• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume 08 No. 02. November 2015 ISSN :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volume 08 No. 02. November 2015 ISSN :"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Kesehatan dan Budaya

HIKMAH 48

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI PUSKESMAS NALUMSARI (STUDI KASUS DI DESA TUNGGUL

PANDEAN, DESA BLIMBINGREJO DAN DESA PRINGTULIS)

Ummi Haniek1., Devi Rosita2

Dosen Akademi Kebidanan Islam Al Hikmah Jepara

Email : akbid.alhikmah@gmail.com

Abstract

ISPA merupakan penyakit yang banyak diderita oleh anak-anak yang diakibatkan oleh infeksi saluran respiratorik, insidens ISPA di negara berkembang 15%-20% pertahun pada golongan usia balita dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya ISPA pada balita di Puskesmas Nalumsari (Studi kasus di Desa Tunggul Pandean, Desa Blimbingrejo dan Desa Pringtulis) berdasarkan faktor umur, jenis kelamin, status gizi dan lingkungan.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan metode survei. Populasi dan sampel dalam penelitian ini seluruh ibu yang memiliki balita yang mengalami ISPA sebanyak 35 responden dengan teknik total sampling. Jenis data primer hasil dari kuesioner langsung kepada ibu yang memiliki balita yang mengalami ISPA kemudian diolah secara editing, coding, tabulating data, entry dan dianalisa secara univariat dengan distribusi frekuensi.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil balita yang mengalami ISPA mayoritas berumur 12-36 bulan dan rata-rata umur balita yang mengalami ISPA yaitu 30 bulan, mayoritas berjenis kelamin perempuan, mayoritas memiliki status gizi baik, semua responden memiliki rumah denga jenis lantai keramik, mayoritas orang tua balita yang mengalami ISPA mempunyai kebiasaan merokok dan mayoritas responden menggunakan bahan bakar jenis gas untuk memasak.

Disimpulkan bahwa penyebab terjadinya ISPA pada balita meliputi faktor umur, jenis kelamin, status gizi, dan lingkungan. Diharapkan pada ibu-ibu yang memiliki anak berumur 12-36 bulan yang berjenis kelamin perempuan agar lebih aktif untuk memeriksakan kesehatannya.

Kata Kunci : ISPA, Umur Balita, Jenis Kelamin, Status Gizi, Lingkungan

(2)

Jurnal Kesehatan dan Budaya

HIKMAH 49

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Insidens menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008). ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%) (Kementrian Kesehatan RI, 2011;h.1).

World Health Organization (WHO)

memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang, dimana pneumonia

merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh 4 juta anak balita setiap tahun.

Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun

2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Jurnal Kebidanan, 2012).

Pengendalian ISPA telah dikembangkan sejak tahun 1984 namun hingga saat ini penyakit ISPA masih merupakan masalah kesehatan karena pneumonia merupakan penyakit pembunuh utama balita di dunia dan nomor dua di Indonesia tetapi masih sedikit perhatian terhadap upaya pengendalian di Indonesia (Kementrian Kesehatan RI, 2011;h. 31).

ISPA merupakan penyakit yang banyak diderita oleh anak-anak yang diakibatkan oleh infeksi saluran respiratorik, yang dapat berakibat buruk bagi kesehatan respiratorik mereka, karena penyakit-penyakit saluran pernapasan pada bayi dan anak-anak mempunyai kemungkinan menyebabkan kecacatan pada masa dewasa (Hartono, dkk, 2012).

Kesehatan respiratorika ini akan menuntun mereka pada perkembangan yang optimal bersama-sama dengan sistem imun bayi dan anak-anak. "Rentannya anak adalah karena kekebalan tubuhnya belum begitu sempurna layaknya orang dewasa, terlebih lagi pada anak yang memiliki riwayat ISPA pada keluarganya (Hartono, dkk, 2012).

Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga

(3)

Jurnal Kesehatan dan Budaya

HIKMAH 50

merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA.

Period prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan 2007 (25,5%) (Riskesdas, 2013;h.65).

Pada konferensi internasional salah satu contohnya Negara Canberra, Australia yang merupakan negara yang maju sampai sekarang tetap ada, buktinya 4 juta balita meninggal dunia tiap tahun akibat ISPA dan biasanya dipicu oleh virus. Faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab penyakit ISPA yaitu antara lain: umur, jenis kelamin, keadaan gizi, kekebalan, lingkungan, imunisasi yang tidak lengkap dan pemberian ASI ekslusif yang tidak sesuai. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA adalah faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik terdiri dari ventilasi, kepadatan hunian, jenis lantai, luas jendela, letak dapur, penggunanaan jenis bahan bakar dan kepemilikan lubang asap. Sedangkan faktor intrinsik terdiri dari umur, jenis kelamin, status gizi, status imunisasi, pemberian vitamin A pada saat nifas/balita dan pemberian ASI Anak berumur di bawah 2 tahun mempunyai risiko terserang Infeksi Saluran Pernafasan Akut lebih besar dari pada anak di atas 2 tahun sampai 5 tahun, keadaan ini karena pada anak di bawah umur 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya relatif sempit (Hartono, dkk, 2012).

Persentase penemuan dan penanganan penderita pneumonia pada balita tahun 2012 sebesar 24,74% lebih sedikit dibanding tahun 2011 (25,5%). Jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 64.242 kasus, angka ini masih sangat jauh dari target Standar Pelayanan Minimal (SPM) tahun 2010 (100%) (Data Dinas Kesehatan Provinsi Jateng, 2012;h. 18).

Menurut hasil survei morbiditas yang dilaksanakan oleh subdit ISPA dan Balitbangkes menunjukkan angka kesakitan 5,12%, namun karena jumlah sampel dinilai tidak representatif maka subdit ISPA tetap menggunakan angka WHO yaitu 10% dari jumlah balita. Angka WHO ini mendekati angka SDKI 2007 yaitu 11,2%. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Rudan, et al (2004) di negara berkembang termasuk Indonesia insidens pneumonia sekitar 36% dari jumlah balita. Faktor risiko yang berkontribusi terhadap insidens pneumonia tersebut antara lain gizi kurang, ASI ekslusif rendah, polusi udara dalam ruangan, kepadatan, cakupan imunisasi campak rendah dan BBLR (Kementrian Kesehatan RI, 2011;h. 5).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara tahun 2013 menunjukkan bahwa balita yang mengalami ISPA diperkirakan berjumlah 9.278 balita yang terdiri dari balita laki-laki yang mengalami ISPA berjumlah 4.830 sedangkan balita perempuan yang mengalami ISPA berjumlah 4.448 (Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara, 2013).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara tahun 2009 menunjukkan bahwa Puskesmas Nalumsari merupakan Puskesmas peringkat ketiga terbanyak terdapat penyakit pneumonia dimana peringkat pertama di Puskesmas Tahunan dan peringkat kedua di Puskesmas Batealit (Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara, 2009).

Menurut Ditjen PPM dan PL Depkes RI, faktor berisiko untuk berjangkitnya atau mempengaruhi timbulnya infeksi saluran pernapasan akut, yaitu; gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI memadai, polusi udara, termasuk asap rokok, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, defisiensi vitamin A, tingkat

(4)

Jurnal Kesehatan dan Budaya

HIKMAH 51

sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan ibu rendah, dan tingkat pelayanan kesehatan rendah (Mubarok, 2009).

Menurut pendapat Suyami (2004), kemungkinan hal ini terjadi karena anak usia lebih 2 tahun sampai 5 tahun sudah banyak terpapar oleh lingkungan luar dan kontak dengan penderita ISPA lainnya, sehingga memudahkan anak untuk menderita ISPA. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang di lakukan Suwanjutha (1994) bahwa usia lebih 2 tahun sampai 5 tahun mempunyai risiko menderita ISPA lebih besar di banding anak usia 2 bulan sampai kurang 1 tahun.

Penelitian Sulistyoningsih (2010) menunjukkan terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA. Hal ini sejalan dengan Depkes RI, tahun 2005 yang menyatakan bahwa salah satu faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA adalah jenis kelamin laki-laki (Sulistyoningsih, 2010;h. 157).

Status gizi seseorang dapat mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi, demikian juga sebaliknya. Balita merupakan kelompok rentan terhadap berbagai masalah kesehatan sehingga apabila kekurangan gizi maka akan sangat mudah terserang infeksi salah satunya pneumonia. (Kementrian Kesehatan RI, 2011;h. 7).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairil (2013) menyatakan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita. Gizi sangat penting untuk pertumbuhan, perkembangan dan pemeliharaan aktifitas tubuh. Tanpa asupan gizi yang cukup, maka tubuh akan mudah terkena penyakit infeksi. Dan juga ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita (Khairil, 2013;h. 118-119). Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat

menimbulkan kanker (karsinogen). Bahkan bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang-orang di sekitarnya yang tidak merokok yang sebagian besar adalah bayi, anak-anak dan ibu-ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif oleh karena ayah atau suami mereka merokok di rumah. Padahal perokok pasif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita ISPA, kanker paru-paru dan penyakit jantung ishkemia. Sedangkan pada janin, bayi dan anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita kejadian berat badan lahir rendah, bronchitis dan pneumonia, infeksi rongga telinga dan asma (Depkes, 2008).

Penelitian yang menghubungkan antara jumlah perokok dan rokok yang dihisap pada keluarga penderita ISPA menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah perokok dan rokok yang dihisap keluarga, maka akan semakin memperparah episode ISPA yang diderita oleh penderita (Lubis, 2009).

Bukti paparan asap merokok meningkatkan beratnya gejala pernafasan asma meningkat akhir-akhir ini. Bahwa paparan asap rokok meningkatkan gejala

wheezing (tersengal-sengal) batuk, dahak serta sesak nafas, dikatakan bahwa gejala-gejala tersebut lebih berat pada anak dengan ibu perokok daripada anak dengan bapak perokok (Marssy, 2007).

Hasil penelitian dari Yuwono (2008) menunjukkan bahwa risiko balita terkena pneumonia akan meningkat jika tinggal di rumah yang menggunakan bahan bakar kayu. Penggunaan jenis bahan bakar dari kayu akan mengeluarkan asap. Asap ini dapat menjadi media bagi bakteri dan virus jika terhirup penghuni rumah (Yuwono, 2008;h. 80-81).

(5)

Jurnal Kesehatan dan Budaya

HIKMAH 52

Dari studi pendahuluan yang telah dilakukan pada tanggal 14 September 2014 di Puskesmas Nalumsari terdapat 2.638 balita yang mengalami ISPA pada tahun 2014. Terdapat lingkungan rumah yang bersebelahan dengan lahan yang membuat bata dan ada pula orang tua yang bermata pencaharian pembuat bata serta ada kebiasaan merokok orang tua di lingkungan rumah. Dalam memasak juga kebanyakkan menggunakan gas dari pada kayu bakar. Sedangkan pada tahun 2014 di Puskesmas Mayong II terdapat 2.376 balita yang mengalami ISPA.

Tabel 1. Data kasus ISPA pada bulan Juli 2014 di Puskesmas Nalumsari No. Faktor Penyebab ISPA Jumlah 1. Umur a. 12-28 bulan 86 orang b. 29-45 bulan 49 orang c. 46-60 bulan 52 orang 2. Jenis Kelamin a. Laki-laki 135 orang b. Perempuan 99 orang 3. Lingkungan (alamat rumah) a. Desa yang paling banyak terdapat kasus ISPA pada balita Desa Tunggul Pandean (26 kasus) Desa Blimbingrejo (24 kasus) Desa Pringtulis (24 kasus) b. Desa yang paling sedikit terdapat kasus ISPA pada balita Desa Ngetuk (1 kasus) Desa Sengonbugel (1 kasus)

Desa Tritis (1 kasus)

Berdasarkan tabel 1. menunjukkan bahwa umur yang paling banyak mengalami ISPA diatas 1 tahun sebanyak 86 orang dan jenis kelamin laki-laki yang terbanyak mengalami ISPA sebanyak 135. Serta desa yang paling banyak terdapat kasus ISPA pada balita yaitu desa Tunggul Pandean (26 kasus), desa Blimbingrejo (24 kasus), dan desa Pringtulis (24 kasus). Sedangkan desa yang paling sedikit terdapat kasus ISPA yaitu desa Ngetuk (1 kasus), desa Sengonbugel (1 kasus), dan desa Tritis (1 kasus).

Tabel 2 Data kasus ISPA yang didapatkan dari studi pendahuluan pada tanggal 14 September 2014 di Puskesmas Nalumsari N

o

Nama Umur Berat

Badan Jenis Kelamin Alamat 1. An. D 16 bulan

10 kg Perempuan Desa Tunggul

Pandean 1/3

Jepara 2. An. N 23

bulan

10 kg Perempuan Desa Tunggul

Pandean 1/3

Jepara 3. An. D 38

bulan

11 kg Perempuan Desa Tunggul

Pandean 1/3

Jepara 4. An. Y 16

bulan

8,7 kg Perempuan Desa Tunggul

Pandean 2/3

Jepara 5. An. F 13

bulan

8,8 kg Laki-laki Desa Tunggul

Pandean 2/3

Jepara 6. An. K 49

bulan

14 kg Laki-laki Desa Tunggul

Pandean 3/3

Jepara 7. An. M 49

bulan

15,4 kg Laki-laki Desa Tunggul

Pandean 3/3

Jepara 8. An. R 51

bulan

14,5 kg Laki-laki Desa Tunggul

Pandean 4/3

Jepara 9. An. S 16

bulan

9,8 kg Perempuan Desa Tunggul

Pandean 6/3 Jepara 1 0. An. M 57 bulan

15 kg Laki-laki Desa Tunggul

(6)

Jurnal Kesehatan dan Budaya

HIKMAH 53

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa umur yang paling banyak mengalami ISPA diatas 1 tahun. Balita yang mengalami ISPA memiliki status gizi yang baik ada 9 balita sedangkan yang 1 balita memiliki ststus gizi kurang. Jenis kelamin balita yang mengalami ISPA ada 5 yang berjenis kelamin laki-laki dan 5 yang berjenis kelamin perempuan. Kebanyakkan balita tersebut bertempat tinggal di daerah pembakaran bata.

Dari uraian dan studi pendahuluan di atas, peneliti tertarik mengangkat judul “Faktor Penyebab terjadinya ISPA pada Balita di Puskesmas Nalumsari (Studi Kasus di Desa Tunggul Pandean, Desa Blimbingrejo dan Desa Pringtulis)”. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan metode survey. Penelitian ini menggunakan tehnik total sampling yaitu semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Analisa data menggunakan univariat dengan distribusi frekuensi.

HASIL PENELITIAN 1. Umur Balita

Tabel 1

Faktor Penyebab Terjadinya ISPA pada Balita berdasarkan umur balita di Puskesmas Nalumsari. Umur Balita Frekuensi Persentase (%)

12-36 bulan 24 68.6 37-60 bulan 11 31.4

Total 35 100.0

2. Jenis Kelamin Balita

Tabel 2

Faktor Penyebab Terjadinya ISPA pada Balita jenis kelamin balita di Puskesmas Nalumsari. Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%) Laki-laki 17 48.6 Perempuan 18 51.4 Total 35 100.0

3. Status Gizi Balita Tabel 3

Faktor Penyebab Terjadinya ISPA pada Balita berdasarkan status gizi balita di Puskesmas Nalumsari.

Status Gizi Frekuensi Persentase (%) Gizi lebih - - Gizi baik 28 80.0 Gizi kurang 3 8.6 Gizi buruk 4 11,4 Total 35 100.0 4. Lingkungan Rumah 1) Jenis Lantai Rumah

Tabel 4.1

Faktor Penyebab Terjadinya ISPA pada Balita berdasarkan jenis lantai rumah di Puskesmas Nalumsari. Jenis Lantai Rumah Frekuensi Persentase (%) Lantai tanah - - Lantai plester

atau ubin atau keramik

35 100.0

(7)

Jurnal Kesehatan dan Budaya

HIKMAH 54

2) Kebiasaan Merokok Tabel 4.2

Faktor Penyebab Terjadinya ISPA pada Balita berdasarkan kebiasaan merokok di Puskesmas Nalumsari. Kebiasaan Merokok Frekuensi Persentase (%) Merokok 21 60.0 Tidak merokok 14 40.0 Total 35 100.0

3) Jenis Bahan Bakar Untuk Memasak Tabel 4.3

Faktor Penyebab Terjadinya ISPA pada Balita berdasarkan jenis bahan bakar untuk memasak di Puskesmas Nalumsari. Jenis Bahan Bakar Untuk Memasak Frekuensi Persentase (%) Kayu bakar 8 22.9 Gas 27 77.1 Total 35 100.0

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan akan dilakukan pembahasan lebih lanjut. Penelitian dengan judul “Faktor Penyebab Terjadinya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Balita Di Puskesmas Nalumsari (Studi Kasus Di Desa Tunggul Pandean, Desa Blimbingrejo Dan Desa Pringtulis)” yang dilakukan bulan Februari 2015 dengan cara membagikan kujesioner langsung kepada responden sejumlah 35 responden dan analisa yang digunakan adalah analisa univariat dengan distribusi frekuensi.

BAHASAN 1. Umur

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas didapatkan hasil bahwa balita yang mengalami ISPA kebanyakan berumur 12-36 bulan yaitu sebanyak 24 orang (68,6%) dan rata-rata berumur 30 bulan. Hal ini dikarenakan kebanyakkan balita bermain dengan temannya di luar rumah, suka bermain tanah, ditempat yang berdebu serta suka bermain disekitar lingkungan tempat yang digunakan dalam pembuatan genteng, bata dan mebel.

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas didapatkan hasil bahwa balita yang mengalami ISPA kebanyakan yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 18 orang (51,4%). Hal ini dikarenakan sebagian balita perempuan sering bermain boneka dengan saudaranya menggunakan potongan kain yang kecil-kecil bekas untuk membuat pakaian. Selain itu, ada juga yang bermain masak-masakan dengan bahan dasarnya daun-daunan dan tanah liat.

3. Status Gizi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas didapatkan hasil bahwa balita yang mengalami ISPA kebanyakan yang mempunyai status gizi baik yaitu sebanyak 28 orang (80,0%). Hal ini dikarenakan banyak baita yang sulit untuk makan. Disamping ingin bermain terus dan malas untuk

(8)

Jurnal Kesehatan dan Budaya

HIKMAH 55

makan terutama makan sayuran. Kebanyakkan balita lebih suka makan makanan ringan seperti taro dan makan permen serta minum minuman yang dingin.

4. Lingkungan

a. Jenis Lantai Rumah

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas didapatkan hasil bahwa semua responden memiliki rumah dengan jenis lantai keramik yaitu sebanyak 35 orang (100,0%). Hal ini dikarenakan kebanyakkan kondisi lantai rumah responden kotor karena mereka menjadikan rumah sebagai tempat tinggal sekaligus tempat usaha seperti menjahit, warung makan dan membuat krupuk. Kebanyakkan responden jarang membersihkan lantai rumah karena sudah lelah dan sibuk dengan usahanya.

b. Kebiasaan Merokok

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas didapatkan hasil bahwa balita yang mengalami ISPA kebanyakan orang tuanya mempunyai kebiasaan merokok yaitu sebanyak 21 orang (60,0%). Hal ini dikarenakan sebagian besar orang tua memiliki balita mempunyai kebiasaan mengonsumsi rokok setiap hari di dalam rumah. c. Jenis Bahan Bakar Untuk

Memasak

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas didapatkan hasil bahwa

balita yang mengalami ISPA kebanyakan yang bertempat tinggal dirumah yang sebagian besar dalam memasak menggunakan jenis bahan bakar gas yaitu sebanyak 27 orang (77,1%). Namun, penggunaan bahan bakar jenis gas diselingi dengan penggunaan kayu bakar. Contohnya dalam memasak nasi, lauk, sayur menggunakan gas sedangkan saat memasak air menggunakan kayu bakar.

KESIMPULAN

1. Balita yang mengalami ISPA mayoritas berumur 12-36 bulan yaitu sebanyak 24 orang (68,6%) dan rata-rata umur balita yang mengalami ISPA yaitu 30 bulan. 2. Balita yang mengalami ISPA

mayoritas berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 18 orang (51,4%).

3. Balita yang mengalami ISPA mayoritas memiliki status gizi baik yaitu sebanyak 28 orang (80,0%) dan minoritas memiliki status gizi kurang yaitu sebanyak 3 orang (8,6%).

4. Semua responden memiliki rumah dengan jenis lantai keramik yaitu sebanyak 35 orang (100%), mayoritas orang tua balita yang mengalami ISPA mempunyai kebiasaan merokok yaitu sebanyak 21 orang (60,0%), mayoritas responden menggunakan bahan bakar jenis gas untuk memasak yaitu sebanyak 27 orang (77,1%).

(9)

Jurnal Kesehatan dan Budaya

HIKMAH 56

SARAN

Bagi Instansi Puskesmas bagi instansi yang terkait perlu melakukan sosialisasi tentang faktor penyebab ISPA dan masalah PHBS keluarga seperti kebersihan rumah, kebiasaan merokok dan penggunaan kayu bakar dalam memasak pada ibu yang memiliki balita melalui penyuluhan, pendidikan kesehatan disetiap posyandu maupun langsung ke masyarakat, sehingga dapat menambah pengetahuan khususnya ibu-ibu yang memiliki balita tentang tentang faktor penyebab dari ISPA dan masalah PHBS keluarga. Memberikan pelatihan tentang cara mengetahui status gizi balita kepada kader kesehatan. Bagi Responden diharapkan pada ibu-ibu yang memiliki anak berumur 12-36 bulan yang berjenis kelamin perempuan agar lebih aktif untuk memeriksakan kesehatannya. diharapkan pada ibu jika memasak lebih baik tidak usah menggunakan kayu bakar atau jika menggunakan kayu bakar jauhkan dari jangkauan anak. diharapkan pada ibu untuk memantau anaknya jika bermain di luar rumah dan anak disuruh menggunakan masker agar terhindar dari debu. Bagi Peneliti lain diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan pemberian ASI eksklusif, imunisasi anak dengan kejadian ISPA.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Pujiati. Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Pada Bayi. Semarang: Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang; 2011

Adnani, Hariza. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika; 2011. h. 92, 106

Anies. Manajemen Berbasis Lingkungan.

Jakarta: PT Elex Media Komputindo; 2006. h. 2

Anjarwati, dkk. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC; 2006. h. 33

Anonymous. Kenali Penyakit ISPA. 2014 [Diakses tanggal 27 Pebruari 2015].

Didapatkan dari:

http://www.parenting.co.id

Ansori, Rohmat. Hubungan Pola Konsumsi Bahan Pangan Prebiotik Dan Pelayanan Dasar Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Balita Berat Badan Rendah Umur 2-5 Tahun. Bangkalan: Universitas Airlangga. Skripsi. 2010

Arini. Mengapa Seorang Ibu Harus Menyusui ?. Yogyakarta: FlashBooks; 2012. h. 43

Arisman. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC; 2004.h. 100

Asmidayanti, Susi. Hubungan Status Gizi Dengan Morbiditas Ispa Anak Usia Balita Di Desa Tanjung Tanah Kecamatan Danau Kerinci Kabupaten Kerinci. Padang: Universitas Negeri Padang; 2012 Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013. h. 65

Daulay, Ridwan. Kendala Penanganan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Medan: FK-USU. 2008. Dikutip dari Jurnal Hubungan Umur Dan Status Imunisasi Terhadap Kasus Penyakit Ispa Pada Balita

(10)

0-Jurnal Kesehatan dan Budaya

HIKMAH 57

5 Tahun Di Puskesmas Barugaia Kabupaten Kepulauan Selayar. Akbid Mutiara Jaya Persada. 2013 Depkes RI. Perokok Pasif Mempunyai

Resiko yang Lebih Besar. http://www.depkes.go.id. [15 September 2009]; 2008. Dikutip dari jurnal Kusumawati, Ita. 2010. Hubungan antara Status Merokok Anggota Keluarga dengan Lama Pengobatan ISPA Balita di Kecamatan Jenawi. UNS.

. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta: Dirjen Pengendalian

Penyakit Penyehatan Lingkungan, Depkes RI; 2009. Dikutip dari jurnal Catiyas, Embriyowati. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. FKM UI. 2012.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012. Semarang; 2012. h. 18

Gambar

Tabel  1.  Data  kasus  ISPA  pada  bulan  Juli  2014 di Puskesmas Nalumsari  No.  Faktor  Penyebab  ISPA  Jumlah  1

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara kehamilan ganda dengan kegawatan nafas pada neonatus terjadi karena komposisi kehamilan ganda (gemelli) pada kelompok

Kompos sebagai hasil dari pengomposan dan merupakan salah satu pupuk organik yang memiliki fungsi penting terutama dalam bidang pertanian antara lain : Pupuk

Gugatan oleh Pekerja atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalama pasal 159 dan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 tahun sejak diterimanya atau

15:4 Maka tidak akan ada orang miskin di antaramu, sebab sungguh TUHAN akan memberkati engkau di negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk menjadi milik pusaka,

1) Berikan objek yang biasa digunakan atau disenangi anak, bisa benda ataupun makanan atau minuman. 2) Pada saat anak mengambil objek tersebut biarkanlah ia memainkannya

Pembahasan hasil penelitian, kajian tentang Model pembelajaran TGT (Time Games Turnament) Dalam Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar PAI Materi Puasa Pada

Kembalinya dasar pengaturan hukum agraria kepada hukum asli Indonesia terdapat dalam Pasal 5 UUPA, bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang

Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, dan Struktur Modal terhadap Nilai Perusahaan dengan Kebijakan Dividen sebagai Variabel Intervening (Studi