• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERMASALAHAN DAN STRATEGI PEMBELAJARAN MATA KULIAH PERANCANGAN ARSITEKTUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERMASALAHAN DAN STRATEGI PEMBELAJARAN MATA KULIAH PERANCANGAN ARSITEKTUR"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERMASALAHAN DAN STRATEGI PEMBELAJARAN MATA KULIAH

PERANCANGAN ARSITEKTUR

Tri H. Karyono

Kuliah Terbuka, Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Bina Nusantara, Jakarta, 27 Maret 1999. Perbedaan mencolok antara tindak laku warga dunia ketiga dengan dunia pertama adalah tingkat kedisiplinan dan kepatuhan mantaati aturan. Di negara maju, pendidikan formal merupakan cara untuk meningkatkan pengetahuan dan keakhlian sesorang, sementara di negara dunia ketiga pendidikan formal masih merupakan alur untuk mendapatkan ijazah. Ijazah merupakan benda sakti bagi seseorang untuk menapak karir ke atas karena aturan dalam pemerintahan dan masyarakat masih sangat mengagungkan ijazah sebagai alat ukur kepandaian dan bukan kemampuan nyata yang dimiliki seseorang. Hal ini berimbas kepada dunia pendidikan. Ada kecenderungan dari sebagian masyarakat dunia ketiga seperti Indonesia untuk mendapatkan ijazah secara mudah tanpa perlu meningkatkan pengetahuan dan keakhliannya dalam bidang tertentu. Sayangnya hal ini direspons oleh pihak tertentu dengan menyelenggarakan bisnis pendidikan yang menawarkan kemudahaan mendaptakan ijazah.

Dalam bidang pendidikan yang terkait langsung dengan dunia praktis seperti Arsitektur, hal ini tentunya akan mudah terdeteksi. Lulusan dari pendidikan arsitektur harus mampu menangani pekerjaan-pekerjaan praktis terkait dengan perancangan bangunan dan kawasan.

Gambar 11.1. Ruang Studio Gambar di Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Khairun Ternate, Ternate.

(2)

Dengan demikian menjadi mudah bagi masyarakat untuk mengukur kemampuan lulusan tersebut ketika ia diberi tugas nyata terkait dengan bidang ilmunya.

Pembelajaran Perancangan Arsitektur

Ada persoalan yang dihadapi para pengajar mata kuliah yang berbau seni seperti halnya Perancangan Arsitektur. Seni bersifat kualitatif dan cenderung dinilai secara subjektif. Lalu bagaimana pengajar mata kuliah Perancangan yang mengandung nilai seni memperkenalkan nilai yang bersifat kualitatif terhadap murid baru dengan latar belakang pendidikan SMU-IPA, yang cenderung berfikir terukur-kuantitatif.

Menurut Vitruvius, ada tiga elemen yang membentuk arsitektur: utility (kegunaan, fungsi), firmness (kekuatan-kekokohan), beauty (estetika, keindahan). Sedangkan Sir Henry Wotten (1624) memperkenalkan kata ‘commoditie‘ sebagai pengganti ‘utility’ yang memiliki pengertian kurang lebih sama dengan apa yang dilontarkan Vitruvius.

Dari ketiga aspek yang harus dipenuhi oleh desain arsitektur di atas, firmness merupakan aspek yang paling terukur secara kuantitatif. Bagaimana suatu bangunan atau struktur dapat berdiri secara kokoh dan kaku dapat dijelaskan melalui ilmu statika gaya (mekanika teknik) secara matematis. Aspek utility, kegunaan, sebagian besar dapat dijelaskan secara kuantitatif sementara sebagian lain lebih bersifat kualitatif.

Bahwa ukuran tubuh manusia dapat dinyatakan secara angka melalui ilmu antropometri, demikian juga dimensi perabot atau alat yang diperlukan untuk membantu aktifitas manusia, namun dimensi suatu ruang tidak selalu dapat dinyatakan secara tepat melalui perhitungan matematis-kuantitatif. Mengapa ruang direktur jauh lebih besar dari ruang staf seringkali lebih mudah dijelaskan melalui penalaran yang tidak matematis, misalnya penalaran simbolik, di mana ruang yang besar akan memberikan wibawa yang lebih besar dari ruang yang kecil, dan bukan dijelaskan bahwa karena berkas yang disimpan lebih banyak di ruang direktur daripada di ruang staf sehingga memerlukan space yang lebih besar.

Sementara itu aspek yang terakhir, yakni beauty, estetika, hampir seluruhnya hanya dapat dijelaskan secara kualitatif - tidak terukur dengan angka. Dalam aspek inilah hal-hal seperti: skala, proporsi, ritme, kesatuan, keseimbangan, aksentuasi, sequence, hirarki, dijelaskan pada mahasiswa, dan ini tidak terlalu mudah untuk dapat dipahami dalam waktu yang singkat antara satu atau dua semester saja.

Menggambar sebagai Media Perwakilan

Dalam mata kuliah perancangan arsitektur, sebagaimana judulnya adalah perancangan atau desain, mahasiswa perlu disadarkan bahwa gambar atau maket yang mereka buat sebagai bagian dari tugas mata kuliah tersebut bukanlah merupakan produk (karya) akhir. Tidak seperti halnya pelukis atau mahasiswa jurusan seni lukis yang membuat gambar atau lukisan di atas kertas atau kanvas, atau pematung (juga mahasiswa jurusan seni patung) yang menghasilkan

(3)

karya tiga dimensi, di mana apa yang mereka kerjakan adalah merupakan karya (produk) akhir dari pekerjaannya. Mahasiswa arsitektur hanya membuat ‘media perwakilan’ yang dianggap dapat memvisualisasikan atau mewakili produk akhir yang sesungguhnya. Mahasiswa arsitektur tidak pernah diminta untuk membuat bangunan utuh skala 1:1 sebagai tugas mata kuliah perancangan arsitektur, sedangkan mahasiswa seni rupa sebagaian besar akan mendapat tugas hingga produk akhir, bukan sekadar perwakilan dari produk akhir.

Karena mahasiswa arsitektur hanya akan membuat media perwakilan dari produk akhir yang berupa bangunan, beserta ruang di sekitarnya, diperlukan suatu ketrampilan dari mahasiswa tersebut untuk mempresentasikan idenya secara visual - grafis apa-apa yang ingin dicapai, dibuat atau dirancang melalui media antara yang berupa gambar - dua dimensi atau model - maket tiga dimensi. Menggambar dengan tangan atau komputer serta membuat maket merupakan ketrampilan yang perlu dikuasai oleh mahasiswa arsitektur guna dapat menjelaskan pemikirannya terhadap rancangan bangunan yang mereka kehendaki. Gambar dan maket merupakan ‘bahasa’ untuk menyampaikan pemikiran bagi mahasiswa arsitektur, serta bagi mahasiswa jurusan desain lainnya.

Mengapa mahasiswa arsitektur tidak pernah membuat rancangan hingga selesai sampai produk akhir berupa bangunan, sebagaimana katakanlah mahasiswa jurusan desain produk atau desain grafis yang memiliki peluang mengekspersikan idenya hingga produk akhir? Jawabannya sederhana, karena ‘dimensi fisik’ dari produk akhir tersebut yang berbeda. Karya arsitektur cenderung berdimensi besar, sehingga untuk mewujudkan dalam skala 1:1 diperlukan beaya, waktu dan tenaga yang hampir tidak mungkin diwujudkan dalam masa studi. Sementara

Gambar 11.2. Ruang Studio Tugas Akhir, Jurusan Arsitektur, Universitas Palangka Raya.Kalimantan Tengah

(4)

karya mahasiswa desain produk, yang berdimensi kecil: termos, kipas angin, alat-alat dapur, alat kantor ,dan lainnya, akan lebih mudah diwujudkan, meskipun baru dalam studi sekalipun.

Akibat dari kesulitan untuk mempresentasikan ide menjadi produk akhir berupa bangunan dalam skala satu-satu, karya mahsiswa arsitektur berupa gambar serta maket, akan dinilai oleh pengajar dengan konsekuensi terjadinya distorsi. Apa yang dipikirkan oleh mahasiswa tidak seluruhnya dapat diwujudkan melalui gambar atau maket. Gambar atau maket yang dibuat kemungkinan akan dibaca berbeda oleh pengajar atau pemberi nilai. Keterbatasan semacam inilah yang perlu disadari oleh kedua belah pihak yakni mahasiswa sebagai penggagas karya dan pengajar sebagai evaluator - pihak yang memberikan nilai pada karya tersebut.

Penekanan Perancangan: Kelemahan Ilmu Sains Bangunan

Manusia membuat bangunan di antaranya adalah untuk pemenuhan aspek spatial (ruang), visual (penglihatan, termasuk estetika), audial (pendengaran) serta thermal (thermis, suhu). Dalam melakukan suatu aktifitas, misalnya duduk, mengetik, menggambar, tidur, olah raga, dan sebagainya, manusia dengan ukuran tubuhnya memerlukan ruang gerak yang dimensional, yakni yang disebut ruang (space).

Agar aktifitasnya dapat berjalan baik, ruang yang dipergunakan bagi pergerakan tersebut harus memiliki dimensi yang cukup atau sesuai dengan ukuran tubuh dan ruang geraknya. Apabila seorang arsitek merancang ruang tertentu bagi keperluan aktifitas tertentu, misalnya aktifitas administrasi kantor, pada awalnya ia akan melakukan tindakan guna pemenuhan kenyamanan spatial (ruang) bagi calon pengguna ruang tersebut. Kemudian, agar si pemakai

Gambar 11.3. Ruang Maket Studio Arsitektur, Institut Teknologi Nasional (ITN), Malang

(5)

ruang dapat melihat dengan jelas apa-apa yang sedang dihadapi - dikerjakan, maka arsitek harus memikirkan intensitas cahaya yang cukup dalam ruang tersebut.

Dalam hal ini arsitek melakukan tindakan pemenuhan kenyamanan visual. Si pengguna ruang tentu saja tidak dapat berkonsentrasi dengan baik apabila suara-suara gaduh dari luar ruang masuk ke dalam tempat ia bekerja. Untuk itulah arsitek perlu memikirkan bagaimana agar intensitas bunyi yang masuk ke dalam ruang dapat dibatasi hingga level tertentu yang tidak mengganggu si pemakai ruang tersebut. Meskipun seluruh aspek di atas telah dipenuhi: dimensi ruang cukup, cahaya cukup dan bunyi yang mengganggu dibatasi, si pemakai ruang belum juga dapat bekerja dengan baik karena ia selalu berpeluh akibat suhu ruang atau kelembaban yang tinggi atau aliran udara di dalam ruang yang sangat lemah. Sehingga arsitek perlu pula mempertimbangkan bagaimana agar aspek kenyamanan termal dapat dicapai dalam ruang tersebut.

Aspek spatial umumnya dipelajari oleh mahasiswa pada mata kuliah studio perancangan arsitektur, sementara ketiga aspek berikutnya: visual, audial dan thermal dipelajari pada mata kuliah Sains Bangunan. Bahwa ada aspek visual lain yang cenderung tidak kuantitatif, yakni estetika, juga dipelajari mahasiswa pada mata kuliah studio perancangan arsitektur.

Kelemahan pendidikan arsitektur kita adalah bahwa aspek spatial dan estetika sangat mendominasi pengajaran pada studio perancangan. Keberhasilan suatu karya arsitektur, atau tugas studio mahasiswa, cenderung hanya dilihat dari pemenuhan kedua aspek ini. Aspek visual, audial dan thermal, yang cenderung terukur dan berkaitan dengan ilmu Sains Bangunan seolah diabaikan. Maka sering terjadi bahwa mahasiswa arsitektur tidak merasa perlu untuk mempelajari Sains Bangunan karena dianggap tidak jelas kaitannya dengan ilmu perancangan arsitektur.

Strategi Penanganan Studio

Mata kuliah perancangan arsitektur melatih mahasiswa untuk dapat mengembangkan kemampuan merancang secara konseptual serta kemampuan mempresentasikan ide ke dalam media gambar atau maket. Dua komponen kemampuan: intelektual (kreatifitas merancang) serta ketrampilan (mempresentasikan ide melalui gambar atau maket) perlu dikuasai untuk menghasilkan rancangan yang baik. Belajar merancang dapat diidentikkan dengan belajar mengendarai sepeda roda dua. Dalam belajar mengendarai sepeda, seseorang dituntut untuk trampil menggunakan pikiran dalam kepala serta kemampuan mengendalikan otot-otot motoriknya agar keseimbangan tubuhnya tetap terjaga dan tidak jatuh. Segenap ilmu pengetahuan teoritis mengenai mekanika, pergerakan, keseimbangan, aerodinamis, dan sebagainya tidak akan ada artinya dipelajari tanpa melakukan latihan bagaimana bersepeda.

Seseorang tidak mungkin mampu mengendarai sepeda hanya dengan membaca buku atau teori bagaimana bersepeda agar tidak terjatuh. Kemampuan akan diperoleh dengan cara

(6)

menjalankan atau latihan. Demikian halnya dengan penguasaan ilmu merancang arsitektur, seseorang tidak akan pernah mampu menjadi perancang hanya dengan cara membaca buku-buku perancangan. Di samping mempelajari berbagai teori, aturan, dan sebagainya, mahasiswa perlu mendapat latihan merancang secara terstruktur dan kontinyu. Kemampuan intelektual atau kreatifitasnya akan berkembang seiring dengan kemajuan ketrampilannya dalam mengekspresikan ide melalui gambar atau maket.

Ketrampilan umunya dapat dipelajari dengan melakukan latihan terus menerus secara teratur, sedangkan untuk mengembangkan kemampuan intelektual - kreatifitas diperlukan waktu untuk menghayati, merenungkan, mengintrospeksi, mengkaji kembali, dan sebagainya, di mana di dalamnya terkandung kegiatan pasif tidak mengandalkan syaraf motorik sebagaimana halnya ketrampilan atau skill membuat gambar atau maket. Dilema yang dihadapi oleh pengajar mata kuliah perancangan arsitektur adalah bagaimana membuat mahasiswa trampil namun juga kreatif. Dalam arti bagaimana mahasiswa dapat bekerja cepat, cekatan, dengan menghasilkan produk yang unik, khas, inovatif, dan tidak prototype.

Dari beberapa pengalaman, ada kecenderungan seandainya mahasiswa bekerja di bawah tekanan, mereka akan terbiasa untuk menjadi disiplin dan cekatan, namun kualitas pekerjaannya dilihat dari aspek kreatifitasnya tidak menonjol. Bekerja akan menjadi suatu rutinitas-kebiasaan sehari-hari. Kecenderungan tidak takut salah karena sering melakukan secara berulang merupakan sisi positif dari cara pembelajaran semacam ini, di mana terjadi peningkatan ketrampilan atau skill mahasiswa dalam menggambar secara tidak disadari.

Gambar 11.4. Ruang Studio Tugas Akhir Arsitektur, Universitas Tarumanagara, Jakarta

(7)

Meskipun dalam hal ini terdapat sisi negatif, yakni lemahnya kualitas rancangan karena tidak tersedianya waktu bagi perenungan untuk mengembangkan kreatifitas.

Sebaliknya, apabila mahasiswa diberi kesempatan untuk bekerja tanpa tekanan, atau fleksibel sesuai dengan ritme kerja masing-masing, maka secara positif hal ini akan memberi peluang mereka untuk berkarya secara kreatif. Meskipun demikian cara ini juga memiliki sisi negatif, yakni bagi mahasiswa yang memiliki kemampuan sekadar rata atau di bawah rata-rata, mereka cenderung tidak terpacu atau menjadi malas. Ketrampilan mereka cenderung akan rendah.

Dengan ketrampilan yang rendah, secara otomatis kemampuan kreatif merancang-nya juga rendah. Lalu bagaimana cara atau strategi yang baik dalam mengelola mata kuliah studio perancangan dikaitkan dengan permasalahan di atas? Saya berpendapat bahwa kita perlu menerapkan dua strategi yang berbeda untuk kondisi yang berbeda. Dalam kondisi di mana potensi atau motivasi mahasiswa dalam merancang sudah baik, cara penanganan yang lunak, fleksibel, tidak ditekan atau tidak ketat, akan lebih baik, karena diperkirakan cara ini akan menghasilkan karya-karya mahasiswa yang baik dengan kreatifitas yang tinggi.

Sebaliknya dalam kondisi di mana potensi atau motivasi mahasiswa terhadap perancangan lemah, maka perlu diterapkan sistem pengajaran dengan tekanan ketat, misalnya, diberlakukan jam studio satu hari penuh, tugas dipantau - atau dinilai setiap hari, absensi diberlalukan secara ketat, dan sebagainya. Kemudian cara yang ketat ini dapat dirubah menjadi sistem lunak atau fleksibel setelah diditeksi bahwa potensi atau motivasi mahasiswa dianggap sudah cukup baik untuk bekerja secara mandiri.

Dengan menggunakan asumsi bahwa potensi atau motivasi mahasiswa masih lemah pada semester-semester awal, maka pada waktu-waktu tersebut, antara tiga hingga empat semester), perlu diberlakukan sistem studio secara ketat. Kemudian pada semester-semester akhir sistem studio mulai diperlunak, di mana diharapkan mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan kreatifnya tanpa perlu mendapat tekanan.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa pemahaman terhadap nilai atau ukuran kualitatif yang berkaitan dengan aspek seni bagi mahasiswa baru di Jurusan Arsitektur perlu mendapat perhatian. Pemahaman ini tidak mudah, tidak dapat dihafalkan, perlu penghayatan. Pemahaman dan penghayatan ini dapat dilakukan melalui tugas-tugas yang berkaitan dengan studio perancangan arsitektur. Pendekatan atau penjelasan yang bersifat rasional, terukur, kuantitatif sedapat mungkin dikedepankan agar mudah dipahami. Hal ini terutama ditekankan pada mahasiswa baru atau yang berada pada semester awal

(8)

2. Perlu disadarkan kepada mahasiswa bahwa apa yang mereka kerjakan, berupa gambar dan maket, dalam tugas studio perancangan arsitektur hanya merupakan media perwakilan dari rancangan yang sesungguhnya, sehingga sewaktu mereka menggambar atau membuat maket, mereka harus sadar bahwa mereka menyajikan rancangan (desain) bukan lukisan. Gambar atau maket hanya merupakan media yang digunakan sebagai alat simulasi dari produk akhir yang berupa bangunan.

3. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu Sains Bangunan yang sebetulnya memiliki peran penting dalam perancangan arsitektur, untuk sementara ini banyak diabaikan oleh mahasiswa, di berbagai sekolah Arsitektur, perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya kelemahan pemahaman mahasiswa terhadap ilmu tersebut yang dianggap tidak ada kaitannya dengan perancangan arsitektur. Perlunya penyampaian materi dalam ilmu ini yang dapat menyadarkan mahasiswa bahwa bangunan yang mereka rancang tidak saja harus indah atau baik secara estetika, namun juga harus nyaman secara visual, audial dan thermal, di mana hanya melalui pemahaman ilmu Sains Bangunan-lah sasaran ini dapat dicapai

4. Mengingat adanya perbedaan kondisi serta kemampuan yang harus dikuasai oleh mahasiswa, maka diperlukan strategi pembelajaran untuk mata kuliah perancangan arsitektur yang secara umum dapat diuraikan sebagai berikut: Sistem pembelajaran dengan disiplin ketat perlu diterapkan pada mahasiswa semester awal guna melatih ketrampilan (skill) dalam mempresentasikan gambar, di samping melatih disiplin mereka agar terbiasa bekerja secara cepat dan teratur. Dalam masa ini kemampuan mengembangkan kreatifitas belum perlu ditekankan. Sistem pembelajaran (melalui studio) secara lebih fleksibel perlu diterapkan pada mahasiswa semester akhir. Hal ini diharapkan agar mahasiswa dapat mengembangkan dirinya secara lebih kreatif, lebih mandiri, untuk menghasilkan rancangan-rancangan yang inovatif tanpa mendapat tekanan dari pengajar atau sistem pengajaran yang diberlakukan.

Sumber Bacaan

Jones, J. Christoper (1972), Design Methods, John Wiley & Sons Ltd., UK.

Lawson, Bryan (1990), How Designers Think: The Design Process Demystified (2nd edition), Butterworth Architecture, Oxford, UK.

Rooijakkers, Ad (1988), Cara Belajar di Perguruan Tinggi: Beberapa Petunjuk Praktis, Gramedia, Jakarta

Vitruvius, The Ten Books on Architecture, translated by M.H. Morgan (1960), Dover Publications, New York

Wotten, Henry, Sir (1624), The Elements of Architecture, quoted from LM Roth (1994), Understanding Architecture: Its Elements, History and Meaning, Herbert Press Ltd., London

Gambar

Gambar 11.1. Ruang Studio Gambar di Jurusan Teknik Arsitektur,  Universitas Khairun Ternate, Ternate
Gambar 11.2. Ruang Studio Tugas Akhir, Jurusan Arsitektur,  Universitas Palangka Raya.Kalimantan Tengah
Gambar 11.3. Ruang Maket Studio Arsitektur, Institut Teknologi  Nasional (ITN), Malang
Gambar 11.4. Ruang Studio Tugas Akhir Arsitektur, Universitas  Tarumanagara, Jakarta

Referensi

Dokumen terkait

Anwar Malang Januari -Juli 2007 Dokumentasi lokal PIT Manado, 2011, presentasi Pengaruh Jenis Insisi pada. Operasi Katarak terhadap terjadinya Sindroma

Berdasarkan analisis struktur dengan FTIR, 1 H-NMR dan 13 C-NMR, produk reaksi berupa campuran senyawa yaitu etil 2-(3,5-dihidroksifenol) asetat, etil

Berdasarkan kajian kami sebagaimana yang dicantumkan pada karya ilmiah ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa untuk mencapai kualitas pendidikan

Sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara sikap responden terhadap kesehatan reproduksi dan seksualitas dengan perilaku seksual pranikah mahasiswi

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan dan keputusan di lingkungan Universitas Hasanuddin yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak

Representasi citra orang indonesia D alam puisi mbeling karya remy sylado.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Manfaat penelitian ini adalah (1) meningkatkan profesionalitas guru, memberikan informasi mengenai penggunaan model TAPPS berbasis multimedia (2) melatih agar peserta