• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEADAAN BAGELEN PADA MASA PERANG DIPONEGORO. sekarang lebih dikenal sebagai Purworejo. Purworejo merupakan nama baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KEADAAN BAGELEN PADA MASA PERANG DIPONEGORO. sekarang lebih dikenal sebagai Purworejo. Purworejo merupakan nama baru"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Bagelen merupakan sebuah wilayah di pesisir selatan Jawa Tengah yang sekarang lebih dikenal sebagai Purworejo. Purworejo merupakan nama baru sebagai pengganti nama Brengkelan, ibukota Karesidenan Bagelen. Karesidenan Bagelen terdiri atas Kabupaten Brengkelan (Purworejo), Kabupaten Semawung (Kutoarjo), Kabupaten Karangduwur (Kemiri), dan Kabupaten Ngaran ( masuk wilayah Kebumen). Kabupaten Purworejo sekarang meliputi wilayah yang termasuk ke dalam Karesidenan Bagelen dahulu, yaitu gabungan antara wilayah Brengkelan, Semawung, dan Karangduwur. Kedudukan Bagelen sebagai sebuah karesidenan kemudian dihapus pada 1 Agustus 1901 dan dimasukkan ke dalam wilayah Karesidenan Kedu. Sementara nama Bagelen sekarang hanya dipergunakan sebagai nama sebuah kecamatan di Kabupaten Purworejo.1

Karesidenan Bagelen terletak diantara 109º 21’-110º 11’ Bujur Timur dan di 7º-7º 57’ Lintang Selatan. Karesidenan Bagelen sebelah utara berbatasan dengan Karesidenan Pekalongan, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Karesidenan Banyumas dan Tegal, dan sebelah timur berbatasan dengan Karesidenan Kedu dan Yogyakarta. Dengan luas wilayah 3831 km2 dan jumlah penduduk 238.764 jiwa, Bagelen pada tahun 1830 termasuk kedalam wilayah yang tingkat kepadatan penduduknya sedang. Bagelen memiliki dataran tinggi yang terbentuk dari deretan pegunungan Kendeng yang

1

M. Imansyah Hadad, Wisata Ziarah Kabupaten Purworejo. Purworejo: Pemerintah Kabupaten Purworejo, 2006, hlm. 20.

(2)

memanjang dari timur ke barat pada perbatasan utara Karesidenan Bagelen. Sementara dataran rendah terdiri atas rawa-rawa dan deretan desa di sepanjang pantai. Deretan desa yang bermula dari Desa Kadilangu di tepi Sungai Bogowonto memanjang ke barat sampai tepi Sungai Cincingguling di Perbukitan Karangbolong dikenal dengan nama Urut Sewu.2

Letak Bagelen yang merupakan pintu gerbang sebelum memasuki wilayah Kasultanan Yogyakarta dari arah barat menjadikan wilayah ini sangat strategis. Posisi ini begitu menguntungkan jika dilihat dari arus lalu lintas perdagangan dan ekonomi. Daerah pegunungan di sebelah utara serta dataran rendah di sebelah selatan menjadikan Bagelen sebagai daerah agraris. Produksi pertanian masih menjadi komoditas utama. Apalagi didukung dengan adanya 4 sungai besar yang mengalir di Bagelen, yaitu Sungai Bedono, Sungai Jali, Sungai Lebang dan yang paling terkenal Sungai Bogowonto. Pasca perang Diponegoro, Bagelen telah berubah menjadi sebuah kota yang terlahir kembali. Kotanya dibentuk lengkap dengan sistem sanitasi dan fasilitas transportasi sebagai sebuah unit pemukiman yang disesuaikan dengan sistem pertahanan maupun kepentingan ekonomi. Sistem tata kota yang demikian ini kemudian menjadi sebuah tatanan baru dalam pengembangan kota-kota di Indonesia pada masa kolonial. Semua itu dilakukan sebagai upaya antisipasi serta bentuk penjagaan terhadap kekuasaan Kasultanan Yogyakarta.

2

P.M. Laksono, Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan: Alih-Ubah Model Berpikir Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985, hlm. 64.

(3)

B. Aspek Historis Bagelen

1. Bagelen pra Perjanjian Giyanti.

Daerah Bagelen sejak zaman kekuasaan Mataram Hindu telah dikenal sebagai daerah yang dinamis dan banyak terlibat dalam percaturan sejarah. Di daerah yang menjadi penghasil bahan makanan yang melimpah ini, telah ada kehidupan manusia yang teratur dan dilandasi nilai spiritual tinggi. Sebagai contoh, ditemukan peninggalan megalitik di Desa Mudalrejo, Kecamatan Loano, penemuan calon beliung, batuan tegak dan berbentuk phallus di Desa Donorati serta penemuan kapak perunggu di tepi Sungai Jebol Desa Tridadi Kecamatan Loano.3

Penemuan peninggalan sejarah berupa prasasti dari masa Mataram Hindu juga menjadi sebuah bukti kebesaran Bagelen. Bagelen digambarkan oleh W.J. Van Der Meulen SJ sebagai nama lain dari Holing4. Holing merupakan perubahan nama dari Halin, singkatan dari Bhagahalin, sebuah kerajaan yang berlokasi di lembah Sungai Bogowonto. Sementara, sekitar tahun 600 Masehi, Ratu Sanjaya mendirikan sebuah kerajaan di Bagelen, dengan wilayah berbentuk segitiga yang berpusat di Ledok, pojok paling utara

3

Radix Penadi, Menemukan Kembali Jati Diri Bagelen dalam Rangka Mencari Hari Jadi. Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembangan Budaya, 1993, hlm. 3.

4

Holing atau Ho Ling, dalam kitab sejarah Dinasti Tang kuno (618-906) merupakan sebuah kerajaan di Jawa, sebuah pulau di Laut Selatan. Kotanya dikelilingi pagar kayu, rajanya berdiam di istana bertingkat, beratap daun palma. Penduduknya pandai menulis dan mengenal ilmu falak. Pada tahun 604 Masehi kerajaan Holing mengirimkan utusan ke negeri Cina, berlanjut pada tahun 666 Masehi. Lihat Radix Penadi, “Kerajaan Bagelen Didirikan Oleh Sanjaya”,

(4)

dari Bagelen. Wilayahnya meliputi Pantai Selatan, dengan puncak Gunung Prahu ( Dieng) dan Bogowonto sebagai sungai utama.5

Nama Bagelen sendiri pada masa Kerajaan Mataram Islam lebih terkenal lagi. Keruntuhan Demak dan berpindahnya pusat kekuasaan ke Pajang, tidak menjadikan kesetiaan Bagelen menipis. Peranan para jawara atau Kenthol Bagelen dalam peperangan sangat besar. Dimulai pada masa pemerintahan Panembahan Senopati, keikutsertaan para Kenthol Bagelen di setiap operasi militer Mataram semakin sering. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, dalam memadamkan pemberontakan Dipati Ukur, pasukan Bagelen turut berpartisipasi. Disebutkan, pasukan dari daerah pesisir berbaris di sebelah utara, orang Banyumas di sebelah barat, dan orang Bagelen di sebelah selatan.6

Pola pembagian kewilayahan Mataram Islam yang menempatkan raja secara berurutan dikelilingi oleh keraton, Negara, Negaraagung dan Mancanegara. Keraton bersama Negara adalah pusat kerajaan yang berfungsi sebagai ibukota seluruh negeri. Bagelen pada masa pemerintahan Sultan Agung termasuk ke dalam wilayah Negaraagung (Negara gedhe) yang masih ada di sekitar Kutagara. Negaraagung sendiri merupakan suatu wilayah di luar Negara yang berisi tanah mahosan dalem atau tanah yang diperuntukkan bagi pemasukan pajak ke kas keraton dan tanah jabatan para bangsawan keraton

5

W.J. Van Der Meulen, Indonesia Diambang Sejarah. Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 67.

6

(5)

serta pejabat kerajaan yang tinggal di dalam Negara. Wilayah Negaraagung sendiri dibagi menjadi delapan bagian7, yaitu sebagai berikut :

a. Daerah Bumi ( Kedu sebelah barat Sungai Praga) meliputi 6.000 cacah. b. Bumi Jo (Kedu sebelah timur Sungai Progo) meliputi 6.000 cacah.

c. Siti Ageng Kiwo (sisi sebelah kiri jalan besar Pajang Demak) meliputi 10.000 cacah.

d. Siti Ageng Tengen (sisi sebelah kanan jalan besar Pajang Demak) meliputi 10.000 cacah.

e. Sewu (daerah Bagelen antara Sungai Bogowonto sampai Sungai Donan, Cilacap) meliputi 6.000 cacah.

f. Numbak Anyar (daerah Bagelen antara Sungai Bogowonto sampai sungai Progo) meliputi 6.000 cacah.

g. Panumping (daerah Sukowati) meliputi 10.000 cacah. h. Panekar ( daerah Pajang) meliputi 10.000 cacah.

Tahun 1655, pada masa pemerintahan Sultan Amangkurat I, Sultan mengangkat empat orang wedana pesisir. Bersamaaan dengan itu, Sultan juga mengangkat empat wedana jaba atau wedana luar atas Negaraagung, yaitu Surakarta, Yogyakarta, Kedu, dan Bagelen. Selain itu, dalam perang antara Mataram dan Banten, dalam rombongan ekspedisi militer ke Karawang, terdapat armada kapal yang tiga diantaranya diisi prajurit Bagelen.

7

Terdapat dalam naskah no.1 dalam arsip sebelum Perjanjian Giyanti tentang pembagian wilayah kerajaan, struktur birokrasi, dan nama kesatuan prajurit Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). S. Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 1.

(6)

masing dipimpin oleh Kenthol Abadsara (Ampatsara), Kenthol Pusparaga, dan Wangsamarta. 8

Tanggal 28 Juni 1677, Keraton Plered jatuh ke tangan pemberontakan Trunojoyo dan memaksa Sultan Amangkurat I keluar dari keraton. Hari Senin, 29 Juni 1677, rombongan kerajaan sampai di Jagabaya yang termasuk wilayah Bagelen dan bertemu dengan pasukan pemberontak. Beruntung, datang bala bantuan dari Kyai Baidowi bersama rakyat Bagelen. Sultan berhasil selamat dan mengeluarkan sebuah pantangan bagi anak keturunannya, agar tidak menyeberangi Sungai Bogowonto membawa pasukan. Atas bantuan dari Kyai Baidowi dan rakyat Bagelen, Sultan bersama permaisuri membangun sebuah masjid yang dikenal sebagai Masjid Santren yang di dalamnya terdapat angka tahun 1679, dua tahun setelah peristiwa penyerangan.9

2. Bagelen pasca Perjanjian Giyanti

Ketidakberhasilan VOC atau Vereenidge Oost Indische Compagni

sebagai penengah dalam berbagai masalah di Mataram menimbulkan banyak pemberontakan. Selain itu, upaya VOC juga menimbulkan kerugian bagi Mataram. Setiap bantuan yang diberikan, pasti berujung pada penyerahan satu wilayah yang bernilai ekonomis bagi Mataram. Misalnya, daerah Kedu, Semarang, Pacitan, dan Grobogan yang menjadi milik VOC sebagai imbalan atas campur tangannya. Apalagi sejak peristiwa pembantaian orang Tionghoa

8

Radix Penadi, op.cit., hlm. 27-28.

9

Pembangunan Masjid Santren diarsiteki oleh Khasan Muhammad Shuufi dan menandai perkembangan agama Islam yang telah mencapai wilayah Bagelen. Disebut sebagai masjid tertua di wilayah Bagelen, sebuah sumber menyatakan masjid ini dibangun pada tahun 1618. Lihat M. Imansyah Hadad, op.cit., hlm. 45.

(7)

di Jakarta tahun 1740, membuat arus perlawanan meluas ke berbagai daerah, termasuk Mataram. Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya berhasil memadamkan perlawanan Mas Said, justru dikhianati sehingga berbalik bersekutu dengan Mas Said untuk melawan Sunan Pakubuwana II. Memasuki tahun 1746, kekuatan Pangeran Mangkubumi bersama Mas Said semakin besar. Di Bagelen sendiri, perlawanan Mas Said mendapat dukungan yang luas.10

Akhirnya, pada 12 Februari 1755 dicapai sebuah kesepakatan tentang pembagian wilayah antara Sunan Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi dengan perantaraan VOC. Peresmian perjanjian diadakan di desa Giyanti dan keesokan harinya Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono. Masing-masing pihak mendapat wilayah seluas 53.100 cacah dan daerah Mancanegara dibagi dua, untuk Sunan seluas 33.350 cacah, dan Sultan seluas 33.950 cacah. Kerajaan Mataram akhirnya terbagi juga menjadi dua dan keputusan ini dianggap yang paling tepat karena masih memungkinkan terjadinya penyatuan kembali.11

Untuk wilayah Bagelen sendiri dibagi antara kekuasaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dengan batas yang tidak begitu jelas. Pembagian yang tumpang tindih serta ketidakjelasan dalam batas wilayah sering membawa pertikaian di kalangan penguasa lokal. Misalnya, terjadi

10

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900.

Jakarta: Gramedia, 1988, hlm. 229-230.

11

(8)

perebutan tanah lungguh12 oleh para Gunung atau pembesar tanah yang ditugasi oleh keraton. Tirtonegoro, pimpinan para Gunung dari Kasunanan Surakarta yang berkedudukan di Cangkrep diganti dengan Ngabehi Resodiwiryo yang diangkat sebagai Lurah Gunung oleh Pangeran Kusumayuda atas nama Sunan.

Sebagai wilayah Negaraagung pada masa Kerajaan Mataram, pembagian wilayah Bagelen pasca Perjanjian Giyanti juga hampir sama, yaitu sebagai berikut:

a. Tanah Mahosan Dalem yaitu tanah lungguh milik raja. Untuk Kesultanan Yogyakarta meliputi Bapangan (Jenar), Semawung (Kutoarjo), Ngrawa, Watulembu, Lengis (Kedungkamal), Selomanik (Wonosobo), dan Semayu. Sedangkan untuk Kasunanan Surakarta meliputi Tanggung (Cangkrep), Wala (Ambal), Panjer (Kebumen), dan Tlaga.

b. Tanah lungguh yaitu tanah gaduhan raja untuk para pangeran dan pejabat kerajaan. Untuk Kasultanan Yogyakarta meliputi Loano, Blimbing (Karanganyar), dan Rama Jatinegoro (Karanganyar). Sedangkan untuk Kasunanan Surakarta meliputi Merden dan Kutowinangun.

12

Tanah lungguh adalah tanah gaduhan raja yang diberikan kepada pangeran dan pejabat kerajaan yang diatur dengan jumlah cacah (petani penggarap). Diatur dengan sistem pancasan yaitu satuan lungguh para pejabat tidak terlalu luas dan letaknya tersebar. Bertujuan agar pejabat didaerah hanya memiliki kekuatan terbatas sehingga tidak memungkinkan untuk memberontak. Tanah lungguh digunakan sebagai pengganti gaji karena sistem ekonomi uang belum dikenal luas dan dilakuakan dengan memberikan hak memungut pajak tanah dan hasil bumi atas tanah tersebut. Lihat P.M. Laksono, op.cit., hlm. 76.

(9)

c. Daerah kerja Gladak yaitu daerah yang penduduknya dikenakan wajib kerja di istana atau hutan. Untuk Kasultanan Yogyakarta terletak di Selomerto dan untuk Kasunanan Surakarta terdapat di Gesikan (Kutoarjo). d. Tanah bagi para pemuka atau lembaga keagamaan dan penjaga makam

yang menjaga makam keramat. Penentuannya bergantung pada kebijakan masing-masing penguasa lokal.13

C. Aspek Sosio Kultural

Bagelen sebagai salah satu pemukiman yang telah berkembang sejak abad VIII, telah lama dikenal sebagai daerah agraris. Dengan keadaan alam yang begitu menguntungkan, Bagelen memiliki kondisi ekologis yang sesuai untuk pertanian persawahan maupun pertanian tanah kering bagi penduduknya. Pertanian yang utama adalah tanaman padi yang menjadi makanan pokok. Meskipun masih diusahakan secara tradisional, teknologi pengairan sederhana telah dikenal dengan cara membendung sungai kecil untuk pengairan. Bagelen pada masa Kerajaan Mataram Islam terkenal sebagai lumbung beras serta penyedia logistik bagi keperluan prajurit perang.

Menurut hukum yang berlaku pada masa kerajaan tradisional yang dianut oleh Kasultanan dan Kasunanan, hak milik atas tanah adalah sepenuhnya milik penguasa. Penduduk sebagai kawula kerajaan memiliki hak pakai bersama atas tanah kerajaan. Pengakuan terhadap kedudukan raja sebagai wakil Tuhan menjadi dasar atas kepemilikan tanah oleh raja. Hubungan raja dengan masyarakat

13

(10)

pedesaan terbatas pada penyerahan upeti atau penyerahan sebagian hasil bumi dan tenaga untuk kepentingan rumah tangga istana yang diwujudkan dalam hak untuk memungut pajak.14

Dalam struktur kekuasaan masyarakat Jawa kuno15, sistem ekonomi dan sosial masyarakat sangat dipengaruhi struktur kekuasaan feodal. Belum dikenalnya sistem uang membuat pegawai dan keluarga raja mendapat tunjangan dalam bentuk tanah. Raja memberikan hak memungut pajak atau hasil dari tanah yang dipercayakan selama sementara waktu. Penerima tanah lungguh yang disebut Patuh merupakan priyayi atau sentana kebanyakan bertempat tinggal di ibukota dan tidak mengelola sendiri tanah mereka. Tanah lungguh kemudian dikelola oleh Sikep atau petani setempat. Para Sikep ini dipimpin oleh Bekel sebagai pemimpin yang berhubungan langsung dengan pemilik tanah. Bekel ini yang bertanggungjawab mengumpulkan hasil dari tanah lungguh dan menarik pajak bagi raja. Bekel juga bertanggungjawab sebagai kepala desa yang membawahi masalah keamanan, masalah pidana dan perdata dalam lingkup pedesaan.16

Bagelen pra kolonial atau sebelum tahun 1830 terdapat tiga priyayi gunung dari Kasunanan dan satu priyayi gunung Kasultanan. Priyayi gunung

14

Djoko Suryo, R.M. Soedarsono, & Djoko Soekiman, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Budaya.

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, hlm. 15.

15

Untuk pembagian sistem tanah jabatan di Jawa yang berdasar struktur kekuasaan masyarakat Jawa kuno dapat dilihat di lampiran.

16

A.M. Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000, hlm. 52.

(11)

adalah pejabat yang diserahi tugas masalah keamanan dan hukum di wilayah lungguh. Kedudukan priyayi gunung hampir sama dengan bupati, perbedaannya priyayi gunung tidak berwenang mengurusi keuangan serta pajak daerah. Bagelen pada masa itu tidak mungkin dipandang sebagai masyarakat yang terintegrasi dalam satu pemerintahan yang mencakup keseluruhan wilayah. Hal ini dikarenakan adanya dua kekuasaan kerajaan yang menjangkau Bagelen, yaitu dari Kasultanan dan Kasunanan. Selain itu, wilayah kedua kerajaan tersebut saling tumpang tindih dan pendelegasian kekuasaan ke dua kerajaan tersebut ke Bagelen kepada lebih dari satu orang dan terpisah-pisah.17

Pendapatan dari penguasa administratif pribumi bergantung pada penekanan yang dilakukan terhadap petani. Sebagai penguasa dari tanah lungguh yang tidak terlalu luas, kecenderungan untuk bersaing dihadapan raja dan penguasa sangat tinggi. Misal, wilayah Tanggung atau Ketanggung di Bagelen, pada awalnya dikuasai oleh Kasultanan Yogyakarta di bawah Tumenggung Gagak Pranolo III. Tetapi suatu ketika terjadi sebuah intrik dimana Tumenggung terbunuh dan digantikan oleh penguasa baru yang berasal dari Kasunanan Surakarta. Ini menjadi awal timbulnya persaingan antara penguasa lokal yang diangkat Kasunanan dan Kasultanan.18

Kondisi Bagelen pasca Perjanjian Giyanti yang mengakibatkan tanah lungguh milik Kasultanan dan Kasunanan saling tumpang tindih membawa

17

P.M. Laksono, op.cit., hlm.78.

18

Radix Penadi, Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di Tanah Bagelen Abad XIX. Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembangan Sosial, 2000, hlm. 40.

(12)

dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Batas yang tidak jelas membuat keamanan sulit dikendalikan. Misal, penjahat yang melakukan kejahatan di wilayah Kasultanan, dapat melarikan diri dengan mudah ke desa di wilayah Kasunanan karena Tamping (polisi desa) Kasultanan tidak dapat memasuki wilyah Kasunanan, begitu pula sebaliknya. Sentimen lama berpadu dengan persaingan kawula antar kerajaan menimbulkan banyak konflik baru. Berkembangnya birokrasi kerajaan berbanding lurus dengan pertambahan jumlah pegawai dan tanah lungguh yang harus disediakan. Banyaknya pegawai dan tanah lungguh dimanfaatkan untuk memungut pajak yang lebih tinggi. Bekel (pemungut pajak) dihadapkan pada tekanan untuk mendapatkan pungutan pajak yang besar dan seringkali berujung pada pergantian Bekel yang menimbulkan konflik di desa-desa. 19

Berubahnya jenis pajak yang semula bersifat penyerahan menjadi pungutan dengan sejumlah uang, hasil bumi dan tenaga kerja tidak lepas dari pengaruh terbaginya Mataram menjadi dua di tahun 1755. Berkurangnya daerah pesisir milik Mataram harus diimbangi dengan pemanfaatan daerah-daerah pedalaman yang masih tersisa. Sistem penarikan pajak dilakukan dengan prinsip umum, yaitu sistem maron (paro = dibagi dua) dan sistem mertelu (para telu = dibagi tiga). Sistem maron berupa penarikan pajak sebanyak setengah dari hasil

19

(13)

padi untuk tanah sawah. Sistem mertelu berupa pungutan pajak untuk tegal atau tanah kering yang lain sebanyak sepertiga dari hasil palawija.20

Tindakan penarik pajak di Bagelen terkadang cenderung sewenang-wenang. Para Bekel seringkali memungut pajak dua puluh kali lipat dari yang seharusnya dan menuntut kerja bakti dari para petani untuk kepentingan sendiri. Di Bagelen diberlakukan tiga belas jenis pajak21 dan tarikan yang harus dibebankan kepada rakyat. Pajak yang dikenakan di daerah Bagelen secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu pajak tetap dan pajak insidental. Sistem pajak ini dilakukan dengan cara mengontrakkan tanah tungguh dari para pejabat dengan kepala desa atau siapa saja yang berani membayar dengan harga tertinggi, tetapi tidak tercatat data kuantitatif tentang besarnya pajak. Beratnya pajak di Bagelen mengingat Bagelen termasuk wilayah Negaraagung yang merupakan daerah pemungutan pajak langsung yang diperuntukkan untuk membayar gaji pejabat raja.22

Daerah pertanian seperti Bagelen mendapat penekanan untuk meningkatkan hasil pertanian dan pungutan lain. Pertanian yang homogen serta belum tercapainya diferensiasi pertanian menjadi kendala. Selain itu, tanah dan tenaga kerja menjadi modal yang tidak tergantikan pada masyarakat agraris.

20

Ukuran sawah adalah jung, 1 jung seluas 4 bahu, yang berarti dikerjakan oleh 4 rumah tangga petani wajib pajak. Sebenarnya 1 jung adalah 5 bahu tetapi 1 bahu menjadi hak para bekel sehingga bebas pajak. Ibid., hlm. 333.

21

Antara lain pajak tanah, Takker turun, Kirjaji (Kirgaji), Pacumplang, Uang bekti, Pasumbang, Pajindralan, Peniti, Bijigar, Uborompo, Pakuning, Pa-iring, dan Pundutan. Dalam P.M. Laksono, op.cit., hlm. 79-80.

22

Berdasar laporan residen Kedu Valck (1827-1830) dalam meneliti pajak pra kolonial di Bagelen. A.M. Djuliati Suroyo, op.cit., hlm. 334.

(14)

Kurangnya pengawasan terhadap sistem perpajakan yang diatur oleh keraton menambah beban masyarakat. Struktur kekuasaan feodal memberikan pengaruh tersendiri pada masyarakat Jawa yang agraris. Kehidupan sosio kultural masyarakat Bagelen pra kolonial sangat dipengaruhi oleh pola penggambaran hierarki wewenang dan distribusi kekuasaan administratif kerajaan. Semuanya bersinergi membentuk pola unik dalam ciri khas sosio kultural kemasyarakatan abad XIX di pedesaan Jawa.

Pecahnya Perang Diponegoro berpengaruh terhadap kondisi sosio kultural masyarakat. Meskipun dukungan kepada Diponegoro sangat kuat di kalangan masyarakat bawah, tetapi pengaruh Kasultanan dan Kasunanan dalam masyarakat tidak berubah. Susunan pemerintahan yang ditetapkan oleh Pangeran Diponegoro dengan mengangkat seorang bupati bernama Madyokusumo yang membawahi wilayah Bagelen. Kewenangan dari pejabat pilihan keraton hanyalah sebatas pegawai yang menarik pajak, sehingga kurang bisa mempengaruhi rakyat untuk berpihak pada pemerintah Belanda. Akibatnya terjadi perpecahan dalam masyarakat, dimana terdapat dua pemimpin administratif yang berbeda pandangan, satu memihak pemerintah Belanda dan keraton, sementara yang satu merupakan bentukan Pangeran Diponegoro.

Referensi

Dokumen terkait

Dua komponen kemampuan: intelektual (kreatifitas merancang) serta ketrampilan (mempresentasikan ide melalui gambar atau maket) perlu dikuasai untuk menghasilkan

Benih karet dapat diproduksi melalui dua cara yaitu: 1) melalui pembibitan lapangan yang dilanjutkan dengan pembibitan polibeg (OK) dan 2) langsung melalui

Arus Listrik ada dua macam, yakni arus listrik bolak-balik atau biasa disebut Arus Listrik ada dua macam, yakni arus listrik bolak-balik atau biasa disebut arus listrik AC

Saham merupakan suatu bentuk aset finansial yang nilainya berubah-ubah mengikuti harga pasar pada suatu saat sesuai dengan banyaknya penawaran dan permintaan pada saat

Sedangkan penggunaan Hermeneutika dalam dunia keilmuwan Islam digunakan bukan untuk mencari keotentikan teks al Quran, akan tetapi untuk mencari penafsiran yang

Jika anda seorang graduan Undang-undang yang sedang menjalani Chambering; graduan yang sedang menunggu penempatan pekerjaan; graduan sedang mengikuti Skim Latihan 1Malaysia

Terminal Automation System (TAS) didefinisikan sebagai sistem otomasi yang menggabungkan proses bisnis dengan pengoperasian yang didukung oleh peralatan instrumentasi di lapangan,

Sada nari naporlu muse sidohonon, molo angka hata umpasa dohot umpama, somalna sian angka horong ni hula-hula dohot angka tulang do pasahathon i tu