• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS YURIDIS PERBANDINGAN KONSEP BUNDLING

DENGAN KONSEP TYING AGREEMENT DITINJAU DARI

SEGI HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

SKRIPSI

NAMA : ADHITYA RAMADHAN NPM : 0906489952

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KEGIATANEKONOMI DEPOK

(2)

ABSTRAK

Nama : Adhitya Ramadhan Program Studi : Hukum Ekonomi

Judul : Analisis Yuridis Perbandingan Konsep Bundling dengan Konsep

Tying Agreement ditinjau dari Segi Hukum Persaingan Usaha di

Indonesia.

Persaingan yang semakin ketat dalam menjalankan kegiatan usaha, membuat para pelaku usaha berlomba-lomba untuk dapat menjual produk mereka dengan berbagai bentuk cara yang tujuannya agar produk mereka dapat laku di pasar. Bentuk metode penjualan yang berkembang saat ini adalah melalui sistem

bundling. Disatu sisi konsep bundling memiliki suatu kemiripan dengan konsep tying agreement, yang mana terhadap konsep tersebut dilarang berdasarkan Pasal

15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah metode yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis, sebenarnya terdapat perbedaan diantara kedua konsep tersebut jika mengacu kepada ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, yaitu terhadap suatu unsur paksaan didalam masing-masing konsep tersebut. Hal itulah yang menentukan apakah terhadap suatu strategi bisnis yang diterapkan oleh pelaku usaha merupakan suatu konsep bundling atau suatu konsep tying agreement.

Kata kunci:

Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bundling, Tying Agreement, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

(3)

ABSTRACT

Name : Adhitya Ramadhan

Study Program : Law, Majoring in Economic Law

Title : Juridical Review of Comparison in Bundling Concept with Tying Agreement Concept Based on Competition Law in Indonesia

Increasingly competition in running a business, makes seller try to compete with each other in order to sell their product with a various methods which is the goal is to make their product itself sold out in the market. A selling method developed at this time is a bundling system. In one side, a concept of bundling has a similarities with a tying agreement concept, which is prohibited based on Article 15 paragraph (2) of Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. This research method is a juridical normative. Based on this research, actually there’s a difference between this two concept if we are using UU No. 5 Tahun 1999, this difference is the element of coercion in each concept. That is the element that determines whether the business strategy are using a bundling concept or tying agreement concept.

Key words:

Unfair Business Competition, Bundling, Tying Agreement, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di tengah era kompetisi dunia bisnis yang semakin sengit ini, di Indonesia khususnya berkembang suatu starategi bisnis pemasaran yang dilakukan oleh pelaku usaha agar mampu meningkatkan penjualan dari barang dan atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha kepada pelaku usaha lainnya atau kepada konsumen. Strategi tersebut dikenal dengan istilah bundling.

Pada dasarnya strategi bundling ini adalah suatu strategi marketing yang melibatkan dua atau lebih produk atau jasa dalam sebuah harga yang dipaketkan1. Praktek bundling yang sangat berkembang saat ini di Indonesia adalah program

bundling Apple iPhone 4S dengan berbagai macam provider jasa operator

telekomunikasi di Indonesia seperti Telkomsel, Indosat, dan XL. Dimana bentuk penawaran terhadap produk tersebut adalah ketika konsumen (pembeli) ingin membeli produk Apple iPhone 4S kemudian konsumen akan dapat memperoleh

starter pack sim card dari provider jasa operator telekomunikasi seperti

Telkomsel, XL dan Indosat.

Berkembangnya strategi pemasaran bundling di Indonesia disertai dengan persaingan di antara para pelaku usaha tersebut kemudian memunculkan sebuah pertanyaan besar bagi Penulis, apakah suatu strategi bundling tersebut memang benar merupakan suatu strategi yang dapat dilakukan secara legal oleh para pelaku usaha khususnya di Indonesia?

Pertanyaan tersebut muncul ketika Penulis mencoba menghadapkan suatu contoh kasus bundling Apple iPhone 4S dan provider telekomunikasi dengan adanya suatu ketentuan peraturan dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi:

      

1

Venkatesh, R, Vijay Mahajan, Design and Pricing of Product Bundles: A Review of Normative Guidelines and Practical Approaches, (Northampton,MA: Edward Elgar Publishing

(5)

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok”.2

Ketentuan dalam pasal tersebut dikenal juga dengan istilah tying agreement. Secara sederhana tying agreement bisa didefinisikan sebagai penjualan suatu produk dengan syarat bahwa si pembeli harus juga membeli produk lain yang sebenarnya bisa dibeli oleh pembeli itu dari penjual lain.3 Maka konsekuensi yang ditimbulkan dari adanya suatu praktek tying agreement berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 adalah konsumen tidak dapat hanya memilih produk yang benar-benar dia inginkan, akan tetapi konsumen harus membeli keseluruhan barang dan atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Hal tersebut muncul dikarenakan telah adanya perjanjian antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lainnya terhadap cara penjualan barang dan atau jasa yang mereka tawarkan kepada konsumen. Dengan adanya ketentuan pasal tersebut dalam UU No. 5 Tahun 1999, dapat dikatakan bahwa bentuk perjanjian sebagaimana di atas tadi merupakan suatu hal yang dilarang. Maka kemudian bagaimana perbandingan suatu konsep bundling dengan konsep tying agreement, yang jika dilihat secara sekilas terdapat kesamaan diantara kedua konsep tersebut, dimana dalam kedua konsep tersebut sama-sama terdapat dua atau lebih produk yang berbeda yang diikat untuk kemudian dijual dalam satu paket. Maka kemudian jika dilihat dalam suatu konsep tying agreement memang bersifat anti persaingan terhadap pelaku usaha lain maupun terhadap konsumen itu sendiri. Namun apakah efek antikompetitif dari praktek tying agreement juga terdapat pula di dalam praktek

bundling?

Berangkat dari gejala yang dipaparkan di atas, Penulis kemudian ingin meneliti lebih dalam mengenai diferensiasi konsep bundling dengan konsep tying

agreement yang ditinjau dari sudut hukum persaingan usaha di Indonesia. Dalam       

2

Indonesia, op.cit., Ps. 15 ayat (2) 3

Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, cet. 1, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 42

(6)

penelitian ini Penulis juga akan memasukkan contoh strategi bundling di Indonesia berupa bundling antara Apple iPhone 4S dengan provider jasa operator telekomunikasi di Indonesia seperti Telkomsel, Indosat, dan XL. Serta juga studi kasus Tying agreement yang dilakukan oleh Microsoft melalui program OS

Windows mereka dengan program Windows Media Player. Keduanya akan

berfungsi sebagai suatu pembanding agar mempermudah batasan fokus Penulis dalam melakukan penelitian ini. Hal-hal di atas kemudian menjadi latar belakang untuk kemudian mengkaji apakah terdapat perbedaan antara konsep bundling dengan tying agreement? Apakah konsep bundling dapat disebut sebagai suatu strategi bisnis yang legal untuk dijalankan oleh para pelaku usaha di Indonesia?

1.2 Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang sudah Penulis paparkan diatas, rumusan permasalahan yang akan Penulis teliti lebih lanjut untuk dijadikan fokus pembahasan dalam Penulisan skripsi ini terdiri atas tiga pertanyaan, antara lain:

1. Apakah terdapat perbedaan antara konsep bundling dengan konsep tying

agreement?

2. Bagaimanakah pengaturan dari segi hukum persaingan usaha di Indonesia terhadap konsep bundling dan tying agreement?

3. Apakah konsep bundling dapat dikatakan sebagai suatu bentuk strategi bisnis yang legal jika ditinjau dari sudut hukum persaingan usaha?

(7)

BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM PERSAINGAN USAHA SERTA

KONSEP BUNDLING DAN TYING AGREEMENT

3.1 Diferensiasi Konsep Bundling dan Tying Agreement

Dalam penulisan ini, terhadap konsep dari tying agreement itu sendiri, penulis akan tetap menggunakan landasan konsep bahwa tying agreement merupakan suatu praktek penjualan, dimana terhadap konsumen yang ingin membeli suatu produk A maka konsumen tersebut juga diharuskan untuk membeli produk B sebagai bagian dari adanya pemaketan penjualan, dan terhadap hal tersebut tidak terdapat opsi bagi konsumen untuk memperoleh produk tersebut secara terpisah, sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999, praktek tying agreement itu sendiri bersifat ilegal.

3.1.1 Perbandingan Konsep A. Unsur Paksaan

Jika melihat definisi dari bundling, sebagaimana yang telah dijabarkan oleh Penulis melalui konsep para ekonom dan ahli hukum dalam bab sebelumnya, bahwa inti dari suatu konsep bundling adalah adanya suatu pengikatan terhadap penjualan suatu produk yang satu dengan produk lainnya. Hal ini dimaksudkan sebagai suatu tujuan yang dilakukan oleh pelaku usaha agar terhadap konsumen yang menginginkan untuk membeli suatu produk a, maka diharuskan juga untuk ikut membeli produk b sebagai bagian dari suatu paket penjualan tersebut. Namun jika kita melihat dari konsep bundling sebagaimana yang dijabarkan oleh Stremersch dan J. Tellis, pada dasarnya terdapat beberapa perbedaan cara yang dilakukan dari pelaku usaha dalam mengikatkan produk mereka dalam konsep bundling tersebut. Perbedaan tersebut dapat kita lihat dari segi keterkaitan antara produk yang mengikat dengan produk yang diikatkan, dimana hal ini dlihat apakah dalam paket penjualan tersebut, terhadap produk yang satu dengan

(8)

produk yang lainnya memiliki korelasi atau tidak. Sebagai contoh adalah ketika pelaku usaha yang mengikatkan suatu produk pasta gigi dengan sikat gigi.

Praktek tersebut yang kemudian diistilahkan sebagai product

bundling. Sementara terhadap pengikatan produk yang tidak memiliki

korelasi diantara kedua produk yang diikat didefinisikan sebagai price

bundling.

Namun dalam hal ini, yang menjadi suatu letak permasalahan dalam bentuk bundling yang kemudian menyebabkan hampir terjadinya suatu kesamaan konsep dengan tying agreement adalah suatu bentuk bundling yang dilihat dari segi adanya “unsur paksaan” dalam pengikatan produk tersebut atau tidak. Unsur paksaan inilah yang tergambarkan dalam bentuk

product bundling dan mixed bundling. Dimana didalam konsep pure bundling dijabarkan bahwa terhadap paket penjualan produk yang

ditawarkan kepada konsumen, pelaku usaha tidak memberikan/menawarkan opsi untuk menjual produk mereka secara terpisah. Sementara itu di dalam

mixed bundling, terhadap paket produk yang akan dijual kepada konsumen,

pelaku usaha masih tetap memberlakukan sistem penjualan yang dilakukan secara terpisah.

Kondisi dari pure bundling inilah yang kemudian dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan suatu konsep tying agreement, dimana jika dilihat definisi dari tying agreement, pada intinya terdapat suatu pengikatan produk penjualan yang dilakukan oleh dua pelaku usaha/lebih yang memiliki pasar yang berbeda, dimana mereka kemudian mensyaratkan bahwa apabila konsumen ingin membeli produk a, maka konsumen tersebut juga harus membeli produk b sebagai konsekuensi yang muncul akibat adanya pengikatan paket penjualan produk tersebut. Namun salah satu hal yang membedakan konsep tying agreement dalam hal ini adalah terhadap konsep tying agreement, konsumen dihadapkan dengan adanya unsur paksaan didalamnya untuk membeli produk yang dijual tersebut.

Hal ini ditunjukkan dengan adanya kewajiban dari konsumen yang ingin membeli suatu produk yang akan dijual dengan sistem tying

(9)

agreement hanya dapat membeli produk tersebut jika mereka juga membeli

produk b yang diikatkan terhadap produk a, dan kemudian tidak adanya opsi lain bagi konsumen untuk dapat membeli produk tersebut secara terpisah.

Sebagaimana yang tertuang juga di dalam pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 yang menyebutkan:

“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain

yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha”

Maka berdasarkan pasal tersebut unsur paksaan tersebut terlihat

dalam kata-kata “harus bersedia” Sehingga dalam hal inilah unsur paksaan dalam tying agreement ini muncul. Berbeda dengan konsep bundling, khususnya dalam bentuk mixed bundling, dimana pelaku usaha yang menerapkan strategi bisnis tersebut memang pada dasarnya sama-sama menerapkan pengikatan produk antara produk a dengan produk b, namun hal tersebut tidak memberikan unsur paksaan terhadap konsumen untuk membeli kedua produk tersebut secara bersamaan, hal ini dikarenakan dalam mixed bundling, pelaku usaha masih memberikan suatu opsi lain bagi para konsumen yang ingin membeli salah satu produk yang dijual oleh pelaku usaha secara terpisah.

Namun jika konsep tying agreement dibandingkan dengan konsep

pure bundling, maka terhadap kedua konsep tersebut dapat dikatakan bahwa

tidak terdapat perbedaan diantara keduanya. Pure bundling merupakan praktek penjualan paket murni dan tidak ada penjualan terpisah.4 Dengan tidak adanya opsi penjualan secara terpisah tersebut itulah yang membuat konsep pure bundling dengan tying agreement bersifat sama. Karena dalam kondisi ini, konsumen tidak memiliki kebebasan untuk memilih produk yang ingin dia beli. Karena seharusnya produk yang secara alaminya dapat dipisahkan menjadi produk terpisah tidak seharusnya dijual secara terikat

      

4

Ahmad Adi Nugroho, “Strategi Bundling/Tying Sebagai Upaya Abuse of Dominance; Studi Kasus Penerapan Strategi Tying/Bundling oleh Microsoft,” Jurnal Persaingan Usaha: Komisi Pengawas Persaingan Usaha 3 (2010), hlm. 56.

(10)

tanpa ada opsi bagi konsumen untuk mendapatkan masing-masing produk tersebut secara terpisah.5 Jika dilihat secara sederhana, perbedaan kedua konsep antara bundling dan tying agreement dapat dilihat dalam skema berikut ini:6

B. Unsur Posisi Dominan

Penerapan bundling dapat memberikan manfaat ketika dapat

meningkatkan efisiensi dalam supply, pricing, dan marketing.7 Hal tersebut dapat terjadi ketika kondisi penerapan strategi tersebut berada dalam suatu pasar yang bersifat kompetitif sehingga manfaat-manfaat yang ada tersebut dapat beralih ke konsumen. Namun demikian ketika ada salah satu produk yang di-bundling tersebut memiliki market power yang tinggi, maka penerapan strategi bundling tersebut dapat menjadi antikompetitif.8

Melalui praktek tying agreement pelaku usaha dapat melakukan perluasan kekuatan monopoli yang dimiliki pada tying product (barang atau jasa yang pertama kali dijual) ke tied product (barang atau jasa yang dipaksa harus dibeli juga oleh konsumen).9 Dengan adanya market power seperti itu, maka pelaku usaha kemudian dapat menciptakan suatu barrier to entry bagi

       5 Ibid, hlm. 76-77. 6 Ibid., hlm. 58. 7 Ibid., hlm. 61. 8 Ibid. 9

Andi Fahmi Lubis, et.al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta: Deutsche Gesellschaft fur Technische ZUsammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009), hlm. 61.

(11)

pelaku usaha yang ingin masuk kedalam pasar tersebut, karena pada dasarnya pasar tersebut telah didominasi oleh pelaku usaha yang melakukan strategi tying agreement tersebut.

Suatu posisi dominan pada dasarnya memang sangat diperlukan dalam suatu praktek tying agreement agar praktek tersebut dapat berjalan secara sempurna. Hal ini dikarenakan melalui suatu posisi dominan, pelaku usaha dapat menciptakan suatu kondisi yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan paksaan kepada konsumen agar mereka membeli produk yang dijual oleh pelaku usaha tersebut. Paksaan yang ada tersebut juga dikarenakan adanya suatu kondisi ketergantungan dari konsumen terhadap produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa praktek tying

agreement yang menyebabkan suatu persaingan tidak sehat pada umumnya

dilakukan oleh pelaku usaha yang telah memiliki suatu posisi dominan di dalam pasar yang bersangkutan.

Sebagaimana telah dijabarkan oleh Penulis bahwa pada sub-bab sebelumnya, terhadap suatu praktek tying agreement dipilih oleh pelaku usaha sebagai salah satu strategi bisnis mereka merupakan salah satu bentuk dari adanya upaya abuse of dominance yang dapat menyebabkan matinya pesaing dari pelaku usaha tersebut, membuat suatu halangan bagi para pelaku usaha baru yang ingin masuk kedalam pasar tersebut, ataupun sampai kepada suatu bentuk predatory pricing yang juga bisa menjadi tujuan dibalik penerapan strategi ini. Keberadaan posisi dominan di pasar produk pengikat menjadi prasyarat utama untuk melakukan predatory

pricing10.

Sementara itu untuk praktek bundling, posisi dominan bukan menjadi suatu hal yang mutlak diperlukan untuk membuat strategi tersebut berjalan dengan baik. Akan tetapi hal tersebut kembali bergantung pada tipe

bundling yang digunakan oleh pelaku usaha. Jika menggunakan konsep pure bundling yang memiliki konsep sama dengan tying agreement, posisi       

10

(12)

dominan juga dibutuhkan karena ini sebagai konsekuensi dari sifat pure

bundling itu sendiri yang memang tidak menjual produk secara terpisah.

Akan tetapi ketika menggunakan konsep mixed bundling, dimana di dalam konsep tersebut selain dilakukannya penjualan produk yang dipaketkan, pelaku usaha juga masih memberi opsi kepada konsumen untuk dapat membeli produk tersebut secara terpisah.

Maka berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan dalam suatu unsur posisi dominan dalam kaitannya terhadap penggunaan strategi bisnis melalui praktek bundling dan tying agreement. Namun perbedaan tersebut khususnya terdapat pada konsep antara tying

agreement dengan mixed bundling.

Adanya unsur posisi dominan dalam strategi bundling dan tying

agreement juga kemudian telah menunjukkan bahwa leverage theory telah

membuktikan bahwa ketika dilakukannya strategi bundling dan tying

agreement yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan

di pasar primer terhadap produk di pasar sekunder yang kurang dominan serta memiliki struktur pasar yang kompetitif maka akan mendongkrak dominasi produk yang berada di pasar sekunder tersebut serta mampu mengurangi tingkat persaingan di pasar sekunder.

3.2 Pengaturan Bundling dan Tying Agreement Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999

3.2.1 Pengaturan Tying Agreement

Jika melihat ketentuan di dalam UU. No. 5 Tahun 1999, ketentuan mengenai praktek tying agreement diatur dalam ketentuan pasal 15 ayat (2) yang berbunyi:

“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain

yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.”

(13)

Berdasarkan ketentuan pasal 15 ayat (2) tersebut maka unsur-unsur yang harus dipenuhi agar terhadap suatu pelaku usaha dapat dikatakan melakukan suatu praktek tying agreement adalah:

a. adanya perjanjian antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lain

b. isi perjanjian tersebut adalah kesepakatan dari dua pelaku usaha untuk melakukan penjualan barang dan atau jasa dalam satu paket.

c. konsumen yang ingin melakukan pembelian terhadap barang dan atau jasa milik pelaku usaha A maka diwajibkan juga membeli barang dan atau jasa milik pelaku usaha B.

Jika unsur-unsur pasal tersebut telah dipenuhi maka dapat dikatakan bahwa pelaku usaha yang melakukan praktek tersebut telah melakukan suatu praktek tying agreement.

3.2.2 Pengaturan Bundling

Mengacu kepada definisi dari bentuk-bentuk bundling yang kemudian dilihat berdasarkan ada atau tidaknya unsur paksaan terhadap konsumen, maka bentuk-bentuk bundling dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu pure bundling dan mixed bundling.

Berdasarkan kedua definisi tersebut, maka Penulis akan mencoba menganalisis hal tersebut berdasarkan definisi pure bundling terlebih dahulu. Sebagaimana yang telah dijabarkan di dalam sub-bab sebelumnya, bahwa pada dasarnya konsep dari pure bundling adalah sama dengan konsep dari tying agreement. Hal ini dikarenakan pada kedua konsep tersebut diantara pelaku usaha sama-sama melakukan suatu perjanjian yang mensyaratkan bahwa terhadap konsumen yang ingin melakukan pembelian terhadap suatu produk A, maka konsumen tersebut juga harus ikut membeli produk B, dimana terhadap kedua produk tersebut tergabung dalam satu paket penjualan.

Maka dengan adanya kesamaan definisi tersebut, maka Penulis menginterpretasikan bahwa terhadap konsep pure bundling dan tying

(14)

agreement hanyalah merupakan perbedaan istilah saja, namun memiliki

suatu pengertian yang sama. Maka secara otomatis terhadap ketentuan pengaturan dari pure bundling itu sendiri adalah sama dengan ketentuan pengaturan tying agreement jika dilihat berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1999, yaitu berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UU. No. 5 tahun 1999. Terlebih lagi ketika pengikatan produk antara produk A dan produk B yang dilakukan oleh pelaku usaha yang melakukan strategi pure bundling sama sekali tidak memiliki suatu keterkaitan diantara kedua produk tersebut.

Sementara itu terhadap konsep mixed bundling, maka pada dasarnya masih terdapat kebebasan bagi konsumen untuk tetap dapat melakukan pembelian barang dan atau jasa dari pelaku usaha secara terpisah. Sehingga dalam hal tersebut tidak ada unsur paksaan didalamnya bagi konsumen untuk harus membeli barang dan atau jasa yang telah dipaketkan oleh pelaku usaha. Jika kemudian melihat definisi tersebut dan sebagaimana telah juga dijabarkan mengenai perbedaan dari konsep mixed bundling dengan tying agreement, maka dapat dikatakan bahwa kedua konsep tersebut merupakan konsep yang berbeda. Lalu terkait dengan pengaturan dari mixed bundling itu sendiri pada dasarnya tidak dimuat secara khusus mengenai larangan dalam bentuk ini di dalam UU No. 5 tahun 1999. Maka terhadap suatu bentuk mixed bundling ini dapat dikatakan bersifat legal selama unsur-unsur tying agreement di dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 tahun 1999 tidak terpenuhi.

Terhadap ketentuan pengaturan dalam konsep bundling pada dasarnya tidak hanya semata-mata mengacu pada ketentuan tying agreement di dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 1999, akan tetapi terhadap konsep

bundling terdapat juga mengenai perluasan konsep pengaturannya. Bentuk

perluasan pengaturan yang mungkin diakibatkan dari suatu penerapan strategi bundling antara lain:

A. Penyalahgunaan Posisi Dominan

Berdasarkan teori bahwa suatu konsep bundling akan dapat

(15)

tersebut memiliki suatu posisi dominan di dalam pasar bersangkutan, maka terbuka kemungkinan yang sangat besar bagi pelaku usaha yang melakukan strategi bundling serta pelaku usaha tersebut juga memiliki posisi dominan di dalam pasar tersebut untuk melakukan suatu penyalahgunaan posisi dominan yang dia miliki. Sebagaimana tercantum dalam pasal 25 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 bahwa terhadap posisi dominan yang dimiliki oleh pelaku usaha, mereka dilarang untuk:

a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau

b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi;atau

c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan

Maka dengan adanya penerapan strategi bundling khusunya dalam bentuk pure bundling yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan, akibat yang mungkin ditimbulkan adalah suatu pasar yang bersifat antikompetitif. Hal ini dikarenakan dengan adanya pengikatan tersebut, konsumen tidak dapat memperoleh barang dan atau jasa yang dengan harga yang bersaing.

B. Predatory Pricing

Dalam praktek bundling juga terdapat bentuk perluasan pengaturan lainnya yaitu dalam bentuk predatory pricing. Predatory pricing secara sederhana didefinisikan sebagai tindakan dari sebuah perusahaan yang mengeluarkan pesaingnya dengan cara menetapkan harga dibawah biaya produksi.11 Perilaku predatory pricing diatur di dalam Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi:

“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau

jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga       

11

(16)

yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”

Predatory pricing terjadi pada saat salah satu dari produk yang diikat

dijual lebih rendah dari harga pasar dengan meningkatkan harga jual di produk lainnya sehingga secara total kerugian produk yang dijual di bawah harga pasar dapar tertutupi dari keuntungan produk lain yang diikat.12

3.3.1 Analisis Praktek Bundling Iphone 4S A. Kasus Posisi

iPhone 4S dirilis di Indonesia pada tanggal 27 Januari 2012. iPhone 4S masuk di Indonesia dengan melakukan suatu strategi bundling

didalamnya. Dimana dalam hal ini bekerjasama dengan operator setempat, seperti Telkomsel, XL.13 Kemudian pada bulan Mei 2012, Indosat ikut juga masuk sebagai partner yang melakukan bundling dengan Apple Inc. melalui produknya iPhone 4S.14 Dengan adanya strategi bundling tersebut maka setiap produk iPhone 4S yang dijual akan diikatkan dengan provider tertentu tergantung pada di toko provider mana konsumen membeli produk iPhone 4S tersebut, apakah di gerai resmi Telkomsel, XL, atau Indosat. Atau dengan kata lain setiap pembeli yang ingin membeli produk iPhone 4S juga akan mendapatkan sim card dari provider tertentu sebagi bagian dari adanya program bundling tersebut.

B. Analisis Kasus

Berdasarkan kasus posisi diatas, maka dapat kita lihat bahwa

memang telah terdapat suatu program bundling yang dilakukan oleh Apple

      

12

Nugroho, loc.cit.

13 “27 Januari, iPhone 4S Resmi Masuk Indonesia,”

http://tekno.kompas.com/read/2012/01/20/09133826/27.Januari..iPhone.4S.Resmi.Masuk.Indonesi a 22 Desember 2012.

14

“Indosat-Apple Hadirkan Paket Lengkap iPhone 4S,”

http://www.indosat.com/Public_Relations/Press_Release_Photo_Gallery/Indosat_Apple_Hadirkan _Paket_Lengkap_iPhone_4S 22 Desember 2012.

(17)

Inc. melalui produknya iPhone 4S sebagai suatu produk pengikat yang

kemudian diikatkan dengan sim card dari perusahaan penyedia jasa layanan telekomunikasi (provider) di Indonesia seperti Telkomsel, XL, dan Indosat.

Jika melihat program tersebut, maka program bundling yang dilakukan oleh Apple Inc. dengan provider di Indonesia merupakan suatu bentuk mixed bundling. Hal ini dikarenakan, terhadap program bundling tersebut, penjualan iPhone 4S di Indonesia dijual tidak hanya dengan satu jenis provider saja, akan tetapi terdapat tiga provider di Indonesia yang juga mampu melakukan program penjualan iPhone 4S tersebut. Dengan kata lain, dalam praktek ini, konsumen masih tetap diberikan pilihan untuk dapat membeli produk iPhone 4S dengan provider yang mereka inginkan.

Terhadap praktek bundling iPhone 4S dengan tiga provider di Indonesia, maka pada dasarnya terdapat tiga indikator yang dapat dilihat untuk mengukur bahwa strategi tersebut bersifat anti kompetisi atau tidak. Beberapa indikator yang Penulis gunakan antara lain:

a. Terhadap kedua produk yang di-bundling tersebut pada dasarnya memiliki suatu integrasi fungsi di dalamnya

b. Terhadap kedua produk yang di-bundling tersebut konsumen pada dasarnya tetap memiliki pilihan untuk dapat menggunakan produk

iPhone 4S dan provider yang ada secara terpisah.

c. Praktek bundling yang dilakukan oleh iPhone 4S dengan Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata, meskipun dilakukan terhadap pelaku usaha yang memiliki posisi dominan di dalam pasar

provider, namun pada dasarnya hal tersebut tidak berarti menutup

persaingan di level provider itu sendiri. Sehingga konsumen tidak harus menggunakan provider Telkomsel, Indosat, dan XL.

Jika melihat penjabaran di atas, maka Penulis menyimpulkan bahwa terhadap praktek bundling yang dilakukan oleh Apple Inc. melalui produk

iPhone 4S mereka dengan tiga provider di Indonesia yaitu Telkomsel,

Indosat, dan XL bukanlah merupakan suatu bentuk tying agreement seperti yang telah dijabarkan di dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999.

(18)

3.3.2 Analisis Praktek Tying Agreement Microsoft

A. Kasus Posisi

Terkait dengan praktek tying, maka ada dua produk yang menjadi objek perhatian dalam kasus ini yaitu Client PC OS yaitu Microsoft

Windows sebagai produk pengikat (tying product) dan Windows Media Player sebagai produk terikat (tied product).15 Pesaing langsung dari produk ini antara lain Real One Player (RealNetwork), Quicktime Player (Apple),

Winamp (Nullsoft), MusicMatch, Media Jukebox, Ashampoo, dan VLC Mediaplayer.16 Pada selang tahun 2000 – 2004 Microsoft Windows yang merupakan Client PC Operating System juga telah memiliki posisi yang dominan diukur dari tingginya pangsa pasar yang dimiliki. Berikut adalah

market share Windows untuk produk ini di pasar bersangkutan:17

Tabel 5. Data market share OS Tahun 2000- 2004

B. Analisis Kasus

Berdasarkan data market share di atas, maka kita dapat melihat

bahwa Microsoft melalui produknya yaitu Windows memiliki posisi dominan. Maka berdasarkan hal tersebut, jika kemudian kita analisis

       15 Ibid, hlm. 70. 16 Ibid. 17

Sumber data berasal dari IDC Worldwide Client and Server Operating Forecast 2002-2007 yang dimuat dalam putusan 2004.

(19)

berdasarkan ketentuan mengenai posisi dominan dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a UU No. 5 Tahun 1999, maka dapat disimpulkan bahwa Microsoft telah memenuhi ketentuan posisi dominan dalam hal ini.

Terhadap bentuk pengikatan produk dalam kasus ini, maka pada dasarnya dapat dikatakan bahwa Microsoft melalui produknya Microsoft

Windows dan Windows Media Player telah melakukan suatu praktek tying agreement jika dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No. 5

Tahun 1999.

Hal yang menjadi sorotan Penulis dalam hal ini jika kemudian

melihat ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) tersebut adalah mengenai klausul adanya “perjanjian yang harus dibuat dengan pihak lain”. Dimana jika dikaitkan dengan kasus Microsoft ini, pada dasarnya bahwa terhadap produk

Microsoft Windows maupun terhadap produk Windows Media Player

merupakan suatu produk yang dikembangkan oleh perusahaan yang sama yaitu Microsoft.

Mengapa terhadap kedua produk ini dapat dikatakan berdiri pada dua pasar yang berbeda? Hal ini dikarenakan terhadap masing-masing produk tersebut juga memiliki pesaing yang berbeda pula. Lebih lanjut lagi, dalam praktek yang dilakukan Microsoft sendiri pada dasarnya memang terdapat unsur paksaan didalamnya yang semakin menguatkan bahwa memang telah terjadi suatu praktek tying agreement dalam hal ini.

Terhadap hal ini secara singkat terdapat beberapa indikator yang digunakan antara lain:18

a. Streaming media player dan operating system sejatinya adalah dua produk yang berbeda sehingga dapat dipisahkan b. Konsumen tidak memiliki pilihan untuk mendapatkan produk

pengikat tanpa harus membeli produk yang diikat pula

c. Praktek tying yang dilakukan oleh Microsoft terhadap produk

OS dan media player telah menutup persaingan di level media player.

      

(20)

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang bisa diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Konsep pure bundling pada intinya adalah suatu program penjualan

barang dan atau jasa yang dilakukan oleh suatu pelaku usaha lain yang mana kemudian pelaku usaha tersebut melakukan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya untuk melakukan suatu penjualan yang mensyaratkan apabila konsumen ingin membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha A, maka dia juga harus membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha B. Lalu terhadap penjualan tersebut hanya dilakukan secara paket, atau dengan kata lain konsumen tidak dapat membeli barang tersebut secara terpisah. Sementara itu dalam mixed

bundling, konsep yang digunakan adalah jika konsumen yang ingin

membeli suatu produk A juga harus membeli produk B sebagai bagian dari satu paket penjualan. Akan tetapi yang membedakan konsep

mixed bundling dengan pure bundling adalah, dalam bentuk mixed bundling, konsumen masih dapat melakukan pembelian barang dan

atau jasa tersebut secara terpisah selain dari program bundling itu sendiri. Sementara itu terhadap konsep tying agreement yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999, maka dapat dikatakan bahwa konsep tying agreement adalah sama dengan konsep pure

bundling, karena pada konsep tying agreement dalam UU No. 5 Tahun

1999 sama-sama mensyaratkan adanya keharusan bagi konsumen yang ingin memperoleh barang dan atau jasa tertentu maka dia harus bersedia juga untuk membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok yang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya dan tidak terdapat opsi pembelian secara terpisah.

(21)

2. Jika melihat konsep bundling berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999,

maka pada dasarnya terhadap ketentuan bundling itu sendiri pengaturannya sama dengan pengaturan di dalam tying agreement, yaitu mengacu pada ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999. Kemudian terdapat perluasan pengaturan seperti adanya penyalahgunaan posisi dominan berdasarkan Pasal 25 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 dan bentuk perluasan pengaturan lain dari praktek pure

bundling ini adalah adanya suatu predatory pricing berdasarkan

ketentuan Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999.

3. Sementara itu jika melihat unsur legalitas dalam suatu konsep bundling, konsep pure bundling pada dasarnya merupakan suatu

strategi bisnis yang illegal, hal ini dikarenakan pada dasarnya konsep

pure bundling itu sendiri sama dengan konsep tying agreement yang

diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999. Sementara itu terhadap konsep mixed bundling, pada dasarnya berbeda dengan konsep tying agreement dan merupakan hal yang bersifat legal karena tidak adanya unsur paksaan dan unsur penyalahgunaan posisi dominan dalam praktek ini.

4.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, saran yang dapat diberikan dalam penelitian skripsi ini adalah bahwa terhadap adanya suatu praktek bundling dan

tying agreement seharusnya KPPU dapat kembali memberikan gambaran lebih

lanjut terhadap kedua perbedaan dalam praktek ini.

Selanjutnya untuk pelaku usaha sendiri yang memang ingin menerapkan suatu strategi bundling, maka diharapkan juga tetap dapat memperhatikan kepentingan konsumen melalui adanya pemberian kebebasan bagi konsumen untuk dapat memilih barang dan atau jasa yang memang benar-benar mereka inginkan dan butuhkan, sehingga dengan adanya hal tersebut juga diharapkan dapat tercipta suatu pasar dengan kondisi persaingan usaha yang sehat, dan pelaku usaha lain tetap mampu untuk dapat melakukan persaingan secara fair dan tidak memiliki hambatan untuk masuk kedalam pasar tersebut.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Anggraini, A.M Tri. Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat: Per Se Illegal atau Rule of Reasons. Jakarta: Fakultas Hukum

Universitas Indonesia. 2003.

Bork, Robert H, The Antitrust Paradox: A Policy at War Itself. New York: The Free Press, 1978.

Jones, Alison dan Brenda Sufrin. EC Competition Law: Text, Cases, and

Materials. 3rd Ed. New York: Oxford University Press, 2008.

Keysen, Carl and Donald F.Turner. Anti Trust Policy : An Economy and Legal

Analysis. Cambridge : Harvard University Press, 1971.

Korah, Valentin. An Introductory Guide to EC Competition Law and Practice. Portland Oregon: Oxford, 2000.

Lubis, Andi Fahmi, et. al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. Jakarta: Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009.

Pakhpahan Norman, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha, cet. ke-2, Jakarta: Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan, 1994.

Saliman Abdul R et al., Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori & Contoh Kasus, Cet. Ke-2, Jakarta: Kencana, 2007.

Simatupang Richard Burton, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996.

Sirait, Ningrum Natasya, Perjanjian Kartel dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; dalam Litigasi Persaingan Usaha. Tangerang: PT. Telaga Ilmu

(23)

Siswanto Arie, Hukum Persaingan Usaha, cet. 1, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002.

Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. Ke-3, Jakarta UI-Press, 1986.

Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

JURNAL ILMIAH

Adam, William James., & Yellen, Janet L. (1976). Commodity Bundling and the Burden of Monopoly. Quarterly Journal of Economics, 90, 475-498. Agustino, Daniel. (2009). Faktor Penentu Dampak Aktivitas Antipersaingan dan

Pengecualian UU No. 5/1999 Pasal 50 Huruf G. Jurnal Persaingan Usaha, 1, 18-38.

Carlton, Dennis W., & Waldman, Michael. (2001) The Strategic use of Tying to Preserve and Create Market Power in Evolving Industries. RAND Journal

of Economics, 33, 194-220.

Defeo, Mark. (2008) Unlocking the Iphone: How Antitrust Law Can Save Consumers from the Inadequacies of Copyright Law. Boston College

Law Review, 49, 1036-1079.

Easterbrook, Frank H..(1984). The Limits of Antitrust. Texas Law Review, 63, 1-23.

Guiltinan, Joseph. (1987). The Price Bundling of Services: A Normative Framework. Journal of Marketing, 51 (April), 74-85.

Jacobson, Jonathan M. (2000). Did the Per Se Rule on Tying Survive ‘Microsoft?,

New York Law Journal, 1-6.

Martadisastra, Dedie S. (2009). Persaingan Usaha, UMKM dan Kemiskinan.

(24)

Nalebuff, Barry. (2001). Bundling, Tying and Portofolio Effects. DTI Economics

Paper, 1, 1-100.

Noersaid, Tadjuddin. (2010). Kebijakan Persaingan, Pertumbuhan Ekonomi dan Daya Saing. Jurnal Persaingan Usaha, 4, 105-118.

Nugroho, Ahmad Adi. (2010) Strategi Bundling/Tying Sebagai Upaya Abuse of Dominance; Studi Kasus Penerapan Strategi Tying/Bundling oleh Microsoft. Jurnal Persaingan Usaha, 3, 53-78.

Pasaribu, Benny. (2009). Kebijakan Industri Versus Kebijakan Persaingan. Jurnal

Persaingan Usaha, 2, 3-16.

Piraino, Thomas A. (1991). Reconciling the Per se and Rule of Reason Approaches to Antitrust Analysis. Southern California Law Review, 64, 1991, 685-740.

Soobert, Allan M. (1995) Antitrust Implications of Bundling Software and Support Services: Unfit to be Tied. Dayton Law Review, 63, 87-115.

Stremersch, Stefan., & Tellis, Gerard J. (2000). Strategic Bundling of Products and Prices: A New Synthesis for Marketing. Journal of Marketing, 66, 55-72.

Tirole, Jean. (2005). The Analysis of Tying Cases: A Primer. Competition Policy

International, 1, 1-25.

Toha, Kurnia. (2002). Implikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Terhadap hukum Acara Pidana. Jurnal Hukum Bisnis, 19, 19-25.

Whinston, Michael D. (1990). Tying, Foreclosure and Exclusion. The American

Economic Review, 80, 837-859.

INTERNET

27 Januari, iPhone 4S Resmi Masuk Indonesia,

http://tekno.kompas.com/read/2012/01/20/09133826/27.Januari..iPhone.4S .Resmi.Masuk.Indonesia, diunduh 22 Desember 2012.

(25)

Facts and Statistics on Apple, http://www.statista.com/topics/847/apple/, diunduh 22 Desember 2012.

Indosat-Apple Hadirkan Paket Lengkap iPhone 4S,

http://www.indosat.com/Public_Relations/Press_Release_Photo_Gallery/I ndosat_Apple_Hadirkan_Paket_Lengkap_iPhone_4S, diunduh 22

Desember 2012.

iPhone Factory Unlock dan Software Unlock,

http://seputariphone.com/2011/06/01/iphone-factory-unlock-dan-software-unlock-2/, diunduh 22 Desember 2012

Persaingan, http://www.telkom.co.id/UHI/UHI2011/ID/0603_persaingan.html, diunduh 23 Desember 2012.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU No. 5 Tahun 1999. LN No. 33 Tahun 1999. TLN No. 3817.

Gambar

Tabel 5. Data market share OS Tahun 2000- 2004

Referensi

Dokumen terkait

Kalau metode  NPV dan  IRR   digunakan untuk menilai suatu usulan investasi yang sama, maka hasilnya umumnya akan sama, dalam arti bila  NPV   menyatakan usulan diterima

Jika pada pembelajaran konvensional tidak muncul, maka dengan pembelajaran menggunakan metode demonstrasi dapat muncul meningkatkan persentase aktivitas belajar

membandingkan langsung, perkiraan atau tebak-tebakan, dan.. praktek mengukur dan menimbang. Dalam penilaian ini terdapat tiga pertanyaan. Skor yang diberikan : 1)Skor 1, bila

Dari hasil pengujian CBR rendaman atau tanpa rendaman, tanah yang distabilisasi dengan bahan stabilisasi TX-300 pada kadar optimum dapat digunakan sebagai tanah dasar pada

Febby Rizqie Anhary: Hubungan Hukum Perseroan Terbatas Dengan Pasar Modal (Suatu Tinjauan Juridis), 2002... Febby Rizqie Anhary: Hubungan Hukum Perseroan Terbatas Dengan Pasar

PERUSAHAAN, UKURAN DEWAN KOMISARIS, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, LEVERAGE, DAN PROFITABILITAS TERHADAP PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PADA PERUSAHAAN

Given the evolving outlook for the global economy and export prospects for manufac- tured goods, the rather optimistic forecast of 6.2 percent growth for 2009 made at the end of

Reference Group atau Kelompok Acuan berpengaruh terhadap Perpindahan Merek ( Brand Switching) sesuai hasil penelitian Mantasari (2013).Hal ini didukung dengan