• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia Oleh: Iswantoro *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia Oleh: Iswantoro *"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Iswantoro Abstrak

Ada dalam kerangka pencapaian tujuan perwujudan cita-cita keadilan sosial yang menjadi semangat dan roh UUPA, pemerintah Orde Lama mengeluarkan berbagai peraturan hukum di bidang pertanahan, antara lain Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil, PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian yang kesemuanya disiapkan untuk pelaksanaan program landreform.

Sementara itu, rezim Orde Baru melaksanakan HMN ini didasarkan pada semangat pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi yang ternyata kemudian justru mengingkari semangat dan roh UUPA. Berbagai peraturan perundang-undangan yang berkait dengan alokasi sumber-sumber agraria diterbitkan untuk memfasilitasi pertumbuhan modal.

Pada masa transisi, semenjak tahun 1998, tidak ada suatu realisasi yang adekuat terhadap imbauan-imbauan dan peringatan yang telah diberikan oleh sejumlah Ornop maupun organisasi tani agar sengketa-sengketa pertanahan/agraria yang telah dan sedang terjadi ketika ada pergantian kekuasaan.

Kata kunci: perkembangan, landreform A.Pendahuluan

Tanah merupakan salah satu permasalahan kompleks yang tidak ada habisnya di negeri ini. Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah merupakan masalah yang sangat kritis di Indonesia. Desakan liberalisasi perdagangan dengan menempatkan “tanah sebagai komoditi” membuat wilayah masalah ini semakin kompleks, di mana rakyat, terutama petani kecil diposisikan sebagai “korban” arus kapitalisme global yang nyaris tanpa jalan keluar.1

Kondisi ini memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Perpres No. 10 Tahun 2006 (selanjutnya

* Dosen Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

1 Andik Hardiyanto, “Landreform by Leverage di Indonesia”, dalam Kertas Posisi KPA (Position Paper) No. 001/1998.

(2)

Perpres 10) menggariskan bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.2 Dengan demikian, peraturan ini

mengakhiri posisi dilematik BPN yang pernah berwujud Kementerian Agraria, yang kemudian diposisikan di bawah Departemen Dalam Negeri, bahkan pernah akan dibubarkan. 3

Terbitnya Pepres 10 jelas menandakan adanya ketidakjelasan struktur fungsional dalam lembaga pertanahan nasional. Meskipun demikian, secara objektif dan optimistik kehadiran Perpres 10 dapat dipandang sebagai upaya Presiden menjawab tuntutan masyarakat atas pembaruan agraria, yang diantaranya ditempuh melalui penataan kelembagaan pertanahan yang ada.

Jika dicermati, kewenangan BPN menurut perpres ini tampak kian luas karena kini BPN bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral (pasal 2). Semangat nasionalisme tergurat jelas pada bagian Menimbang (b); “bahwa tanah merupakan perekat NKRI, karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasional...”. Tantangannya adalah bagaimana koordinasi dan sinergi BPN yang vertikal ini dengan pemerintahan daerah yang persoalan agrarianya pastilah beragam dengan konstalasi politik yang juga cenderung pelangi. Dalam hal ini, perlu kepiawaian politik dan kesediaan berbagi peran secara proporsional antar sesama penyelenggara negara yang mengurus hajat hidup khalayak ramai, apalagi menyangkut tanah sebagai urusuan yang asasi.

Kegiatan pembangunan yang dikembangkan negara, terutama semenjak rezim Orde Baru memegang tampuk pemerintahan, secara pasti menunjukkan sosok yang makin intensif dan ekstraktif. Dikatakan intensif karena, misalnya, telah terjadi akumulasi dan pertumbuhan (per tahun) investasi, baik modal dalam negeri maupun luar negeri, dalam berbagai sektor kegiatan ekonomi. Peran sektor swasta juga semakin membesar dari waktu ke waktu. Bahkan, untuk memperbesar peran sektor swasta ini, negara tidak segan-segan menunjukkan keberpihakannya. Berbagai

2 Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional Pasal 1.

3 Setiawan, Usep, 2006, “Krisis Kelembagaan Pertanahan? (Catatan atas Kontroversi Perpres No. 10 Tahun 2006 tentang BPN)”, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15176&cl=

(3)

kemudahan berusaha pun diagendakan, agar nilai investasi dan volume produksi harus meningkat terus.4

Makin ekstraktif karena sektor kegiatan ekonomi pun makin beragam. Boleh dikatakan hampir tidak ada sumberdaya alam yang belum tergarap. Bersamaan dengan itu, wilayah operasi berbagai perusahaan yang menjadi pelaksana misi pembangunan itu pun makin menyebar. Selain itu, hampir tidak ada wilayah negeri ini yang tidak terjamah kegiatan pembangunan, hingga ke daerah-daerah terpencil sekalipun. Dapat dikatakan, saat ini hampir tidak ada wilayah negeri ini yang tidak bersentuhan dengan kegiatan-kegiatan pembangunan itu, bahkan ke pelosok-pelosok yang terpencil sekalipun. Luasan ruang yang digunakan untuk menampung berbagai kegiatan pembangunan (ekonomi) itu sendiri telah mencapai ratusan ribu hektar per unit kegiatan.5

Tulisan ini membahas tentang perkembangan landreform dalam pemerintahan Indonesia yang dikupas menggunakan pendekatan Analysis System. Analysis System merupakan pendekatan hukum yang akan menguraikan bagaimana perkembangan dan proses landreform pada masa orde lama dan orde baru yang menghasilkan output berupa perkembangan landreform pada era reformasi.6

B.Pembahasan

1.

Landreform

zaman Orde Lama

Secara historis, Orde Lama telah menempatkan landreform sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan semestanya. Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia (lâ exploitation de lâ homme per lâ homme); kemandirian

4 Yando R. Zakaria, “Kemajemukan Masyarakat Bangsa Indonesia dan Penegakan Hak-hak Masyarakat Adat”, dalam Kertas Posisi KPA (Position Paper) No. 005/1998.

5 Ibid.

6 Mengadaptasi artikel Gunter Teubner “Substantive And Reflexive Elements in Modern Law” (Gunter Teubner, 1983), p. 244, dalam Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, (Arkola Offset, Surbaya, 2002), p. 4.

(4)

ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya.7

Diberlakukannya UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau yang biasa dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) membawa angin perubahan besar dan fundamental terhadap buku ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Hukum Agraria/Pertanahan di Indonesia. Sejak diperkenalkannya UU tersebut, seluruh ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak berkenaan dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di hapuskan dari buku ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata kecuali ketentuan-ketentuan mengenai Hipotik.8

undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. Meskipun dalam Pasal 33 UUD 1945 hak tersebut sudah dijelaskan dan menjadi dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain.

Namun, rumusan baku Hak Negara untuk menguasai bumi, air beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pertama kalinya secara formal dijelaskan dalam UUPA 1960, di mana UU tersebut memberi wewenang kepada negara untuk:9

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

7 Lilis Nur Faizah, "Landreform Sejarah Dari Masa Ke Masa", tugas Mata Kuliah Landreform, (UGM, Yogyakarta, 2007) dalam www.zeilla.wordpress.com, p. 6.

8 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hak Jaminan Atas Tanah, cet. IV, (Yogyakarta: Liberty, 1981), p. 1.

9 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 2 UUPA. Menurut beberapa tokoh, paham ini dipengaruhi paham negara integralistik yang berkembang saat itu dan didukung terutama oleh Soekarno dan Supomo. Kesatuan antara masyarakat dan negara di mana kepentingan individu dan kelompok larut dalam kepentingan negara (mirip dengan konsep Rousseau tentang masyarakat organis) sehingga tidak terjadi pertentangan hak dan kepentingan warga masyarakat dan negara. Individu ditempatkan di bawah nilai masyarakat sebagai keseluruhan. Lihat Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), pp. 94-96.

(5)

Kewenangan tersebut dipahami sebagai hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam dalam konteks penguasaan, bukan kepemilikan seperti di negara Barat maupun di negara-negara komunis. Negara dalam hal ini sebagai Badan Penguasa tingkat tertinggi mempunyai wewenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur tata hukum berkenaan dengan tanah.10

Dalam hal ini kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal:11Pertama, dibatasi UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh negara

tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang yang melepas haknya harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut.

Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.

Dianutnya prinsip fungsi sosial dalam UUPA tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok saat itu. Agar tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang, dimasukkan unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaannya. Sehingga dalam hak individu ada hak kebersamaan. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah peraturan landreform. Pengaturan batas pemilikan atas tanah oleh perseorangan dilakukan sehingga pemilikan itu hanya dihubungkan dengan usaha mencari nafkah dan penghidupan yang layak, atau hanya digunakan untuk pemukiman, pertanian dan perindustrian rumah.

Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi politik agraria yang dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama

10 Maria SW Sumardjono, "Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara", Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta.

11 Ibid. Dua pembatasan tersebut menjadi penting mengingat HMN merupakan suatu konsepsi pokok dalam UUPA yang kemudian dijadikan sumber dari Undang-undang atau pun regulasi lainnya yang dirumuskan berdasarkan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, pembatasan Konstitusi. Dengan semakin kuatnya pengakuan konstitusi pasca Amandemen terhadap hak asasi manusia, maka pengaturan tentang pengambilalihan hak milik atas tanah harus benar-benar memperhatikan asas ini.

(6)

kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah16. Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan pembagian tanah berdasar prinsip “tanah bagi mereka yang benar-benar menggarapnya”. Mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba. Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Golongan ketiga adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima pendapat golongan radikal tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan UUPA menjadi anggotanya.12

Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.13

Tujuan pokok dari diundangkannya UUPA adalah: (i) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum Agraria, yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; (ii) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; (iii) meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Latar belakang dari agenda atau tujuan pokok dari UUPA di atas adalah karena realitas pengaturan hukum agraria yang diwariskan oleh pemerintah jajahan sangat bertentangan dengan kepentingan rakyat dan bangsa, melahirkan sifat dualisme hukum agraria, dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi rakyat asli Indonesia. Semua itu harus dihapus dan digantikan dengan semangat yang didasarkan pada kepentingan rakyat dan bangsa berdasar UUD 1945.

12 Noer Fauzi, Petani &Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, (Yogyakarta: Kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, 1999), p. 141.

(7)

Kembalinya dasar pengaturan hukum agraria kepada hukum asli Indonesia terdapat dalam Pasal 5 UUPA, bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur hukum pada hukum agama.

Namun demikian, UUPA sendiri juga memberikan banyak pembatasan bagi pelaksanaan hukum adat ini: Pertama, di bawah kendali Hak Menguasai Negara (HMN) dilakukan penyederhanaan atas pluralitas atau keberagaman hukum asli yang banyak tersebar di wilayah Indonesia. Tidak ada langkah-langkah konkrit untuk menggali hukum adat tersebut yang sesungguhnya dinyatakan oleh UUPA sebagai dasar hukum agraria nasional.

Kedua, Pelaksanaan hukum adat yang lokal itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Di sini hukum adat di suatu daerah tidak lagi dominan dan mandiri. Jika undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi bersikap bertentangan dengan hukum adat tersebut, maka perundang-undanganlah yang berlaku.

Sementara itu, berdasarkan HMN, Negara dapat menentukan macam-macam hak atas sumber-sumber agraria, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Macam-macam hak atas tanah dalam sistem pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria menurut UUPA dibedakan dalam dua kategori: (1) semua hak yang diperoleh langsung dari Negara, disebut hak primer; (2) semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada perjanjian bersama, disebut hak sekunder. Kedua kategori hak atas sumber-sumber agraria tersebut pada umumnya mempunyai persamaan di mana pemegangnya berhak untuk menggunakan sumber-sumber agraria yang dikuasainya untuk dirinya sendiri atau untuk mendapat keuntungan dari orang lain melalui perjanjian di mana satu pihak memberikan hak sekunder pada pihak lain. Dalam Pasal 16 UUPA dapat ditemukan jenis-jenis hak atas tanah sebagai hak primer dan hak sekunder tersebut.

Dalam pelaksanaannya, berbagai hambatan serta kelemahan administrasi seringkali menyulitkan redistribusi tanah. Kondisi ini turut diperburuk oleh kurangnya dukungan rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh maupun panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian

(8)

menyebabknan terjadinya aksi sepihak yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform.14

2.

Landreform

Zaman Orde Baru

UUPA sesungguhnya merupakan produk perundang-undangan yang hendak difungsikan untuk mengubah karakter negara kolonial menuju negara nasional yang merdeka, serta menghapuskan segara bentuk kolonialisme dan feodalisme yang menghambat kemajuan rakyat. Para pembuat UUPA bermaksud untuk membawa rakyat ke arah keadilan sosial, kemakmuran dan kemajuan melalui penataan ulang penguasaan, peruntukan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, namun demikian dalam perumusan undang-undang tersebut, kepentingan rakyat telah diletakkan di bawah kepentingan nasional yang diemban oleh negara sebagai Badan Penguasa.15

Rezim Orde Baru, sejak awal langkah pemerintahannya, telah meninggalkan roh dan semangat Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA) yang populis dan digantikan dengan kebijakan memfasilitasi akumulasi modal. Kebijakan tersebut dapat dilihat dengan banyak dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk eksploitasi sumber-sumber agraria dengan menyandarkan aktivitasnya kepada lembaga-lembaga pembangunan multilateral dan lembaga keuangan internasional. Bahkan didapati, peraturan perundang-undangan berkenaan dengan alokasi sumber-sumber agraria tersebut justru sama sekali tidak merujuk UUPA dan menjadikan pengaturan masalah ini menjadi masalah sektoral.16

Di bawah rejim Orde Baru, kedudukan negara yang dominan semakin dikukuhkan oleh UU No.5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan Peraturan Pemerintah di bawahnya, dan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan Peraturan Pemerintah di bawahnya. Dalam praktiknya, kedudukan negara yang dominan tersebut -- sebagaimana terkonsepsi dalam apa yang disebut

14 Noer Fauzi, Petani &Penguasa, p. 124.

15 Lihat Konsorsium Pembaruan Agraria, Usulan Revisi Undang-undang Pokok Agraria, Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat atas Sumber-sumber Agraria, Jakarta, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1998, p. 2.

16 Noer Fauzi dan Ifdhal Kasim, Sengketa Agraria dan Agenda Penyelesaiannya, Makalah yang disampaiakan pada Roundtable Discussion, bertema “Agenda yang mendesak: Menuju RUU Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Adil, Berkelanjutan dan Menyejahterakan Masyarakat”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, ELSAM, YLBHI, KPA dan ICEL, Kampus FH UGM Bulaksumur Yogyakarta, 16 September 2000.

(9)

sebagai Hak Menguasai dari Negara (HMN)13—terbukti telah dimanfaatkan oleh pemerintahan dan pengusaha kroninya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dalam bentuk usaha-usaha peningkatan produktifitas, tanpa memberi rakyat peran yang memadai untuk berpartisipasi dalam penguasaan, peruntukan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria itu, serta menikmati hasilnya.17

Pengamat soal agraria biasanya mengevaluasi bahwa rejim Orde Baru yang lalu gagal menjamin kepastian penguasaan tanah bagi komunitas lokal yang telah memanfaatkan tanah dan sumberdaya alam yang menyertainya. Bahkan, sebaliknya menyingkirkan akses dan kontrol rakyat terhadap tanah dan sumberdaya alam yang telah dimanfaatkannya turun temurun.18

Lebih lanjut, kebijakan yang memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, semakin dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam.Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah teknis, atau sebagai program rutin birokrasi pembangunan.19

Rezim ini menghapus peraturan perundang-undangan yang menjadi pokok landreform, terutama dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus Undang-undang tentang Pengadilan Landreform dan Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara sosiologis tidak diberlakukan pada era ini. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan. Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan ekspor hasil pertanian ke sejumlah negara lain.

Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan tahun 1993, didapatkan data penguasaan tanah pertanian sebagai berikut:

17 Noer Fauzi, Restitusi Hak Atas Tanah: Mewujudkan Keadilan Agraria di Masa Transisi, pengembangan lebih lanjut dari makalah yang berjudul “Keadilan Agraria di Masa Transisi” pada Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia VI yang bertemakan “Transitional Justice (Keadilan Transisional) menentukan Kualitas Demokrasi di Indonesia Masa Depan”, yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia bekerjasama dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, Surabaya 21 s/d 24 November 2000.

18 Lihat Endang Suhendar dkk, Petani dan Konflik Agraria, (Bandung: Akatiga, 1998)

19 Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, (UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006), pp. 64-65.

(10)

(1) 22, 41% dari 19.713.806 rumah tangga tani hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan pertanian; (2) 48,61% memguasai lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat perincian yang menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai 1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari data tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian rata-rata seluas 0,24 hektar, sedangkan kelompok kedua rata-rata-rata-rata penguasaannya adalah sekitar 22,174 hektar23. Data tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan hutan dan sumber daya agraria lainnya.20

Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat.

Perbedaan lainnya adalah jika UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif. Bahwa apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang yang sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas tanah miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang lain. Dalam peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel negatif sesuai dengan UUPA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar itu. Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167 hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931 hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani.21

20 Biro Pusat Statistik 1993.

21 Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi, (Jakarta: Kompas, 2001), p. 51.

(11)

Perampasan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya dimulai dari adanya negaraisasi atau nasionalisasi tanah dan kekayaaan alam kepunyaan penduduk, dan atas dasar klaim negara itu, pemerintah memberikan ijin-ijin dan hak-hak pemanfaatan di atas bidang tanah termaksud untuk perusahaan bermodal besar atau proyek-proyek pembangunan, baik yang dimiliki badan usaha swasta maupun pemerintah. Secara fenomenal, sering penduduk korban menganggap bahwa perusahaan atau proyek yang beroperasi secara langsung pada tanah-tanah mereka adalah “perampas tanah”. Padahal, secara legal, perusahaan-perusahaan atau proyek-proyek tersebut bekerja atas dasar pemberian hak-hak pemanfaatan (use rights) dari pemerintah (pusat) yang mengasumsikan bahwa tanah di mana use rights tersebut diberikan adalah Tanah Negara. Jadi, dasar masalahnya adalah asumsi politik hukum yang terkandung dalam perundang-undangan pertanahan dan sumberdaya alam (land and natural resources related laws) dan peraturan-peraturan pelaksananya (government regulations), yang berisi pengabaian bahkan pengingkaran hak-hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam kepunyaan penduduk.

Di masa transisi dewasa ini, penduduk korban semakin menggencarkan kembali klaim kembali atas tanah dan kekayaan alam miliknya yang telah dikuasai dan digunakan oleh perusahaan-perusahaan dan proyek-proyek raksasa. Sengketa agraria semacam ini merupakan warisan yang tidak (belum?) terselesaikan, yang diperkirakan telah mencapai ribuan kasus yang berkaitan dengan eksploitasi sumberdaya hutan alam, hutan tanaman industri, hutan jati, kawasan konservasi, perkebunan dan lain-lain.

Sudah umum diketahui bahwa persengketaan yang pada mulanya sederhana ini pada gilirannya berubah menjadi konflik yang sangat rumit, karena kewenangan dan manajemen yang sentralistik itu pada penerapannya dikawal oleh mesin birokrasi yang otoriter dan praktik-praktik manipulasi dan kekerasan terhadap penduduk yang mempertahankan hak asasinya. Sementara itu badan peradilan yang disediakan untuk memperkarakan keputusan-keputusan pejabat publik, yakni Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak dapat dijangkau oleh penduduk-penduduk korban dan para pembelanya karena masalah aksesibilitas, terutama batasan kedaluarsanya masa gugatan yang hanya berlaku paling lama 90 hari setelah keputusan dikeluarkan.22

22 Menurut Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung SH, staff Litbang Mahkamah Agung, masalah pertanahan mendominasi perkara di PTUN dan PTTUN. “Dari penelitian saya, sejak 14 PTUN dan empat Pengadilan Tinggi TUN (PTTUN) didirikan, perkara yang diterima sebagian besar adalah masalah pertanahan” (sebagaimana dimuat di Kompas, 21 Oktober 1996).

(12)

Perkembangan terakhir, pelibatan lembaga-lembaga pembangunan multilateral (World Bank Group) dan Lembaga Keuangan Internasional (IMF) semakin nyata dalam pengintegrasian alokasi sumber-sumber agraria dengan liberasi perdagangan. Kasus ini dapat dilihat dalam proses dan keluaran Proyek Administrasi Pertanahan (Land Administration Project), seperti dengan diterbitkannya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mencabut salah satu fondasi pelaksanaan landreform, yakni PP No. 10 Tahun 1961. Arah politik agraria di atas pada akhirnya menghasilkan kekacauan dalam sistem pemilikan dan penguasaan tanah (land tenure system) dan berujung pada semakin meluasnya ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia.23

Di tengah semakin meluasnya ketidakadilan yang dialami rakyat yang dihasilkan dari kondisi di atas, jelas sangat dibutuhkan jalan keluar yang didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan mereka, yakni petani kecil (berlahan sempit) dan buruh tani. Jalan keluar itu ditujukan pada perubahan mendasar terhadap kondisi sistem dan struktur penguasaan dan pemilikan agraria yang telah melahirkan ketidakadilan agraria tersebut di atas kearah yang lebih jujur dan adil. Hal ini semacam ikhtiar penciptaan sistem penguasaan dan pemilikan tanah yang jujur dan adil, yang sama sekali baru dengan berbasiskan pada kepentingan petani kecil dan buruh tani.24

Gagasan berkenaan dengan pembaruan agraria yang didasarkan pada pemberdayaan rakyat di atas dikenal dengan sebutan landreform by leverage sebagai lawan dari pelaksanaan landreform by grace. Reform by grace pada kenyataannya didasarkan pada kedermawanan pemerintah, dan itu sangat bergantung pada pasar politik, “begitu pemerintah berganti, elit penguasa yang baru dapat berganti haluan, dan membalikkan keadaan. Bahkan, sekalipun pembaruan itu lahir dari sebuah revolusi seperti Meksiko.” Inilah titik penting dari reform by leverage, “dalam kondisi bagaimanapun, jika posisi tawar petani atau rakyat kecil kuat, maka hasil-hasil pembaruan sebelumnya tidak begitu mudah dibalikkan.”25

3.

Landreform

di Era Reformasi

Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan

23 Andik Hariyanto, “Landreform by, p. 1.

24 G. Wiradi, Pembaruan Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: KPA, Insist Press bekerjasama dengan Pustaka pelajar, 2000), p. 41.

(13)

dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.

Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu disebutkan dalam pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria adalah:

a. melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah oleh rakyat;

b. menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform. Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah pun kembali diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.26

Era pasca reformasi, pendekatan-pendekatan dan konsep-konsep baru dalam melihat hukum mulai bermunculan, antara lain sampai pada beberapa tesis, bahwa berbagai wilayah sosial memang memproduksi tatanan hukum yang plural dengan latar belakang konteks yang berbeda-beda. Argumen ini tidak hanya bersifat antropologis tetapi juga mengakomodasi hak masyarakat adat/lokal yang dalam kerangka hukum Internasional dimasukan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Karena itu, pluralisme hukum menyangkal sentralisme hukum yang tidak hanya memperkenalkan dan memaksakan berlakunya hukum negara atas situasi hukum konkrit tetapi juga telah mengingkari hak-hak masyarakat adat/lokal.

Dalam konteks perubahan sosial hukum, pluralisme hukum bisa digunakan sebagai konsep yang bisa menjelaskan sekaligus dipakai untuk memberi ruang bagi hukum lokal. Pluralisme hukum memberi jalan bagi

26 Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari 2007.

(14)

hukum masyarakat adat untuk bertemu dengan banyak hukum lain, tanpa harus didominasi dan direduksi dengan berbagai syarat yang ditetapkan secara semena-mena oleh hukum negara. Karena itu, berbagai upaya untuk memperkuat dan meneguhkan kembali hukum-hukum lokal atau membentuk hukum-hukum baru, diperjuangkan oleh banyak komunitas, paling tidak sebagai salah satu cara untuk mendapat legitimasi atas hak mereka yang telah dirampas di masa lalu dengan menggunakan hukum negara.

Namun, upaya-upaya itu masih berhadapan dan juga menimbulkan tantangan politik tersendiri. Pertama-tama, berbagai cita-cita unifikasi hukum sudah berkali-kali tertuang dalam rencana pembangunan hukum nasional. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, persoalan pluralisme hukum, tidak dilihat sebagai masalah serius dalam pelaksanaan dan penegakan hukum negara. Artinya, politik hukum negara memang lebih berminat untuk memaksakan penggunaan hukum yang satu dan sama dari Sabang sampai Merauke atau unifikasi hukum, daripada membuka diri untuk berdialog dengan hukum-hukum lokal untuk menentukan batas, syarat dan negosiasi lainnya yang berhubungan dengan hukum negara-hukum lokal.

Dalam hal ini, negara Indonesia merdeka sebetulnya tidak berbeda jauh dengan periode kolonial Hindia Belanda. Bahkan dalam hal tertentu periode Indonesia Merdeka bisa dikatakan sebagai langkah mundur dari era Kolonial Belanda, karena Pemerintah Kolonial Belanda masih mengakui struktur-struktur adat dan dinamika-dinamika hukumnya, meski pengakuan itu bergerak dalam ruang ekonomi politik kolonial. Kedua, komunitas hukum lokal juga sangat majemuk dan dibarengi dengan perubahan-perubahan sosial yang cukup cepat. Kesulitan tetapnya adalah dalam situasi mana dan dengan definisi serta kategori mana saja, suatu kelompok bisa mengklaim haknya berbasis keistimewaan historis-genealogis sebagai masyarakat adat. Persoalannya makin pelik karena pertikaian dalam wacana antropologis juga marak dalam pertarungan politik, dalam arti politik untuk kekuasaan. Di sini, hubungan-hubungan patron lama dimasak ulang untuk mereproduksi kekuasaan dalam hubungan-hubungan politik baru dalam berbagai perubahan politik. Di tingkat lokal, kehadiran otonomi daerah selain berdampak pada ambisi ekonomi politik, juga mempunyai beberapa akibat politik tidak sehat, antara lain karena konstelasi tradisional masyarakat politik Indonesia memang berkawan dekat dengan feodalisme.

Setidaknya, dua tantangan politik ini juga bisa dikerjakan dalam diskusi pluralisme hukum. Definisi, peran dan tugas negara perlu dibicarakan ulang, sebelum mendorong pluralisme hukum sebagai

(15)

kebijakan politik. Sepanjang politik hukum yang dibayangkan adalah unifikasi hukum maka sepanjang itu pula tidak akan ada pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal yang berbasis hukum lokal. Di sisi lain, pluralisme hukum, juga perlu mendiskusikan persoalan ketimpangan struktural dalam hukum-hukum lokal. Di sana, hubungannya dengan hak asasi manusia tidak hanya penting tetapi harus dikerjakan. Dalam hal ini, prinsip-prinsip makro perlu mempertemukan berbagai isu-isu analitis dari perspektif antropologi dengan kebutuhan normatif dari perspektif hukum.

C.Penutup

Pengembangan dan pembaruan sistem agraria merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan rakyat, di mana organisasi rakyat yang indepen di lapangan agraria—seperti: organisasi-organisasi tani dan nelayan yang independen, organisasi-organisasi-organisasi-organisasi masyarakat adat, serta-serta organisasi-organisasi kaum miskin di perkotaan, dan organisasi rakyat lainnya—perlu diberi ruang untuk berkembang menjadi lebih kuat. Pada pokoknya, tidak satu rencana keagrariaan pun dapat dibuat sepihak oleh pemerintah tanpa persetujuan dan mendengarkan kehendak rakyat yang akan terpengaruh oleh rencana tersebut (prinsip free and prior informed concent).

Dengan mengintegrasikan pengakuan hak dan pemulihan korban-korban perampasan tanah dan kekayaan alam ke dalam agenda pembaruan agraria maka terlebih dahulu harus dianut suatu paradigma baru mengenai hubungan kekuasaan (kewenangan) antara negara dengan rakyat dalam soal-soal agraria. Paradigma baru ini merupakan suatu koreksi yang mendasar terhadap paradigma lama, yang menjadi sumber dari praktik-praktik perampasan tanah dan kekayaan alam penduduk beserta pelanggaran HAM lain yang menyertainya.

Hakekat dari koreksi ini tentu bukan hanya teknis, melainkan seharusnya dimulai dari koreksi filosofis tentang hubungan negara dan rakyat, yang intinya kekuasaan negara terbatas dan dibatasi. Koreksi ini akan dan harus diefektifkan untuk dua hal pokok, yaitu:

a. Memberikan dasar kesahan hukum (legalitas) dan sekaligus pembenaran (legitimasi) bagi rakyat agar mereka secara lebih bermakna dapat berpartisipasi dalam setiap aktivitas pembangunan, khususnya yang berkenaan dengan ihwal pemilikan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber agrarianya dan ikut menghaki dengan lebih bermakna hasil-hasil pembangunan itu; dan

(16)

b. Memberikan dasar-dasar kesahan hukum (legalitas) dan pembenaran (legitimasi) pada masyarakat (termasuk masyarakat adat) untuk menentukan sendiri pengelolaan hidup dan lingkungan hidupnya berdasarkan kebudayaannya.

Dengan dasar-dasar tersebut, fungsi-fungsi sumber-sumber agraria ditempatkan sebagai sarana pemberdaya rakyat untuk melepaskan diri dari ketergantungan atau dari kemungkinan tereksploitasi kekuatan-kekuatan ekonomi besar.

Dalam konteks sistem agraria yang majemuk seperti di Indonesia, negara harus secara tegas menjamin pengakuan hak-hak penduduk atas hutan, padang-padang penggembalaan ternak, belukar bekas ladang-ladang, tanah-tanah pertanian yang dikerjakan secara berputar (rotasi), penambangan tradisional dan pencarian ikan di sungai dan laut. Jaminan yang sama harus diberikan kepada kelompok-kelompok miskin dan kaum tuna kisma di perkotaan yang kebutuhannya akan tanah untuk pemukiman mereka nyaris lepas dari perhatian pemerintah, bahkan dihadapi sebagai musuh yang menghambat perkembangan kota besar. Jaminan yang sama juga harus diberikan kepada kelompok petani subsisten, petani tak bertanah dan para buruh tani di pedesaan. Jaminan ini merupakan realisasi dari prinsip tidak seorang pun dapat dipaksa mengubah pencarian hidupnya bertentangan dengan kehendak dan keyakinannya. Hal ini juga erat kaitannya dengan hak rakyat untuk menguasai tanah dan kekayaan alamnya guna memenuhi kebutuhan subsistensi mereka. Bagaimanapun, negara wajib bertanggung jawab menjamin kelompok-kelompok ini untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk membangun, menentukan arah pembangunan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.

(17)

Daftar Pustaka Biro Pusat Statistik 1993.

Faizah, Lilis Nur, Landreform Sejarah Dari Masa Ke Masa, tugas Mata Kuliah Landreform, Yogyakarta: UGM, www.zeilla.wordpress.com., 2007. Fauzi, Noer dan Ifdhal Kasim, Sengketa Agraria dan Agenda

Penyelesaiannya, Makalah pada Roundtable Discussion, bertema “Agenda yang mendesak: Menuju RUU Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Adil, Berkelanjutan dan Menyejahterakan Masyarakat”, diselenggarakan Fakultas Hukum UGM bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, ELSAM, YLBHI, KPA dan ICEL, Kampus FH UGM Bulaksumur Yogyakarta, 16 September 2000.

Fauzi, Noer, Petani & Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, Yogyakarta: kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, 1999.

Fauzi, Noer, Restitusi Hak Atas Tanah: Mewujudkan Keadilan Agraria di Masa Transisi, pengembangan makalah yang berjudul “Keadilan Agraria di Masa Transisi” pada Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia VI yang bertemakan “Transitional Justice (Keadilan Transisional) menentukan Kualitas Demokrasi di Indonesia Masa Depan”, diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia bekerjasama dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, Surabaya 21 s/d 24 November 2000.

Hardiyanto, Andik, “Landreform by Leverage di Indonesia”, dalam Kertas Posisi KPA (Position Paper) No. 001/1998.

Konsorsium Pembaruan Agraria, Usulan Revisi Undang-undang Pokok Agraria, Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat atas Sumber-sumber Agraria, Jakarta, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1998.

Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional Pasal 1.

Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung SH, staff Litbang Mahkamah Agung, masalah pertanahan mendominasi perkara di PTUN dan PTTUN. “Dari penelitian saya, sejak 14 PTUN dan empat Pengadilan Tinggi TUN (PTTUN) didirikan, perkara yang diterima sebagian besar adalah masalah pertanahan” (sebagaimana dimuat di Kompas, 21 Oktober 1996).

(18)

Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Setiawan, Usep, “Krisis Kelembagaan Pertanahan? (Catatan atas Kontroversi Perpres No. 10 Tahun 2006 tentang BPN)”, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15176&cl=

Simarmata, Rikardo, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, Bangkok: UNDP Regional Centre, 2006.

Soerodjo, Irawan, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya: Arkola Offset, 2002.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata: Hak Jaminan Atas Tanah, Yogyakarta: Liberty, 1981.

Suhendar, Endang, dkk, Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Akatiga, 1998.

Sumardjono, Maria SW, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi, Kompas: Jakarta, 2001.

Sumardjono, Maria SW, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta, 1998.

Suseno, Frans Magnis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Wiradi, G., Pembaruan Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakarta: KPA, Insist Press bekerjasama dengan Pustaka pelajar, 2000. Zakaria, Yando R., “Kemajemukan Masyarakat Bangsa Indonesia dan

Penegakan Hak-hak Masyarakat Adat”, dalam Kertas Posisi KPA (Position Paper) No. 005/1998.

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang

Hal ini tercermin dari rumusan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang menyatakan bahwa: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang

a) UUPA bertujuan mele takan dasar-dasar bagi penyusunan hukum Agraria Nasional yang dapat memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. b) UUPA meletakan dasar-dasar

Bumi, air dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung didalamnya sangat terkait erat dengan hukum yang mengaturnya, pada Pasal 2 (1) UUPA menyatakan “Atas dasar

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang

Di dalam pasal 5 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa, berlaku hukum adat sepanjang tidak bertentangan

Pengakuan hak∕hak ulayat masyarakat adat yang merupakan pengejawantahan dari hak - hak atas jabaran dalam pasal 5 UUPA dinyatakan: Hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang

Penjelasan mengenai Pasal 5 dinyatakan, bahwa: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional