bekerja menjadi kontraktor dan pegawai pemerintah walaupun dengan jumlah yang masih sedikit (Lubis, 2005). Beberapa isu diskriminasi muncul terhadap etnis India Tamil dimana mereka terkesan “dianaktirikan” oleh pemerintah daerah kota Medan yaitu sulitnya mencari akses lapangan kerja, pembuatan KTP, hingga masuk ke Perguruan Tinggi Negeri.

b. Kebudayaan etnis India Tamil

Etnis India Tamil merupakan kelompok etnis bangsa Dravida yang memiliki kebudayaan dari India Selatan (Nuriah, 1990). Kebanyakan etnis India Tamil memeluk agama Hindu, tetapi ada juga yang memeluk agama Islam, Kristen, Khatolik, dan Budha (Lausanne, 1989). Etnis India Tamil dapat dengan mudah dikenali dari ciri-ciri fisiknya seperti memiliki kulit yang berwarna hitam atau gelap, dengan jambang atau bulu dada, di samping memiliki gigi yang putih bersih dan juga hidung mancung, berkumis lebat merupakan ciri khas dari etnis India Tamil. Biasanya bagi perempuan Tamil ada ciri-ciri lain yaitu adanya tanda bulat yang diletakkan di dahi dengan warna seperti kuning, merah, hitam, biru, dan lain-lain yang disebut dengan potte(Nuriah, 1990).

(14)

Budaya India Tamil mengenal adanya 4 masa penting kehidupan yakni brachmacharya yang dimulai sejak individu lahir sampai usia 25 tahun, grhastha dari usia 26 tahun sampai dengan 50 tahun, sannaya yang dimulai dari usia 51 tahun sampai dengan 75 tahun, dan fase terakhir yakni vanaprastha yang dimulai dari usia 75 tahun keatas. Menurut fase ini, orang yang berada di bawah usia 25 tahun harus mencari pengetahuan untuk memperoleh kebenaran dan mampu mencapai atman yakni pengaturan diri yang baik (Loon & Laal, 2005).

Dalam kehidupannya sehari-hari, etnis India Tamil telah mengikuti kebiasaan lokal Indonesia pada umumnya, makan-makanan Melayu, Batak, Jawa, dan juga Tamil, serta menggunakan pakaian Indonesia sehingga mereka jarang memiliki konflik dengan etnis non India Tamil lainnya. Walaupun demikian, etnis India Tamil masih mempertahankan budaya dan adat istiadat mereka (Mani, 1993).

Etnis India Tamil memiliki berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat yang sampai sekarang masih dijalankan oleh etnis India Tamil di kota Medan maupun di kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti perayaan Adhi Tiruvilla (upacara tolak bala) dan Navaratri (penghormatan kepada tiga dewi yaitu Dewi Durga, Dewi Laksmi, dan Dewi Saraswathi) (Pina, 2010). Selain itu, etnis India Tamil juga dikenal dengan kesustertaan, yang dibagi ke dalam 3 kelas yakni aksara, musik, dan drama. Bahkan musik dan tarian menjadi suatu tradisi yang dilakukan dalam kegiatan ibadah (Pang & EK Sng, 1991).

Pada kebudayaan India, sifat yang paling kuat ialah susunan kasta. Sistem kasta ini telah ada sejak berabad –abad yang lalu, yang disebut Yati, sedangkan

(15)

sistemnya disebut Varna. Satu-satunya jalan untuk menjadi anggota yaitu melalui kelahiran atau keturunan. Kasta pada masyarakat India tersusun dari atas ke bawah, yaitu sebagai berikut :

a. Brahmana, yaitu kasta para pendeta agama Hindu, yang merupakan lapisan tertinggi pada masyarakat. Pendidikan bertujuan untuk menguasai kitab suci sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan yang universal.

b. Ksatria , yaitu kasta para bangsawan dan tentara. Pendidikan bertujuan untuk memiliki pengetahuan teoritis yang berkaitan denga pengaturan pemerintahan.

c. Waisya, yaitu kasta para pedagang. Kasta ini dianggap sebagai kelompok lapisan menengah pada masyarakat.

d. Sudra , yaitu kasta yang dimiliki oleh orang kebanyakan atau rakyat jelata. Pendidikan bertujuan agar individu memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup, sesuai dengan pekerjaan yang secara turun temurun misalnya keterampilan bercocok tanam, pelayaran, perdagangan, seni pahat dan sebagainya.

Individu yang berada pada lapisan bawah jarang memiliki cita –cita yang tinggi karena masyarakat akan melecehkannya atau terkadang keberhasilan yang ditempuh seseorang tidak diakui. Dengan demikian, kedudukan yang dimiliki setiap individu sebagai anggota masyarakat relatif bersifat permanen. Begitu pula hubungan yang dilakukan dengan sesama anggota masyarakat yang berlainan lapisan harus dibatasi sesuai dengan kedudukan sosial yang dimiliki. Sistem

(16)

lapisan sosial tertutup ini sering disebut sebagai sistem yang kaku atau ekstrim. Sebagai akibatnya, kemampuan pribadi tidak diperhitungkan dalam menentukan tinggi rendah kedudukan seseorang dalam masyarakat (Waluya, 2007).

Etnis India Tamil mempercayai ajaran Karmaphala atau hukum karma untuk mempertebal keyakinan agar tidak melakukan tingkah laku yang menyimpang. Ajaran ini mengajarkan tentang hubungan antara perbuatan atau tingkah laku manusia itu sendiri. Apabila berbuat jahat atau berfikiran jahat maka akibat buruk yang didapat dan sebaliknya apabila berbuat baik makan kebaikan yang akan didapat. Selain itu, Etnis India Tamil juga percaya bahwa keharmonisan diri dengan alam dan lingkungan sekitar merupakan bagian dari keagamaan yang harus dilaksanakan karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan tidak dapat hidup tanpa alam sekitar, jadi harus adanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan manusia dengan sesamanya (Nuriah, 1990).

Etnis India Tamil memiliki falsafah tersendiri dalam hal pendidikan yang berbunyi “kovil la lathe idettie kudi irukke vendham”, artinya jangan tinggal ditempat yang tidak ada madrasahnya. Kesadaran akan pendidikan menjadi ciri dan kecenderungan umum bagi etnis India Tamil. Pendidikan merupakan jembatan yang bisa mengatasi kemiskinan karena lewat pendidikan individu berpeluang melakukan mobilitas (Buana, 2007).

Etnis India mementingkan hal yang bersifat universal, mengecilkan arti individualitas, menganggap kepribadian manusia dari segi subjektif, tuntuk kepada hal universal, serta suka pada pemikiran introspektif dan metafisik (Habib, 2004). Etnis India cukup santai terhadap waktu dan ketepatan waktu, menjunjung

(17)

tinggi intuisi, sikap subjektif, sifat samar, sikap lepas dan mengupayakan penindasan keinginan (Bahm, 2003).

C. Profil SMK SWASTA RAKSANA 2

Pertama kali Yayasan Pendidikan Raksana didirikan pada tahun 1984 oleh Bapak S. Marimutu dan mulai menerima siswa pada tahun 1986. Yayasan Pendidikan Raksana berarti “AGUNG” merupakan yayasan yang turut membantu pemerintah dalam bidang pendidikan yang bersifat nasional tanpa membedakan latar belakang suku, agama, dan ras. Yayasan pendidikan raksana mengelola SMP, SMA, SMK-TI (STM), dan SMK-BM (SMEA) yang siswanya saat ini lebih kurang 3000 orang yang berasal dari hampir semua Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara dan Provinsi lain seperti Nangro Aceh Darussalam dan Provinsi Riau. Saat ini siswa yayasan pendidikan raksana terdiri dari 75% beragama Islam, 20% beragama Kristen dan 5% beragama Hindu dan Budha.

Awalnya pada tahun 2004, SMK Swasta Raksana 2 bernama SMK-BM yang memiliki 5 kompetensi keahlian yaitu adminstrasi perkantoran, akuntansi, rekayasa perangkat lunak, usaha perjalanan wisata, dan akomodasi perhotelan. Kemudian, pada tahun 2012 nama sekolah tersebut berganti menjadi SMK Swasta Raksana 2. Adapaun visi sekolah ini adalah terwujudnya SMK swasta raksana 2 sebagai lembaga pendidikan dan pelatihan yang menyelenggarakan sistem pembelajaran berstandar nasional yang unggul, dalam rangka mencapai standar internasional. Untuk mewujudkan visinya, terdapat beberapa misi sekolah, antara lain: 1) Menyiapkan peserta didik mampu berkomunikasi dalam

(18)

bahasa inggris dan terampil dibidang keahliannya masing-masing yang berbasis kompetensi. 2) Mengembangkan sumberdaya yang lebih profesional sesuai kompetensi keahliannya masing-masing. 3) Mengubah tamatan dari beban menjadi asset (tamat melamat pekerjaan menjadi tamat di lamar pekerjaan).

SMK Swasta Raksana 2 memiliki keunggulan untuk menjadikan siswa berbudi pekerti luhur, kompeten di bidang keahliannya masing-masing, cakap dan terampil, berkperibadian, mampu berkomunikasi dengan baik, cerdas dan kompetitif, serta mampu bersaing.

SMK Swasta Raksana 2 sangat mengutamakan kedisiplinan dalam mendidik siswa dan juga pencapaian prestasi. Dalam bidang prestasi, SMK Swasta Raksana 2 sudah meraih cukup banyak penghargaan khususnya dalam bidang seni dan juga perlombaan Bahasa Inggris. Adapun kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ini adalah Palang Merah Remaja, pencinta alam, kesenian, olahraga, dan pramuka.

D. Perbedaan Self Regulated Learning pada siswa etnis Batak dan siswa etnis India Tamil di SMK Swasta Raksana 2.

Kebudayaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi self regulated learning. Turingan (2009) mengungkapkan bahwa nilai budaya terhadap pendidikan yang dianut individu akan berpengaruh terhadap self regulataed learning. Hal ini disebabkan karena budaya akan mengarahkan individu dalam berpikir dan berperilaku. Trommsdorff & Friedlmeier (2010) juga menambahkan

(19)

bahwa budaya mempengaruhi keyakinan dan perilaku individu dalam kehidupan sosial, dan berdampak pada perkembangan regulasi diri individu.

Etnis Batak merupakan salah satu etnis asli Indonesia. Etnis Batak menempuh kebudayaan menurut kepribadiannya sendiri dan adanya perubahan zaman tidak mempengaruhi kepribadian tersebut karena etnis Batak di kota pun tetap berpegang teguh kepada filsafat leluhur (Kartika, 2004). Etnis Batak menganut nilai-nilai budaya akan pentingnya pendidikan. Falsafah hidup etnis Batak lebih dikenal dengan 3H yaitu Hamoraon (kekayaan), Hagabeon, (menikah dan keturunan) dan Hasangapon (kehormatan). Adapun jalan menuju tercapai kekayaan (hamoraon) dan kehormatan (hasangapon) adalah melalui pendidikan sehingga keluarga etnis Batak dengan yang lainnya sangat berkompetisi dalam menyekolahkan anak-anaknya (Koentjaraningrat,2007). Orang tua etnis Batak selalu menekankan falsafah hidup yang dianut kepada anak-anaknya sehingga etnis Batak cenderung memiliki karakter pekerja keras, berani, gigih, dan selalu berorientasi kedepan (Harahap, 1987). Menurut Nurmi (1991) bahwa adanya orientasi ke depan menunjukkan siswa etnis Batak mampu mengevaluasi diri, membuat pengaturan dan perencanaan tujuan dalam proses belajar, serta mengatur strategi dan waktu belajar. Hal ini menunjukkan bahwa individu mampu melakukan pengaturan diri dalam belajar.

Selanjutnya, etnis India Tamil merupakan etnis pendatang dari India Selatan dan merupakan etnis India terbesar di kota Medan (Waspada, Juni 2011). Etnis India Tamil memiliki falsafah yang berbunyi kovil la lathe idettie kudi irukke vendham”, berarti individu etnis India Tamil dituntut untuk tetap

(20)

mengutamakan pendidikan dimanapun berada. Etnis India Tamil meyakini bahwa pendidikan menjadi jembatan yang bisa mengatasi kemiskinan karena lewat pendidikan individu berpeluang melakukan mobilitas (Buana, 2007). Walaupun pendidikan juga menjadi hal yang penting bagi etnis India Tamil, namun keinginan untuk sukses tidak sama dengan etnis Batak. Pada umumnya, etnis Tamil memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan hanya sedikit dari mereka yang memiliki pendidikan formal (Florence, 2008).

Latar belakang budaya tempat seseorang dibesarkan juga turut mempengaruhi motivasi individu yang dapat mendukung self regulated learning seseorang dalam proses belajar. Jika individu dibesarkan dalam budaya yang menekankan pada pentingnya keuletan, kerja keras, sikap inisiatif dan kompetitif, serta suasana yang selalu mendorong individu untuk memecahkan masalah secara mandiri tanpa dihantui perasaan takut gagal, maka akan berkembang hasrat untuk mengatur diri dengan baik sehingga tercapai keberhasilan (Hill & Shelton dalam Martaniah,1998). Cobb (2003) mengungkapkan bahwa motivasi yang dimiliki siswa secara positif berhubungan dengan self regulated learning. Siswa yang memiliki motivasi akan mengerjakan tugas karena memaknai pembelajaran tersebut, serta memahami manfaat pembelajaran sehingga setiap tindakan dan pilihannya ditentukan oleh dirinya sendiri dan tidak melibatkan kontrol dari orang lain (Woolfolk, 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Irmawati (2004) bahwa anak suku Batak memiliki motivasi intrinsik dalam belajar dan mencapai prestasi akademik.

(21)

Pada etnis India Tamil, sistem kasta merupakan salah satu bagian dari budaya Hindu yang membentuk nilai-nilai dan keyakinan individu (Audretsch dan Meyer, 2009). Etnis India Tamil termasuk ke dalam kasta sudra, yaitu golongan kasta terendah. Penelitian Hoff dan Pandey (2008) mengenai prestasi siswa di India menunjukkan adanya perbedaan motivasi antara siswa yang berasal dari kasta tinggi dan kasta rendah, bahwa siswa dari kasta rendah memiliki motivasi yang lebih rendah dalam belajar. Individu kasta rendah cenderung merasa tidak mampu dan tidak berani dalam menghadapi sesuatu. Hal ini menyebabkan etnis India Tamil motivasi yang rendah sehingga kurang mampu melakukan pengaturan diri dengan baik. Cobb (2003) menambahkan bahwa individu yang menilai dirinya mampu melakukan suatu tugas, tujuan atau hambatan akan dapat meningkatkan penggunaan kognitif dan strategi self regulated learning.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Xu (2010) menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dalam proses belajar akan dapat mendukung self regulated learning siswa sehingga dicapai prestasi belajar yang baik. Irmawati (2004) mengungkapkan bahwa pola pengasuhan orang tua Batak cenderung mendorong pencapaian akademik anak dibidang pendidikan, berupa dukungan, kontrol, dan kekuasaan, yang terlihat dari kebiasaan orangtua dalam mengarahkan kegiatan anak pada pencapaian prestasi tertentu. Pada etnis India Tamil, orang tua kurang memotivasi anaknya dalam mencapai kesuksesan akademik di sekolah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vellymalay (2012) mengenai keterlibatan orangtua dan pencapaian akademik siswa india tamil bahwa orangtua etnis India Tamil kurang memberikan dukungan dan mengarahkan anak ketika

(22)

menghadapi kesulitan dalam pembelajaran dan membantu persiapan menghadapi ujian di sekolah. Hal ini dapat mempengaruhi anak untuk mencapai prestasi akademik yang baik di sekolah.

Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas dapat diasumsikan bahwa terdapat perbedaan self regulated learning pada siswa etnis Batak dan siswa etnis India Tamil di SMK Swasta Raksana 2.

E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan landasan teori yang dikemukakan sebelumnya maka hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan self regulated learning pada siswa etnis Batak dan siswa Etnis India Tamil di SMK Swasta Raksana 2.

Gambar

Tabel 1 Komposisi Etnis  di  Sumatera Utara Tahun 2000
Tabel di  atas  menunjukkan  bahwa  etnis  yang  terbanyak  di  Kota  Medan  adalah  etnis  Batak

Referensi

Dokumen terkait

“kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

*Alat Peraga Pendidikan *Elektrikal Mekanikal *Komputer *Laboratorium *Percetakanb. DAFTAR HARGA ALAT PERAGA

D alam upaya membuka kembali akses pasar ekspor buah manggis ke RRT, Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati didampingi oleh Kepala Balai

Dari nilai pada Tabel 3 dan Gambar 8 dike- tahui bahwa penggunaan katalis dalam proses deko- lorisasi fotokatalitik, baik mikropartikel TiO 2 mau- pun ZnO secara individual pada

Kontrol kontekstual dan proses regulasi melibatkan upaya oleh mengontrol atau menyusun lingkungan dengan cara yang memfasilitasi tujuan dan penyelesaian tugas dalam self

Kegiatan LDBI ini diikuti oelh perwakilan peserta didik terbaik dari 34 provinsi yang ada Indonesia, dimana setiap tim akan terdiri dari 3 orang peserta didik SMA.. Sehubungan

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa guru kurang maksimal dalam menjelaskan kembali semua materi yang diberikan, siswa kurang memperhatikan dan menanggapi

Analisis Aktivitas Antioksidan dengan metode DPPH .... Penilaian