• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA MEMACU PENINGKATAN POPULASI SAPI POTONG MELALUI PELAK- SANAAN INSEMINASI BUATAN DI DAERAH CIAMIS JAWA BARAT ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UPAYA MEMACU PENINGKATAN POPULASI SAPI POTONG MELALUI PELAK- SANAAN INSEMINASI BUATAN DI DAERAH CIAMIS JAWA BARAT ABSTRAK"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA MEMACU PENINGKATAN POPULASI SAPI POTONG MELALUI

PELAK-SANAAN INSEMINASI BUATAN DI DAERAH CIAMIS JAWA BARAT

Pusat Penelitian dan Pengembangan PetemakanI, Jalan Raya Pajajaran, Bogor 16151 Sub Balai Penelitian Temak Gowa2, P.O.Box 1285 Ujung Pandang

Penelitian mengenai upaya memacu peningkatan populasi sapi potong melalui pelaksanaan inseminasi buatan (IB), telah dilakukan di daerah Ciamis, Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada usahatemak sapi potong yang berada di dua lokasi, mating-masing di Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Cijulang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada kepadatan populasi sapi potong dan intensifikasi pelaksanaan inseminasi buatan. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survai dan menetapkan secara purposive sebanyak 22 usaha temak sapi potong sebagai responden di tiap lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi inseminasi buatan sudah lama dikenal petemak sapi khususnya, namun masih banyak petemak di lokasi penelitian yang belum begitu paham terhadap manfaat pelaksanaan inseminasi buatan dibandingkan dengan kawin alam. Melihat kepada parameter-parameter reproduksi di kedua lokasi penelitian masih diperlukan upaya untuk mengoptimalkan jarak beranak dari sapi-- sapi potong yang dipelihara petemak. Optimalisasi yang dapat dilakukan adalah berupa mempersingkat waktu mengawinkan sapi- sapi induk dari rata-rata 120,4 hari menjadi sekitar 60 hari setelah beranak. Penyingkatan waktu mengawinkan tersebut akan dapat memperpendek jarak beranak dari rata-rata 444,0 hari menjadi 387,8 hari. Akibat perpendekanjarak beranak itu diharapkan akan dapat meningkatkan jumlah kelahiran pedet sapi dari 36,0 % padatahun 1992/1993 menjadi 41,2 % atau lebih pada tahun-tahun mendatang.

INCREASING THE BEEF CATTLE POPULATION THROUGH THE ARTIFICIAL

INSEMINATION IN CIAMIS, WEST JAVA

A research on the application ofartificial insemination technology (AI) on beefcattle was conducted in Pangandaran and Cijulang subdistricts, Ciamis district ofWest Java. The selection ofresearch sites were based on dense population of beefcattle and intensity ofAT application. Proposive sampling was selected for 22 respondents in each site. Results ofthe study showedthatAI technology has been widely used by the farmers, however some farmer in research location haven't been known beneficial ofAl compared to the nature mating. The reproduction parameters data shows that the population ofbeefcattle in Ciamis region can be increased by optimize the calving interval. The optimation can be done by reducing the time of mating after giving a birth from 120,4 days to 60 days. Reducing the time of mating can shorten calving interval from 444 days to 387,8 days. The shorten ofcalving interval resulting are increase of calving birth from 36 % in year 1992/1993 to 41,2 % in the coming years.

PENDAHULUAN

Inseminasi Buatan (IB) atau lebih dikenal dengan istilah kawin suntik, merupakan teknik mengawinkan ter-nak yang sudah lama diadopsi di Indonesia. Pada tahun 1952, Balai Penelitian Peternakan di Bogor sudah melak-sanakan IB khusus pada sapi-sapi perah yang dipeliha-ranya. Pada periode tahun 1966-1969, Fakultas Kedokteran Hewan IPB sudah mengintensifkan pelak-sanaan IB pads sapi-sapi perah di daerah Pangalengan, Jawa Barat. Namun pelaksanaan IB dapat dikatakan mulai berkembang semenjak dimulainya penggunaan semen beku pada sapi-sapi perah di daerah Bogor dan sekitarnya oleh Lembaga Penelitian Peternakan pada tahun 1972 (Siregar, 1977 dan Sitorus, 1973). Kemudian pada awal 1973, Direktorat Jenderal Peternakan terutama setelah mendapat bantuan semen beku dari Selandia Baru, mulai mengintensifkan dan menyebarluaskan pelaksnaaan IB pada sapi perah maupun sapi potong ke beberapa daerah di Jawa termasuk di daerah Ciamis, Jawa Barat. Dewasa

Sori B . Siregarl, Surya Natal Tambing2 dan P. Sitorusl

ABSTRAK

ABSTRACT

ini kebutuhan semen bekuuntuk pelaksanaan IB pads sapi perah dan sapi potong sudah dapat dipasok dari Balai Inseminasi Buatan Lembang dan Singosari.

Ciamis merupakan daerah pemeliharaan sapi potong yang terpadat di wilayah Jawa Barat setelah Sumedang (Dinas Peternakan Dati I Jawa Barat, 1993). Populasi sapi potong di daerah Ciamis pada tahun 1988 berjumlah 23 .519 ekor pada tahun 1993 meningkat menjadi 26.821 ekor atau meningkat dengan rata-rata 2,8 % per tahun (Dinas Peternakan Dati II Ciamis, 1993).

Dalam upaya memacu peningkatan produksi peter-nakan di daerah Ciamis pada Pelita VI telah digariskan bahwa salah satukegiatan yang akan ditempuh khususnya pada sapi potong adalah intensifikasi pelaksanaan IB (Di-nas Peternakan Dati II Ciamis, 1993). IB dilaksanakan pada wilayah-wilayah konsentrasi pemeliharaan sapi po-1.'ong yang meliputi wilayah Pangandaran, Cijulang dan Padaherang. Pelaksanaan IB di wilayah-wilayah tersebut terutama diarahkan pada peningkatan populasi sapi po-tong di samping perbaikan mutu genetiknya. Namun

(2)

penelitian ini hanya ditujukan untuk memacu peningkatan populasi sapi potong di wilayah Pangandaran dan Ciju-lang melalui peningkatan reproduktivitas.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan padausahaternak sapi potong di dua lokasi, masing-masing Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Cijulang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada kepadatan populasi sapi potong dan intensifikasi pelaksanaan IB. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survai dan menetapkan secara purposive sebanyak 22 usaha ternak sapi potong sebagai responden di tiap lokasi penelitian.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengamatan yang hasilnya dituangkan ke dalam daftar isian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data primer yang dikumpulkan mencakup tanggapan responden ter-hadap pelaksanaan IB, pengetahuan responden terter-hadap tanda-tanda birahi dan parameter-parameter reproduksi yang mengacu pada peningkatan populasi sapi di lokasi penelitian. Di samping data primer, dikumpulkan pula data sekunder terutama dari Dinas Peternakan.

Analisa data dilakukan secara deskriptif dan untuk melihat sejauhmana perbedaan parameter yang diukur antara satu lokasi dengan lokasi lainnya, dilakukan pe ngujian dengan menggunakan "comparison of unequal size" (Snedecor dan Cochran, 1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi daerah penelitian

Daerah Tingkat II Kabupaten Ciamis terletak di Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 255.675 ha atau sekitar 5,9 % dari luas keseluruhan wilayah Jawa Barat (Direktorat Jenderal Peternakan, 1992 dan Dinas Peter-nakanDati II Ciamis,1993). Tataguna lahan menunjukkan bagian terbesar dari penggunaan lahan adalah berupa la-han kebun campuran (40,0%) dan persawala-han (19,6 %).

Sebagian besar atau sekitar 74,9 % dari penduduk yang berjumlah 1 .459.377 jiwa pada tahun 1992, hidup pada sektor pertanian termasuk sub sektor peternakan (Dinas Peternakan Dati II Ciamis, 1993). Ternak yang banyak dipelihara dilihat dari animal unit (AU) berturut-turut adalah ayam buras dan ayam ras pedaging (Tabel 1). Dalam perhitunganjumlah populasi ternak ke dalam animal unti (AU), keseluruhan ternak dianggap dewasa dengan ketentuan kerbau = 1,15 AU, sapi = 1,0 AU, kuda = 0,8 AU, kambing = 0,16 AU, domba = 0,14 AU, ayam dan itik = 0,02 AU (Dinas Peternakan Dati I Jawa Timur,

1989).

32

SORI B. SIREGAR dkk. Upaya Memacu Peningkatan Populasi Sapi Potong

TABEL 1. JUMLAH DAN JENIS TERNAK YANG DIPELIHARA TAHUN 1993

Sumber data : Dinas Petemakan Dati II Ciamis (1993).

Walaupun populasi sapi potong di daerah Ciamis hanya sekitar 9,2 % dari jumlah keseluruhan ternak, na-mun daerah Ciamis merupakan pemelihara sapi potong kedua terpadat di wilayah Jawa Barat setelah Sumedang (Dinas Peternakan Dati I Jawa Barat, 1993). Jenis sapi potong yang dipelihara umumnya adalah sapi Peranakan Ongole, di samping sapi Bali dan sapi lainnya yang tidak jelas identitasnya. Sapi-sapi potongtersebut tersebar ham-pir di seluruh kepamatan dengan konsentrasi terpadat ter-dapat di Kecamatan-Kecamatan Pangandaran (17,4 %), Rancah (15,8 %) dan Cijulang (15,5 %). Ketigakepamatan tersebut merupakan wilayah intensifikasi pelaksanaan IB di daerah Ciamis.

Pangandaran dan Cijulang merupakan dua wilayah pelaksanaan IB di daerah Ciamis yang mempunyai agroekosistem yang berbeda. Pangandaran merupakan daerah pantai dan daerah wisata yang sebagian besar pen-duduknya adalah nelayan. Sedangkan Cijulang yang ber-jarak sekitar 60 km dari kota Kecamatan Pangandaran adalah lahan kering dan sebagian besar penduduknya adalah petani. Baik di Kecamatan Pangandaran maupun di Kecamatan Cijulang, memelihara sapi potong adalah se-bagai usaha sambilan.

Tanggapan peternak terhadap pelaksanaan IB Walaupun pelaksanaan IB sudah relatiflama dikenal terutama oleh para peternak sapi, namun masih banyak di antara peternak yang belum paham benar tentang manfaat IB dibandingkan dengan kawin alam. Hal ini terungkap dari sejumlah jawaban peternak responden terhadap per-tanyaan-pertanyaan alasan penggunaan IB dalam me-ngawinkan sapi-sapinya (Tabel 2).

Jenis temak Jumlah

ekor temak AU Persentase dari AU (%) 1 . Ayam buras 4.904.539 98.090,8 33,6 2. Ayam pedaging 3.307.725 66.154,5 22,7 3. Kerbau 29.033 33 .387,9 11,4 4. Kambing 212.475 33.996,0 11,7 5. Domba 25.827 29.746,5 10,2 6. Sapi potong 26.821 26.821,0 9,2 7.Itik 90.776 1.815,5 0,6 8. Ayam petelur 72.082 1.441,6 0,5 9. Kuda 410 328,00 0,1 Jumlah 8.669.688 291.781,8 100,0

(3)

TABEL 2. ALASAN PENGGUNAAN IB BERDASARKAN JA-WABAN RESPONDEN

Dari Tabel 2 terlihat, bahwa sebagian besar respon-den di lokasi Cijulang sudah paham mengenai manfaat IB dibandingkan dengan kawin alam. Hal inididasarkan pada jawaban responden yang sebagian besar atau 69,2 % dari keseluruhan jawaban yang mengatakan, bahwa turunan hasil IB lebih baik dibandingkan dengan kawin alam. Sedangkan di lokasi Pangandaran sebagian besar atau 44,0 % dari jawaban mengutarakan, bahwa menerima IB adalah disebabkan oleh ketiadaan pejantan dan tidak adanya pilihan lain. Hal ini kemungkinan besar dise-babkan oleh masih kurangnya introduksi penggunaan IB dan kurang intensifnya penyulnhan yang dilakukan di lokasi tersebut.

Salah satu keunggulan IB dibandingkan dengan kawin alam adalah perbaikan potensi genetik, sehingga turunannya lebih baik. Hal ini karena semen-semen yang digunakan dalam pelaksanaan IB adalah dari pejantan-pejantan sapi bangsa sapi pedaging yang telah teruji ke-unggulan produktivitasnya.

Dari jawaban responden yang diperoleh di lokasi penelitian Pangandaran menunjukkan, bahwa di lokasi itu masih perlu dilakukan penyuluhan kepada para peternak tentang manfaat pelaksanaan IB baik dari segi operasion-alnya maupun sasarannya. Hal ini dimaksudkan agar pe-ternak sapi potong khususnya lebih paham mengenai pelaksanaan IB dan dapat berperan aktif. Peran aktif ini sangat diharapkan terutama dalam pengenalan birahi sapi-sapinya dan melaporkannya kepada inseminator, se-hingga inseminasi dapat dilakukan tepat pada waktunya. Pengenalan birahi secara benar dan menginseminasi tepat pada waktunya akan memberi peluang yang lebih besar dalam mencapai kebuntingan .

Dari tanpa-tanda birahi yang ditanyakan kepada re-sponden berupa resah atau gelisah, menaiki sapi-sapi lain-nya, n.afsu makan menurun, vagina merah dan membengkak serta keluarnya cairan putih kental dari va-gina, hanya sebagian kecil peternak yang belum mema-haminya secara benar. Hal ini terungkap dari sejumlah jawaban responden bahwa 87,9 % darijawaban responden

Jurnal PenelinanNo. 2, Pebruari 1995

di lokasi Pangandaran sudah mengetahui tanpa-tanda sapi birahi. Sedangkan di lokasi Cijulang ternyata 100 % dari jawaban responden sudah mengetahui tanpa-tanda sapi birahi secara benar dan tepat.

Pelaksanaan IB dalam memacu peningkatan popu-Iasi sapi potong

Pelaksanaan IB pada sapi potong khususnya akan dapat memacu peningkatan populasi apabila angka ke-buntingan yang tinggi dapat dicapai, angka kematian da pat ditekan danjarak beranak optimal dari sapi-sapi induk dapat dicapai. Jarak beranak yang optimal akan dapat dicapai dengan mengawinkan sapi-sapi induk tepat wak-tunya tanpa menimbulkan efek-efek negatifterhadap alat-alat reproduksi. Sesudah melahirkan sapi-sapi induk memerlukan waktu untuk memulai lagi suatu siklus nor-mal untukkebuntingan baru. Uterus harus kembali kepada ukuran dan posisi semula yang dikenal dengan involusi. Waktu yang diperlukan untuk involusi pada sapi berkisar antara 30 - 50 hari (Toelihere, 1981). Namun demikian sebaiknya sapi potong mulai dapat dikawinkan sekitar 40 - 60 hari setelah beranak. Dalam hubungan ini gambaran parameter reproduksi dari sapi-sapi induk di kedua lokasi penelitian di daerah Ciamis diperlihatkan pada Tabe13.

Dari Tabel 3 terlihat adanya perbedaan parameter reproduksi, kecuali lama kebuntingan di kedua lokasi penelitian. Dalam hal ini terlihat saat mulai dikawinkan kembali setelah beranak dan jarak beranak di lokasi Ciju-lang adalah lebih lama dibandingkan dengan di lokasi Pangandaran (P < 0,05). Namun kawin per bunting di lokasi Cijulang adalah lebih rendah dibandingkan dengan di lokasi Pangandaran (P< 0,05). Sedangkan lama kebun-tingan di antara kedua lokasi, tidak terdapat perbedaan yang nyata ( P > 0,05).

TABEL 3. PARAMETER REPRODUKSI SAPI POTONG DI KEDUA LOKASI PENELITIAN

Keterangan: huruf yang berbeda pada baris yang sama, menunjukkan perbedaan yang nyata (P,05).

Saat dikawinkan kembali setelah beranak yang lebih lama di lokasi Cijulang-dibandingkan di lokasi Pangan-daran belum diketahui secara pasti. Namun besar ke mungkinan disebabkan oleh kurangnya infotmasi yang

Uraian Lokasi penelitian

Pangandaran Cijulang 1. Saat dikawinkan kembali

setelah beranak (hari) 105,9 + 37,5° 134,8 +35,76 2. Kawin per bunting (kali) 2,1 + 1,08 1,5 + 0,56 3. Lama kebuntingan (hari) 284,6 + 3,28 287,0 + 1,38 4. Jarak beranak (hari) 434,6 + 60,48 453,3 +567b Persentase jawaban responden

Alasan penggunaan IB di tiap lokasi Pangandaran

(n=50)

penelitian (%) Cijulang

(n=39)

l. Tidak ada pejantan 44,0 25,6

2. Tidak ada pilihan 6,0 2,6

3. Biayanya lebih murah 6,0 2,6

4. Kemudahan pelayanan 6,0 0,0

5. Hasil turunannya lebih baik 38,0 69,0

(4)

diberikan kepada para peternak kapan seharusnya sapi-sapi yang dipeliharanya mulai dikawinkan. Akan tetapi dalam pengenalan birahi sapi, para peternak di lokasi Cijulang umumnya lebih paham dari para peternak di lokasi Pangandaran clan ini mengakibatkan angka kawin per bunting yang lebih kecil di Cijulang dibandingkan di lokasi Pangandaran. Walaupun kawin per bunting yang lebih kecil, namun dengan saat mulai dikawinkan yang lebih lama di lokasi Cijulang, menyebabkanjarak beranak yang lebih lama di lokasi Cijulang dibandingkan di lokasi

Pangandaran.

Melihat kepada parameter-parameter reproduksi sapi potong di kedua lokasi penelitian sebagaimana diutarakan di atas, dapat dinyatakan masih adanya peluang untuk memacu peningkatan populasi sapi potong di daerah Ciamis. Upaya yang clapat dilakukan adalah:

1. Optimalisasi jarak beranak

2. Memperkecil angka kawin per bunting

34

SORT B. SIREGAR dkk: Upaya Memacu Peningkatan Populasi Sapi Potong

Lama kebuntingan pada ternak sapi pada prinsip-nya tidak dapat disingkatkan karena dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin anak yang dikandung, frekuensi melahirkan clan musim kelahiran (Salisbury dkk., 1978). Namun jarak beranak masih dapat dioptimal-kan yakni dengan mempersingkat waktu saat sapi-sapi induk dikawinkan setelah beranak. Dalam hubungan ini scat mulai dikawinkan setelah beranak dari sekitar 105,9-134,8 hari atau rata-rata 120,4 hari (Tabel 3) dapat dipersingkat menjadi 60 hari setelah beranak. Hal ini dapat dilakukan dengan menggu-nakan semen yang berkualitas baik, pengenalan birahi yang akurat clan saat menginseminasi yang tepat.

Mempersingkat waktu saat mulai dikawinkan pertama setelah beranak, harus diikuti dengan upaya memperkecil angka kawin per bunting. Angka ini hen daknyajangan lebih dari dua kali. Peluang untuk men-dapatkan angka kawin per bunting ticlak lebih dari dua kali adalah memungkinkan. Hal ini didasarkan atas hasil yang dicapai di lokasi penelitian Cijulang seba-gaimana terlihat pada Tabel 3. Untuk mendapatkan angka kawin per bunting yang lebih kecil adalah de-ngan mengawinkan sapi-sapi induk tepat pada wak-tunya, kualitas semen yang baik clan betina yang sehat serta keterampilan inseminator.

Berdasarkan jawaban yang dipantau dari respon-den teruyata, bahwa rata-rata inseminasi dilakukan di lokasi pangandaran (n = 26) adalah 4,0 jam clan di lokasi Cijulang (n = 20) adalah 3,0 jam setelah tanda-tanda birahi kelihatan. Padahal inseminasi yang paling tepat dilakukan adalah sekitar 9 - 24jam setelah tanda-tanda birahi pertama terlihat atau waktu optimum untuk inseminasi adalah pada saat pertengahan sampai akhir birahi (Toelihere, 1981). Selain itu perlu dijamin

clan disingkatkan kualitas semen yang akan diinsemi-nasikan, clan betina-betinayang telah diinseminasi tiga kali, tetapi ticlak bunting perlu diperiksa kesehatan reproduksinya.

Apabila saat mulai dikawinkan setelah beranak dari sekitar 105,9 - 134,8 hari atau rata-rata 120,4 hari menjadi 60 hari, frekuensi kawin per bunting dua kali clan lama kebuntingan sekitar 284,6 - 287,0 hari atau rata-rata 285,8 hari, maka jarak beranak akan dapat dipersingkat dari sekitar 434,6 - 453,3 hari atau rata-rata 444,0 hari menjadi 387,8 hari. Optimalisasi jarak beranak ini diharapkan akan dapat meningkatkanjum-lah kemeningkatkanjum-lahiran peclet sapi potong dari 36,0 % pada tahun 1992/1993 menjadi sekitar 41,2 % atau lebih pada tahun-tahun mendatang. Persentase kelahiran pedet sapi potong di daerah Ciamis pada tahun 1992/1993 adalah 36,0 % (Dinas Peternakan Dati II Ciamis, 1993 adalah 36,0 % (Dinas Peternakan Dati II Ciamis, 1993 . Peningkatan jumlah kelahiran peclet akan memacu peningkatan populasi sapi potong di daerah Ciamis dengan rataan angka kematian clapat ditekan semini-mal mungkin.

KESIMPULAN

1. Dalam upaya memacu peningkatan populasi sapi po-tong melalui pelaksanaan IB di daerah Ciamis, masih diperlukan penyuluhan- penyuluhan yang intensif mengenai pelaksanaan IB clan sasarannya, agar peter-nak secara keseluruhan dapat berperan aktif.

2. Demikian pula mengenai tanda-tanda sapi birahi masih perlu diberi penyuluhan, mengingat masih ter-dapatnya sejumlah peternak yang belum memahami betul tanda-tanda birahi.

3. Saat mulai dikawinkan pertama dari sapi-sapi induk masih memungkinkan untuk diperpenclek dari rata-rata 120,4 hari menjadi 60 hari clan hal ini akan berakibat pada perpendekan jarak beranak. Dengan demikian diharapkan akan dapat meningkatkan jum-lah kejum-lahiran pedet dari 36,0 % pada tahun 1992/ 1993 menjadi 41,2 % pada tahun-tahun menclatang. 4. Peningkatan jumlah kelahiran peclet akan memacu

peningkatan populasi sapi potong di daerah Ciamis dengan catatan angka kematian clapat ditekan semini-mal mungkin . Demikian juga pertambahan berat badan melalui penggunaan semen dari pejantan yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Petemakan Dati I Jawa Timur. 1989. Buku Statistik. Dinas Peter-nakan Daerah Tingkat I Jawa Timur, Surabaya.

Direktorat Jenderal Peiemakan. 1992. Buku Statistik Peternakan . Direk-torat Bina Program, DirekDirek-torat Jenderal Peternakan, Jakarta.

(5)

Dinas Petemakan Dati I Jawa Barat. 1993. Laporan Dinas Petemakan Daerah Tingkat I Jawa Barat, Bandung.

Dinas Petemakan Dati 11 Ciamis. 1993. Laporan Dinas Petemakan Daerah Tingkat It Kabupaten Ciamis, Ciamis.

Salisbury, G.W., N.L. Van Demark dan J.R. Lodge. 1978.Physiology of Reproductionk andArtificial Insemination ofCattle. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.

Siregar, S.B. dan P. Sitorus . 1977. Pertumbuhan dan produksi susu dari F1 "Grading-Up" sapi perah Friesian dengan semen beku impor. Lembaran LPP No. 3 : 1 - 9.

Jurnal Penelitian No. l, Pebruari 1995

Sitorus, P. 1973. Penggunaan semen beku import pada sapi perah di Daerah Kotamadya Bogor dan sekitamya. Bulletin LPPNo. 13 : 25 -31 .

Snedecor, G.W. dan W.G. Cochran. 1980. Statistical Methods. 7Ed. Iowa State University Press, Amer, Iowa.

Toelihere, M.R. 1981 . Fisiologi Reproduksi pada Temak. Penerbit Angkasa, Bandung.

Gambar

TABEL 1. JUMLAH DAN JENIS TERNAK YANG DIPELIHARA TAHUN 1993
TABEL 2. ALASAN PENGGUNAAN IB BERDASARKAN JA- JA-WABAN RESPONDEN

Referensi

Dokumen terkait

Subsistem produksi: sebagian besar lahan hutan rakyat milik sendiri, pengembangan hutan rakyat lebih banyak di wilayah Utara Kabupaten Kebumen yang merupakan daerah

Adapun variabel yang lebih dominan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja pada usaha mikro di kota Jambi tahun 1993 sampai 2010 adalah upah ril dibandingkan

Tanaman dengan TF lebih dari 1 diklasifikasikan sebagai tanaman dengan efesiensi tinggi untuk translokasi logam berat dari akar ke bagian tanaman yang berada di atas

Dalam kaitan dengan proses pembelajaran melukis gaya Batuan, metode ceramah diaplikasikan hampir pada setiap awal pertemuan ketika para pembina/instruktur

Menteri Koordinator (Menko) perekonomian Darmin Nasution memperkirakan peningkatan daya beli 40% masyarakat yang tergolong tingkat kesejahteraan terbawah terdongkrak oleh

Market Brief ini diharapkan dapat menjadi acuan informasi bagi pengusaha Indonesia yang ingin memasarkan produknya ke pasar Korea Selatan khususnya untuk komoditi ubi jalar

Bagi seorang pelajar pula, ianya berkaitan dengan penerimaan oleh orang lain terhadap diri seseorang pula, ianya berkaitan dengan penerimaan oleh orang lain terhadap diri

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor