• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDY ETHNOMATHEMATICS: PENGUNGKAPAN SISTEM BILANGAN MASYARAKAT ADAT BADUY. Oleh: Nilah Karnilah (1) Dadang Juandi (2) Turmudi (2) ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDY ETHNOMATHEMATICS: PENGUNGKAPAN SISTEM BILANGAN MASYARAKAT ADAT BADUY. Oleh: Nilah Karnilah (1) Dadang Juandi (2) Turmudi (2) ABSTRAK"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGUNGKAPAN SISTEM BILANGAN MASYARAKAT ADAT BADUY

Oleh:

Nilah Karnilah (1) Dadang Juandi (2)

Turmudi (2)

ABSTRAK

Penelitian ini menyangkut tentang upaya untuk menunjukkan hubungan yang terjadi secara timbal balik antara matematika dengan budaya. Selama ini matematika dianggap tidak ada kaitannya sama sekali dengan budaya. Anggapan tersebut berperan besar dalam melahirkan praktik kolonialisasi pembelajaran matematika di beberapa negara. Upaya untuk menghilangkan praktik kolonialisasi pembelajaran matematika tersebut didiskusikan oleh para matematikawan dan ahli pendidikan matematika internasional dalam suatu wadah yang disebut ethnomathematics. Penelitian ini dilakukan di daerah adat Baduy, tepatnya di Kampung Gajeboh. Fokus situasi sosial yang diteliti adalah aktivitas di huma (ladang). Tujuannya yaitu mengungkap sistem bilangan (bentuk matematika yang tidak familiar) yang terdapat pada aktivitas tersebut. Metode penelitian terbaru dalam kajian ethnomathematics mengadopsi prinsip mutual interrogation berupa critical dialogue. Metode itu pula yang digunakan dalam penelitian ini. Sebagaimana penelitian-penelitian ethnomathematics di negara-negara lain, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan prinsip-prinsip dalam ethnography, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi, hingga pada pembuatan catatan lapangan (field notes). Hasil temuan pada aktivitas pertanian diungkap melalui budaya sebagai kerangka acuan. Penelitian ini merekomendasikan kepada masyarakat Indonesia bahwa sudah seharusnya kita memandang adanya keterhubungan antara matematika dengan budaya.

Kata kunci: ethnomathematics, Masyarakat Adat Baduy, mutual interrogation, critical dialogues, dan ethnography.

(2)

PENDAHULUAN

Sebagai gambaran umum bagaimana matematika dipelajari saat ini adalah proses belajar mengajar masih menggunakan model konvensional yang berlangsung satu arah yaitu dari guru kepada siswa. Guru menerangkan dan siswa mendengarkan, mencatat apa yang dicatat oleh guru dan menghapalkannya, sehingga tujuan pembelajaran akan cepat selesai. Dengan kata lain guru biasanya menjelaskan konsep secara informatif, memberikan contoh soal, dan memberikan soal latihan yang lebih bersifat prosedural dan mekanis dari pada menanamkan pemahaman kepada siswa. Proses pembelajaran ini mengakibatkan munculnya wajah seram matematika pada siswa, sehingga siswa menganggap matematika sebagai pelajaran yang membosankan, kurang menarik, dan jauh dari kehidupan sehari-hari.

Sumardyono (Paket Pembinaan Penataran, 2004) mengakui pula adanya gejala-gejala yang memunculkan wajah seram matematika. Sumardyono (Paket Pembinaan Penataran, 2004) mengakuinya dengan terlebih dahulu menyajikan hasil penelitian bahwa persepsi guru terhadap matematika mempengaruhi persepsi atau sikapnya terhadap pembelajaran matematika. Untuk menyebut salah satunya, Hersh (Paket Pembinaan Penataran, 2004: 1) menyatakan bahwa hasil pengamatan di kelas, menurut para peneliti, bagaimana matematika diajarkan di kelas dipengaruhi dengan kuat oleh pemahaman guru tentang sifat matematika.

Pandangan bahwa matematika memiliki wajah yang seram, dan jauh dari kehidupan sehari-hari, secara tidak langsung pandangan tersebut menyiratkan bahwa matematika tidak terkait dengan budaya. Alasan rasional bahwa masyarakat memandang bahwa matematika tidak terkait dengan budaya dimulai dari perilaku siswa yang tidak tahu bagaimana menggunakan matematika untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya pada kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat kurang begitu merasakan manfaat dari matematika.

(3)

Gejala yang timbul akibat memandang matematika jauh dari kehidupan sehari-hari adalah buah dari paradigma yang berkembang di masyarakat dunia sejak lebih dari 2000 tahun ini. Paradigma itu dinamakan oleh Turmudi (2009: 4) sebagai paradigma absolut dalam memandang matematika. Matematika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang sempurna dengan kebenaran yang objektif, jauh dari urusan kehidupan manusia. Paradigma absolut membuat matematika seakan-akan adalah ilmu yang terlepas dari budaya.

Pandangan yang menyebutkan bahwa matematika terlepas dari budaya mulai banyak dirasakan sebagai pandangan yang keliru. Kini, mulai banyak penelitian-penelitian yang mengkaji dan meneliti keterhubungan antara matematika dan budaya. Salah satunya dapat dilihat dari hasil pertemuan-pertemuan International Community of Mathematics Education beberapa tahun ini (Clements, 1996: 824). Hasil utamanya menyebutkan bahwa permasalahan yang terkait dengan budaya mau tidak mau akan mengelilingi proses belajar pembelajaran matematika, bahkan mengelilingi pula semua bentuk-bentuk matematika (selain pendidikan matematika). Dengan kata lain matematika sebenarnya terkait erat dengan budaya.

Pandangan masyarakat bahwa tidak ada keterkaitan antara matematika dengan budaya, menurut peneliti merupakan hal yang tidak tepat dalam memandang matematika. Dikatakan tidak tepat, salah satunya dikarenakan tidak sesuai dengan deskripsi matematika itu sendiri. Sampai saat ini, memang belum ada definisi formal yang mendeskripsikan dengan tepat apa itu matematika. Namun deskripsi yang diambil dari Hadi (2005) dan tujuan dipelajarinya matematika dari TIM Mata Kuliah Proses Belajar Mengajar (MKPBM) pada tahun 2001, meyakinkan peneliti bahwa ada keterkaitan bahkan hubungan timbal balik antara keduanya.

Matematika adalah kegiatan manusia. Matematika dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Dunia nyata diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran (Hadi, 2005).

(4)

Sedangkan tujuan dipelajarinya matematika yang diungkapkan dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran (TIM MKPBM, 2001: 56) adalah bahwa salah satu tujuan diberikannya matematika di sekolah adalah mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematik dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Potongan kalimat dari Hadi (2005) ‘kegiatan manusia dan dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata’, dan dari TIM MKPBM ‘agar dapat menggunakan matematik dan pola pikir matematik dalam kehidupan sehari-hari’ menunjukkan dengan jelas bahwa matematika terkait bahkan dipengaruhi oleh aktivitas (budaya) kehidupan manusia. Kedua kutipan di atas dijadikan peneliti sebagai alasan bahwa telah terjadi penyimpangan antara apa yang terjadi dengan apa yang seharusnya terjadi.

Ranah kajian yang peneliti ambil untuk mengatasi masalah bahwa matematika tidak terkait dengan budaya tersebut dikenal dengan nama ethnomathematics. Peneliti memandang bahwa ethnomathematics merupakan alternatif yang paling baik yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa antara matematika dan budaya saling terkait bahkan saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Ethnomathematics dapat dipandang sebagai suatu ranah kajian yang meneliti cara sekelompok orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsep-konsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu yang matematis. Sebagaimana dikemukakan oleh William Barton bahwa “Ethnomathematics is a field of study which examines the way people from other cultures understand, articulate and use concepts and practices which are from their culture and which the researcher describes as mathematical” (Barton, 1996: 196).

Melihat kenyataan-kenyataan yang telah diungkap di atas, yaitu pandangan siswa tentang matematika yang jauh dari kehidupan sehingga mereka tidak tahu bagaimana

(5)

menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari, hal tersebut berdampak kepada pandangan masyarakat bahwa matematika dan budaya tidak saling terkait satu sama lain, merupakan salah satu alasan dilakukannya penelitian ini.

Alasan selanjutnya dilakukan penelitian ini adalah data penelitian yang menunjukkan bahwa memungkinkan untuk mengungkap keterikatan antara matematika dengan budaya. Data penelitian tersebut telah diperoleh peneliti pada saat pengamatan pendahuluan terhadap Masyarakat Adat Baduy di Kampung Gajeboh (Karnilah, 2012). Hasilnya bahwa dimungkinkan untuk dilakukannya pencatatan, pendokumentasian, dan pembukuan nilai-nilai matematis pada aktivitas pembangunan Masyarakat Adat Baduy, seperti penanggalan yang digunakan sebagai pedoman untuk memasukan padi ke dalam leuit (lumbung padi). Hasil pengamatan tersebut, melalui study ethnomathematics peneliti yakini sebagai modal awal untuk dilakukannya penelitian lanjutan guna mengungkap keterikatan atau hubungan timbal balik antara matematika dan budaya pada Masyarakat Adat Baduy.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk mengungkap sistem bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy, karena pada dasarnya setiap kelompok manusia mau tidak mau akan dan telah menggunakan bilangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk menunjukkan keterkaitan antara matematika dan budaya atau hubungan timbal balik antara keduanya, peneliti menggunakan Study Ethnomathematics. Sistem bilangan yang digunakan pada Masyarakat Adat Baduy dipilih karena selama pengamatan pendahuluan menunjukkan bahwa pada aktivitas pembangunannya, Masyarakat Adat Baduy menggunakan bilangan-bilangan yang khas dan memperlakukannya dengan ‘istimewa’, bahkan penggunaan bilangan ini tidak hanya digunakan pada saat aktivitas pembangunan saja, tetapi hampir pada setiap aktivitas sehari-hari Masyarakat Adat Baduy pun ditemukan fenomena yang sama.

Aktivitas sehari-hari Masyarakat Adat Baduy yang peneliti duga lekat dengan penggunaan bilangan pada kegiatannya adalah aktivitas-aktivitas di huma (ladang) dan

(6)

aktivitas di acara adat. Aktivitas di huma dipilih karena hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan bahwa hampir setiap lelaki Baduy (orang dewasa), menghabiskan waktunya di huma. Sedangkan, aktivitas di acara adat dipilih karena Masyarakat Adat Baduy sangat memegang teguh aturan adat, sehingga dimungkinkan adanya konsep-konsep bilangan yang menarik untuk diungkap pada aktivitas adat tersebut.

Peneliti dengan sadar memahami bahwa data yang diperoleh dalam penelitian akan berupa data-data kualitatif sehingga peneliti perlu untuk memahami situasi sosial apa saja yang terjadi. Dengan mengamati situasi sosial yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Baduy, hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bahwa antara matematika dan budaya terdapat keterkaitan satu sama lainnya. Sistem bilangan yang diungkap, selain digunakan untuk menunjukkan adanya keterikatan tersebut, diharapkan pula menghasilkan konsep matematika yang “baru”, sehingga melahirkan pemahaman yang lebih (transformasi) dalam memandang matematika.

Berdasarkan pada latar belakang penelitian, yaitu masyarakat yang memandang bahwa tidak ada keterkaitan sama sekali antara matematika dengan budaya, serta data penelitian yang menunjukkan bahwa memungkinkan untuk dilakukannya penelitian guna mengungkap hubungan yang terjadi antara matematika dan budaya pada aktivitas Masyarakat Adat Baduy, maka penelitian ini disusun dengan menggunakan bentuk rumusan masalah deskriptif, yaitu “Bagaimana sistem bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy?”

Rumusan masalah deskriptif di atas, dirinci kembali menjadi pertanyaan penelitian, yaitu “Bagaimanakah konsep bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy pada aktivitas mereka di huma?”

Setelah dilakukannya penelitian ini, terungkap bagaimana sebenarnya sistem bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy.

(7)

Prosedur pelaksanaan penelitian yang dilakukan pada Bulan Mei 2012 sampai dengan Januari 2013 ini secara umum ditempuh melalui tiga langkah utama yaitu, analisis pra-lapangan, analisis selama di pra-lapangan, dan analisis data keseluruhan.

Desain penelitian ethnomathematics yang memfokuskan kepada praktik budaya, dibangun dengan empat pertanyaan umum. Keempat pertanyaan umum tersebut merupakan intisari pemanfaatan dari prinsip ethnography, yaitu sebagai berikut:

1. Where to start looking? 2. How to look?

3. How to recognize that you have found something significant? 4. How to understand what it is?

Berdasarkan empat pertanyaan umum yang memanfaatkan prinsip ethnography pada desain penelitian yang memfokuskan pada praktik budaya, maka desain penelitian yang dibuat dalam penelitian ini disusun sebagaimana terlihat pada tabel berikut.

Kerangka penelitian study ethnomathematics pada masyarakat adat baduy

Generic Question (Pertanyaan Umum) Initial Answer (Jawaban Awal) Critical Construct (Poin Kritis)

Specific Activity (Aktivitas Spesifik)

Where to look? (Dimana memulai pengamatan?) Pada aktivitas di huma (ladang) Masyarakat Adat Baduy.

Budaya Melakukan dialog dan wawancara kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan atau pelaku pada aktivitas di huma Masyarakat Adat Baduy.

Menggambarkan bagaimana dunia modern kini memandang bilangan.

Menggambarkan bagaimana aktivitas di huma

Masyarakat Adat Baduy kaya akan bentuk penggunaan sistem bilangan yang mereka gunakan. How to look? (Bagaimana cara mengamatinya?) Investigasi aspek-aspek QRS (quantitativ, relational, spatial) pada aktivitas di huma Masyarakat Adat Baduy. Berpikir alternatif

Menentukan ide-ide QRS apa saja yang terdapat pada penggunaan sistem bilangan Masyarakat Adat Baduy pada aktivitas mereka di huma dan memperhatikan pula aspek budaya lain seperti bahasa, mitos-mitos pada aktivitas yang terkait dengan kedua hal di atas yang akan diteliti. What it is? (Apa yang ditemukan?) Bukti (hasil) berpikir alternatif di proses sebelumnya. Filosofis matematika Mengidentifikasi karakteristik-karakteristik matematika yang terkait dengan QRS pada aktivitas di huma Masyarakat Adat Baduy, khususnya ketika menggunakan konsep bilangan.

(8)

Menunjukkan bahwa aktivitas di huma dan di acara adat Masyarakat Adat Baduy di atas memang bersifat matematis setelah dikaitkan dan dikaji tentang karakteristik matematika.

What It means?

(Apa makna dari temuan itu?)

Bernilai penting untuk budaya dan bernilai penting pula untuk matematika.

Metodologi antropologi

Menggambarkan keterhubungan yang terjadi antara dua sistem pengetahuan (matematika dan budaya).

Menggambarkan konsepi-konsepsi baru matematika pada bahasan sistem bilangan dengan menggunakan aktivitas di huma

Masyarakat Adat Baduy sebagai konteksnya.

Penelitian ethnomathematics menggunakan kajian antropologi dengan menggunakan prinsip-prinsip ethnography dalam menggumpulkan data yang terkait dengan budaya, sehingga skripsi ini menekankan pada tiga hal utama dalam teknik pengumpulan data, yaitu setting, sumber, dan cara. Setting dalam penelitian ini dilakukan pada kondisi alamiah. Sedangkan unduk sumber, penelitian ini menggunakan sumber data primer yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti melalui wawancara yang mendalam, dengan teknik wawancara yang bersifat tidak terstruktur dan terstruktur sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Terakhir, yaitu cara, penelitian ini menggunakan studi kepustakaan, teknik observasi (deskriptif, terfokus, dan terselieksi), wawancara mendalam dan artefak (dokumentasi foto).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Masyarakat Adat Baduy menggunakan bilangan asli dalam kehisupan mereka sehari-hari. Pengucapan bilangan oleh Masyarakat Adat Baduy diantaranya hiji untuk menyebutkan bilangan satu, dua untuk menyebutkan bilangan dua, tilu untuk menyebutkan bilangan tiga dan seterusnya. Selain itu, untuk bilangan 21 mereka menyebutnya dengan dua puluh hiji atau salikur. Dua puluh hiji merupakan pengucapan bilangan 21 dalam Bahasa Sunda, sedangkan salikur merupakan pengucapan bilangan 21 dalam Bahasa Jawa. Jika diamati, pengucapan bilangan oleh Masyarakat Adat Baduy

(9)

menggunakan campuran bahasa pengucapan bilangan dari Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa. Nampaknya telah terjadi proses enkulturasi pengucapan bilangan di wilayah Baduy.

Selain bahasa pengucapan untuk bilangan, bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy pun terbatas pada bilangan asli, dan separo. Dengan kata lain, mereka tidak menggunakan bilangan nol, pecahan, desimal, ataupun negatif.

Bilangan asli terdiri dari bilangan bulat positif bukan nol yaitu 1, 2, 3, 4, dan seterusnya. Hal yang wajar apabila jenis bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy tidak menggunakan bilangan nol. Karena dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat Adat Baduy sangat jarang (bahkan tidak pernah) membutuhkan bilangan nol untuk menghitung jumlah atas kuantitas dari sejumlah benda yang dimilikinya. Seperti dalam menghitung durian pada gambar dibawah ini, kita tidak menghitungnya dengan cara menghtung dari nol (nol durian, satu durian, dua durian, dan seterusnya) melainkan dengan menghitung dari satu. Ataupun ketika kita ditanya berapa banyak durian yang kamu miliki, kita akan lebih cenderung menjawab tidak punya durian daripada menjawab saya punya nol durian atau Masyarakat Adat Baduy menyebutnya dengan euweuh.

Begitupun apabila Masyarakat Adat Baduy memiliki 3 buah durian dan seorang pembeli akan membeli kepadanya sebanyak lima buah durian. Masyarakat Adat Baduy akan menyebutnya dengan mun rek meuli lima, kudu ditambahan dua. Dari kasus ini mereka terlihat tidak menggunakan istilah lain untuk menyebut bilangan negatif.

Bilangan separo yang disebut Masyarakat Adat Baduy muncul dari konteks pembagian harta waris. Istilah separo dalam pemahaman Masyarakat Adat Baduy Adat Baduy bukanlah bilangan pecahan seperti yang kita kenal, melainkan separo diucapkan untuk menyatakan setengah banyaknya benda/objek yang ada, atau dengan kata lain banyaknya benda yang ada dibagi menjadi dua bagian yang sama. Selain bilangan yang mereka sebut dengan separo tersebut, mereka tidak mengenal ataupun menggunakan bilangan pecahan lain.

(10)

Jika kita telusuri, bilangan asli merupakan salah satu konsep matematika yang paling sederhana dan termasuk konsep pertama yang bisa dipelajari dan dimengerti oleh manusia. Berbeda halnya dengan kehidupan di Masyarakat Adat Baduy, dalam dunia keilmuan matematika konsep bilangan selama bertahun-tahun telah diperluas untuk meliputi bilangan nol, bilangan asli, bilangan bulat, bilangan rasional, bilangan irasional, dan lain-lain.

Hasil penelitian pada aktivitas sekitar huma merujuk kepada beberapa konteks budaya, yaitu pertanian dan penjualan buah durian. Hasil penelitian akan dibahas menggunakan prinsip mutual interrogation melalui critical dialogues yang dapat ditempuh dengan menggunakan budaya sebagai kerangka acuan.

Konteks Pertanian

Elemen budaya yang terdapat pada konteks pertanian, bahwa 1 ranggeong padi setara dengan 5 liter beras (hasil wawancara kepada G1, pada tanggal 4 Januari 2013). Kemungkinan konsep bilangan dari elemen budaya tersebut adalah model matematika yang mungkin untuk dikembangkan dalam proses penjualan beras, yaitu model mengkonversi banyaknya ranggeong padi ke dalam datuan-satuan berat seperti kilogram. Model tersebut adalah:

...(1) Keterangan:

1)K adalah berat beras yang dihasilkan dalam satuan kilogram.

2)rg adalah banyanyaknya ranggeong padi dan rg merupakan bilangan asli dan r dalam satuan ikat ranggeong.

Koefisien 3,6 diperoleh dengan mengasumsikan untuk 1 ranggeong padi akan dihasilkan 4,5 liter beras dan 1 liter beras setara dengan 0,8 kilogram beras, sehingga untuk 1 ranggeong padi akan menghasilkan 3,6 kilogram beras. Perhatikan:

(11)

= kilogram beras = 3,6 kilogram beras

Asumsi pertama, 1 ranggeong padi akan menghasilkan 4,5 liter beras diperoleh dari narasumber G1 dan Jurnal Bumi Lestari Volume 12 No.2 yang ditulis oleh Gunggung Senoaji. G1 (wawancara pada tanggal 4 Januari 2013) menyatakan bakwa 1 ranggeong padi setara dengan 5 liter beras, sedangkan Senoaji (2012: 287) mengungkapkan bahwa jika 1 ranggeong padi ditumbuk akan menghasilkan beras sebanyak 4 sampai 5 liter. Karena beras yang dihasilkan dari 1 ranggeong padi berkisar antara 4-5 liter, maka untuk mengurangi tingkat ke salahan perhitungan (margin error), dipilihlah untuk 1 ranggeong padi akan menghasilkan 4,5 liter beras, yaitu nilai tengah dari = 4,5 liter beras.

Asumsi kedua, 1 liter beras setara dengan 0,8 kilogram beras diperoleh dari tulisan berjudul Etika Penjual Beras yang ditulis oleh Teddy Hartono. Hartono (2011:2) mengungkapkan bahwa 1 kilogram beras sama dengan 1,25 liter beras. Jika 1 kilogram beras sama dengan 1,25 liter beras, maka kita akan memperoleh untuk 1 liter beras sama dengan

= 0,8 kilogram beras.

Contoh kasus: ”Berapa kilogram beras yang dihasilkan dari 800 ikat ranggeong?”

Dengan menggunakan model yang dikembangkan di atas, kita dapat memperkirakan bahwa banyaknya beras yang dihasilkan adalah

K = 3,6 rg =

= 2880 kilogram beras

Dari hasil penggunaan model, diperoleh bahwa banyaknya beras yang dihasilkan dari 800 ikat ranggeong padi adalah 2.880 kilogram beras. Jika dikehendaki dalam satuan berat yang lain, kita dapat mengkonversinya seperti aturan yang telah ada dalam konsep

(12)

matematika bahwa 1 kilogram = 0,01 kwintal = 0,001 ton. Jadi dari 800 ikat ranggeong padi akan dihasilkan 2.880 kilogram beras atau setara dengan 2,8 ton beras.

Konteks Penjualan Durian

Elemen budaya yang terdapat pada konteks penjualan durian, bahwa satu bauh durian disebut dengan sabiji, dua buah durian disebut dengan dua biji, tiga buah durian disebut dengan tilu biji, empat buah durian disebut dengan sakojor, dan seterusnya (hasil wawancara kepada G1, pada tanggal 4 Januari 2013). Kemungkinan konsep bilangan dari elemen budaya tersebut adalah model matematika yang mungkin untuk dikembangkan dalam untuk menghitung banyaknya durian yang dibicarakan (berdasarkan pengucapan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy pada durian) menggunakan penjumlahan dan perkalian terhadap bilangan 4. Model tersebut adalah:

...(2) Keterangan:

1)D adalah banyaknya buah durian yang dibicarakan.

2) adalah banyaknya buah durian dalam satuan kojor dan merupakan bilangan asli. 3) adalah banyaknya buah durian dalam satuan biji dan .

Notasi digunakan untuk merepresentasikan banyaknya buah durian dalam satuan kojor, sedangkan b merepresentasikan banyaknya buah durian dalam satuan biji.

Contoh kasus: “Berapa banyaknya buah durian yang ada, jika Masyarakat Adat Baduy menyebut lima kojor tilu biji?”

Dengan menggunakan model yang dikembangkan di atas, kita dapat menghitung banyaknya durian adalah:

D = ( = (5

(13)

Dari hasil penggunaan model, diperoleh bahwa banyaknya buah durian ketika Masyarakat Adat Baduy menyebutkan lima kojor tilu biji adalah 23 buah durian.

Untuk memahami model di atas, kita dapat melihat awal mula bagaimana pembuatan model tersebut. Perhatikan tabel berikut ini.

Penamaan banyaknya buah durian berdasarkan penjumlahan dari suatu bilangan Banyaknya buah durian (K) Jumlah dari bilangan Bentuk sederhana (model) Disebut Orang Baduy dengan 1 1 1 Sabiji 2 2 2 Dua biji 3 3 3 tilu biji 4 4 4 Sakojor 5 4+1 (1×4)+1 Sakojor biji

6 4+2 (1×4)+2 Sakojor dua biji

7 4+3 (1×4)+3 Sakojor tilu biji

8 4+4 (2×4) Dua kojor

9 4+4+1 (2×4)+1 Dua kojor sabiji

10 4+4+2 (2×4)+2 Dua kojor dua biji

... ... ... ...

Dari tabel di atas, dapat kita generalisasikan bahwa untuk kojor dan biji durian, maka akan terdapat D buah durian. Sehingga model matematikanya adalah:

...(3) KESIMPULAN dan SARAN

Pada dasarnya Masyarakat Adat Baduy belum memiliki sistem bilangan secara tertulis, meskipun pada banyak konteks budaya, mereka telah mempraktikkan/menggunakan konsep-konsep bilangan. Konsep bilangan tersebut diperoleh dari dua konteks budaya dari aktivitas di huma, yaitu konteks pertanian dan konteks penjualan buah durian.

Pada konteks pertanian, muncul model matematika yang dirumuskan untuk menyelesaikan persoalan berapa kilogram beras yang dihasilkan dari banyaknya ranggeong padi di Baduy dengan K adalah berat beras yang dihasilkan dalam satuan kilogram; rg adalah banyaknya ranggeong padi, rg dalam satuan ikat ranggeong dan rg merupakan bilangan asli.

Pada konteks penjualan buah durian, muncul model matematika ; dimana D adalah banyaknya buah durian yang dibicarakan, k adalah banyaknya buah durian

(14)

dalam satuan kojor dan k merupakan bilangan asli, b adalah banyaknya buah durian dalam satuan biji dan .

Saran untuk penelitian ethnomathematics selanjutnya yang akan mengkaji konteks sistem bilangan Masyarakat Adat Baduy adalah apa yang belum selesai dari penelitian ini, yaitu meneliti lebih lanjut mengenai 1 ranggeong padi yang setara dengan 5 liter beras. Apakah untuk setiap musim 1 ranggeong padi akan selalu tetap menghasilkan 5 liter beras. Sehingga dapat dibuat model matematika yang lebih akurat untuk mengkonversi banyaknya ranggeong padi ke dalam satuan berat lainnya, seperti kilogram, kwintal dan ton.

DAFTAR PUSTAKA

Alangui, W.V. (2010). Stone Walls and Water Flows: Interrogating Cultural Practice and Mathematics. Doctoral Dissertation, University of Auckland, Auckland, New Zealand: Unpublished.

Barton, W.D. (1996). Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in Mathematics. A Thesis for Doctor of Philosophy in Mathematics Education University of Auckland: Unpublished.

Clements, K. (1996). ”Historical Perspective”, dalam International Handbook of Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Hadi, S. (2005). Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Tulip.

Hartono, T. (2011). Etika Penjual Beras. Tersedia:

http://teddyhartono.files.wordpress.com/2011/04/etika-penjual-beras.pdf. [10 April 2013].

Karnilah, N. (2012). Eksplorasi Etnomatematika Dalam Produk Masyarakat Baduy. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika UPI, Bandung.

Maftukha, N. (2010). Analisis Transmisi Tenun Selendang Pada Masyarakat Baduy. Skripsi Sarjana pada FPBS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Miswanto. (2010). Bilangan dan Angka. [Online]. Tersedia:

http://wanto.student.umm.ac.id/2010/10/11/bilangan-dan-angka.html [6 Desember 2012]

Paket Pembinaan Penataran. (2004). Karakteristik Matematika dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas.

(15)

Senoaji, G. (2012).”Pengelolaan Lahan Dengan Sistem Agroforestry Oleh Masyarakat Baduy Di Banten Selatan”. Jurnal Bumi Lestari. 12, (2), 283-293.

Susandi. (2012). Seni Tenun Baduy di Desa Kanekes Kabupaten Lebak, Banten 1986-2001 Asal Mula, Makna, dan Perkembangannya. Skripsi Sarjana pada FPIPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Teguh. (2005). “Pembelajaran Konsep Nilai Tempat Bilangan Cacah Di Kelas Rendah Sekolah Dasar”. Jurnal Edukatif.(2). 71-85.

Tim Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak. (2004). Membuka Tabir Kehidupan: Tradisi Masyarakat Baduy dan Cisungsang serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug. Lebak: Disporabudpar.

TIM MKPBM. (2001). Strategi Mengajar Kontemporer. Bandung: JICA.

Turmudi. (2009). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika Berparadigma Eksploratif dan Investigatif. Jakarta: Leuser Cipta Pustaka.

Referensi

Dokumen terkait

thuringiensis terh gejala peracunan pestis terhadap serangga uji suda ini teramati melalui gej yang aktivitas gerakannya nurun (diam). Selain itu ak juga terhenti. Hal ini

Karena F hitung > F tabel , sehingga mengindikasikan bahwa hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa

Berdasarkan beberapa persyaratan yang telah ditentukan, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa metode analisis tersebut dapat digunakan untuk menganalisis serentak vitamin

Jika bayi yg dilahirkan laki laki, dianjurkan utk menyembelih dua ekor kambing yg sepadan (sama besar nya), sedangkan bayi wanita disembelihkan satu ekor kambing2. Aspek ini

Anak yang mengalami kesulitan belajar merupakan kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi, dan/atau kemampuan

Optimasi produksi pada Sumur M-150, Sumur M-155, Sumur M-160, dan Sumur M- 165 dilakukan untuk meningkatkan produksi total pada Lapangan Awiligar dengan perbandingan skenario

Kesimpulan : Pemberian boraks peroral dosis bertingkat selama 4 minggu dilanjutkan 2 minggu tanpa paparan boraks tidak terjadi perubahan makroskopis (berat ginjal)

Pemeliharaan naskah agar tidak cepat rusak, antara lain (a) mengatur suhu udara tempat naskah disimpan, (b) sehingga tidak cepat lapuk; (c) melapisi kertas-kertas yang