• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - DHIYAN CHASNANTO BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - DHIYAN CHASNANTO BAB II"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUANPUSTAKA

A. Modul

a. Pengertian Modul

Dalam buku pedoman umum pengembangan bahan ajar (2004) yang diterbitkan oleh Diknas (dalam Prastowo: 2011) modul diartikan sebagai sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar secara mandiri tanpa atau bimbingan guru. Sementara, dalam pandangan lainnya, modul dimakanai sebagai seperangkat bahan ajar yang disajikan secara sistematis, sehingga penggunanya dapat belajar dengan atau tanpa seorang fasilitator atau guru. Dengan demikian, sebuat modul harus dapat dijadikan bahan ajar sebagai pengganti fungsi pendidik.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga ditemukan pengertian yang hampir serupa bahwa modul adalah kegiatan program belajar mengajar yang dapat dipelajari oleh peserta didik dengan bantuan yang minimal dari guru atau dosen pembimbing, meliputi perencanaan tujuan yang akan dicapai secara jelas, penyediaan materi pelajaran, alat yang dibutuhkan dan alat untuk penilai, serta pengukuran keberhasilan peserta didik dalam penyelesaian pelajaran.

Badan Pengembangan Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (dalam Suryosubroto, 1981), memberikan batasan tentang modul sebagai berikut: yang dimaksud dengan modul adalah ”satu unit program belajar mengajar terkecil yang secara terperinci menggariskan :

(2)

3) Tujuan-tujuan instruksionil khusus yang akan dicapai oleh siswa; 4) Pokok-pokok materi yang akan dipelajarai dan diajarkan;

5) Kedudukan dan fungsi satuan (modul) dalam kesatuan program yang lebih luas; 6) Peranan guru di dalam proses belajar-mengajar;

7) Alat-alat dan sumber yang akan dipakai;

8) Kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan dan dihayati murid secara berurutan; 9) Lembaran-lembaran kerja yang harus diisi anak;

10) Program evaluasi yang akan dilaksanakan selama berjalannya program belajar.

Sementara itu, Surahman (dalam Prastowo: 2011) mengatakan bahwa modul adalah satuan program pembelajaran terkecil yang dapat dipelajari oleh peserta didik secara perseorangan (self instuctional). Setelah peserta menyelesaikan satu satuan dalam modul, selanjutnya peserta dapat melangkah maju dan mempelajari satuan modul berikutnya. Sedangkan modul pembelajaran, sebagaimana yang dikembangkan di Indonesia, merupakan suatu paket bahan pembelajaran (learning materials) yang memuat deskripsi tentang tujuan pembelajaran, lembaran petunjuk pengajaran atau instruktur yang menjelaskan cara mengajar yang efisien, bahan bacaan bagi peserta, lembaran kunci jawaban pada lembar kertas kerja peserta, dan alat-alat evaluasi pembelajaran.

Dari beberapa pandangan di atas dapat kita pahami bahwa modul pada dasarnya adalah sebuah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh peserta didik sesuai tingkat pengetahuan dan usia mereka, agar mereka dapat belajar mandiri dengan bantuan atau bimbingan yang minimal dari pendidik.

(3)

Menurut Nur Mohammad (dalam Prastowo : 2011), setiap ragam bentuk bahan ajar, pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik tertentu yang membedakannya dengan bentuk bahan ajar yang lain. Begitu pula untuk modul, bahan ajar ini memiliki beberapa karakteristik, antara lain :

1) Dirancang untuk sistem pembelajaran mandiri;

2) Merupakan program pembelajaran yang utuh dan sistematis; 3) Mengandung tujuan, bahan atau kegiatan, dan evaluasi; 4) Disajikan secara komunikatif (dua arah);

5) Diupayakan agar dapat mengganti beberapa peran pengajar; 6) Cakupan bahasa terfokus dan terukur; serta

7) Mementingkan aktivitas belajar pemakai.

Adapun menurut pandangan Vembriarto (1985 : 36), terdapat lima sifat khas pada modul, yaitu

1) Modul merupakan unit (paket) pengajaran terkecil dan lengkap.

2) Modul memuat rangkaian kegiatan belajar yang direncanakan dan sistematis.

3) Modul memuat tujuan belajar (pengajaran) yang dirumuskan secara eksplisit dan spesifik.

4) Modul memungkinkan siswa belajar sendiri (independen), karena modul memuat bahan yang bersifat self-instruktional.

5) Modul adalah realisasi pengakuan individual, yakni salah satu perwujudan pengajaran individual.

(4)

Adapun tujuan penyusunan atau pembuatan modul (dalam Prastowo : 2011), antara lain:

1) Agar peserta didik dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan pendidik (yang minimal).

2) Agar peran pendidik tidak terlalu dominan dan otoriter dalam kegiatan pembelajaran. 3) Melatih kejujuran peserta didik.

4) Mengakomodasi berbagai tingkatan dan kecepatan belajar peserta didik. Bagi peserta didik yang kecepatan belajarnya tinggi, maka mereka dapat belajar lebih cepat serta menyelesaikan modul dengan lebih cepat pula. Sebaliknya bagi yang lambat, maka mereka dipersilakan untuk mengulanginya kembali.

5) Agar peserta didik mampu mengukur sendiri tingkat penguasaan materi yang telah dipelajari.

d. Kegunaan Modul bagi Kegiatan Pembelajaran

Menurut Andriani (dalam Prastowo: 2011), kegunaan modul dalam proses pembelajaran antara lain sebagai penyedia informasi dasar, karena dalam modul disajikan berbagai materi pokok yang masih bisa dikembangkan lebih lanjut; sebagai bahan instruksi atau petunjuk bagi peserta didik; serta sebagai bahan pelengkap dengan ilustrasi dan foto yang komunikatif. Disamping itu, kegunaan lainnya adalah menjadi petunjuk mengajar yang efektif bagi pendidik serta menjadi bahan untuk berlatih bagi peserta didik dalam melakukan penilaian sendiri (self assessment)

B. Problem Solving

(5)

Istilah “problem solving” berasal dari bahasa inggris, “problem” yang artinya masalah, dan “solving” (dari kata dasar solve) adalah memecahkan atau pemecahan. Jadi, problem solving dapat diartikan sebagai pemecahan masalah.

Menurut Supardie (2013), Problem solving adalah suatu cara membelajarkan siswa yang difokuskan pada suatu masalah (problem) atau isu untuk dianalisis dan dipecahkan sehingga diperoleh suatu kesimpulan. Pembelajaran ini merupakan pembelajaran berbasis problem yakni pembelajaran berorientasi “learner centered” atau berpusat pada pemecahan suatu masalah oleh siswa melalui kerja kelompok.

Pada dasarnya hakikat pemecahan masalah (dalam Wena : 2011) adalah melakukan operasi prosedural urutan tindakan, tahap demi tahap secara sistematis, sebagai seorang pemula (novice) memecahkan suatu masalah., idealnya aktivitas pembelajaran tidak hanya difokuskan pada upaya mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya, melainkan juga bagaimana menggunakan segenap pengetahuan yang didapat untuk menghadapi situasi baru atau memecahkan masalah-masalah khusus yang ada kaitannya dengan bidang studi yang dipelajari.

(6)

masalah, melainkan juga telah berhasil menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang dimakasudkan adalah perangkat prosedur atau strategi yang memungkinkan seseorang dapat meningkatkan kemandirian dalam berpikir.

b. Langkah-Langkah Problem Solving

Adapun langkah-langkah problem solving (Djamarah : 2006) adalah sebagai berikut : 1. Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan, masalah ini harus tumbuh dari siswa

dengan taraf kemampuan.

2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misal dengan membaca buku, meneliti, bertanya, diskusi, dll.

Bahan yang dikumpulkan digunakan untuk merumuskan masalah, apa dan bagaimana masalah tersebut diselesaikan

3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut.

Menetapkan jawaban sementara merupakan hipotesis atau dugaan mengenai jawaban suatu masalah yang telah dirumuskan. Merumuskan hipotesis berguna untuk memberi arah dan keterangan mengenai masalah yang akan dipecahkan.

4. Menguji kebenaran jawaban tersebut.

Pada tahap ini dilakukan analisis dari hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Bahan atau data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara kritis dan melihat hubungannya dengan masalah.

5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai pada kesimpulan terakhir jawaban dari masalah tersebut.

(7)

C. Model Pengembangan 4-D

Model pengembangan 4-D (four D) merupakan model pengembangan perangkat pembelajaran. Model ini dikembangkan oleh S. Thiagarajan, Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. Semmel. Model pengembangan 4-D terdiri atas 4 tahap utama yaitu : (1) Define (Pendefinisian), (2) Design (Perancangan), (3) Develop (Pengembangan) dan (4)

Disseminate (Penyebaran), atau diadaptasi dari model 4-P, yaitu Pendefinisian,

Perancangan, Pengembangan dan penyebaran seperti pada gambar berikut :

(8)

Diagaram 1. Model Pengembangan 4-D Thiagarajan, Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. Semmel (Trianto, 2010: 190)

(9)

1. Tahap Pendefinisian (Define). Tujuan tahap ini adalah menentapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran di awali dengan analisis tujuan dari batasan materi yang dikembangkan perangkatnya. Tahap ini meliputi 5 langkah pokok, yaitu: (a) Analisis awal akhir, (b) Analisis siswa, (c) Analisis tugas. (d) Analisis konsep dan (e) Perumusan tujuan pembelajaran.

2. Tahap Perencanaan (Design). Tujuan tahap ini adalah menyiapkan prototipe perangkat pembelajaran. Tahap ini terdiri dari empat langkah yaitu, (a) Penyusunan tes acuan patokan, merupakan langkah awal yang menghubungkan antara tahap define dan tahap design. Tes disusun berdasarkan hasil perumusan Tujuan Pembelajaran Khusus (Kompetensi Dasar dalam kurikukum KTSP). Tes ini merupakan suatu alat mengukur terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa setelah kegiatan belajar mengajar, (b) Pemilihan media yang sesuai tujuan, untuk menyampaikan materi pelajaran, (c) Pemilihan format. Di dalam pemilihan format ini misalnya dapat dilakukan dengan mengkaji format-format perangkat yang sudah ada dan yang dikembangkan di negara-negara yang lebih maju.

3. Tahap Pengembangan (Develop). Tujuan tahap ini adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran yang sudah direvisi berdasarkan masukan dari pakar. Tahap ini meliputi: (a) validasi perangkat oleh para pakar diikuti dengan revisi, (b) simulasi yaitu kegiatan mengoperasionalkan rencana pengajaran, dan (c) uji coba terbatas dengan siswa yang sesungguhnya. Hasil tahap (b) dan (c) digunakan sebagai dasar revisi. Langkah berikutnya adalah uji coba lebih lanjut dengan siswa yang sesuai dengan kelas sesungguhnya.

(10)

oleh guru yang lain. Tujuan lain adalah untuk menguji efektivitas penggunaan perangkat di dalam KBM.

(Trianto, 2010)

D. Sistem Persamaan Linear Dua Variabel

Pokok bahasan sistem persamaan linear dua variabel ini, diajarkan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada kelas VIII semester 1 (satu).

a. Standar Kompetensi

Memahami sistem persamaan linear dua variabel dan menggunakannya dalam pemecahan masalah.

b. Kompetensi Dasar

1) Memahami sistem persamaan linear dua variabel.

2) Membuat model matematika dari masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi kalus embriogenik hanya berhasil pada kombinasi media MS dan LS, pada media lain sekalipun terbentuk kalus namun bukan

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Kemandirian keuangan berpengaruh positif terhadap financial sustainability Daerah yang mempunyai kemampuan menghasilkan pendapatan sendiri kemungkinan kecil

Untuk dapat dikatakan bahwa seseorang telah melek informasi (information literate) paling tidak harus memiliki kemampuan untuk menentukan cakupan informasi yang diperlukan,

Ini adalah metode pengambilan sampel yang secara teratur digunakan dalam analisis BTEX ( benzene , toluene , ethylbenzene , dan xylene ) dalam air, kuantifikasi

Air limbah Rumah Sakit adalah seluruh buangan cair yang berasal dari proses seluruh kegiatan rumah sakit yang meliputi : limbah domestik cair (limbah buangan kamar

[r]