• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu-isu Krusial Dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Isu-isu Krusial Dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

2016

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi

Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat info.spdindonesia@gmail.com│+621 3906072

www.spd-indonesia.com

Serial Paper

Catatan Kritis

Isu-isu Krusial Dalam Rancangan

Undang-Undang Pemilu

(2)

2 Catatan Kritis Sindikasi Pemilu dan Demokrasi-SPD

Terhadap Isu-isu Krusial Dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu

Pembahasan Rancangan Undang-undang Pemilu yang saat ini sedang dilakukan oleh Pemerintah memasuki babak yang menentukan. Pada tahap ini, prosesnya relatif memadai untuk segera dilakukan pembahasan bersama-sama dengan DPR. Upaya Pemerintah dalam proses penyusunan RUU juga perlu diberikan apresiasi, karena terlihat membuka ruang bagi adanya masukan-masukan para pihak dan mengakomodasi berbagai masalah penting sebagaimana yang tercermin menjadi 13 isu krusial.

Ibarat ‘Tidak Ada Gading Yang Tak Retak’, demikian juga halnya dengan isu-isu krusial dengan berbagai alternatif yang telah disusun tersebut. Sebelum memberikan respon dalam bentuk Catatan Kritis, ada satu aspek terpenting namun absen yang harusnya menjadi dasar pijakan bersama, yaitu misi undang-undang itu sendiri. Oleh karena itu, selain memberikan masukan dalam bentuk Catatan Kritis, perlu lebih dahulu untuk diungkapkan misi undang-undang pemilu, sehingga terdapat satu kriteria penilaian yang memenuhi standar.

Demikian juga dengan Catatan Kritis yang saat ini hendak disampaikan, dia tidaklah dimaksudkan untuk merespon semua dari 13 isu krusial yang saat ini dimiliki oleh Pemerintah. Catatan Kritis ini membatasi penilaiannya pada seputar isu-isu krusial yang terkait erat dengan Sistem Pemilu dan Elemen-elemen Teknis (matematis) Pemilu yang mengikutinya.

Jika berangkat dari 13 isu krusial yang saat ini disusun oleh pihak pemerintah, maka ada tiga misi utama UU Pemilu yang harus disampaikan, antara lain:

1. “Penguatan sistem Presidensialisme Indonesia”. Misi ini dilakukan melalui pelaksanaan penyelenggaraan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu (pilpres) secara serentak. Melalui pemilu serentak, diharapkan partai politik calon presiden atau koalisi partai pengusung calon presiden dapat dominan di DPR, sehingga pemerintahan dapat berjalan efektif.

2. “Menciptakan Sistem Kepartaian Yang Sederhana”. Misi ini hendaknya dimaksudkan untuk menciptakan sebuah sistem kepartaian yang efektif dan sederhana, dimana kekuatan partai politik tersebar ke sejumlah partai politik yang dominan. Oleh karena itu, mengandaikan sederhana tidaknya sistem kepartaian berdasarkan berapa jumlah riil partai adalah keliru. Harusnya didasarkan pada jumlah efektif. Untuk itu perlu ukuran yang berpijak pada disiplin pemilu dengan berdasarkan rumusan formula yang disepakati para ahli dan bukan karena hitungan jari. Atau bahkan dengan ‘utak-atik’ elemen teknis pemilu yang jika tidak disadari dengan bijak, akan berujung pada penciptaan berbagai halang rintang (threshold ekslusi) bagi partai politik melalui cara seolah-olah demokratis. Sekali lagi penyederhanaan sistem kepartaian tidak sama dengan penyingkiran kompetitor.

3. “Proporsionalitas dan Derajat Keterwakilan Lebih Tinggi”. Misi ini mengasumsikan bahwa perolehan suara setiap partai politik (persen) seimbang atau sama dengan perolehan kursinya di DPR (persen), karena proporsionalitas dan derajat keterwakilan lebih tinggi tersebut adalah cermin kekuatan dari tiap-tiap partai politik yang berkompetisi dalam pemilu. Dengan demikian, elemen teknis pemilu (matematis) – Alokasi Kursi DPR/DPRD dan Pembentukan Daerah Pemilihan, Metode Penghitungan Suara-Kursi, dan Ambang Batas Parlemen (PT) - yang digunakan dalam sistem pemilu, hendaknya ditujukan untuk menjawab misi-misi tersebut.

(3)

3 Dalam rangka mewujudkan tiga misi UU Pemilu diatas, jika mendasar pada evaluasi empat kali penyelenggaraan pemilu paska-reformasi, ada beberapa catatan penting yang perlu mendapat perhatian khusus baik bagi Pembuat UU maupun seluruh pemerhati bidang kepemiluan. Beberapa catatan penting adalah sebagai berikut:

 Jika alokasi kursi DPR dan DPR Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tetap seperti 2014, maka misi dan tujuan dari Undang-undang Pemilu secara teoritis maupun empiris tidak akan tercapai. Hal ini diakibatkan oleh karena alokasi kursi DPR RI ke provinsi dan provinsi ke dapil yang terjadi sejak Pemilu 2004 lalu tidak memenuhi prinsip Satu Orang, Satu Suara, dan Satu nilai atau Opovov (one person, one vote, one value).

 Tidak singkronnya (tidak Opovov) antara nilai suara setiap pemilih antara pilpres dengan pileg, merupakan penyebab terjadinya disproporsionalitas dan menciderai prinsip keadilan keterwakilan pemilu demokratis yang telah dilakukan selama empat kali di Indonesia.

 Efek di atas selama ini masih pandang sebelah mata, namun ketika penyelenggaraan pemilu dilakukan secara serentak, dampaknya akan lain dan nyata. Oleh karena, adanya potensi konflik kelembagaan antara lembaga Kepresidenan dengan DPR. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh terhadap efektivitas jalannya pemerintahan di masa mendatang.

 Untuk penciptaan Sistem Kepartaian Sederhana dan guna menghindari pemikiran dan pengambilan kebijakan yang bersifat arbitrer (mana suka), diperlukan suatu alat ukur yang memadai. Satu ukuran yang hingga saat ini disepakati oleh para sarjana pemilu untuk mengukur sederhana tidaknya sistem kepartaian sebuah negara, adalah dengan menghitung Jumlah Efektif Partai, yaitu dengan menggunakan indeks ENPP (effective number of parliamentary parties). Melalui indeks ini, ukuran sederhana tidaknya sistem kepartaian yang terbangun, didasarkan pada konsentrasi perolehan kursi partai politik yang ada di lembaga perwakilan. Dari ukuran tersebut, akan diketahui mana saja partai politik yang memiliki kekuatan dan potensi sebagai pembentuk pemerintahan ataupun fungsi penggertak dalam proses pengambilan keputusan politik.

Saran

 Alokasi kursi DPR dilakukan ulang dengan berdasarkan prinsip Opovov agar berkesesuaian dengan prinsip Opovov yang dianut dalam Pilpres. Preseden ini sebelumnya pernah terjadi pada Pemilu DPR tahun 1955, dimana alokasi kursi DPR ke setiap provinsi didasarkan pada prinsip Opovov, bahkan pada tingkat yang mendekati sempurna.

 Alokasi kursi DPR hendaknya dilakukan dengan menggunakan data yang berbasiskan sensus penduduk terakhir, dan hasil alokasi dapat dipergunakan setidaknya minimal dua kali pemilu. Sebagaimana diketahui, sensus penduduk di Indonesia dilakukan setiap 10 tahun sekali.

 Prinsip-prinsip alokasi kursi dapat melibatkan berbagai metode penghitungan yang tersedia dan dapat didasarkan pada berbagai misi dalam rangka penciptaan keadilan keterwakilan. Misalnya: mendekatkan rasio pemilih dengan penduduk, rasio penduduk yang berkepadatan tinggi dan rendah, ataupun memperpendek rasio ketimpangan keterwakilan antar provinsi dan sebagainya.

 Pada saat pemilu, keterpenuhan prinsip Opovov bisa ditempuh melalui cara penghitungan perolehan kursi parpol secara nasional terlebih dahulu, setelah itu baru dialokasikan ke provinsi dan daerah pemilihan (dapil).

 Proporsional daftar terbuka dengan besaran dapil seperti Pileg 2014 (3 s/d 10 kursi) menyulitkan harapan, sebab konstituen memilih caleg yang berkantong tebal atow

(4)

4 beken dan bukan parpol presiden. Tengok pengalaman Brazil sejak re-demokrasi di era 1980an yang selalu gagal menempatkan parpol presiden menjadi dominan di lembaga perwakilan bikameralnya.

Rekomendasi

 Menggunakan proporsional daftar tertutup (tetap/baku), namun dengan mencantumkan nama-nama caleg dalam surat suara. Ataupun mengkawinkan proporsional daftar tertutup dengan Pilpres misalnya di Argentina.

 Menggunakan sistem proporsional dengan model pencalonan kombinasi terbuka dan tertutup. Cara penghitungan perolehan kursi dilakukan secara proporsional.

 Jika tetap hendak mempertahankan Proporsional Daftar Terbuka, maka mengubah besaran dapil menjadi kecil. Misalnya satu dapil berkursi 2 (dua) seperti di Cile, sehingga menjadi insentif bagi parpol untuk sejak awal berkoalisi, bahkan sebelum pemilu (pemilihan caleg juga merupakan hasil kesepakatan koalisi parpol).

(5)

5 TENTANG PILEG DAN PILPRES SERENTAK

Penyelenggaraan pemilu secara serentak (pileg dan pilpres) merupakan satu instrumen politik yang secara efektif dapat menghasilkan pemerintahan yang kuat. Selain itu, skema keserentakan penyelenggaraan pilpres dan pileg juga dapat menghasilkan terwujudnya penyederhanaan sistem kepartaian secara alami dan demokratis. Ada satu aspek penting dari keserentakan penyelengaraan pemilu yang kerap diabaikan dalam konteks sistem presidensialime, di mana melalui pemilu serentak, tersedia mekanisme secara sah dan terlembaga baik bagi masyarakat pemilih maupun pemerintah untuk saling melakukan evaluasi terhadap efektif tidaknya berbagai kebijakan dan program-program pemerintahan.

Manfaat lain yang juga akan didapatkan jika (pileg nasional tidak serentak dengan pileg daerah) antara lain; (a) mendidik masyarakat untuk membedakan isu nasional dan daerah, (b) hasil pemilu daerah dapat menjadi koreksi terhadap kebijakan pemerintah pusat, (c) masyarakat tidak berpemilu tiap lima tahun sekali, tapi minimal dua kali dalam 5 tahun, (d) memberdayakan KPU dan Bawaslu dengan diberi kewenangan/otonomi. Manfaat tersebut akan didapatkan, apabila penyelenggaraan pileg dan pilpres diserentakkan, dan diselingi dengan perbedaan waktu 2,5 tahun yang kemudian diikuti dengan pemilu DPRD dan Pilkada yang juga dilakukan secara serentak.

TENTANG SISTEM PEMILU

Berdasarkan daftar isu-isu krusial yang saat ini menjadi pembahasan di tim pemerintah, setidaknya telah mengakomodasi 4 alternatif sistem yang dapat dipergunakan. Untuk itu, dipandang penting untuk diajukan alternatif kelima, yaitu: Sistem Proporsional Tertutup di tingkat nasional dan provinsi, sedangkan Sistem Proporsional Daftar Terbuka diterapkan di tingkat kabupaten/kota. Sedangkan alternatif keenam, yaitu: Menggunakan Skema Pemilu 2014 (Daftar Terbuka dan Dapil Sama). Namun penghitungan suara dilakukan di tingkat provinsi setelah itu kursi baru dialokasikan ke dapil dan diduduki oleh calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Skema alternatif keenam ini dapat memberikan isentif baik bagi partai (pencalonan) maupun bagi caleg (berkampanye untuk partai), bukan untuk diri sendiri. Jika skema ini bisa diterapkan, maka proporsionalitas pemilu minimal di dalam tingkat provinsi akan terwujud.

Khusus terkait dengan pilihan sistem pemilu, juga tidak disebutkan misi yang hendak dicapai. Jika masalah yang terpenting adalah akuntabilitas, sehingga memunculkan usulan pilihan Sistem Proporsional Daftar Terbuka, maka perlu diajukan beberapa pertanyaan seperti di bawah:

a) Dapatkah seorang caleg terpilih (DPR RI) yang dipilih oleh lebih dari 125 ribu pemilih bertanggungjawab terhadap ratusan ribu jumlah konstituen? Hal ini tentu saja berbeda dengan caleg terpilih di tingkat kabupaten/kota, di mana jumlah konstituen yang harus diberikan pertanggungjawaban berjumlah ribuan atau puluhan ribu.

b) Dengan mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW), maka legislator adalah anggota parlemen jenis delegate. Program Legislator adalah program partai, bukan program masyarakat di dapilnya. Artinya, akuntabilitas tetap kepada partai, bukan ke legislator. c) Jika harus akuntabel, terhadap bagian dapil mana caleg terpilih harus terikat

akuntabilitasnya? Mari berimajinasi, dalam sebuah dapil berkursi 10 yang terdiri dari gabungan kabupaten/kota. Kepada wilayah mana harus akuntabel?

d) Akuntabilitas itu hanya bisa ditagih 5 tahun sekali, jika sang legislator mencalonkan kembali. Dalam hal ini perlu studi tingkat keterpilihan legislator, apakah keterpilihan didominasi oleh faktor akuntabilitas ataukah karena kemampuan lainnya, seperti finasial misalnya.

(6)

6 e) Studi menyebutkan, dalam sistem presidensial macam Indonesia, yang berlaku adalah logika sistem parlementer. Dengan kata lain, Presiden perlu dukungan DPR, oleh karena itu mayoritas DPR hendaknya berpihak pada presiden. Jika begitu, maka akuntabilitasnya bukan pada legislator, melainkan pada presiden.

f) Sistem pemilu campuran (proporsional dengan kombinasi pencalonan) menyertakan elemen akuntabilitas, sebab sebagian legislatornya dipilih dalam daftar terbuka. Elemen akuntabilitas dapat diharapkan pada dapil terbuka berkursi tunggal. Contoh DKI Jakarta dengan 21 kursi untuk DPR RI. Jika diterapkan model kombinasi pencalonan, sebagai ilustrasi maka dapat dibagi 10 kursi dalam satu dapil proporsional daftar tertutup, dan 11 dapil berkursi tunggal. Untuk 11 dapil berkursi tunggal, maka akuntabilitas akan lebih jelas.

g) Selain itu, dalam daftar terbuka berkursi satu lebih rendah korupsinya ketimbang berkursi 10, sebab dalam kursi 10 caleg memiliki harapan untuk dipilih.

h) Dalam hal Proporsional dengan Kombinasi Pencalonan, perlu dipikirkan secara serius cara perolehan suara setiap partai politik dan calon terpilihnya. Sebab, jika penghitungan suara kursi partai politik dilakukan dengan cara paralel, maka prinsip proporsional dari misi pemilu akan terabaikan.

Jika misi sistem pemilu hendak memperkuat sistem kepartaian, maka di negara-negara yang sistem kepartaiannya belum melembaga, daftar terbuka cenderung memperlemah sistem kepartaian sebagai akibat dari tingginya persaingan antar caleg dalam tubuh satu partai (simak pengalaman Brazil). Dan caleg tidak menawarkan program parpol, melainkan dirinya sendiri.

TENTANG AMBANG BATAS PERWAKILAN

Khusus tentang Ambang Batas Parlemen, tujuannya memang jelas, yaitu untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Namun berbagai studi juga menunjukkan bahwa penerapan Ambang Batas Parlemen yang tinggi sekalipun, seringkali tidak mencapai tujuannya. Justru pada sejumlah kasus mengancam lolos tidaknya partai-partai pengusung untuk terwakili di lembaga perwakilan. Terlebih lagi pada negara-negara yang sistem kepartaiannya masih belum melembaga.

Data empat kali pelaksanaan Pemilu di Indonesia memperlihatkan bahwa, tingkat volatilitas sistem kepartaian masih tinggi. Volatilitas ini menunjukkan, sistem kepartaian kita masihlah belum ajeg atau dengan kata lain masih sangat rentan, karena jumlah pemilih yang mengidentifikasi dirinya dengan idiologi, platform ataupun program partai masih sangat rendah.

Indikasi lainnya juga dapat dilihat dari tren penurunan perolehan suara partai pemenang pemilu dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Tren ini tidak saja dialami oleh semua partai pemenang, namun termasuk dialami juga oleh partai-partai menengah-kecil di Indonesia. Secara umum, berdasarkan data yang tersedia terlihat konsentrasi yang menjadi indikasi penting bagi penyederhanaan sistem kepartaian tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu gejala fragmentasi sistem kepartaian yang makin menguat, seperti yang diilustrasikan oleh grafik di bawah.

(7)

7 Aspek lain yang perlu diungkap adalah, selain penerapan Ambang Batas Parlemen yang diterapkan secara formal sebesar 3,5%, dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia juga terdapat ambang batas (threshold) yang lain. Misalnya, Ambang Batas Terselubung (matematis) yang disumbangkan oleh metode penghitungan suara-kursi parpol dan besaran kursi daerah pemilihan. Sebagai ilustrasi, dengan besaran kursi setiap dapil, baik DPR RI (3-10 kursi), DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota (3-12 kursi), maka dengan cara penghitungan suara Hare/Niemeyer-LR atow Sainte Laguë, berlaku ambang terselubung/matematikal antara 10-12 persen.

(8)

8 Satu aspek lain yang dapat juga dikatakan sebagai ambang batas ataupun syarat adalah syarat menjadi partai politik dan menjadi partai politik peserta pemilu. Berbagai syarat tersebut, pada akhirnya juga berfungsi sebagai ambang batas. Dengan kata lain, dalam penyelenggaraan sistem pemilu di Indonesia, bisa dikatakan terlalu banyak Ambang Batas yang harus ditempuh oleh setiap peserta pemilu, baik yang formal seperti Ambang Batas Perwakilan sebesar 3,5 persen, Ambang Terselubung/Matematis per dapil antara 10 sampai 5 persen, ambang batas lain berupa persyaratan kepesertaan. Belum lagi jika melibatkan variabel pilpres, dimana terdapat dua ambang batas, yaitu: Ambang Batas Pencalonan dan Ambang Batas Keterpilihan.

Dari sejumlah ambang batas yang berlaku, baik formal maupun non formal di pemilu Indonesia, menjadi penyumbang terbesar bagi tingginya angka suara tidak sah. Tingginya jumlah ini, pada akhirnya justru berdampak pada peningkatan indeks disproporsionalitas pemilu. Dengan kata lain, disertakankannya berbagai macam ambang batas dalam pemilu Indonesia yang maksud awalnya adalah dalam rangka menyederhanakan sistem kepartaian justru tidak terwujud. Berdasarkan data pemilu yang diolah oleh SPD, sistem kepartaian Indonesia dari empat kali pelaksanaan pemilu menunjukkan Indeks ENPP (Sistem Kepartaian Efektif) yang semakin meluas. Dari sistem kepartaian 4,7 pada Pemilu 1999, naik menjadi 7 sistem kepartaian pada Pemilu 2004, turun menjadi sistem kepartaian 6 partai pada Pemilu 2009, dan naik kembali menjadi 8 sistem kepartaian pada Pemilu 2014.

Pada sisi lain, jumlah suara sah yang terbuang justru mengalami kenaikan, dari 3,7 juta suara di Pemilu 1999, menjadi 5,2 juta suara pada Pemilu 2004, melonjak lagi menjadi lebih dari 19 juta suara

(9)

9 pada Pemilu 2009, dan turun pada angka hampir 3 juta suara pada Pemilu terkahir tahun 2014. Begitu juga dengan disproporsionalitas atau kesenjangan perolehan suara partai politik peserta pemilu dibandingkan perolehan kursinya. Berdasarkan data yang tersedia, menunjukkan tren yang tidak juga membaik. Dari indeks disproporsionalitas 3,50 pada Pemilu 1999, naik menjadi 4,59 pada Pemilu 2004, melonjak pada indeks 6,16 pada Pemilu 2009, dan turun menjadi 2,58 pada Pemilu 2014. Indeks disproporsionalitas disebut membaik jika angka indeksnya semakin kecil atau dengan kata lain hasil pemilunya semakin proporsional sesuai misi Undang-undang Pemilu.

Statistics Indonesian Elections

Election

1999

2004

2009

2014

Parliamentary threshold

none

none

2,5%

3,50%

List

Closed

Closed

Open

Open

Disproportionality (LSq)

3,50

4,59

6,16

2,58

Parties in Parliament

(DPR)

21

17

9

10

ENPP

4,72

7,07

6,13

8,22

Wasted votes

3.755.383

5.223.845

19.047.481

2.968.844

Wasted votes (%)

3,55%

4,60%

18,31%

2,38%

Women MPs

9,00%

11,45%

17,86%

17,32%

Registered Voters

117.738.000

148.000.369

171.265.442

186.608.642

Turnout

109.481.237

124.420.339

121.588.366

133.385.553

(%)

92,99%

84,07%

70,99%

75,00%

Invalid votes

3.641.000

10.957.925

17.540.248

14.358.769

(%)

3,33%

9,66%

14,43%

10,76%

TENTANG METODE KONVERSI SUARA KE KURSI

Terkait dengan isu metode konversi suara ke kursi atau Penghitungan Suara-Kursi Partai Politik, perlu diberikan catatan tersendiri. Berdasarkan usulan yang ada, hingga saat ini tersedia 3 (tiga) Metode Penghitungan Perolehan Suara-Kursi Partai Politik, yaitu:

1. Metode Kuota Hare/Niemeyer/Hamilton-LR seperti yang kita pakai dalam pemilu saat ini. 2. Metode Divisor Sainte Laguë Murni (Bilangan Pembagi adalah bilangan ganjil 1,3,5,7,.... dst) dan 3. Metode Divisor Sainte Laguë Modifikasi (Bilangan Pembagi dimulai dengan angka 1.4, 3, 5,7,...dst).1

(10)

10 Ketiga metode di atas diusulkan karena menjadi jawaban cara penghitungan perolehan suara yang proporsional, adil, tidak berat sebelah baik bagi partai besar, menengah ataupun kecil. Namun satu yang dilupakan adalah, usulan metode penghitungan ini hanya menyertakan cara ataupun simulasi penghitungannya saja, tanpa dilengkapi kriteria maupun ukuran untuk menilai apakah metode penghitungan tersebut proporsional atau tidak, atau bahkan proporsional dibanding yang mana. Maunya gak jelas. Di satu metoda Hare dan Sainte dituding lebih menguntungkan parpol yang memperoleh suara lebih sedikit, sedangkan Metoda Sainte Laguë Modifikasi bersifat proporsional yaitu lebih memberikan peluang kepada parpol peraih suara terbanyak

Untuk itu, perlu diajukan alat ukur untuk mengukur metode mana yang dianggap lebih proporsional. Dari alat ukur tersebut, selanjutnya akan dilakukan simulasi dan penghitungan dengan formula ukuran proporsionalitas. Dari situ, selanjutnya akan kita ketahui metode mana yang dapat dinyatakan memenuhi kriteria proporsional dan adil.

Mengukur Proporsionalitas:

(a)

Indeks Disproporsionalitas

(1)

Loosemore-Handby-Index (LHI)

2

(2)

Gallagher-Index LSq atow GHI

(b)

Suara Hangus

Mengukur Derajat Keterwakilan Tinggi atow Keadilan:

Formula Pukelsheim:

Deviasi Keadilan =|(s

i

/v

i

)/(S/V) – 1 |

2

(11)

11 SIMULASI

(12)
(13)
(14)

14

Penghitungan simulasi perolehan suara kursi partai politik dengan empat varian

metode penghitungan. Tiga varian di antaranya adalah metode penghitungan yang

saat ini diusung sebagai alternatif (Hare, Sainte Laguë, dan Sainte Laguë Modifikasi).

Perolehan kursi parpol menurut Hare, St. Laguë, D´Hondt dan St. Laguë modifikasi

(15)

15

Indeks Disporporsionalitas & Suara Hangus Hare:

No

Parpol

v

i

s

i

%v

i

%s

i

|

%v

i

-

%s

i

|

(

%v

i

-

%s

i

)

2

Hangus

Suara

1

A

31.484

3,63%

0,00%

3,63%

0,13%

31.484

2

B

41.028

4,74%

0,00%

4,74%

0,22%

41.028

3

C

103.617

1

11,96% 16,67%

4,71%

0,22%

4

D

79.846

1

9,22% 16,67%

7,45%

0,56%

5

E

31.436

3,63%

0,00%

3,63%

0,13%

31.436

6

F

222.213

1

25,65% 16,67%

8,98%

0,81%

7

G

88.418

1

10,20% 16,67%

6,46%

0,42%

8

H

81.935

1

9,46% 16,67%

7,21%

0,52%

9

I

186.477

1

21,52% 16,67%

4,86%

0,24%

Jumlah 866.454

6

Jumlah

51,66%

3,24%

103.948

LHI

25,83%

1,62%

12,00%

GHI (LSq)

12,74%

(16)

16

Indeks Disporporsionalitas & Suara Hangus St. Laguë modifikasi:

No

Parpol

v

i

s

i

%v

i

%s

i

|

%v

i

-

%s

i

|

(

%v

i

-

%s

i

)

2

Hangus

Swara

1

A

31.484

3,63%

0,00%

3,63%

0,13% 31.484

2

B

41.028

4,74%

0,00%

4,74%

0,22% 41.028

3

C

103.617

1

11,96%

16,67%

4,71%

0,22%

4

D

79.846

9,22%

0,00%

9,22%

0,85% 79.846

5

E

31.436

3,63%

0,00%

3,63%

0,13%

31.436

6

F

222.213

2

25,65%

33,33%

7,69%

0,59%

7

G

88.418

1

10,20%

16,67%

6,46%

0,42%

8

H

81.935

9,46%

0,00%

9,46%

0,89%

81.935

9

I

186.477

2

21,52%

33,33%

11,81%

1,40%

Jumlah

866.454

6

Jumlah

61,34%

4,86% 265.729

LHI

30,67%

2,43% 30,67%

GHI (LSq)

15,58%

Indeks Disporporsionalitas dan Suara Hangus D´Hondt sama, sebab alokasi kursi sama dengan Sainte Laguë

modifikasi

(17)

17

Derajat Keterwakilan atow Keadilan Hare

No

Parpol

v

i

s

i

si/vi

S/V

(si/vi)/(S/V)

|

(si/vi)/(S/V)-1

|

1

A

31.484

0,000000

0,000007

0,000000 1,000000

2

B

41.028

0,000000

0,000007

0,000000 1,000000

3

C

103.617

1

0,000010

0,000007

1,393681

0,393681

4

D

79.846

1

0,000013

0,000007

1,808594 0,808594

5

E

31.436

0,000000

0,000007

0,000000 1,000000

6

F

222.213

1

0,000005

0,000007

0,649867

0,350133

7

G

88.418

1

0,000011

0,000007

1,633253

0,633253

8

H

81.935

1

0,000012

0,000007

1,762482

0,762482

9

I

186.477

1

0,000005

0,000007

0,774406

0,225594

Jumlah

866.454

6

6,173737

(18)

18

Derajat Keterwakilan atau Keadilan St. Laguë modifikasi:

No

Parpol

v

i

s

i

si/vi

S/V

(si/vi)/(S/V)

|

(si/vi)/(S/V)-1

|

1

A

31.484

0,000000

0,000007

0,000000

1,000000

2

B

41.028

0,000000

0,000007

0,000000

1,000000

3

C

103.617

1 0,000010

0,000007

1,393681

0,393681

4

D

79.846

0,000000

0,000007

0,000000

1,000000

5

E

31.436

0,000000

0,000007

0,000000

1,000000

6

F

222.213

2 0,000009

0,000007

1,299735

0,299735

7

G

88.418

1 0,000011

0,000007

1,633253

0,633253

8

H

81.935

0,000000

0,000007

0,000000

1,000000

9

I

186.477

2 0,000011

0,000007

1,548813

0,548813

Jumlah

866.454

6

6,875482

(19)

19

Perbandingan Indeks Disporporsionalitas, Suara Hangus dan Derajat Keterwakilan atau

Keadilan

(20)

20

Kesimpulan:

-

Metoda Hare dan Sainte Laguë dibuktikan lebih proporsional, memiliki derajat keterwakilan tinggi, dan

lebih adil dibandingkan Metoda D´Hondt dan Sainte Laguë modifikasi, sebab Indeks

Disporporsionalitas, Suara Hangus dan Deviasi Keadilan lebih kecil.

(21)

21

PENATAAN DAPIL dan ALOKASI KURSI TERKAIT DAERAH OTONOM

Jika suara hangus dijadikan sebagai catatan dan basis utama, maka alokasi kursi 2004 dan 2009 menjadi salah satu penyebab banyaknya suara hangus. Sebab dari hasil alokasi kursi pemilu pada dua periode tersebut, telah terjadi disporporsional alias proporsionalitas dalam provinsi tidak terjaga.

1. Contoh Provinsi Jabar 2014:

Sebagai perbandingan, harga kursi di dapil JABAR VI (kota Depok & kota Bekasi) hampir dua kali lipat dibanding JABAR III (Kab. Cianjur & kota Depok).

DAPIL POP KUMULATIF KURSI UU KUOTA UU

JABAR VI 3.691.500 6 615.250 JABAR VII 5.182.247 10 518.225 JABAR VIII 4.355.716 9 483.968 JABAR IX 3.837.116 8 479.640 JABAR II 4.512.574 10 451.257 JABAR 39.910.274 91 438.574 JABAR XI 4.261.942 10 426.194 JABAR X 2.749.479 7 392.783 JABAR I 2.728.679 7 389.811 JABAR V 3.489.223 9 387.691 JABAR IV 2.192.819 6 365.470 JABAR III 2.908.979 9 323.220

Atau disproporsionalitas juga terjadi antar provinsi yang berada dalam satu pulau, seperti antara NTB (539.857) dengan NTT rata-rata (409.509)

2. Dalam Pemilu DPR 2014, Indonesia dibagi ke dalam 77 dapil:

NO DAPIL POPULASI KURSI KUOTA KUOTA THD. RATA-RATA KUOTA THD. TERENDAH

1 KEP. RIAU 1.895.590 3 631.863 140,51% 195,49% 2 RIAU I 3.728.536 6 621.423 138,19% 192,26% 3 JABAR VI 3.691.500 6 615.250 136,82% 190,35% 4 RIAU II 2.727.786 5 545.557 121,32% 168,79% 5 LAMPUNG II 4.908.385 9 545.376 121,28% 168,73% 6 NTB 5.398.573 10 539.857 120,05% 167,02% 7 SULTRA 2.691.623 5 538.325 119,71% 166,55% 8 BANTEN III 5.340.494 10 534.049 118,76% 165,23% 9 SULBAR 1.589.162 3 529.721 117,80% 163,89% 10 SUMUT I 5.288.928 10 528.893 117,61% 163,63% 11 LAMPUNG I 4.678.107 9 519.790 115,59% 160,82% 12 KALTIM 4.154.954 8 519.369 115,50% 160,69%

(22)

22 13 KALBAR 5.193.272 10 519.327 115,49% 160,67% 14 JABAR VII 5.182.247 10 518.225 115,24% 160,33% 15 SUMSEL II 4.612.743 9 512.527 113,97% 158,57% 16 JAMBI 3.532.126 7 504.589 112,21% 156,11% 17 SUMUT III 5.029.627 10 502.963 111,85% 155,61% 18 BENGKULU 1.996.538 4 499.135 111,00% 154,43% 19 JATENG X 3.462.794 7 494.685 110,01% 153,05% 20 SUMUT II 4.909.164 10 490.916 109,17% 151,88% 21 SUMSEL I 3.915.976 8 489.497 108,85% 151,44% 22 SULTENG 2.935.343 6 489.224 108,79% 151,36% 23 JABAR VIII 4.355.716 9 483.968 107,62% 149,73% 24 JATIM XI 3.861.686 8 482.711 107,34% 149,34% 25 JABAR IX 3.837.116 8 479.640 106,66% 148,39% 26 DKI III 3.805.032 8 475.629 105,77% 147,15% 27 Bali 4.227.705 9 469.745 104,46% 145,33% 28 MALUKU 1.866.248 4 466.562 103,75% 144,35% 29 DKI I 2.721.996 6 453.666 100,89% 140,36% 30 JATIM VI 4.074.531 9 452.726 100,68% 140,07% 31 JABAR II 4.512.574 10 451.257 100,35% 139,61% 32 KEP. BABEL 1.349.199 3 449.733 100,01% 139,14% INDONESIA 251.824.296 560 449.686 100,00% 139,13% 33 JATENG I 3.588.609 8 448.576 99,75% 138,78% 34 JATENG VII 3.133.087 7 447.584 99,53% 138,48% 35 JATIM I 4.468.134 10 446.813 99,36% 138,24% 36 JATIM III 3.089.416 7 441.345 98,15% 136,55% 37 KALTENG 2.640.070 6 440.012 97,85% 136,13% 38 JATENG VI 3.516.302 8 439.538 97,74% 135,99% 39 DKI II 3.076.389 7 439.484 97,73% 135,97% 40 YOGYAKARTA 3.458.029 8 432.254 96,12% 133,73% 41 SULUT 2.583.511 6 430.585 95,75% 133,22% 42 NTT II 3.008.559 7 429.794 95,58% 132,97% 43 JATIM VIII 4.282.801 10 428.280 95,24% 132,50% 44 JABAR XI 4.261.942 10 426.194 94,78% 131,86% 45 JATENG IX 3.397.980 8 424.748 94,45% 131,41% 46 JATIM IV 3.380.900 8 422.613 93,98% 130,75% 47 PAPUA 4.224.232 10 422.423 93,94% 130,69% 48 JATENG II 2.945.374 7 420.768 93,57% 130,18% 49 JATENG V 3.357.939 8 419.742 93,34% 129,86% 50 MALUT 1.258.354 3 419.451 93,28% 129,77% 51 SUMBAR II 2.507.792 6 417.965 92,95% 129,31% 52 SULSEL I 3.326.769 8 415.846 92,47% 128,66% 53 JATIM II 2.906.153 7 415.165 92,32% 128,45% 54 JATIM V 3.278.797 8 409.850 91,14% 126,80% 55 JATIM X 2.457.712 6 409.619 91,09% 126,73%

(23)

23 56 JATENG III 3.630.795 9 403.422 89,71% 124,81% 57 JATENG VIII 3.216.662 8 402.083 89,41% 124,40% 58 JATIM VII 3.213.896 8 401.737 89,34% 124,29% 59 SULSEL III 2.775.251 7 396.464 88,16% 122,66% 60 ACEH II 2.372.474 6 395.412 87,93% 122,34% 61 BANTEN II 2.357.567 6 392.928 87,38% 121,57% 62 JABAR X 2.749.479 7 392.783 87,35% 121,52% 63 JABAR I 2.728.679 7 389.811 86,69% 120,60% 64 NTT I 2.335.343 6 389.224 86,55% 120,42% 65 SUMBAR I 3.110.185 8 388.773 86,45% 120,28%

Dengan model “Penataan dapil dan alokasi kursi DPR menjadi bagian dari lampiran yang tidak terpisahkan dari UU“, pembuat UU terkesan tidak ingin agar penataan alokasi kursi dan pembentukan dapil dapat memperbaiki problem yang muncul pada periode 2009 dan 2014. Dampak lainnya, jika dibiarkan berlarut-larut, akan memunculkan dampak untuk selalu selalu melanggar UU yang dibuatnya sendiri.

3. Pembentukan Dapil 2014 di dalam provinsi juga terjadi ketidaksetaraan. Misalnya Dapil V Jabar berkursi 6, dan Dapil VII (bersebelahan) berkursi 10. Dengan demikan, antar dapil terjadi perbedaan harga kursi akibat ambang terselubung. 4. Dalam rangka menjaga proporsionalitas dari suatu pemilu, pembentukan dapil di provinsi hendaknya setara. Misalnya di suatu wilayah yang terdapat 10 dapil, maka hendaknya dibagi menjadi 5 dapil genap dan 5 dapil ganjil.

5. Sebagai saran, hendaknya dilakukan alokasi kursi DPR ulang. Alokasi ulang ini juga dimaksudkan untuk menghilangkan prinsip bahwa “alokasi kursi tidak boleh berkurang dari pemilu sebelumnya”. Alokasi ulang ini minimal dilakukan dalam satu provinsi. Hal ini murni didasarkan pada pertimbangan perkembangan dan dinamika jumlah penduduk yang dipengaruhi oleh banyak faktor.

6. Seperti yang terjadi di banyak negara, alokasi kursi DPR sebaiknya diserahkan kepada KPU. Sedangkan ketentuan dan persyaratan alokasi kursi dan pembentukan dapil dimuat dalam UU. Sebagai contoh: di AS dan di Jerman kewenangan ini menjadi kompetensi Badan Pusat Statistik, sedangkan di Inggris oleh Boundary Commission (komisi pendapilan). Namun jika tetap menjadi kewenangan DPR, maka perlu dipikirkan semacam sub komite atau sub komisi kerja di DPR yang menangani masalah tersebut. Sub komite ini bisa melibatkan para ahli sesuai dengan bidang keilmuan yang dibutuhkan, agar terdapat kesesuaian antara aspek-aspek politik dengan basis ilmu pengetahuan.

Jakarta,

21 Agustus 2016

Referensi

Dokumen terkait

Sri Plecit berusaha agar melalui video dokumenter tersebut dapat menjadi media promosi danpendekatan antara band dengan para penggemarnya yang tidak dapat

Dari kelima bentuk produk aluminium sektor primer di atas, selanjutnya akan diproses lanjut oleh industri antara menjadi produk setengah jadi ataupun oleh industri hilir menjadi

Selain berkontribusi secara bisnis, perusahaan seharusnya juga berkontribusi secara sosial melalui implementasi Corporate Social Responsibility (CSR). Banyak pengertian tentang

dengan nyeri dada sebelah kiri yang tidak menjalar ke kedua lengan ataupun pundak sejak 1 bulan yang lalu. Selain itu pasien mengeluh sesak napas yang berlangsung sepanjang

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan Tugas Akhir Skripsi (TAS) dengan judul “Kemampuan

 Peserta memasuki ruang webex sesuai dengan jadwal dan ruangan yang terdapat pada daftar peserta pemaparan yang di share di web LPPM  Bilamana peserta tidak menemukan namanya

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti apakah terdapat perbedaan kecenderungan melakukan kecurangan akuntansi antara individu yang memiliki level

Keinginan perusahaan untuk mengurangi jumlah cacat yang terjadi pada proses pembuatan dual filter sehingga nantinya diharapkan nilai efisiensi dari mesin dual D3E dapat