• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BELA PUJA PAI'18

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II BELA PUJA PAI'18"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengertian Nilai-nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan

1. Definisi Nilai

Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Definisi ini dikemukakan oleh Gordon Allport (1964) sebagai seorang ahli Psikologi kepribadian. Bagi Allport, nilai terjadi pada wilayah Psikologis yang disebut keyakinan. Seperti ahli Psikologi pada umumnya, keyakinan ditempatkan sebagai wilayah Psikologis yang lebih tinggi dari wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan, dan kebutuhan. Karena itu, keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah pada wilayah ini merupakan hasil dari rentetan proses Psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya.

(2)

pertimbangan nilai (value judgment) adalah pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat (Mulyana, 2004: 9).

Definisi yang berlaku umum, dalam arti tidak memiliki tekanan pada sudut pandang tertentu adalah definisi yang dikemukakan oleh Hans Jonas (Bertens, 1999). Ia menyatakan bahwa nilai adalah alamat sebuah

kata “ya” (value is adress of a yes), atau kalau diterjemahkan secara

kontekstual, nilai adalah sesuatu yang ditunjukkan dengan kata “ya”.

Definisi ini merupakan definisi yang memiliki kerangka lebih umum dan

luas daripada dua definisi sebelumnya. Kata “ya” dapat mencakup nilai

keyakinan individu secara Psikologis maupun nilai patokan normatif

secara sosiologis. Demikian pada penggunaan kata “alamat” dalam definisi

itu dapat mewakili atas tindakan yang ditentukan oleh keyakinan individu maupun norma sosial (Mulyana, 2004: 10).

(3)

Namun kini, makin disadari posisi dan peran penting nilai dalam kehidupan manusia. Nilai melekat dalam semua tindakan dan perbuatan. Nilai menjadi acuan penting hidup manusia, supaya hidup dan tindakan manusia menjadi bernilai. Nilai juga yang memberi makna terhadap ucapan dan tindakan. Nilai juga melekat pada semua tindakan manusia dalam berbagai bidang kehidupannya.

Konsepsi nilai-nilai dasar yang memiliki sifat sebagai berikut:

a. Nilai-nilai merupakan keyakinan. Namun, nilai merupakan keyakinan yang terkait dengan emosi, tidak obyektif dan ide yang belum konkret. b. Nilai merupakan konstruk motivasional. Nilai mengacu pada tujuan

yang diharapkan manusia bisa mencapainya.

c. Nilai-nilai mengatasi tindakan dan situasi tertentu. Nilai adalah tujuan abstrak. Watak abstrak dari nilai membedakannya dari konsep, seperti norma dan sikap, yang biasanya mengacu pada tindakan, obyek, atau situasi tertentu.

d. Nilai-nilai menjadi pedoman dalam memilih atau mengevaluasi tindakan, kebijakan, manusia, dan peristiwa. Nilai-nilai menjadi standar dan kriteria.

e. Nilai-nilai tersusun berdasar arti penting relatifnya. Nilai-nilai manusia membentuk satu sistem nilai yang tertata prioritasnya yang menandai mereka sebagai individu (Sanusi, 2015: 17).

(4)

2. Nilai-nilai Ketuhanan

Dilihat dari perspektif islam, pendidikan terikat oleh nilai ketuhanan (theistik). Karena itu, pemaknaan pendidikan merupakan perpaduan antara keunggulan spiritual dengan kultural. Bertolak dari pemikiran ini, kesadaran beragama semestinya membingkai segala ikhtiar pendidikan. Dengan demikian, budaya akan berkembang dengan berlandaskan nilai-nilai agama, yang pada gilirannya akan melahirkan hasil cipta, karya, rasa, dan karsa manusia yang sadar akan nilai-nilai ilahiyah.

Kesadaran beragama yang mengkristal dalam pribadi orang yang beriman dan bertaqwa adalah wujud dari kepatuhannya terhadap Allah Swt. Kepatuhan ini dilandasi oleh keyakinan dalam diri seseorang mengenai seperangkat nilai religius yang dianut. Karena kepatuhan, maka niat, ucap, pikir, tindakan, perilaku, dan tujuan senantiasa diupayakan berada dalam lingkup nilai-nilai yang diyakini. Apabila hal itu dikaitkan dengan tujuan akhir dalam mencapai manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki akhlak yang mulia, maka kesadaran beragama memiliki peran yang signifikan dalam mencapai tujuan tersebut.

(5)

(unity). Kesatuan berarti adanya keselarasan semua unsur kehidupan; antara kehendak manusia dengan perintah Tuhan, antara ucapan dan

tindakan, atau antara „itiqad dengan perbuatan (Mulyana, 2004: 35). Dari uraian di atas dapat peneliti simpulkan bahwa nilai ketuhanan adalah nilai tertinggi yang harus dimiliki dan dilakukan oleh setiap muslim yang dapat di aplikasikan dalam kehidupan dengan amar ma‟ruf nahi munkar untuk tercapai pribadi muslim yang kaffah sesuai dengan Al

Qur‟an dan As Sunnah ada beberapa nilai-nilai ketuhanan yang di kembangkan dalam mata kuliah Al Islam Kemuhammadiyahan yakni

aqidah, ma‟rifatullah, dan iman. a. Aqidah

1) Pengertian Aqidah

Secara etimologis (lughatan), aqidah berakar dari kata

aqada-ya‟qidu-„aqdan-„aqidatan. „aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi „aqidah berarti keyakinan. Secara terminologis menurut Hasan Al Banna Aqa‟id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati(mu), mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan.

2) Fungsi Aqidah

(6)

Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia

dan bermu‟amalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan

diterima oleh Allah Swt kalau tidak dilandasi dengan aqidah. Seseorang tidaklah dinamai berakhlak mulia bila tidak memiliki aqidah yang benar. Begitu seterusnya bolak-balik dan bersilang.

Seseorang bisa saja merekaya untuk terhindar dari kewajiban formal, misalnya zakat, tapi dia tidak akan bisa menghindar dari aqidah. Atau seseorang bisa saja pura-pura melaksanakan ajaran formal Islam, tapi Allah tidak akan memberi nilai kalau tidak dilandasi dengan aqidah yang benar (iman) (Ilyas, 2007: 10).

b. Ma‟rifatullah

Ma‟rifah (mengenal) kepada Allah‟Azza wa Jalla merupakan

(7)

Manusia sebagai makhluk yang tidak dapat mengenal Allah secara langsung. Ia bisa mengenalnya melalui yang Dia sampaikan kepada manusia baik serupa hasil perbuatan-Nya yang disebut dengan ayat Kauniyah maupun dari penuturan-Nya dikenal dengan ayat Qauliyah. Ada dua jalan mengenal Allah Swt yakni dengan

menggunakan akal dan memahami asmaul husna.

Ma‟rifat kepada Allah Swt dan mengenal-Nya melalui zat dan

sifat-sifatNya merupakan kewajiban bagi tiap muslimin dan muslimat di manapun mereka berada. Dengan makrifat kepada Allah Swt itu akan bersemilah iman dalam dada. Iman kepada Allah Swt menjadi sendi keyakinan dan kepercayaan yang terpokok dalam Islam. Karena itu, sungguh beruntung orang yang beriman kepada Allah Swt (Sudi, 2015: 1).

c. Iman

Iman secara umum dipahami sebagai suatu keyakinan yang dibenarkan dalam hati, diirarkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan yang didasari niat yang tulus dan ikhlas dan selalu mengikuti petunjuk Allah Swt serta sunnah Nabi Muhammad Saw.

(8)

Fitrah iman pada setiap individu seharusnya telah di pelihara sejak dini, individu harus dibiasakan mengamalkan apa yang diimaninya itu dalam kehidupan sehari-hari secara benar dan istiqamah, di dalam Rukun Iman dan dan Rukun Islam terdapat

nilai-nilai bimbingan dan konseling yang dapat diterapkan dalam praktik di lapangan.

1) Nilai-nilai Bimbingan dan Konseling dalam Rukun Iman a) Iman kepada Allah Swt

Iman kepada Allah memiliki hubungan kuat dengan kesembuhan suatu penyakit. Ketahanan seseorang ketika melemah, dihadapi dengan faktor iman yang menjadi energi fisik maupun psikis yang mampu menambah ketahanan diri ketika mengadapi penderitaan atau penyakit. Penyakit merupakan sumber dari keguncangan jiwa seperti gelisah, takut, dan marah. Individu yang memiliki keimanan yang kukuh tidak mudah gelisah dan takut dalam mengadapi kekuatan yang lebi besar, lantaran dia yakin bahwa di atas semua ada yang memiliki kekuatan yang sebenarnya, ia yakin bahwa Allah yang maha menyembukan dari segala penyakit dan Allah maha yang mampu memberi jalan keluar dalam menghadapi segala kesulitan.

(9)

mendapat anugerah yang luar biasa di dunia dan di akhirat. Beriman kepada Allah Swt dapat dicapai dengan jalan mengenal Allah dan sifat-sifatNya. Dengan demikian, insya Allah akan tertanam iman yang kuat dalam dada sehingga landasan kepercayaan dan iman kita kepada Allah Swt bukan hanya ikut ikutan melainkan betul –betul timbul dari kesadaran dan keinsyafan (Abidin, 2007: 9).

Manfaat Beriman Kepada Allah Swt yakni mudah menyelesaikan persoalan hidup yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan dan akal manusia, menambah ilmu pengetahuan karena dalam kitab Allah di samping berisi tentang perintah dan larangan juga menjelaskan pokok-pokok ilmu pengetahuan yang mendorong manusia mengembangkan nya sesuai perkembangan zaman, serta menanamkan sikap toleransi terhadap pengikut agama lain karena dengan beriman kepada kitab kitab Allah manusia akan selalu menghormati dan menghargai orang lain (Fatoni, 2013: 44).

b) Iman Kepada Malaikat

(10)

ada yang mengontrol. Oleh sebab itu, mereka selalu berhati-hati dalam bertindak dan berucap. Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang pikiran, perasaan, dan perilakunya selalu baik, tidak melanggar hukum dan norma-norma sosial.

Menurut bahasa (etimologi). Malaikat berarti utusan. Lafazhnya berasal dari kata malaka. Secara istilah (terminologi), malaikat berarti sosok yang lembut (halus) yang diberi kemampuan menyerupai beragam bentuk makhluk yang berbeda, yang bertempat tinggal di langit (Thayyib, 2012: 21).

Malaikat adalah makhluk yang selalu patuh pada ketentuan dan perintah Allah. Menurut bahasa Arab, kata

malaikah” adalah bentuk jamak dari kata malak yang berarti

“kekuatan”. Malaikat dicipatakan Allah dari cahaya (nur).

Iman kepada Malaikat adalah meyakini adanya malaikat, meski kita tidak dapat melihatnya. Namun begitu, jika Allah berkehendak, malaikat dapat dilihat manusia, yang biasanya terjadi pada para Nabi dan Rasul. Malaikat selalu menampakan diri dalam wujud laki-laki kepada para Nabi dan Rasul (Fatoni, 2013: 51).

(11)

perlindunganNya terhadap hamba-hambaNya dengan menugaskan para Malaikat untuk menjaga, membantu dan

mendo‟akan hamba-hambaNya, berusaha berhubungan dengan

para Malaikat dengan jalan mensucikan jiwa, membersihkan hati dan meningkatkan ibadah kepada Allah Swt sehingga seseorang akan sangat beruntung bila termasuk golongan yang

dido‟akan oleh para Malaikat sebab do‟a Malaikat tidak pernah

ditolak Tuhan, serta berusaha selalu berbuat kebaikan dan menjauhi segala kemaksiatan serta ingat senantiasa kepada Allah Swt sebab para Malaikat selalu mengawasi dan mencatat amal perbuatan manusia (Ilyas, 2013: 92).

c) Iman Kepada Kitab Allah Swt

Al Qur‟an adalah panduan hidup bagi manusia, ia

adalah pedoman bagi setiap pribadi dan undang-undang bagi seluruh masyarakat. Di dalamnya terkandung pedoman praktis bagi setiap pribadi dalam hubungannya dengan Tuhannya, lingkungan sekitarnya, keluarganya, dirinya sendiri, dengan sesama muslim, dan juga non muslim baik yang berdamai maupun yang memeranginya, individu yang mengikuti panduan ini pasti selamat dalam hidupnya di dunia maupun akhirat.

(12)

yang dibukukan. Yang dimaksud iman kepada kitab-kitab Allah Swt adalah meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah Swt menurunkan Kitab-Kitab-Nya bagi umat manusia supaya meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Fatoni, 2013: 87).

Adapun di antara Kitab-Kitab yang diturunkan Allah Swt adalah, Taurat ditulis menggunakan bahasa Ibrani, berisikan syariat (hukum) dan kepercayaan yang benar dan diturunkan melalui Musa, Zabur berisi tentang mazmur atau nyanyian pujian bagi Allah yang dibawakan Dawud dengan menggunakan bahasa Qibti, Injil pertama kali ditulis menggunakan bahasa Suryani melalui mutid-murid Isa untuk bangsa Israil sebagai penggenap ajaran Musa, serta Al-Qur‟an merupakan firman-firman yang diberikan Allah kepada Muhammad Saw sebagai kesatuan kitab untuk pedoman hidup bagi seluruh umat manusia.

(13)

d) Iman kepada Para Rasul Allah

Hubungan iman kepada Rasul dengan bimbingan dan konseling yakni membimbing ternyata bukan hanya sekadar pengetahuan dan ketrampilan memberikan layangan bimbingan. Tetapi lebi dari itu adala ketepatan memilih rujukan yang menjadi pegangan dalam memberikan layangan bimbingan. Apa yang diucapkan dan dikerjakaran Rasulullah Saw telah dikumpulkan dan dibukukan oleh para imam hadis mencakup berbagai kehidupan manusia dan ini dijadikan rujukan manusia dalam kehidupan.

Rasul-rasul yang diutus Allah Swt memiliki syariat yang berbeda, namun misi profetik diutusnya mereka adalah sama yaitu memperjuangkan tegaknya akidah yang mengesakan Allah Swt. Nabi dan rasul terdahulu mempunyai umat masing-masing; mereka hadir untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan ruhani kepada tiap-tiap umatnya sehingga mereka memiliki keterbatasan waktu dan tempat. Keadaan ini berbeda dengan Rasul yang terakhir, Muhammad Saw, Ia datang untuk menyempurnakan syariat rasul-rasul sebelumnya dan berlaku untuk seluruh umat manusia yang ada di jagad raya ini (Mahfud, 2011: 18).

(14)

apa yang disampaikan para Rasul, memercayai tugas-tugas yang dibawanya untuk disampaikan kepada umatnya, lebih mencintai dan menghormati rasul atas perjuangannya, serta memperoleh teladan yang baik untuk menjalani hidup.

e) Iman kepada Hari Kiamat

Hari kiamat disebut juga dengan yaumul akhir (hari akhir), yaumul ba‟ats (hari kebangkitan), yaumul hisab (hari perhitungan), yaumul zaja‟i (hari pembalasan), yaitu pembalasan atas segala amal perbuatan manusia selama hidup di dunia. Keyakinan dan kepercayaan akan adanya hari kiamat memeberikan satu pelajaran bahwa semua yang bernyawa, terutama manusia akan mengalami kematian dan akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya di dunia.

Kepercayaan akan adanya hari kiamat memeberikan satu pelajaran bahwa semua yang bernyawa, terutama manusia akan mengalami kematian dan akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya di dunia.

(15)

untuk perhitungan amal dan pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt (Amin, 2009: 117).

Hikmah mengimani hari akhir, keyakinan dan kepercayaan adanya hari kiamat memberikan satu pelajaran bahwa semua yang bernyawa, terutama manusia akan mengalami kematian dan akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di dunia. Hari kiamat menandai babak akhir dari sejarah hidup manusia di dunia. Kedatangan hari kiamat tidak dapat diragukan lagi bahkan proses terjadinya pun sangat jelas.

Orang-orang yang beriman dan beramal sholih akan merasakan kenikmatan surga bahkan kekal di dalamnya. Sebaliknya, orang yang menolak perintah Allah Swt dan melanggar larangan-Nya dilukiskan mendapat siksaan yang pedih (Mahfud, 2011: 19).

f) Iman kepada Qadha dan Qadar

(16)

Qadha biasanya diterjemahkan dengan berbagai arti seperti kehendak dan perintah. Qadar berarti batasan, menetapkan ukuran.

Iman kepada Qadha dan Qadar memberikan pemahaman bahwa kita wajib meyakini kemahabesaran dan kemahakuasaan Allah Swt sebagai satu-satunya Dzat yang memiliki otoritas tunggal dalam menurunkan dan menentukan ketentuan apa saja bagi makhluk ciptaan-Nya. Manusia diberi kemampuan (qudrat) dan otonomi untuk menentukan sendiri nasibnya dengan ikhtiar dan do‟anya kepada Allah Swt.

Manusia memiliki halatul ikhtiar, otonomi untuk menentukan dan memilih jalan yang baik atau buruk. Manusia di uji melalui entry point yaitu mengemban posisi sebagai khalifah dan mengemban amanah Allah. Kedua point tadi bersifat tantangan yang diajukan oleh Allah kepada manusia, dan manusia pun siap mewujudkan tantangan tersebut dalam bentuk perbuatan.

(17)

2) Nilai-nilai Bimbingan dalam Rukun Islam a) Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat

Rukun Islam yang pertama adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Syahadat atau pengakuan iman adalah pernyataan formal yang membedakan antara orang Islam (muslim) dengan yang bukan Islam (kafir) dalam ajaran Islam. Jika seseorang tela menyatakan beriman dengan mengucapkan dua kalimat syahadat maka konsekuensinya adalah Islam menjamin keselamatan dirinya dan harta bendanya.

Makna kalimat syahadat bagi konseling yaitu menjadikan statusnya jelas apaka ia seseorang muslim atau bukan dengan demikian jelas pula layanan konseling (tindakan) yang bisa diberikan kepadanya, dengan syahadat memberikan kepastian kepada individu kepada siapa ia harus beribadah, mendorong individu untuk hormat dan patuh terhadap apa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, menjadikan individu teguh pendiriannya lantaran yakin dengan dua kalimat syahadat yang dipegangnya sepanjang hayat, jaminan perlindungan dari Rasulullah berkenaan dengan jiwa dan hartanya serta surga di hari akhir dan jaminan dari Allah bahwa kelak mereka di hari kiamat akan bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh di surga (Sutoyo. 2015: 165)

b) Bersuci dan Melaksanakan Shalat

(18)

hadas kecil bisa disucikan dengan berwudhu. Dalam keadaan darurat, kesulitan untuk melaksanakan mandi dan wudhu bisa diganti dengan tayamum. Wudhu yang dikerjakan sesuai aturan membuat seorang mukmin merasa bahwa diri dan jiwanya menjadi bersih, perasaan bersih tubuh dan jiwa ini mempersiapkan manusia untuk mengadakan hubungan rohaniah dengan Allah dan mengantarkannya pada kedaan tubu dan jiwa yang tenang dalam shalat.

Shalat adalah amal ibadah yang pelaksanannya membuahkan sifat kerohanian dalam diri manusia yang menjadikannya tercegah dari perbuatan keji dan munkar. Dengan demikian hati orang yang shalat menjadi suci dari kekejian dan kemungkaran, serta bersih dari kotoran dosa dan pelanggaran. Shalat adalah cara untuk memperoleh potensi keterhindaran dari keburukan. Jika ada individu yang mengerjakan shalat tidak terdapat dampak potensi itu bisa jadi ada hambatan bagi kemunculannya, seperti kelengahan dalam melaksanakan shalat dan tidak menghayati dzikirnya (Sutoyo. 2015: 167).

c) Membayar Zakat, Infak, dan Sadaqah

zakat, infak, dan sadaqah adalah sesuatu yang sangat

(19)

kelembutan hati kepada orang lain, sebagai media bagi pengembangan sikap sosial, membebaskan diri dari egoisme, cinta diri, kikir, dan tamak, serta membantu individu mengembangkan perasaan afiliasi sosial.

d) Shiyam

Dari segi bahasa, shiyam berarti menahan diri dari segala sesuatu. Dari segi syar‟i puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri di siang hari dengan niat karena Allah. Hikmah di balik pelaksanaan puasa yakni sebagai sarana pendidikan agar manusia bertakwa kepada Allah, sebagai media pelatihan melawan dan menundukkan hawa nafsu, sebagai sarana menumbuhkan rasa sayang terhadap orang miskin dan mendorongnya untuk berbuat baik kepada mereka, sebagai media pengembangan hati nurani, sarana pendidikan moral, serta sebagai media penghapus dosa (Sutoyo. 2015: 172).

e) Haji

(20)

pakaian ihram yang sederhana. Haji juga menjadi media bagi pelatihan mengendalikan nafsu dan dorongannya, sebab dalam beribadah haji seseorang tidak diperkenankan bersetubuh, bertengkar, bermusuhan, berkata tidak baik, melakukan maksiat dan melanggar larangan Allah (Sutoyo. 2015: 174).

3. Nilai-nilai Kemanusiaan a. Pengertian Manusia







Dan sungguh, kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah” (Q.S. Al Mu‟minun [23]:12)

























Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah” (Q.S. Al Sajdah [32]:7)































Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah” (Q.S. Al Rum [30]:20)





























(21)

Menurut Al Quran, manusia diciptakan dari debu dan air. Terkadang Al Quran menekankan elemen-elemen ini secara terpisah, terkadang secara bersamaan. Tak terhitung banyaknya spekulasi mengenai penciptaan manusia dari tanah liat (kombinasi debu dan air). Setelah berkembangnya ilmu biologi dan kimia, penelitian analitik

Terhadap tanah liat dan tubuh manusia dilakukan. Hasilnya menunjukkan bahwa zat-zat penyusun tanah liat dan penyusun manusia tepat sama. Mahaindah Allah yang menggabungkan benda mati ini untuk menciptakan manusia (Taslaman, 2011: 188).

Manusia juga disebut sebagai zoon politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerja sama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Homo economicus, yaitu makhluk yang tunduk pada prinsip ekonomi dan bersifat ekonmis, juga disebut homo religious, yaitu maklhuk yang beragama. Ada juga yang menyebut bahwa manusia adalah homo faber yakni makhluk yang terampil. Dan defenisi yang menjadi gelar tertinggi adalah homo sapiens, yakni makhluk yang berfikir dan mengerti atau makhluk yang berbudi. Sehingga tidak salah kalau Freire mengatakan bahwa manusia adalah makhluk praksis, yakni makhluk yang beraksi dan berefleksi dengan menggunakan pikirannya.

(22)

Konsep fitrah dalam pandangan Al-Ghazali ini ialah bahwa fitrah tidaklah bersifat netral pasif, melainkan good active dan dinamis, mengadakan reaksi dan responsive terhadap stimulus dari dunia luar. Al-Ghazali dalam menjabarkan respon (penerimaan) fitrah terhadap stimulus dengan menggunakan kata “qaabil” dan “mail”, dalam bentuk fail yang berarti bahwa ia berinteraktif terhadap rangsangan, bukan dengan kata “qubuul” atau “mail” dalam bentuk masdar yang bersifat pasif.

Dengan demikian fitrah mempunyai korelasi yang tak dapat dipisahkan dengan perkembangan jiwa, karena fitrah merupakan dasar dalam arti yang pertama dalam upaya pengembangan jiwanya untuk mencapai fitrah yang hakiki, yaitu tauhidullah. Fitrah berarti potensi dasar manusia disatu sisi dan berarti tauhid, rasa beragama disisi yang lain, sedangkan perkembangan adalah proses dimana jiwa berinteraksi. Berarti dengan fitrah, manusia menuju kepada fitrahnya yang hakiki (Naila, 2016: 198).

Sebagaimana diterangkan di atas bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang manusia yang dianugrahkan Allah kepadanya. Di dalamnya terkandung komponen-komponen Psikologis yang satu sama lainnya saling berinteraksi dan saling menyempurnakan dalam hidup manusia.

(23)

1) Kemampuan dasar untuk beragama Islam (Al-din Al-Qoimah), di mana faktor iman merupakan inti beragama manusia. Muhammad Abduh, Ibnu Qoyyim, Al-Maududi dan Sayid Quthub berpendapat sama bahwa fitrah mengandung kemampuan asli untuk beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau indentik dengan fitrah. Ali fikri lebih menekankan pada peran heriditas orang tua yang menentukan keberagaman anaknya. Faktor keturunan Psikologis orang tuanya, merupakan salah satu dari kemampuan manusia itu.

2) Mawahid (bakat) dan Qobiliyat (tendensi atau kecenderungan) yang mengacu kepada keimanan kepada Allah. Dengan demikian maka fitrah mengandung komponen Psikologis yang berupa keimanan tersebut. Karena iman bagi seorang mukmin merupakan alat vital (daya penggerak utama) dalam dirinya, yang memberi semangat untuk selalu mencari kebenaran yang hakiki dari Allah. 3) Naluri dan kewahyuan (revilasi), bagaikan dua sisi dari uang

logam, keduanya saling terpadu dalam perkembangan, seperti apa yang telah diuraikan di atas.

4) Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau responsive terhadap pengaruh eksternal (Naila, 2016: 199).

c. Hakikat Manusia

(24)

bahwa kedua substansi tersebut dua-duanya adalah alam. Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh Allah. Komponen jasmani berasal dari tanah dan komponen rohani merupakan entitas gaib yang ditiupkan oleh Allah. Dengan kata lain, manusia adalah satu kesatuan dari mekanisme biologis yang dapat dinyatakan berpusat pada jantung (sebagai pusat kehidupan) dan mekanisme kejiwaan yang berpusat pada otak (sebagai lambang berpikir, merasa dan bersikap).

Banyak sekali ayat-ayat Alqur‟an yang memberikan penjelasan mengenai asal-usul manusia. Manusia bukan jenis makhluk Allah yang tercipta secara kebetulan dan bukan pula tercipta sekaligus, melainkan tercipta dalam beberapa fase atau tahap. Mengenai asal-usul bagaimana manusia itu tercipta bisa didekati dari dua sudut pandang, yakni sudut pandang produksi dan sudut pandang reproduksi. Yang pertama, hanya berlaku bagi proses penciptaan Adam dan Hawa, yakni asal-usul penciptaan manusia pertama kali. Dan yang kedua, aspek asal manusia dari segi keturunan kedua pasangan manusia pertama tersebut, disebut pula sebagai aspek reproduksi atau pembiakan selanjutnya.

Menurut Ibnu Qayyim Rahimahullah, hakikat manusia itu merupakan perpaduan beberapa unsur yang saling berkaitan dan tidak mungkin dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Beberapa unsur yang dimaksud itu adalah antara lain: ruh, akal, dan badan. Hal ini bisa kita lihat dalam salah satu pernyataannya, beliau berkata

(25)

hatinya bukan pada jasad dan badan”. Kesemua aspek yang ada pada

diri manusia itu adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Semua komponen haruslah dapat berjalan bersama, seiring, sejalan sehingga nampaklah realitas kehidupan yang seimbang pada manusia sebagai makhluk yang sempurna.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia pada dasarnya dapat ditempatkan dalam tiga kategori, yaitu :

1) Manusia sebagai makhluk biologis (al-Basyar), pada dasarnya tidak berbeda dengan makhluk-makhluk biotik lainnya walaupun struktur organnya berbeda, namun lebih sempurna.

2) Manusia sebagai makhluk Psikis (al-Insan), mempunyai potensi seperti fitrah, sehingga menjadi makhluk yang tertinggi martabatnya dibanding makhluk Tuhan yang lain. Meskipun begitu, apabila potensi tersebut tidak digunakan maka manusia akan sama seperti binatang bahkan lebih hina.

3) Manusia sebagai makhluk sosial (Bani Adam), mempunyai tugas dan tanggung jawab sosial terhadap sesama manusia dan alam semesta.

(26)

d. Tujuan Hidup Manusia

Di dalam berbagai literatur yang membahas tentang manusia lebih banyak tentang kedudukan manusia di alam semesta dan selalu bahasan itu dihubungkan dengan konsep kekhalifahan dan konsep ibadah sebagai bentuk manifestasi Syahādah yang dulu pernah diikrarkan.

Khalifah berarti kuasa atau wakil. Dengan demikian pada

hakikatnya manusia adalah kuasa atau wakil Allah di bumi. Manusia adalah pelaksana dari kekuasaan Allah untuk mengelola dan memakmurkan Bumi. Disinilah hakikat Basmalah pada setiap perbuatan manusia, segala perbuatan manusia dengan nama atau atas nama Tuhan.

Maka manusia sebagai khalifah Allah, dibekali dengan

seperangkat potensi (fitrah) yang baik berupa „aql, qalb dan Nafs.

(27)

karakteristik yang unik dan telah dibekali dengan fitrah sejak dilahirkan, dapat disimpulkan tujuan manusia adalah :

1) Menjadi „Abdullah, hal ini merujuk pada ayat Alquran surat

az-Zariyat: 56, yang bunyinya “tujuan utama penciptaan manusia

ialah agar menusia beribadah kepada-Nya”. Karena tujuan beribadah dalam Islam bukan hanya membentuk kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial, yang keduanya tidak dapat dipisahkan.

2) Sebagai Khalifah, merujuk pada surat al-Baqarah: 30, Yunus: 14, dan surat al-An‟am: 165 yang berbunyi: “manusia diciptakan

untuk diperankan sebagai wakil Tuhan di muka bumi”. Karena

Allah Zat yang menguasai dan memelihara alam semesta, maka tugas manusia sebagai wakil Tuhan ialah menata dan memelihara serta melestarikan dan menggunakan alam ini dengan sebaik- baiknya.

(28)

-sosial religiustik, akan membatalkan fungsi manusia sebagai

“wakil Tuhan” dimuka bumi guna memakmurkan alam semesta.

Sebab dalam pelaksanaannya manusia senantiasa tetap memerlukan interaksi dari orang lain atau makhluk lainnya.

Tujuan diciptakan-Nya manusia sebagai khalifah Allah di bumi dan sekaligus beribadah kepada-Nya bukan untuk Allah, tetapi untuk manusia sendiri. Artinya jika amanah yang dibebankan kepada manusia dan atau ibadah yang harus dilaksanakan manusia itu dilaksanakan sesuai tuntunan Allah, niscaya manfaat atau hikmah dari melaksanakan ibadah itu untuk manusia sendiri, bukan untuk Allah (Sutoyo. 2015: 58)

e. Aspek nilai-nilai kemanusiaan

Dari uraian di atas dapat peneliti simpulkan bahwa nilai kemanusiaan adalah segala kewajiban manusia sebagai „Abdullah dan sebagai Khalifah yang sesuai dengan Al Qur‟an dan As Sunnah, yang menjadikan manusia untuk berkontribusi dalam hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal alam karena manusia hidup di

(29)

1) Kepedulian Sosial

Kepedulian sosial adalah sebuah sikap keterhubungan dengan kemanusiaan pada umumnya, sebuah empati bagi setiap anggota komunitas manusia. Kepedulian sosial merupakan kondisi alamiah spesies manusia dan perangkat yang mengikat masyarakat secara bersama-sama. Oleh karena itu, kepedulian sosial adalah minat atau ketertarikan sesorang untuk membantu orang lain atau sesama.

Lebih lanjut, lingkungan terdekat adalah yang paling berpengaruh besar dalam menentukan tingkat kepedulian sosial seseorang. Lingkungan terdekat yang dimaksud adalah keluarga, kampus, teman-teman, dan lingkungan masyarakat tempat seseorang tersebut tumbuh. Dari lingkungan tersebutlah seseorang mendapat nilai-nilai tentang kepedulian sosial. Nilai-nilai yang tertanam dalam kepedulian sosial secara umum meliputi nilai kejujuran, kasih sayang, tolong-menolong atau gotong royong, kerendahan hati, keramahan dan kesetiakawanan. Kepedulian sosial bukanlah untuk mencampuri urusan orang lain, tetapi lebih pada ikut merasakan yang dirasakan orang lain serta membantu menyelesaikan permasalahan yang di hadapi orang lain dengan tujuan kebaikan (Yantoro. 2015: 1).

2) Musyawarah

(30)

menjadikannya suatu hal terpuji dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara; dan menjadi elemen penting dalam kehidupan umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat dasar orang-orang beriman dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak sempurna kecuali dengannya, ini disebutkan dalam surat khusus, yaitu surat as syuura, Allah berfirman: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. (QS. as Syuura: 38) Oleh karena kedudukan musyawarah sangat agung maka Allah menyuruh Rasulnya melakukannya, Allah berfirman: Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran: 159)

Adapun prinsip musyawarah yang diwajibkan dalam Islam adalah mewajibkan mengambil pendapat semua tanpa membedakan antara mayoritas dan minoritas, kemudian mengambil pendapat yang terkuat dari segi argumentasi setelah dibandingkan antara kedua pendapat, bukan mengambil suara terbanyak.

(31)

dengan kaidah ini maka tidak ada keberpihakan pada salah satu kelompok atas yang lain, akan tetapi mengambil pendapat terkuat secara akal, maslahat dan pengalaman setelah semua pendapat diletakkan pada posisi yang sama tanpa mengabaikan salah satu pendapat.

Sebagaimana prinsip musyawarah ini mengangkat semua pendapat orang baik dari pihak minoritas maupun mayoritas kepada derajat yang sama, tanpa memberikan kesan dikesampingkan atau tidak diperdulikan kepada siapapun, sebagaimana yang berlaku pada masa nabi dalam musyawarah yang wajib, kemudian mengambil pendapat terbaik setelah ditimbang-timbang.

Akan tetapi seperti halnya masalah lain, prinsip musyawarah ini memerlukan persiapan pendidikan secara khusus agar musyawarah ini bisa diterima dengan baik, dan persiapan pendidikan untuk menerima prinsip musyawarah ini lebih mudah daripada persiapan pendidikan yang dipaksakan untuk menerima prinsip penindasan kelompok mayoritas atas minoritas, atau prinsip penindasan minoritas atas mayoritas, terutama yang kedua ini biasanya dan sampai sekarang tidak diterapkan kecuali dengan kekuatan dan kekerasan (Al Hasyimi. 2009: 2).

3) Keadilan

(32)

Salah satu prinsip yang menempati posisi penting dan menjadi diskursus dari waktu kewaktu adalah keadilan (al„adalah). Keadilan secara sederhana diartikan sebagai sebuah upaya untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan demikian, Islam mengajarkan agar keadilan dapat diejawantahkan dalam setiap waktu dan kesempatan. Tegaknya keadilan akan melahirkan konsekwensi logis berupa terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang harmonis. Tidak terbatas dalam satu aspek kehidupan, keadilan sejatinya ada dalam aspek yang amat luas, sebut saja misalnya aspek religi, aspek sosial, aspek ekonomi, aspek politik, aspek budaya, aspek hukum dan sebagainya. Sebaliknya, lunturnya prinsip keadilan berakibat pada guncangnya sebuah tatanan sosial (social unrest).

(33)

isapan jempol belaka. Dikarenakan sedikitnya manusia yang memiliki rasa kepedulian, sosial dan manusiawi.

(34)

B. Mata Kuliah Al Islam dan Kemuhammadiyahan

1. Pendidikan Islam dan Muhammadiyah

Pendidikan Muhammadiyah adalah penyiapan lingkungan yang memungkinkan seseorang tumbuh sebagai manusia yang menyadari kehadiran Allah swt sebagai Robb dan menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS). Dengan kesadaran spiritual makrifat (iman/ tauhid) dan pengusaan IPTEKS, seseorang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, peduli sesama yang menderita akibat kebodohan dan kemiskinan, senantiasa menyebarluaskan kemakrufan, mencegah kemungkaran bagi pemuliaan kemanusiaan dalam kerangka kehidupan bersama yang ramah lingkungan dalam sebuah bangsa dan tata pergaulan dunia yang adil, beradab dan sejahtera sebagai ibadah kepada Allah.

Pendidikan Muhammadiyah merupakan pendidikan Islam modern yang mengintegrasikan agama dengan kehidupan dan antara iman dan kemajuan yang holistik. Dari rahim pendidikan Muhammadiyah diharapkan lahir generasi muslim terpelajar yang kuat iman dan kepribadiannya, sekaligus mampu menghadapi dan menjawab tantangan zaman. Inilah pendidikan Islam yang berkemajuan.

(35)

IPTEKS adalah langkah awal tumbuhnya kesadaran makrifat (iman/ tauhid), sehingga pemikiran rasional adalah awal dari kesadaran spiritual makrifat ketuhanan. Pengabdian ibadah kepada Allah meliputi ibadah yang terangkum dalam rukun Islam, penelitian dan pengembangan IPTEKS, penataan lingkungan hidup yang lestari berkelanjutan dalam kehidupan bersama yang beradab, berkeadilan, dan sejahtera, serta pembebasan setiap orang dari penderitaan akibat kebodohan dan kemiskinan (Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah, 2010: 128).

Visi Pendidikan Muhammadiyah sebagaimana tertuang dalam Putusan Muktamar Muhammadiyah ke 46 tentang Revitalisasi Pendidikan

Muhammadiyah: “Terbentuknya manusia pembelajar yang bertaqwa,

berakhlak mulia, berkemajuan dan unggul dalam ipteks sebagai perwujudan tajdid dakwah amar ma‟ruf nahi munkar” (Berita Resmi: 2010, hal. 221). Visi Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) sebagaimana dirumuskan oleh Majlis Dikti PP Muhammadiyah adalah

“Terbangunnya tata kelola PTM yang baik (good governance) menuju

peningkatan mutu berkelanjutan”.

(36)

Pendidikan AIK di PTM memiliki posisi strategis, menjadi ruh penggerak, dan misi utama penyelenggaraan PTM. Pendidikan AIK juga menjadi kekuatan PTM karena dapat menjadi basis kekuatan spiritual, moral dan intelektual serta daya gerak bagi seluruh civitas akademika. Keberhasilan pendidikan AIK menjadi salah satu indikator ketercapaian misi penyelenggaraan dan pengelolaan PTM. Peningkatan mutu proses dan hasil (outcome) pendidikan AIK harus dilaksanakan terus menerus dan tersistem.

Pengembangan kurikulum pendidikan AIK ini dilakukan sesuai amanah keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 46 tentang Program Muhammadiyah 2010-2015 yaitu: “Mengembangkan model-model pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di seluruh jenjang pendidikan yang memberikan pencerahan paham Islam dan komitmen

gerakan Muhammadiyah yang berkemajuan”

2. Paradigma Baru Pendidikan AIK

(37)

a. Aspek Teologis dan Filosofis

Pembahasan aspek teologis dan filosofis dalam rekonstruksi paradigma baru pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan meliputi lima poin diskursus sebagai berikut.

1) Diskursus Pemikiran Keagamaan

Arusutama pemikiran keagamaan yang dikembangkan dalam pendidikan AIK selama ini masih bercorak teosentrisme (berpusat pada Tuhan). Agama itu berasal dari Tuhan yang diterima secara taken for granted dan seakan hanya untuk melayani atau untuk kepentingan Tuhan. Dalam pola pemahaman seperti ini, agama menjadi kurang aspiratif terhadap sisi kemanusiaan. Paham teosentrisme menempatkan manusia sebagai hamba Tuhan semata.

Dalam paradigma Muhammadiyah, bahwa pendidikan AIK mengandung perspektif teo-antroposentrisme yang memadukan

antara orientasi “habl min Allah” (hubungan dengan Allah,

teosentrisme) dan “habl min al-nas” (hubungan dengan manusia,

antroposentrisme) sehingga utuh dan seimbang.

(38)

fitrah dan hanif yang dapat menjadikan petunjuk itu bagi kebahagiaan hidupnya. Petunjuk itu tidak diterima begitu saja, melainkan perlu dipahami secara cerdas, kritis dan kontekstual. Sebagai contoh, shalat, zakat, puasa dan haji adalah perintah Allah tetapi hakikatnya adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia.

2) Diskursus tentang Tuhan

Diskursus tentang Tuhan dalam AIK difokuskan pada istilah Allah dan Rabb. Istilah Allah digunakan untuk menjelaskan dzat atau substansi (Uluhiyah). Sedangkan istilah Rabb digunakan untuk menerangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan alam semesta (Rububiyah). Allah adalah Dzat Maha Suci yang „Maha

Hadir‟ (Omnipresent) meski tidak nampak. Secara substantif, kata

Allah mensifati semua sifat termasuk kata Robb. Rabb adalah Maha Mencipta, Memelihara, Memberi Rizki, Maha Adil, Maha Kasih terhadap hamba-Nya. Rabb adalah peran Allah ketika

berhubungan dengan “al-alamin” (hamba/ciptaan-Nya) (QS.

al-Fatihah/1: 2, al-Baqarah/2:30). Dengan demikian, konsep tentang Tuhan harus berangkat dari sisi Uluhiyah dan Rububiyah sekaligus.

3) Diskursus tentang Nabi.

(39)

adalah manusia sempurna (insan kamil) dan teladan yang baik (uswah hasanah). Dalam meneladani Rasulullah harus dibedakan antara perbuatan yang mengandung ketetapan hukum (sunnah tasyriiyah) dan perbuatan yang tidak terkait ketetapan hukum

(ghoiru tasyriiyah) (Yusuf Qardlawi, as Sunnah an Nabawiyah Mashdaran lil Hadlarah wal Ma‟rifah).

Meneladani Nabi Muhammad SAW tidak untuk mengkultuskannya tetapi mengikuti sunah-sunahnya. Dalam surat al-Kahfi ayat 110 dikemukakan bahwa Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang diberi wahyu. Muhammad adalah seorang manusia pilihan dan manusia teladan (uswah hasanah). Muhammad adalah role-model yang terus menginspirasi dan memberikan contoh keteladanan kepada umatnya. Dengan mengedepankan sisi kemanusiaan Muhammad, akan terhindar dari pengkultusan dan syirik di satu sisi, dan menumbuhkan kekaguman serta kehormatan (ta‟ziman wah tiraman) disisi lain. Inilah cara melakukan kontekstualisasi Sunnah dan Hadits, sehingga tetap mampu memberikan inspirasi, pencerahan dan petunjuk walaupun dalam konteks kekinian dan kedisinian yang berbeda.

4) Diskursus Manusia Utama

(40)

dan sebagainya. Penjabaran manusia sebagai khalifah selaras dengan definisi iman, yang tidak hanya pada dimensi hati (qolb) tetapi juga dimensi pernyataan (lisan) dan perbuatan (arkan). Demikian pula, manusia sebagai khalifah bukan semata menyembah dan mengagungkan Allah semata, tetapi juga harus berbuat baik kepada manusia dan alam sebagai sifat Rabb yang menciptakan, memelihara, menjaga, memiliki, mengayomi dan lain-lain.

Untuk dapat berperan sebagai khalifah, manusia bukan saja berusaha menjalankan perintahNya dan menjauhi larangan-Nya, melainkan perlu merefleksikan nilai-nilai Allah (takhalaqu bi khuluqilllah) dalam aktivitas kehidupannya.

5) Diskurus Pandangan Hidup

(41)

dan pernyataan dari manusia terpilih menuju kebahagian dunia dan akherat. Hal ini sesuai dengan kandungan Surat al-Baqarah ayat

269: “Allah menganugrahkan hikmah kepada siapa yang Dia

kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi hikmah itu, ia

benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya

orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran”.

b. Aspek Substantif

Pembahasan aspek substantif ini meliputi tujuan, materi pokok, dan sifat kurikulum AIK.

1) Tujuan kurikulum AIK

AIK di PTM memandang Islam sebagai petunjuk kepada jalan yang lurus, modal sosial, jalan menuju Tuhan, dan jalan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Pengajaran Islam sebagai ilmu yaitu ilmuilmu tentang keislaman baik yang bersifat normatif maupun historissosiologis lebih tepat diberikan pada mahasiswa yang memang mengambil spesialisasi di bidang ilmu-ilmu agama.

Tujuan pendidikan AIK untuk membentuk insan berkarakter dan insan terpelajar yang diharapkan memiliki integritas dan kesadaran etis. Dalam Al-Qur‟an surat al-Qashash

ayat 77 Allah berfirman yang artinya: “...dan berbuat baiklah

sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu...”. Bagi insan

(42)

dan ancaman), melainkan sebagai bentuk panggilan etis, beramal shaleh sebagai manifestasi rasa terima kasih kepada Allah dan sesama. Pendidikan AIK untuk membentuk manusia berkemajuan, berjiwa pengasih, dan penuh kasih kepada sesama (philantropis). a) Materi pokok kurikulum AIK

Isi pendidikan AIK adalah ilmu pengetahuan tentang Islam baik aspek normatif maupun historis. Materi pokok Pendidikan AIK selama ini meliputi lima aspek: al-Qur‟an -Hadits, Aqidah, Akhlak, Fiqih, dan Kemuhammadiyahan. Materi pokok AIK ini disamping memiliki kelebihan juga ada kelemahannya. Kelebihannya lebih bersifat akademis dan kelemahannya adalah kurang dalam memfungsikan agama sebagai landasan moral, motivasional dan spiritual dalam memecahkan problem kehidupan.

Materi AIK lebih diarahkan pada pengembangkan karakter manusia baik (saleh dan ihsan) yang berbuat baik bagi kepentingan seluruh manusia (muslim dan non-muslim) sebagai bukti keislaman seorang muslim (Quran, Surat Baqarah ayat 176) (Laitsal birra an tuwallu wujuhakum....).

Al-Qur‟an maupun Hadits mengemukakan bahwa Islam itu adalah

petunjuk hidup untuk manusia di dunia. Isi kandungan

al-Qur‟an mencakup seluruh komponen perjalanan hidup manusia

(43)

manusia, alam, penciptaan dan keselamatan. Isi pokok materi AIK perlu direkonstruksi dari keilmuan normatif dan historis Islam kepada dimensi-dimensi kehidupan. Dengan cara inilah mahasiswa dapat kembali kepada al-Qur‟an dan Hadits secara cerdas dan fungsional.

b) Sifat Kurikulum AIK

Pendidikan AIK menjadi ruh/spirit dan visi bagi mata kuliah lain, bukan semata-mata berdiri sendiri secara terpisah sebagai salah satu mata kuliah. Sifat kurikulum AIK yang terpisah (separeted) perlu direkostruksi menjadi integrated, yaitu memiliki sifat integratif interkonektif dengan mata kuliah lain dan persoalan kehidupan. Nilai AIK dikembangkan sebagai virus yang meresapi seluruh bidang studi.

c. Aspek Metodologis

Al-tharîqatu ahammu min al-maddah” (metode lebih penting

daripada materi). Statemen bijak tersebut menggambarkan betapa pentingnya metode pendidikan. Pendidikan AIK seringkali tidak menyenangkan karena faktor metode. Ketepatan metode yang digunakan sangat menentukan keefektifan proses pendidikan.

1) Model Pendidikan

(44)

pendidikan terpusat pada mahasiswa (student centre learning). Pembelajaran AIK yang mengedepankan ilmu-ilmu agama dan berorietasi pada padat isi cenderung menerapkan model pendidikan yang berpusat pada materi; AIK bersifat normatif dan doktriner cenderung menerapkan model pendidikan yang berpusat pada dosen, dan AIK yang integrated dengan kehidupan dan interkoneksitas dengan pata mata kuliah lain akan cenderung menggunakan model pendidikan yang berpusat pada mahasiswa. Karena itu perlu dikembangkan model dialogis yang menempatkan mahasiswa sebagai subyek pembelajar dan pemeran utama pembelajaran (self learning) yang menemukan sendiri nilainilai AIK

a) Peran Dosen

Secanggih apapun kemajuan di bidang teknologi pendidikan, peran dosen tetap penting dan tidak pernah tergantikan. Namun demikian, dominasi dosen AIK dalam proses pendidikan yang selama ini lebih banyak berperan sebagai pengajar dan manajer kelas, perlu dirubah menjadi role model dan pemimpin kelas. Sebagai role model, dosen dituntut

(45)

b) Peran Mahasiswa

Dalam era teknologi informasi dan teknologi komunikasi yang semakin canggih, kedudukan mahasiswa bukan lagi sebagai peserta didik, melainkan sebagai subyek didik, aktor dan mitra dosen. Kejayaan suatu lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas mahasiswanya. Oleh karena itu, penting bagi dosen untuk memberikan peran yang besar dan strategis kepada mahasiswa dalam proses pendidikan.

c) Arah Pembelajaran

(46)

d) Pendekatan Pembelajaran

Pendekatan pembelajaran AIK harus dapat menggembirakan, mencerdaskan dan mengimankan mahasiswa dengan memperhatikan kecerdasannya. Pendekatan yang bersifat indoktrinatif dan memandang sesuatu secara hitam putih dianggap tidak relevan lagi. Metode pembelajaran AIK harus kreatif, inovatif, dan bervariasi sehingga dapat memberi tantangan dan membangkitkan minat serta kebutuhan mahasiswa terhadap AIK.

e) Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi pendidikan AIK yang lebih megutamakan hasil belajar aspek kognitif cenderung menghasilkan mahasiswa yang having religion dan kurang memiliki kemandirian belajar. Evaluasi yang diutamakan jenis portofolio, yaitu evaluasi yang mencakup proses, hasil dan umpan balik. Evaluasi proses dan hasil belajar AIK juga melibatkan mahasiswa. Mereka dapat menilai kesungguhan, keterlibatan, kreatifitas dan pencapaian hasil belajar (Tim. 2013: 7).

C. Penelitian Terdahulu

(47)

1. Skripsi berjudul “Implementasi Nilai-Nilai Moral Sila Ketuhanan Yang

Maha Esa Dalam Etika Profesi Guru di SMP Negeri 2 Boyolali” oleh

Muhlis Ardha Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2014. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Nilai-nilai moral sila Ketuhanan Yang Maha Esa diterapkan di sekolah SMP Negeri 2 Boyolali. 2) Penerapan nilai-nilai moral sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam etika profesi guru di SMP Negeri 2 Boyolali tergambar sesuai indikator yaitu, Guru dalam membimbing dan mengarahkan peserta didik guna menunjang keberhasilan dalam proses pembelajaran, guru di dalam berkomunikasi untuk memperoleh informasi terhadap anak didik, guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid sebaik-baiknya, guru memelihara hubungan dengan masyarakat di sekitar sekolah, guru bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya, guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru, guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan. 3) Guru di SMP Negeri 2 Boyolali melaksanakan etika tersebut sesuai nilai-nilai moral sila Ketuhanan Yang Maha Esa, di seluruh lingkup sekolahan

2. Skripsi berjudul “Metode Penanaman Nilai-nilai Agama dan Moral pada Anak Usia Dini (Studi Kasus di TK UMP Pembina Kecamatan Kembaran

Banyumas) Tahun pelajaran 2013/2014” oleh Ary Utami Mahasiswi

(48)

digunakan adalah sebagai berikut: bercerita/penokohan,tanya jawab, sosiodrama, karyawisata, bercakap-cakap, penugasan (pemberian tugas) serta pembiasaan. Dari beberapa metode yang digunakan tersebut yang paling sering digunakan di TK UMP Pembina adalah bercerita, tanya jawab dan pembiasaan. Metode penanaman nilai-nilai agama dan moral tersebut ternyata dapat berpengaruh terhadap perubahan perilaku anak, dari yang tidak baik menjadi baik. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan metode penanaman nilai-nilai agama dan moral tersebut meliputi: kurangnya pengetahuan atau teknik dalam bercerita dan kurangnya media yang digunakan dalam bercerita, sering terjadi inkonsistensi (penjelasan yang berbeda-beda/ ketidaksesuaian) antara apa yang dilakukan oleh guru di sekolah dengan apa yang dilakukan di lingkungan sekitar tempat ia tinggal.

3. Skripsi berjudul “Penggunaan Media Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembelajaran Al Islam dan

Kemuhammadiyahan di SMP Muhammadiyah 1 Purwokerto” oleh Wahyu

(49)

4) teknologi telekomunikasi yang digunakan sebagai pengganti laptop manakala salah satu siswa tidak membawa laptop dalam proses pembelajaran.

Referensi

Dokumen terkait

Proses diawali dengan seleksi administratif, penentuan bobot kriteria menggunakan metode FAHP, evaluasi proposal dan penentuan nilai sintesa proposal menggunakan

Salah satu hal yang berbeda antarsatu ruangan dengan ruangan lain adalah adanya perbedaan tingkat kepuasan kerja perawat dengan lima dimensi kepuasan kerja perawat yakni

Metode yang digunakan untuk pembuatan mikrokapsul adalah emulsifikasi-penguapan pelarut, yaitu bahan penyalut (PCL dan lilin lebah) dan bahan aktif (MPA) dilarutkan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan siaga bencana gempa bumi terhadap kesiapsiagaan anak-anak sekolah dasar dalam menghadapi

Menurut Trochim (2002), penilaian sumatif terdiri daripada lima jenis iaitu: (1) penilaian hasil yang bertujuan untuk menilai sama ada hasil sesuatu program adalah seperti

Beberapa modal yang digunakan sebagai sumber kekuatan oleh masyarakat korban lumpur lapindo antara lain sebagai berikut, pertama orientasi modal sosial, yaitu kondisi

(1) Hasil kompilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dan huruf e, diserahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak/Kepala Kantor Pelayanan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : (1) mengetahui penerapan model pembelajaran tipe STAD dalam upaya meningkatkan pemahaman siswa pada mata pelajaran pengolahan