2.1 Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner)
Tanaman kopi merupakan salah satu anggota dari familia Rubiaceae yang banyak dibudidayakan di negara tropis termasuk Indonesia. Kopi arabika (Coffea arabica L.) merupakan spesies kopi yang pertama kali dibudidayakan di Indonesia pada sekitar abad ke-17 (Prastowo et al., 2006). Dua abad kemudian kopi arabika mengalami kemunduran karena serangan penyakit karat daun (Hemileia vastatrix) sehingga perkebunan kopi mulai membudidayakan kopi liberika (C. liberica Bull ex. Hiern). Akan tetapi, kopi liberika juga tidak tahan terhadap serangan penyakit karat daun, sehingga pada awal abad 20 mulai dibudayakan kopi robusta (C. canephora var. Robusta) yang tahan terhadap penyakit karat daun. Sampai saat ini, perkebunan kopi di Indonesia didominasi oleh kopi jenis robusta dan telah diproduksi massal terutama di Jawa dan Sumatra (van Steenis et al., 2008).
2.1.1 Morfologi Kopi
Gambar 2.1 (A) Akar tunggang pada kopi ; (B) batang kopi; (C) daun kopi; (D) bunga kopi ; (E) buah kopi (plantvillage.org); (F) biji kopi (Prawirodirgo et al., 2005)
Tanaman kopi memiliki batang berkayu dengan sistem percabangan dua arah, yaitu cabang yang pertumbuhannya mengarah ke atas, biasa disebut cabang orthotrop dan cabang yang pertumbuhannya mengarah ke samping atau horizontal dan biasa disebut cabang plagiotrop. Cabang plagiotrop berfungsi sebagai tempat tumbuh bunga dan buah (Gambar 2.1.B; Kuit et al., 2004).
Tanaman kopi memiliki daun tunggal berbentuk memanjang (oblongus) dengan ukuran panjang berkisar antara 20 - 30 cm dan lebar antara 10 - 16 cm (Gambar 2.1.C). Pangkal daun membulat atau berbentuk baji dengan ujung daun
A B C
meruncing dan tepi daun rata. Permukaan helaian daun sangat mengkilat dengan permukaan daun bagian atas berwarna hijau gelap dan permukaan daun bagian bawah berwarna hijau lebih terang (van der Vossen et al., 2000). Daun kopi memiliki tangkai daun yang pendek dengan panjang sekitar 1 cm (van Steenis et al., 2008).
Tanaman kopi memiliki bunga majemuk dengan anak payung terdiri dari 3-5 kuntum bunga sehingga membentuk gubahan semu yang berbunga banyak. Setiap anak payung pada pangkalnya terdapat 2 daun penumpu berbentuk segitiga dengan panjang sekitar 5 mm (van Steenis et al., 2008). Kopi memiliki bunga berwarna putih dan berbau harum berbentuk tabung dengan panjang tabung mahkota antara 15 - 18 mm dengan daun mahkota antara 5 - 7 buah (Gambar 2.1.D). Benang sari muncul di antara daun mahkota dengan panjang kepala sari sekitar 5 mm dan tangkai sari 3 – 4 mm (van Steenis et al., 2008). Posisi tangkai putik menjulang jauh di luar tabung mahkota dengan dua cabang yang panjangnya sekitar 5 mm (Backer & Bakuizen van den Brink, 1965). Kedudukan tangkai putik yang menjulang tinggi dari posisi benang sari akan menyebabkan kemungkinan sulitnya benang sari jatuh di kepala putik, sehingga pada umumnya kopi robusta melakukan penyerbukan silang (Sudarka et al, 2009). Selain itu, kopi robusta memiliki sifat self-incompatibility yaitu apabila terjadi penyerbukan sendiri, maka buluh sari tidak terbentuk sehingga tidak terjadi pembuahan (van der Vossen et al., 2000).
2009). Buah kopi tergolong buah batu dengan bentuk bulat telur bola (ovoid-globose) dengan panjang 8 - 16 mm dan diameter kurang lebih 15 - 18 mm (van der Vossen et al., 2000). Ketika belum masak (masih muda), buah kopi berwarna hijau, sedangkan jika masak buah kopi berwarna merah (Gambar 2.1.E). Buah kopi terdiri atas dinding buah (perikarp) dan biji. Dinding buah terdiri atas 3 bagian yaitu lapisan kulit luar (eksokarp), lapisan daging buah (mesokarp) dan lapisan kulit tanduk (endokarp) yang biasanya mengandung dua buah biji (Gambar 2.1.F). Biji kopi berbentuk elips dengan panjang antara 8-12 mm dan pada umumnya dalam satu buah kopi mengandung dua butir biji (van der Vossen
et al., 2000).
2.1.2 Spesies Kopi
Pada saat ini telah ditemukan sekitar 80 spesies kopi, namun hanya dua spesies yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan diperdagangkan secara komersil yaitu kopi arabika (Coffea arabica L.) dan kopi robusta (C. canephora Pierre var
robusta; van Steenis et al., 2008). Sekitar 70% produksi kopi dunia dikuasai oleh kopi arabika yang sebagian besar berasal dari Amerika Latin, Afrika bagian tengah dan timur, India, Indonesia serta Papua Nugini, sedangkan 30% pasar kopi dunia merupakan kopi robusta yang berasal Afrika dan Asia (van der Vossen et al., 2000).
khatulistiwa (0o LU - 7o LS) seperti Indonesia dan Malaysia, kopi arabika tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian antara 1000 - 2100 meter di atas permukaan laut (dpl), sedangkan di daerah sub tropis (9o LU - 23o LU & 9o LS - 23o LS ) seperti di India, Vietnam, Thailand dan Amerika Selatan, kopi arabika dapat tumbuh dengan baik di dataran yang lebih rendah dengan ketinggian 300 - 1100 m dpl (van der Vossen et al., 2000).
Secara morfologi, buah kopi arabika tergolong buah batu dengan bentuk lonjong (ovoid-ellipsoidal) dengan panjang 12 - 18 mm dan diameter 8 - 15 mm (van der Vossen et al., 2000). Di dalam satu buah kopi biasanya mengandung dua biji kopi dengan berat sekitar 0,45 - 0,5 gram per biji (van der Vossen et al., 2000). Kopi arabika memiliki aroma dan rasa yang enak sehingga memiliki nilai jual yang tinggi dibanding kopi jenis lainnya (50 - 100% lebih tinggi dibanding kopi robusta; van der Vossen et al., 2000).
Kopi Robusta (Gambar 2.2.B) pertama kali ditemukan di Kongo pada akhir abad 18 dan mulai dibudidayakan di Indonesia abad 19 (van der Vossen et al., 2000). Jenis kopi ini mampu beradaptasi dengan baik pada iklim yang hangat serta dapat tumbuh subur pada ketinggian 100 – 800 meter di atas permukaan laut (van der Vossen et al., 2000). Kopi robusta sudah banyak dibudidayakan di Indonesia seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Aceh (van der Vossen et al., 2000).
lebih besar (15 – 18 mm; van der Vossen et al., 2000). Pada umumnya kopi robusta memiliki ukuran lebih ringan dibandingkan dengan kopi arabika (0,4 g per biji kopi; van der Vossen et al., 2000). Kopi robusta memiliki rasa yang lebih pahit dengan memiliki kandungan kafein hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan kopi arabika, yaitu sekitar 1,5% - 3,3 % dibandingkan dengan hanya 0,6% - 1,7 % (van der Vossen et al., 2000).
(Ciptaningsih, 2012).
Gambar 2.2 (A) kopi arabika (kew.org), (B) kopi robusta (ecofriendlycoffee.org) dan (C) perbedaan biji kopi arabika dan robusta (Ciptaningsih, 2012)
2.1.3 Manfaat Kopi
Kopi merupakan tanaman perkebunan yang dibudidayakan untuk dimanfaatkan bijinya. Namun demikian, bagian tanaman lain juga dapat bermanfaat bagi manusia seperti batang yang banyak dimanfaatkan untuk kayu bakar maupun arang (Gambar 2.3.A), daun dapat dimanfaatkan untuk minuman seduh (Siringoringo, 2012), maupun kulit buah kopi yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak (Gambar 2.3.B) serta kompos organik (Widyotomo, 2012).
Biji kopi merupakan bagian tanaman kopi yang memiliki manfaat paling tinggi dibandingkan dengan bagian tanaman yang lain. Biji kopi yang telah dikeringkan dapat dibuat bubuk dan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan berbagai olahan makanan seperti dalam industri makanan ringan dan permen serta berbagai olahan minuman (Gambar 2.3.C; Murtafiah, 2012). Bubuk kopi juga dapat digunakan untuk menghaluskan dan melembabkan kulit (Gambar 2.3.D; Hertina & Dwiyanti, 2013).
Gambar 2.3 (A) Arang batang kopi, (B) kulit biji kopi sebagai pakan ternak, (C) olahan makanan dan minuman terbuat dari kopi (dekuliner.com), (D) bubuk kopi dapat digunakan sebagai masker wajah (Hertina & Dwiyanti, 2013)
2.2 Budidaya Kopi dan Permasalahannya
2.2.1 Produksi Kopi Dunia dan Indonesia
Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan utama di dunia. Hal tersebut dapat terlihat dari total produksi kopi di dunia pada tahun 2013 sebesar 8,7 juta ton yang dihasilkan dari lahan seluas 10 juta hektar dan tersebar di 78 negara (FAO, 2015).
Di Indonesia, kopi merupakan salah satu komoditas ekspor utama dari sub sektor perkebunan. Pada tahun 2013, total ekspor komoditas perkebunan Indonesia mencapai 27,6 milyard USD (BPS, 2014). Dari angka tersebut, kopi
A
D C
memiliki kontribusi sebesar 3,9 % (1,1 milyard USD). Jika dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya, ekspor kopi tersebut menempati urutan ketiga terbesar setelah kelapa sawit dan karet. Pada tahun 2013, kelapa sawit mampu menghasilkan devisa mencapai 17,6 milyard USD, sedangkan karet mampu menghasilkan devisa sebesar 6,9 milyard USD (BPS, 2014).
Peran kopi dalam perekonomian di Indonesia juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat terlihat dari total ekspor kopi Indonesia meningkat hampir dua kali lipat dalam kurun waktu 6 tahun. Pada tahun 2007, total ekspor kopi Indonesia mencapai hampir 600 juta USD dan meningkat menjadi hampir 1,2 milyard USD pada tahun 2013 (BPS, 2014).
Gambar 2.4 Produksi kopi 5 negara penghasil kopi terbesar di dunia pada tahun 2013 (FAO, 2015)
Tingginya produksi kopi Indonesia tersebut berkaitan erat dengan lahan perkebunan kopi yang luas. Sejak tahun 2009 sampai sekarang, luas perkebunan kopi di Indonesia mencapai hampir 1,3 juta Ha. Hal tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan perkebunan kopi terluas kedua di dunia setelah Brazil dengan luas areal perkebunan 2 juta Ha (FAO, 2015).
2.2.2 Permasalahan Budidaya Kopi di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai negara penghasil kopi utama di dunia, namun dalam hal besarnya produksi biji untuk setiap hektar lahan per tahunnya tergolong rendah. Pada tahun 2013, produktivitas kopi di Indonesia hanya mencapai sekitar 500 kg biji kopi per hektar lahan setiap tahunnya. Jika dibandingkan dengan negara lain, angka tersebut hanya seperempat produktivitas lahan kopi di negara Malaysia, Vietnam, Sierra Leone, ataupun China dengan produktivitas mencapai
sekitar 2,4 ton biji kopi untuk setiap hektar lahan per tahunnya (Gambar 2.5). Hal tersebut menempatkan Indonesia di urutan ke- 38 dari 78 negara penghasil kopi di dunia dalam hal produktivitas lahan kopi (FAO, 2015).
Gambar 2.5 Produktivitas perkebunan kopi Indonesia dibandingkan dengan empat negara dengan produktivitas kopi tertinggi di dunia (FAO, 2015).
Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas lahan kopi di Indonesia adalah teknik budidaya yang masih sederhana seperti penanaman, pemupukan, pemangkasan, penaungan dan pengendalian hama penyakit (Narulita et al., 2014), kondisi iklim maupun lingkungan yang kurang cocok di beberapa daerah (Simanungkalit, 2001), minimnya sarana dan prasarana pendukung seperti mesin pengolahan dan pengemasan (Narulita et al., 2014), maupun sebagian perkebunan memiliki pohon kopi dengan umur yang sudah relatif tua yaitu lebih dari 10 tahun (Simanungkalit, 2001). Faktor lain yang diduga menyebabkan rendahnya produktivitas kopi di Indonesia adalah terbatasnya penggunaan bibit kopi yang unggul (Priyono, 2010).
2.2.3 Pembibitan Kopi di Indonesia
Petani di Indonesia pada umumnya membudidayakan tanaman kopi dengan menggunakan bibit yang berasal dari biji (Priyono, 2010). Biji dikecambahkan selama 6 - 8 minggu, kemudian dipelihara selama 7 - 15 bulan untuk menghasilkan benih kopi siap tanam (Gambar 2.6; van der Vossen et al., 2000). Kebanyakan petani kopi menggunakan teknik pembibitan melalui biji karena beberapa alasan, seperti biaya yang murah, tidak membutuhkan keahlian khusus, dapat dihasilkan bibit dalam jumlah masal, maupun bibit yang dihasilkan memiliki akar tunggang sehingga tahan terhadap kekeringan (Prastowo et al., 2010) serta bibit yang dihasilkan tidak memiliki sifat genetik yang seragam. Hal ini dikarenakan biji kopi robusta dihasilkan dari penyerbukan silang (Santoso & Raharjo, 2011). Salah satu dampak penyerbukan silang adalah memunculkan alel-alel resesif yang memungkinkan adanya sifat-sifat yang kurang baik dari salah satu pohon muncul pada keturunannya sehingga pada biji-biji yang dihasilkan dari pohon indukan yang unggul belum tentu menghasilkan keturunan yang unggul pula apabila digunakan sebagai benih (Sunarti et al., 2012).
dilakukan, murah serta akan menghasilkan bibit yang mempunyai sifat genetik yang sama dengan induknya sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan bibit unggul yang seragam (Prastowo et al., 2010). Namun demikian, teknik stek tidak dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak serta merusak tanaman induknya. Selain itu, teknik ini akan menghasilkan tanaman yang memiliki akar serabut sehingga pohon kopi menjadi kurang kokoh, mudah roboh serta tidak tahan terhadap kekeringan (Prastowo et al., 2010).
Gambar 2.6 Pembibitan tanaman kopi secara generatif (kopimalabar.com , 2013)
dilakukan. Namun demikian, teknik ini memiliki kelemahan diantaranya dapat merusak tanaman induknya, jumlah mata tunas yang terbatas dan waktu yang lama untuk menjadi menghasilkan bibit siap tanam sehingga tidak dapat menghasilkan bibit dalam jumlah masal (Santoso & Raharjo, 2011).
Teknik lain yang dapat digunakan untuk memperbaiki kekurangan teknik okulasi adalah teknik sambung pucuk (Gambar 2.7.C). Teknik ini dilakukan dengan menyambungkan cabang yang masih muda yang diambil dari pohon induk unggul dengan batang bawah yang berasal dari biji (Prastowo et al., 2010). Sambungan diberi sungkup dengan kantung plastik transparan selama 15 hari dan bibit siap tanam ke lahan setelah berumur 6 - 8 bulan atau dua kali lebih cepat dibandingkan dengan teknik okulasi (Prastowo et al., 2010). Kendala yang dihadap dalam pembibitan kopi yang dihasilkan sebagai akibat terbatasnya jumlah pucuk bagian atas, tanaman induk yang digunakan sebagai sumber eksplan juga rusak serta memiliki tingkat keberhasilan yang rendah (Oktavia et al., 2003).
Gambar 2.7 Perbanyakan kopi secara vegetatif, (A) stek (kopimalabar.com, 2013); (B) okulasi, dan; (C) sambung pucuk (andyregos.wordpress.com, 2012)
2.3 Embriogenesis Somatik kopi dan Permasalahannya
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit unggul yang seragam secara genetik dalam jumlah yang banyak tanpa merusak tanaman induknya serta bibit yang dihasilkan memiliki akar tunggang adalah melalui teknik embriogenesis somatik. Teknik embriogenesis somatik adalah teknik perbanyakan suatu tanaman dengan cara menginduksi embrio yang berasal dari sel somatik tanpa melalui fusi sel gamet dan dilakukan pada lingkungan yang steril (Srilestari, 2005).
Pada umumnya, teknik embriogenesis somatik dilakukan dengan menggunakan empat tahap yaitu tahap induksi kalus , tahap induksi embrio somatik, tahap perkecambahan, dan tahap aklimatisasi (Purnamaningsih, 2002). Pada umumnya, induksi kalus dilakukan dengan cara eksplan diisolasi dan ditanam pada medium tanam yang mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT) yaitu auksin yang mempunyai daya aktivitas yang kuat dengan konsentrasi yang tinggi (Purnamaningsih, 2002). Tahap induksi kalus umumnya dilakukan selama 4 - 8 minggu untuk memperoleh kalus yang bersifat embriogenik. Pada tanaman kopi, tingkat keberhasilan induksi kalus sudah relatif tinggi, yaitu sekitar 80 % (Lubis, 2013).
somatik (Purnamaningsih, 2002). Secara spesifik tahap perkembangan embrio somatik meliputi empat fase, yaitu embrio globular (Gambar 2.8.C), embrio tahap hati (Gambar 2.8.D), embrio tahap torpedo (Gambar 2.8.E), embrio kotiledon (Gambar 2.8.F; Purnamaningsih, 2002). Pada tanaman kopi, tahap induksi embrio somatik dilakukan selama 5 minggu kultur dengan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi (hampir 100%; Riyadi & Tirtoboma, 2004).
Tahap yang selanjutnya adalah tahap perkecambahan, yaitu berupa tahapan pengecambahan embrio somatik yang diperoleh dari tahap sebelumnya pada medium tanam yang mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT) dengan konsentrasi yang sangat rendah (Gambar 2.8.H; Purnamaningsih, 2002). Pada tanaman kopi, tahap perkecambahan dilakukan dengan cara menanam embrio kepada medium dasar MS dengan penambahan giberelin acid (GA3) dengan konsentrasi yang rendah. Pemeliharaan dilakukan selama 4 minggu. Tingkat keberhasilan pada tahap perkecambahan mencapai lebih dari 80% (Lubis, 2013).
Gambar 2.8 Tahapan embriogenesis somatik; induksi kalus embriogenik (A-B), induksi embrio globular (C), embrio tahap hati (D), embrio tahap torpedo (E), embrio tahap kotiledon (F), pertumbuhan membentuk tunas dan akar (G; Afreent et al., 2002; Lubis, 2013)
(Ahloowalia & Savangikar, 2002). Hal tersebut menyebabkan tingginya biaya produksi pada tahap kultur in vitro (Priyono & Zaenudin, 2002). Oleh karena itu diperlukan inovasi teknik embriogenesis yang baru guna mempersingkat waktu yang dibutuhkan oleh embrio kopi dalam kondisi in vitro sehingga mampu menurunkan biaya produksi bibit kopi.
2.4 Aklimatisasi Embrio Somatik Secara Langsung (Direct Sowing)
Salah satu alternatif yang mulai dikembangkan untuk mengurangi biaya produksi bibit kopi adalah dengan cara mengaklimatisasi embrio somatik secara langsung ke dalam kondisi ex vitro (direct sowing) tanpa melalui tahap perkecambahan. Teknik tersebut memiliki keunggulan yaitu mampu mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk memelihara kultur dalam kondisi in vitro. Dengan menggunakan teknik direct sowing, tahapan kultur embrio somatik menjadi lebih singkat yaitu terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap induksi kalus, tahap induksi embrio somatik dan tahap perkecambahan embrio yang digabungkan menjadi satu dengan tahap aklimatisasi.
meskipun teknik tersebut mampu mempersingkat waktu kultur menjadi 12 minggu lebih cepat (Niemenak et al., 2008). Tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dilaporkan pada aplikasi teknik direct sowing pada tanaman anggur. Disamping teknik tersebut mampu mempercepat waktu kultur menjadi dua kali subkultur lebih cepat dari teknik konvensional, tingkat keberhasilannya juga cukup tinggi, yaitu 80 % dari embrio yang ditanam berhasil berkecambah, meskipun hanya sekitar 30 % kecambah yang mampu berkembang lebih lanjut menjadi tanaman baru (Jayasankar et al., 2001).
Pada kopi arabika, tingkat keberhasilan teknik direct sowing dapat mencapai sekitar 80 % (Etienne-Barry et al., 1999). Teknik tersebut juga mampu mempersingkat waktu kultur 8 minggu lebih cepat dibandingkan dengan teknik embriogenesis somatik konvensional. Pada tanaman kopi robusta, teknik direct sowing memiliki tingkat keberhasilan yang relatif lebih rendah, yaitu sekitar 50 %, meskipun teknik tersebut mampu mempersingkat waktu kultur menjadi 12 minggu lebih cepat (Yenitasari, 2015). Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab tingginya tingkat kegagalan teknik direct sowing adalah munculnya kontaminasi algae pada substrat tanam sehingga menyebabkan terjadinya kompetisi antara embrio yang ditanam dengan algae yang tumbuh dalam mendapatkan nutrisi tanaman (Yenitasari, 2015).
keberhasilan perkecambahan embrio somatik secara langsung. Jayasankar et al., (2001) melaporkan bahwa medium pasir yang dikombinasikan dengan
commercial potting mixture (CPM) merupakan medium yang tepat untuk mengecambahkan embrio somatik anggur secara langsung dibandingkan dengan substrat tanam pasir ataupun CPM yang diaplikasikan secara sendiri-sendiri. Pada tanaman kakao, embrio somatik yang ditanam pada substrat tanam pasir secara langsung mampu tumbuh menjadi plantlet dengan tingkat keberhasilan mencapai 10 % serta embrio somatik mampu bertahan hidup sampai 2 bulan dibandingkan dengan embrio somatik yang di tanam pada campuran antara pasir dan vermiculite yang hanya mampu bertahan hidup selama 1 bulan (Niemenak et al., 2008). Pada tanaman kopi robusta, upaya peningkatan keberhasilan perkecambahan embrio somatik secara langsung melalui penggunaan substrat tanam yang tepat belum pernah dilaporkan. Pada penelitian ini, tiga macam substrat tanam digunakan, yaitu cocopeat, serbuk kopi dan arang sekam.
2.5 Substrat Tanam
2.5.1 Cocopeat
Cocopeat merupakan salah satu substrat tanam yang berasal dari sabut kelapa dan memiliki kandungan kimia berupa lignin (50 %), selulosa (24 %), pentosan (27 %), dan furfural (17 %; Tejano, 1985). Cocopeat banyak dilaporkan berhasil digunakan untuk meningkatkan keberhasilan aklimatisasi seperti plantlet
kompos (94%) maupun manured soil (94%; Abraha et al., 2014). Substrat tanam cocopeat juga berhasil digunakan untuk aklimatisasi plantlet Garcinia indica
dengan tingkat keberhasilan tinggi (96%) dibandingkan dengan substrat tanam yang lain seperti campuran antara cocopeat, pasir, dan tanah (81%, 1:2:1 /v/v) serta campuran cocopeat dan pasir (82%, 1:1 v/v; Chabukswar & Deodhar, 2005). Uzaribara et al., (2015) juga melaporkan bahwa penggunaan substrat tanam cocopeat pada aklimatisasi tanaman pisang merah (Musa acuminata) memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi (95%) dibandingkan dengan substrat tanam vermiculite (80%), pasir (65%), maupun vermicompost (25%).
Substrat tanam cocopeat telah dicobakan untuk menginduksi perkecambahan dan aklimatisasi embrio somatik. Pada kopi robusta, substrat tanam cocopeat berhasil digunakan untuk menginduksi perkecambahan dan aklimatisasi embrio somatik secara langsung dengan tingkat keberhasilan mencapai 39 %, sedangkan pada substrat tanam campuran tanah dan cocopeat maupun pasir murni (1:1 v/v ) memiliki tingkat keberhasilan hanya 20 % dan 17 % (Priyono dan Zaenudin, 2002). Hal yang sama juga dilaporkan Ducos et al., (2010) bahwa aklimatisasi embrio somatik kopi robusta berhasil ditingkatkan dari 40% menjadi 70 % dengan menggunakan substrat tanam cocopeat.
pasir, kompos, maupun tanah liat memiliki tingkat porositas yang jauh lebih rendah, yaitu 73 %, 64 %, , 38 %, 36 % dan 38 % (Walczak et al., 2002). Tingginya porositas cocopeat dapat menyebabkan semakin besarnya persentase ruang udara pada substrat tanam, sehingga semakin tinggi oksigen yang tersimpan pada substrat tanam. Akibatnya, sistem perakaran suatu tanaman dapat berkembang dengan baik sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pula (Mubarok et al., 2012).
2.5.2 Serbuk Kopi
Serbuk kopi merupakan hasil pengolahan biji kopi yang telah dikeringkan dan dihancurkan serta memiliki komposisi kimia berupa kafein sebesar 2 %, trigonelin sebesar 0,6 %, dan asam klorogenat mencapai hampir 5% (Ciptaningsih, 2012). Sampai saat ini, penggunaan serbuk kopi telah digunakan untuk aklimatisasi plantlet hasil kultur jaringan. Pada tanamanAnchote (Coccinia abyssinica), aklimatisasi dengan menggunakan substrat tanam serbuk kopi yang dicampur dengan substrat tanam pasir dan tanah (1:1, v/v) memiliki tingkat keberhasilan yang lebih cukup tinggi mencapai 82% (Bekele et al., 2013). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Kebede & Abera (2014) pada aklimatisasi tanaman Plectranthus edulis. Pada penelitian tersebut, aklimatisasi dengan substrat tanam serbuk kopi yang dicampur dengan substrat tanam pasir dan tanah (2:1, v/v) memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi mencapai 83 %. Pada tanaman Vanilla fragrans, aklimatisasi dengan menggunakan substrat tanam serbuk kopi memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi (90 %) dibandingkan substrat tanam pasir (87 %; Namirembe-ssonkko et al., 2005). Substrat tanam serbuk kopi juga telah dicobakan untuk menginduksi perkecambahan dan aklimatisasi embrio somatik pada kopi arabika oleh Barry-Ettiene et al., (2002). Embrio somatik diaklimatisasi dengan menggunakan substrat tanam serbuk kopi yang dicampur dengan substrat tanam pasir dan tanah (1:2, v/v) memiliki tingkat keberhasilan mencapai 63%.
erat dengan kandungan senyawa antimikroba yang terdapat pada serbuk kopi. Serbuk kopi mengandung asam klorogenat yang cukup tinggi (5 %; Ciptaningsih, 2012 ). Sebagai salah satu senyawa fenol, asam klorogenat memiliki aktivitas anti mikroba yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan cara menyebabkan denaturasi protein penyusun membran sel sehingga sel mikroorganisme akan mengalami lisis (Rijayanti, 2014).
2.5.3 Arang Sekam
Arang sekam merupakan salah satu substrat tanam yang berasal dari kulit biji padi yang dibuat arang dan memiliki kandungan kimia berupa berupa selulosa (40 - 45 %), lignin (25 - 30 %), abu (15 - 20 %), dan moisture (8 - 15 %; Muntohar, 2002). Sampai saat ini, substrat tanam arang sekam telah banyak dilaporkan berhasil digunakan untuk aklimatisasi plantet tanaman hasil kultur jaringan. Pada tanaman anthurium, substrat tanam arang sekam memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi (hampir 100%) dibandingkan substrat tanam lain seperti campuran sekam mentah dan humus bambu (96%; 1:1 v/v) serta campuran arang sekam dan humus bambu (93%; 1:1 v/v; Marlina & Rusnandi, 2007). Arang sekam juga berhasil digunakan sebagai substrat tanam dengan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi (97%) dibandingkan cocopeat (94 %) pada tanaman anggrek dendrobium (Dendrobium sp. ; Wardani, 2009). Gimenes et al., (2015) juga menggunakan arang sekam sebagai susbtrat tanam dengan keberhasilan yang tinggi (85 %) dibandingkan dengan organic pine bark base
Arang sekam juga telah digunakan sebagai substrat tanam pada aklimatisasi embrio somatik secara langsung dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Pada tanaman Prunus persica L., arang sekam berhasil digunakan untuk aklimatisasi embrio somatik dengan tingkat keberhasilan lebih tinggi (98 %) dibandingkan dengan cocopeat (20%; Promchot & Boonprakob, 2007). Pada kopi robusta, arang sekam juga telah digunakan untuk aklimatisasi embrio somatik secara langsung dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi (50 %; Yenitasari, 2015). Namun, dalam penelitian tersebut belum dilaporkan tingkat keberhasilan aklimatisasi dengan menggunakan substrat tanam yang berbeda.
Kemampuan arang sekam sebagai substrat tanam untuk aklimatisasi tanaman hasil kultur jaringan diduga berkaitan dengan sifat fisiknya yang memiliki banyak pori sehingga mampu meningkatkan aerasi dan draenasi. Semakin tingginya aerasi dan draenasi serta banyak ruang pori maka akan dapat memperluas sistem perakaran tanaman dan perakaran dapat lebih mudah menyerap air dan unsur hara pada substrat tanam. Hal tersebut menyebabkan tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik karena mampu menyerap air dan unsur hara yang diperlukan tanaman (Agustin et al., 2014).
tunggal, tingkat keberhasilan tersebut jauh lebih tinggi. Pada substrat tanam cocopeat tingkat keberhasilannya mencapai 39 % dan pada substrat tanam pasir murni memiliki tingkat keberhasilan mencapai 17 %.
Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, aklimatisasi embrio somatik kopi robusta dengan menggunakan campuran substrat tanam sampai ini masih belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, upaya peningkatan keberhasilan teknik