• Tidak ada hasil yang ditemukan

diungkapkan yang terkait dengan pabrik gula di Jawa, yaitu (1) pasokan usahatani tebu. Sedangkan masalah utama yang dihadapi pabrik gula di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "diungkapkan yang terkait dengan pabrik gula di Jawa, yaitu (1) pasokan usahatani tebu. Sedangkan masalah utama yang dihadapi pabrik gula di"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

I 1 Latar Belakang

Sekurang-kurangnya ada tiga masalah utama yang perlu diungkapkan yang terkait dengan pabrik gula di Jawa, yaitu (1) pasokan bahan baku tebu, (2) biaya produksi gula, dan (3) kerjasama dalam usahatani tebu. Sedangkan masalah utama yang dihadapi pabrik gula di luar Jawa adalah rendahnya produktivitas tebu (Sawit. 1999). Dalam periode 1992-1996, areal tebu di lahan sawah menurun sekitar 5.2 persen per tahun walaupun areal tebu tegalan meningkat hampir 2 persen, akan tetapi secara total areal tebu di Jawa menurun 3.3 persen per tahun. Pangsa areal tebu yang berasal dari lahan sawah semakin menurun, yaitu diambil alih oleh lahan tegalan. Pada tahun 1989, 57 persen areal tebu berasal dari lahan sawah, kemudian kecenderungannya berkurang dari tahun ke tahun, dan pada tahun 1996 telah turun menjadi 46 persen. Peralihan ini membawa akibat cepatnya penurunan produktivitas tebu dan produktivitas gula di Jawa. Produktivitas tebu di

lahan sawah pada tahun 1996 mencapai 78.9 ton per ha. sedangkan di lahan tegalan hanya 54.4 ton per ha. Demikian juga produktivitas gula putih pada tahun ?996 di lahan sawah mencapai 5.70 ton per ha, dibandingkan dengan di lahan tegalan yang hanya 3.68 ton per ha. Produktivitas tebu dan gula terus merosot sejak tahun 1980 sampai

(2)

sekarang (Mubyarto dan Daryanti, 1991; Djojosubroto, 1995 ; Wibisono, 1 995).

Sebagai akibat dari makin tersebarnya areal tebu, pasokan tebu ke pabrik gula makin berfluktuatif (tidak kontinyu) yang disebabkan kesulitan penebangan dan angkutan tebu. Hal ini mengakibatkan tingginya jam berhenti giling atau idle capacity meningkat (Sawit et. al, 1999 ; Prabowo, 1996 ; Soetrisno, 1991 ).

Penumnan pasokan tebu ke pabrik gula juga disebabkan oleh kesulitan mengatur waktu tanam dan tebang, kesulitan tenaga tebang serta lokasi tebangan yang jauh dan terpencar. Selama berhenti giting, pabrik gula haws menanggung biaya tetap yang besamya antara Rp. 600 000 sampai Rp. 700 000 per jam. Kondisi ini diperbumk lagi dengan kondisi pabrik gula di Jawa yang sudah tua, sehingga meningkatkan biaya produksi gula.

Persaingan yang ketat antar pabrik gula untuk mendapatkan pasokan tebu serta untuk menarik minat petani menanam tebu, mendorong pabrik gula memodifikasi program Tebu Rakyat lntensifikasi (TRI) yang disesuaikan dengan kebutuhan di suatu wilayah. lndikasi ini menunjukkan bahwa program tebu rakyat intensifikasi telah mempersulit perkembangan industri gula nasional yang efisien. Sistem tebu rakyat intensifikasi tidak efisien, karena akan menurunkan produktivitas dan pendapatan petani (Mackie et al, 1988 ; Sawit, 1998). Salah satu faktor yang menurunkan pendapatan petani adalah adanya pungutanpungutan

(3)

terhadap petani TRI. Secara kumulatif pungutan terhadap petani TRI tersebut berkisar antara 5 sampai 6 persen dari harga tebu. Pungutan- pungutan tersebut bervariasi antara 5 sampai dengan 13 jenis pungutan. Meskipun petani Tebu Rakyat lntensifikasi memperoleh kredit murah, tetapi dalam sistern organisasi produksinya kurang mendapat kebebasan di dalam rnenentukan pilihan, sehingga k m i r a h a n petani berkurang yang mengakibatkan produktivitas tebu menurun. Kerugian program Tebu Rakyat lntensifikasi yang menimbulkan biaya sosial (social cost) ditunjukkan oieh adanya perbedaan antara manfaat sosial bersih yang lebih rendah dibandingkan tanaman saingannya terutama padi. Hal ini menyebabkan tejadinya alokasi sumber daya yang tidak optimal seperti modal, tenaga kerja dan lahan yang akan lebih bermanfaat bila digunakan untuk kegiatan lain (Anwar, 1992 ; Panggabean, 1995). Petani belum terangkat menjadi petani komersial dan program Tebu Rakyat lntensifikasi belum mencapai tujuan yang diharapkan (PSE dan P3GI, 1996).

Disisi lain, sejak tahun 1983 Indonesia mengimpor gula untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. lmpor gula Indonesia sampai dengan tahun 1998 terus meningkat, yang berarti memboroskan devisa. Untuk mengeleminir atau menekan impor gula tersebut, tidak ada jalan yang lebih bijaksana kecuali berkonsentrasi mengefisienkan kinerja budidaya tebu dan pabrik gula melalui pengembalian daya saing industri gula dalam negeri.

(4)

Situasi pergulaan nasional benar-benar berada dalam kondisi yang sangat pelik. Di satu pihak, harga pasar dunia terus menurun (akhir Juni 1999 rata-rata Rp. 1 600,- per kilogram), sehingga menekan pasar dalam negeri. Di lain pihak, stok nasional berlebihan akibat tidak terkendalinya impor dengan pembebasan bea masuk (Harian Kompas, 6 Juli 1999).

Dengan uraian yang dikemukakan di atas, perlu untuk dipelajari lebih spesifrk lagi kinerja pabrik gula melalui identifikasi efisiensi biaya produksinya dengan menggunakan pabrik gula sebagai unit analisisnya.

1.2. Perurnusan Masalah

Menurut P3GI (1992) saiah satu langkah yang perlu ditempuh dalam pembangunan industri gula adalah peningkatan efisiensi dan kapasitas gibing pabrik gula di Jawa untuk mengantisipasi peningkatan bahan baku sebagai akibat adanya perluasan areal dan peningkatan produktivitas.

Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya efisiensi pabrik gula adalah : (1) pabrik yang sudah tua, (2) hari giling yang belum optimal, (3) kapasitas giling yang kurang dari 2 000 ton tebu per hari, dan (4) jam berhenti giling yang tinggi. Menurut P3GI (t997), 47 pabrik gula (68 persen dari seluruh pabrik gula di Indonesia) berusia sudah tua, lebih dari 75 tahun. Jumlah hari giling periode 1990 sampai dengan tahun 1997 rata-rata hanya 131 hari, jauh dibawah jurnlah hari giling rata-rata di

(5)

Thailand misalnya yang sebesar 180 hsri. Dalam periode yang sama, jumlah jam berhenti giling masih tinggi, yaitu antara 14,l sampai 16,4 jam untuk tiap 100 jam giling. Jam berhenti giling tersebut disebabkan oleh kondisi pabrik yang umumnya sudah tua atau faktor-fa- di luar pabrik. Kondisi ini menyebabkan idle capacity pabrik gula cukup tinggi sebingga pasokan tebu yang digiling berkurang. Pabrik gula dengan kapasitas giling terhitung jam berhenti kurang dari I 500 ton tebu per hari sebanyak 22 unit (31 persen dari seluruh pabrik gula). Dengan kondisi karakteristik pabrik gula sebagaimana dikemukakan di atas, menyebabkan efisiensi pabrik gula di Indonesia rendah.

Menurut Sekretariat Dewan Gula Indonesia (1 997). kendala utama yang dihadapi pabrik gula =at ini adalah : (1) Rendahnya kualitas bahan baku. (2) Rendahnya kapasitas sebagian pabrik serta rendahnya efisiensi pabrik (tingginya persen jam behenti), dan (3) Tingginya biaya produksi.

Keragaan pabrik gula ditentukan oleh produktivitas lahan, esiensi gilingan dan efisiensi pengolahan. ProduMivitas lahan ditentukan oleh kualitas tebu dan jumlah tebu setiap hektarnya. Efisiensi gilingan sangat dipengaruhi oleh kualitas tebu, semakin baik kuafitas tebu, semakin baik efisiensi gilingan yang dicapai, dengan demikian juga halnya ierhadap efisiensi pengolahan.

Kualitas tebu dinyatakan dengan rendemen tebu disamping jumlah ton tebu per hektar yang dihasilkan. Rendemen tebu sangat dipengaruhi oleh faktor : (1) Lingkungan (iklim, tanah dan tersedianya air), (2) Sifat

(6)

genetis (varietas tebu), dan (3) Kultur teknis penanaman dan pasca panen.

Rendahnya kapasitas giling antara lain akibat tingginya jam behenti giling (antara 14.1

-

16.4 jam dari 100 jam giling) pada periode giling 1990

-

1997, karena tidak tepatnya penyediaan bahan baku tebu akibat manajemen tebang dan angkut tebu ke pabrik kurang baik.

Dengan demikian usaha peningkatan efisiensi yang ditempuh hendaknya melalui pendekatan "back fo basicP artinya persyaratan teknis dan manajemen hams dapat dipenuhi secara optimal.

Menurut Sekretariat Dewan Gula Indonesia (1997). terdapat lima kriteria p k o k yang dapat dijadikan pedoman awal untuk menentukan tidak efisiennya suatu pabrik gula, yaitu :

1. Kesulitan memperoleh lahan

Ketersediaan bahan baku ditentukan oleh tingkat pencapaian areal. Sedangkan areal yang dibutuhkan semakin sulit dicapai karena desakan penduduk dan persaingan dengan industri lain serta berubahnya status lahan seperti untuk perumahan, industri, dan lain- lain.

2. Pembangunan lahan perkebunan tebu yang lebih mengarah ke lahan kering sehingga jaraknya menjadi makin jauh dari pabrik gula yang mengakibatkan biaya produksi menjadi tinggi.

(7)

3. Jumlah produksi gula baik gula petani maupun milik pabrik gula kurang dari 250 000 kuintal per tahun, sehingga harga pokok per unit hasit makin mahal.

4. Mutu bahan baku yang rendah mengakibatkan biaya produksi pabrik gula tidak efisien.

5. Kapasitas giling di bawah 2 000 l T H (Ton Tebu per Hari).

Berdssarkan analisis kepekaan efisiensi terhadap perubahan hari giling, maka hanya pabrik gula yang berkapasitas di atas 2 000 TTH yang relatif tahan terhadap perubahan hari giling.

Berdasarkan lima kriteria pokok tersebut tenlapat indikasi bahwa efisiensi pabrik gula Indonesia masih rendah khususny pabrik gula milik BUMN yang dapat disebabkan karena biaya produksi gula belum efisien (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 1997).

Setelah rnengemukakan kriteria pokok efisiensi pabrik gula sebagaimana diuraikan di atas, terdapat aspek-aspek yang erat kaitannya dengan biaya produksi gula yaitu : (I) produksi gula, (2) produksi tebu, (3) impor gula, dan (4) Iiberalisasi perdagangan.

I. Aspek Produksi Gula

Produksi gula lndonesia dewasa ini terpusat di pulau Jawa. Saat ini pulau Jawa yang dihuni oleh harnpir 67 persen dari total penduduk diperkirakan menyumbang 80 persen dari total produksi gula nasional. Sumbangan produk gula tersebut tidak dapat dilepaskan dari keunggulan

(8)

komparatif wilayah pulau ini, yaitu keadaan sifat-sifat tanah dan iklimnya yang relatif sesuai untuk pengembangan budidaya tebu, sehingga sebagian besar dari total tebu nasional berada di pulau Jawa.

Produksi gula yang terkonsentrasi di pulau Jawa menghadapi ancaman dengan semakin meningkatnya industrialisasi dan pertambahan penduduk. Semakin kuatnya tekanan permintaan atas lahan mengakibatkan terjadinya secara besar-besaran konversi lahan sawah teknis, yang seiama ini merupakan basis produksi tebu nasional, menjadi areal perindustrian dan pemukirnan. Untuk mengkompensasi kehilangan luas lahan tebu ini guna dapat mempertahankan produksi gula nasional, pemerintah sejak tahun 1976 mendorong penanaman dan produksi tebu di lahan kering. Kondisi ini mengakibatkan menurunnya produktivitas tebu yang dapat mengakibatkan efisiensi biaya produksi gula menurun.

2. Aspek Produksi T e b u

Kendala utama yang dihadapi datam pengusahaan tebu lahan kering adalah keterbatasan teknologi (Anwar, 1992). Karenanya tingkat produktivitas tebu di lahan kering jauh lebih rendah daripada di lahan sawah. Rata-rata produktivitas tebu di lahan sawah sebesar 876.90 kwlha; sedangkan produktivitas tebu di lahan kering rata-rata sebesar 654.52 kwfha. Ditambah lagi dengan kondisi pabrik gula yang memang sudah berumur tua dan lokasinya yang sudah tidak lagi di pusat perkebunan tebu, ha1 ini berdampak pada penurunan produktivitas hablur dan

(9)

rendemen gula dari pabrik-pabrik gula di pulau Jawa. Kondisi ini menyebabkan beberapa pabrik gula dl Jawa merugi terus yang dapat disebabkan karena biaya produksi gula belum efisien. Sungguhpun demikian, secara keseluruhan sumbangan pulau Jawa terhadap produksi gula nasional masih tetap besar.

Secara spesifik, pada saat ini usaha perluasan budidaya tebu ke wilayah luar Jawa baru menjangkau wilayahwilayah yang relatii terbatas, seperti di propinsi Lampung, Surnatera Utara, Aceh, Kalirnantan Selatan, Sulawesi Tenggara. Masalah yang dihadapi dalam pengembangan industri gula di luar Jawa tidak sedikit. Prasarana pengairan teknis umumnya tidak tersedia, sehingga lahan tebu baru diletakkan di daerah berwrah hujan relatif tinggi, yang berarti tidak ideal bagi pola pertumbuhan tanaman tebu. Lahan luas yang disediakan dan digunakan untuk menanarn tebu juga mempunyai tingkat kesuburan fisik dan kimiawi yang jauh di bawah kelas tanah yang digunakan sebagai lahan tebu di Jawa. Ketersediaan tenaga kerja yang ternas, sampai batas tertentu juga rnerupakan kendala. Di sisi lain pengembangan industri gula ke luar Jawa rnemberikan peluang, karena dengan lahan yang fuas pabrik gula dapat dibangun dengan kapasitas giiing yang jauh lebih besar daripada pabrik gula di Jawa, asalkan teknologi penanaman tebu di lahan kering tersedia (Anwar, 1992).

(10)

3. Aspek lmpor Gula

Adanya kecenderungan konsumsi gula total dan per kapita yang terus meningkat, sementara di sisi lain produktivitas gula terus menurun, mengakibatkan impor gula Indonesia oendewng meningkat. Dengan pertimbangan sosial politik dan pertimbangan ekonomis untuk menekan devisa negara, pemerintah mendorong perkembangan industri gula ke luar Jawa. Kondisi ini mengakibatkan dibangunnya pabrik-pabrik gula baru di luar Jawa, khususnya milik BUMN, yang tidak efisien yang mengakibatkan efisiensi biaya produksi gula nasional menurun.

4. Aspek LiberatTsasi Perdagangan

Kesepakatan Putaran Uruguay-GATT menandai dimulainya era liberalisasi perdagangan, termasuk untuk komoditi pertanian khususnya gula, dengan kesepakatan pokok terutama berkaitan dengan akses pasar. Di satu pihak meningkatnya akses pasar cenderung akan meningkatkan volume perdagangan. Namun di pihak lain, rneningkatnya akses pasar juga menuntut tingkat efisiensi yang tinggi agar dapat bersaing dengan negara lain.

Dengan meningkatnya liberalisasi perdagangan, pasar gula Indonesia berangsur-angsur akan semakin terbuka akibat dari dihapuskannya secara bertahap perdagangan yang selama ini memberikan proteksi terhadap industri gula nasional. Dengan demikian, dalam era perdagangan bebas, kebijakan yang bersifat protektif tidak

(11)

dapat lagi menjadi solusi altematif, sehingga diperlukan upaya peningkatan efisiensi biaya produksi gula.

Dalam era perdagangan bebas, sistem pergulaan nasionai tidak dapat terlepas dari perkembangan industri gula saat ini. Indonesia sebagai negara yang perekonomiannya sudah terbuka, haws melibatkan diri dalam perdagangan bebas secara global baik dalam forum Putaran Uruguay dengan GAlT-nya, AFTA, maupun APEC. Salah satu akibal dari globalisasi adalah semakin berkembangnya upaya menciptakan pasar baru dengan rnenggunakan seluruh potensi sumber daya yang tersedia. Upaya tersebut mendorong semakin tajarnnya iklim persaingan yang menuntut tingkat efisiensi tinggi dalam bidang produksi serta kecanggihan teknologi yang digunakan untuk meningkatkan atau mempertahankan daya saing yang dimiliki. Di sektor industri gula, glabalisasi ekonomi tersebut akan memberikan pengaruh yang cukup besar karena efisiensi industri gula di Indonesia masih rendah.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, industri gula nasional menghadapi banyak permasalahan yang mengakibatkan masalah inefisiensi dalam strukur pasar gula domestik. Adanya permasalahan ini tentu saja akan mempengaruhi daya saing gula nasional, apalagi dengan akan dimulainya era perdagangan bebas. Dalam era perdagangan bebas, tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi sangat dibutuhkan agar dapat bersaing dengan negara lain.

(12)

Mengingat akan kecenderungan struktur produksi, ketersediaan stok, dan harga gula dunia dan dampaknya pada lndonesia serta adanya depresiasi nilai rupiah yang semakin kuat, maka segala daya upaya perfu dilakukan untuk menyelamatkan industri gula nasional. Upaya perbaikan daya saing gula nasional perlu terus diupayakan diantaranya melalui penciptaan varietas tebu dengan tingkat produktivitas yam lebih tinggi, teknik budidaya spesifik lokasi, perbaikan efisiensi industri pengolahan (pabrik gula) dan penetapan skala dan lokasi industri kaitannya dengan penyebaran budidaya tebu untuk mencapai efisiensi industri gula yang maksimal (Rusastra, 1999).

Dalam konteks efisiensi industri gula diperlukan analisis terhadap tiga faktor berikut ini : (1) Teknologi, (2) Kombinasi input, dan (3) Skala usaha.

Faktor teknologi yang kondusif untuk mencapai efisiensi ekonomi adalah penggunaan teknologi yang tepat (efisiensi teknis). Dalam bidang tanaman tebu, aspek teknologi tersebut terdiri dari penggunaan varietas unggul, budidaya tebu yang memenuhi baku teknis. Teknologi dalam bidang tanaman dapat ditangkap oleh tebu sebagai bahan baku. Sedangkan teknologi dalam bidang pabrik (pengolahan gula) dapat ditangkap oleh proses pabrikasi yaitu sulfitasi dan karbonatasi.

Faktor skala usaha untuk mencapai efisiensi ekonomi adalah penerapan skala usaha yang optimal (ekonomi skala usaha), yaitu meminimumkan biaya produksi rata-rata.

(13)

Dalam analisis efisiensi industri gula, dilihat kondisi skala dan economies of scope (cakupan usaha) dari hubungan biaya dengan output pabrik gula yaitu gula dan tetes. Selain itu dilihat juga permintaan input tidak tetap, yaitu tebu, bahan bakar dan tenaga kerja. Dafam analisis permintaan input, selain dimasukkan harga-harga output dan input tidak tetap, juga dimasukkan faktor tetap fainnya, yaitu manajemen dan penyusutan. Dalam permintaan input, diduga terdapat keterkaitan antara keputusan berproduksi gula dengan keputusan berproduksi tetes. Oleh karena itu, analisis skala usaha dan permintaan input tidak dapat dilakukan secara terpisahpisah

(non

joint) untuk masing-masing output, tetapi harus dilakukan secara simultan untuk dua output dan tiga input tidak tetap tersebut. Sehubungan dengan ha1 tersebut, maka analisis yang sesuai untuk menduga skala usaha dan perrnintaan input. adalah dengan pendekatan multi-input, multi-output.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa sangat relevan untuk melakukan penelitian dalarn bidang industri gula, khususnya analisis efisiensi biaya produksi gula di Indonesia.

Sehubungan dengan itu, perlu diketahui apakah industri gula domestik di masa mendatang masih dapat diharapkan untuk dipertahankan eksistensinya? Bagaimana prospek industri gula dalam menghadapi liberalisasi perdagangan? Lebih spesifik lagi, untuk

(14)

menforrnulasikan masalah yang dihadapi dalam analisis efisiensi biaya produksi guIa di Indonesia, dikemukakan hipotesis berikut ini :

1. Ada hubungan positip antara sham (pangsa) gula dengan biaya produksi gula.

2.

Ada hubungan positip antara share (pangsa) antara input tidak tetap dengan biaya produksi gula.

3. Skala usaha pabrik gula di Indonesia dalarn kondisi incmasing fefurns to scale.

4. Terjadi cakupan usaha

(economies

of scope) dalam produksi gula di Indonesia.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara urnurn bertujuan untuk mengetahui kemampuan industri gula Indonesia dalam menghadapi era fiberalisasi perdagangan serta upaya yang harus dilakukan agar dapat dipertahankan eksistensinya. Secara khusus tujuannya, adalah :

1. Untuk menganalisis respon permintaan input tidak tetap dalam produksi gula terhadap perubahan harga input tidak tetap itu sendiri dan terhadap perubahan harga input tidak tetap lain.

2.

Untuk rnenganalisis daya substitusi (substifufabiiity) antar input tidak tetap.

3. Untuk menganalisis sbala usaha dan ekonomi cakupan usaha (economies of scope) industri gula Indonesia.

(15)

4. Untuk menganalisis efisiensi relatif pabrik gula milik swasta dibandingkan dengan pabrik gula milik BUMN.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini rnerupakan anaiisis dengan ruang lingkup nasional, karena unit analisisnya adalah seluruh pabrik gula di fndonesia, baik milik pernerintah maupun rniiik swasta. Sedangkan jenis output yang dilihat mencakup gula dan tetes (molases). Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk pengambilan kebijakan dalam bidang industri gufa khususnya lingkup pabrik gula, baik milik BUMN maupun milik swasta.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah faktor-faktor seperti gender dan kepribadian mempengaruhi perencanaan keuangan pribadi

Metode freeze thaw merupakan metode transformasi yang dilakukan dengan melakukan inkubasi bakteri target dan vektor plasmid yang akan ditransformasikan

Substansi dari Program Kerja Pemerintah Kota Depok Tahun 2016 tersebut merupakan penjabaran dari Visi, Misi dan program unggulan serta program andalan Kota Depok yang

Pengujian validitas dilakukan terhadap kuesioner yang digunakan untuk mengukur variabel kecerdasan emosional dan kescerdasan spiritual terhadap pemahaman

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu yang merupakan bagian dari pengetahuan

Kondisi dari pure bundling inilah yang kemudian dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan suatu konsep tying agreement, dimana jika dilihat definisi dari tying agreement, pada

Manakala pada tahun 2007 pula, nilai pelaburan asing mencatatkan sebanyak RM13737.1j dalam sektor industri elektronik di Malaysia iaitu sebanyak 61.5% daripada jumlah

Kalau kita melihat tema yaitu bagaimana Mewujudkan Kota Jayapura Sebagai Toleransi Di Tanah Papua, kalau kita melihat beberapa pekan terakhir sebelum melaksanakan