• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Budidaya Karet 2.2 Karbondioksida

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Budidaya Karet 2.2 Karbondioksida"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Budidaya Karet

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan jenis tanaman yang berasal

dari Brasil. Tanaman ini merupakan sumber utama bahan karet alam dunia. Sebagai penghasil lateks, tanaman karet merupakan satu-satunya tanaman yang dikebunkan secara besar-besaran dibandingkan tanaman lain yang juga menghasilkan getah. Tanaman karet merupakan tanaman yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi tanaman karet dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman ini bisanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi dan di atas. Daun karet berwarna hijau pada masa pertumbuhan, namun berubah menjadi kuning kemerahan jika akan rontok. Biasanya tanaman karet mempunyai jadwal kerontokan daun pada setiap musim kemarau.

Sistem budidaya karet umumnya dilakukan dengan pola monokultur dan sistem agroforestry. Sistem monokultur adalah budidaya karet yang dilakukan dengan menggunakan satu jenis tanaman dalam suatu luasan tertentu. Sedangkan system agroforestry adalah budidaya karet dengan menggunakan tanaman lain diantara tanaman pokok, yang dapat berupa padi, palawija, sayuran dan bahkan tahunan. Sistem ini dianggap sebagai sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial, ekonomi dan ekologi dengan bentuk pemanfaatan lahan secara optimal pada suatu tapak di dalam dan atau di luar kawasan yang mengusahakan produksi biologi berdaur pendek dan berdaur panjang (komoditi kehutanan dan pertanian) berdasarkan kelestarian dan untuk kesejahteraan masyarakat, baik diusahakan secara serentak, maupun berurutan (rotasi) sehingga membentuk tajuk berlapis-lapis (Lal, 1995).

2.2 Karbondioksida

Karbondioksida (CO2) terdapat pada atmosfer bumi dalam kepekatan 0,03% (Cornnell dan Miller, 1995). Walaupun CO2 mempunyai kepekatan yang rendah tetapi CO2 memerankan peran yang penting dalam iklim bumi. Radiasi sinar matahari yang masuk mengandung panjang gelombang yang berbeda-beda

(2)

tetapi pada saat masuk ke permukaan bumi sebagian besar energi diubah menjadi radiasi infra merah. Karbondioksida merupakan penyerap infra merah yang sangat kuat dan sifat ini membantu mencegah radiasi infra merah meninggalkan bumi, dengan begitu karbondioksida dapat mengatur suhu permukaan bumi.

Menurut Fardiaz (1992) pengaruh rumah kaca terbentuk dari interaksi antara CO2 atmosfer yang jumlahnya meningkat dengan radiasi sinar matahari. Kira-kira sepertiga dari sinar yang mencapai permukaan bumi akan di refleksikan kembali ke atmosfer. Sebagian besar sisanya akan diabsorpsi oleh benda-benda seperti batu karang dan benda lainnya. Sinar yang di absorbsi tersebut akan diradiasi kembali dalam bentuk radiasi infra merah dengan panjang gelombang lebih panjang dari sinar tampak yang dapat dirasakan sebagai panas jika bumi menjadi dingin.

2.3 Sumber dan Siklus Karbon

Pada dasarnya karbon bersumber dari kegiatan antropogenik dan alami. Sumber utama karbondioksida (CO2) adalah bahan organik yang terjadi akibat tindakan mikroorganisme, penebangan hutan, respirasi oleh hewan, tumbuhan dan manusia serta pembakaran bahan api. Kegiatan antropogenik seperti industri, penggunaan bahan bakar fosil, dan transformasi lahan diantaranya penebangan, pembukaan lahan dan kebakaran hutan secara besar-besaran merupakan sumber emisi karbon maupun gas-gas rumah kaca lainnya (Soedomo, 2001).

Pengurangan konsentrasi karbon di atmosfer dapat terjadi melalui proses fotosintesis oleh tanaman atau tumbuhan hijau daun. Fotosintesis didefinisikan sebagai proses pembentukan gula dari dua bahan sederhana yaitu CO2 dan air (H2O) dengan bantuan klorofil dan cahaya matahari sebagai sumber energi. Fotosintesis merupakan asimilasi zat karbon, dimana zat-zat organik CO2 dan H2O diubah menjadi molekul C6H12O6 dengan bantuan energi cahaya matahari dan klorofil (Gardner et al. 1991). Pada areal konversi yang mengalami degradasi

lahan pengurangan emisi karbon dapat dilakukan dengan penanaman kembali (perkebunan, agroforestri, reforestrasi dan aforestrasi) sehingga emisi karbon tanah yang meningkat dapat ditangkap kembali melalui proses fotosintesis (Brown et al. 1993)

(3)

Jumlah CO2 yang berada di atmosfir, sebagian besar diserap oleh permukaan laut dan disimpan dalam bentuk karbonat, sisanya diserap oleh tanah dan tumbuhan. Namun kenyataannya, di areal pertanian CO2 yang diserap oleh tanaman tidak seimbang dengan CO2 yang dilepaskan oleh tanah akibat deforestasi dan alih fungsi lahan. Kondisi ini terjadi sebagai akibat terjadinya oksidasi humus yang relatif cepat yang akhirnya akan melepaskan CO2 kembali ke atmosfir. Dalam sistem tanaman, makin banyak biomassa hijau, makin banyak fotosintesis dan makin banyak CO2 atmosfir dirubah atau dikonversi menjadi glukosa (C6H12O6). Fotosintesis didefinisikan sebagai proses pembentukan gula dari dua bahan baku sederhana yaitu karbon dioksida dan air dengan bantuan klorofil dan cahaya matahari sebagai sumber energi (Gardner et al. 1991).

Persamaan sederhana dari proses fotosintesis adalah sebagai berikut :

Cahaya

6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6O2 klorofil

Proses fotosintesis terdiri atas tiga tahapan yaitu (1) Absorbsi cahaya dan retensi energy cahaya, (2) konversi energi cahaya ke potensi kimia dan (3) stabilisasi dan penyimpanan potensi kimia. Proses ini diawali dengan penyerapan cahaya oleh molekul klorofil di dalam tanaman, molekul tereksitasi menjadi energi dan elektron yang ditingkatkan untuk level energi yang lebih tinggi (Gardner et al. 1991).

2.4 Biomassa

Biomassa adalah jumlah total dari materi organik tanaman yang hidup di atas tanah yang diekspresikan sebagai berat kering tanaman per unit areal (Brown, 1993). Biomassa dapat digunakan dalam dasar perhitungan bagi kegiatan pengelolaan dan pembinaan hutan. Hal ini diakibatkan oleh adanya anggapan bahwa hutan merupakan sink dari karbon. Jumlah stok biomassa tergantung pada

terganggunya atau tidaknya permudaan alam dan peruntukan hutan (IPPC, 1995). Brown dan Gaton (1996), menambahkan bahwa biomassa hutan dapat memberikan dugaan sumber karbon pada vegetasi hutan, sebab 50% dari

(4)

biomassa adalah karbon. Biomassa dapat dapat diukur dari biomassa di atas permukaan tanah (Above Ground) dan di bawah permukaan tanah (Below Ground). Biomassa atau bahan organik merupakan suatu bagian yang dapat

dipergunakan sebagai sumber energi untuk kegiatan fotosintesis. Biomassa disusun terutama oleh senyawa karbohidrat yang terdiri dari elemen karbon, hydrogen, dan oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman (White and Plaskett, 1981).Jumlah total biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju peningkatan biomassa disebut produktifitas primer bruto. Hal ini tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu dan ciri-ciri jenis tumbuhan masing-masing. Sisa dari hasil respirasi yang dilakukan disebut produksi primer bersih. Lebih lanjut disebutkan bahwa jumlah biomassa di dalam hutan adalah hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses penebangan (Whitten et al., 1984)

Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan stuktur tegakan (Lugo dan Snedaker 1974, dalam Kusmana, 1993). Faktor iklim, seperti curah hujan dan suhu merupakan faktor yang mempengaruhi laju peningkatan biomassa tanaman (Kusmana, 1993). Suhu tersebut berdampak bagi proses biologi dalam pengambilan karbon oleh tanaman dan penggunaan karbon dalam aktivitas decomposer (Mudiyarso et al.

1999). Sato dan Madgwiick (1982) juga menyebutkan bahwa suhu dan curah hujan merupakn faktor-faktor iklim yang berpengaruh dangat penting terhadap biomassa, parameter umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan serta kualitas tempat tumbuh juga mempengaruhi besarnya biomassa.

Makin tinggi suhu udara akan menyebabkan kelembaban udara relatif semakin berkurang. Kelembaban udara relatif bisa mempengaruhi laju fotosintesis. Hal ini disebabkan udara yang relatif tinggi akan memiliki tekanan udara uap air parsial yang lebih tinggi dibanding dengan tekanan udara parsial CO2 akan memudahkan uap air berfusi melalui stomata. Akibat selanjutnya adalah laju fotosintesis akan menurun (Loveless, 1987). Lebih lanjut dijelaskan bahwa semakin tua tanaman jumlah daunnya akan semakin banyak sehingga

(5)

proses fotosintesis akan lebih besar atau dengan kata lain penyerapan CO2 oleh daun dari udara akan semakin besar.

Biomassa merupakan berat bahan organik suatu organisma per satuan unit area pada suatu saat, berat bahan organik umumnya dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight), atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu

(Chapman, 1976). Berat kering total hasil panen tanaman budidaya terjadi akibat penimbunan hasil asimilasi bersih CO2 sepanjang musim pertumbuhannya. Walaupun konsentrasi CO2 di atmosfer kecil (0,03%) tetapi 85-92% berat kering tanaman berasal dari pengambilan CO2 dalam fotosintesis (Gardner et al. 1991).

Biomassa disusun terutama oleh senyawa karbohidrat yang terdiri atas elemen karbon, hydrogen dan oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman. Biomassa dibedakan menjadi dua kategori yaitu biomassa di atas permukaan tanah dan biomassa di bawah permukaan tanah Cintron dan Novelli (1984) dalam Kusmana (1993)

Model biomassa mensimulasikan penyerapan karbon melalui proses fotosintesis dan penghilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih disimpan dalam organ tumbuhan. Fungsi dan model biomassa dipresentasikan melalui persamaan dengan tinggi dan diameter tanaman (Boer and Ginting, 1996, Johnsen et al., 2001). Model penduga kandungan karbon dapat diduga melalui

persamaan regresi Allometrik dari biomassa tanaman yang didasarkan pada fungsi dari diameter tanaman (Johnsen, 2001). Beberapa penelitian yang menduga kandungan karbon melalui persamaan regresi Allometrik telah ditentukan, antara lain adalah Hilmi (2002) yang telah membangun model karbon, dimana kandungan karbon tanaman merupakan fungsi dari diameter dan atau tinggi tanaman, dan fungsi dari biomassa tanaman dengan menggunakan persamaan regresi allometrik. Demikian juga seperti yang dilakukan Onrizal (2004), menduga kandungan karbon dan fungsi biomassa tanaman pada hutan kerangas dengan menggunakan peubah diameter dan atau tinggi tanaman.

2.5 Model Penduga Biomassa dan Kandungan Karbon Hutan

Model adalah rangkuman atau penyederhanaan dari suatu sistem (Hall and Day, 1976), sehingga hanya faktor-faktor dominan atau komponen yang relevan

(6)

saja dari masalah yang dianalisis yang diikutsertakan yang menunjukkan hubungan langsung dan tidak langsung dalam pengertian sebab akibat (Jorgensen, 1988, Gran et al, 1997). Sedangkan permodelan adalah pengembangan analisis

ilmiah dengan beberapa cara, yang berarti bahwa dalam memodelkan suatu ekosistem akan lebih mudah dibandingkan dengan ekosistem sebenarnya (Hall & day, 1976). Sementara itu, sistem adalah suatu kumpulan dari bagian-bagian (komponen) yang berinteraksi menurut proses tertentu (Gazperz, 1992, Odum, 1992).

Produksi biomassa merupakan model proses yang ditetapkan secara khusus melalui keseimbangan antara karbon yang diambil melalui proses fotosintesis dan proses kehilangan karbon melalui respirasi. Karbon yang merupakan produk dari produksi biomassa yang dibentuk dikurangi dengan total yang hilang melalui jaringan akar halus, daun, dan cabang, serta karena penyakit, sisanya tergabung dalam struktur dan tersimpan di dalam tanaman. Penyerapan air dan elemen penting lainnya akan berpengaruh terhadap keseimbangan karbon dan pengalokasian karbon (Raymond et al, 1983, Johnsen et al, 2001b)

Model biomassa mensimulasikan penyerapan karbon melalui proses fotosintesis dan penghilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih disimpan dalam organ tumbuhan. Fungsi dan model biomassa dipresentasikan melalui persamaan dengan tinggi dan diameter tanaman (Boer & Ginting, 1996, Kusmana, 1993, 1997, Johnsen et al, 2001b).

2.6 Bahan Organik Tanah (BOT)

BOT umumnya ditemukan di permukaan tanah dan jumlahnya sekitar 3-5% saja (Hardjowigeno, 2003). Akan tetapi peranannya dalam tanah sangat besar baik secara langsung maupun tidak langsung, hal ini erat kaitannya dengan fungsi BOT terhadap sifat fisik, kimia dan sifat biologi tanah.

Reijntjes et al. (1992) mengemukakan bahwa fungsi BOT diantaranya

sebagai penyimpan unsur hara yang secara perlahan akan dilepaskan ke dalam larutan air tanah dan disediakan untuk tanaman bahan organik baik di dalam maupun di atas tanah dan juga melindungi dan membantu mengatur suhu dan

(7)

kelembaban tanah. BOT juga dapat meningkatkan daya sangga tanah (Kasno et al,

2003).

2.7 Diameter Tanaman

Diameter merupakan salah satu parameter tanaman yang mempunyai arti penting dalam pengumpulan data tentang potensi hutan untuk keperluan pengelolaan. Mengukur diameter berarti mengukur panjang garis antara dua titik pada sebuah lingkaran melelui titik pusat lingkaran. Karena keterbatasan alat, seringkali pengukuran diameter dilakukan melalui pengukuran keliling (K), yang kemudian dikonversi ke diameter (D), dengan menggunakan rumus yang berlaku untuk lingkaran, yaitu D=K/π. Diameter setinggi dada merupakan ukuran yang lazim dalam menentukan diameter tanaman berdiri. Selain pengukurannya paling mudah, diameter setinggi dada juga mempunyai korelasi yang kuat dengan parameter tanaman lainnya seperti luas bidang dasar (LBDS) dan volume batang. Di Indonesia diameter setinggi dada diukur pada ketinggian batang 1,30 meter dari permukaan tanah (Departemen Kehutanan, 1992) dalam Robi Budiman (2000).

2.8 Clean Development Mechanism (CDM)

CDM merupakan salah satu mekanisme yang memungkinkan negara-negara maju untuk mengimplementasikan proyek yang bisa menurunkan atau menyerap emisi di negara berkembang, dimana kredit penurunan emisi yang dihasilkan nantinya dimiliki oleh negara maju tersebut. Selain tujuan membantu negara maju dalam memenuhi target penurunan emisi, mekanisme CDM ini juga bertujuan untuk membantu negara berkembang dalam mendukung pembangunan berkelajutan.

CDM diharapkan dapat mendorong munculnya proyek-proyek ramah lingkungan yang terbukti dapat menurunkan emisi Gerakan Rumah Kaca (GRK) di negara berkembang. Namun untuk dapat turut mengembangkan proyek CDM, negara yang bersangkutan, baik negara maju ataupun negara berkembang, harus lebih dahulu meratifikasi Protokol Kyoto. Hingga saat ini Indonesia, difasilitasi

(8)

oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan departemen Luar Negeri sedang berupaya agar Protokol Kyoto dapat segera diratifikasi.

2.9 Protokol Kyoto dan Mekanisme Perdagangan Karbon

Dampak perubahan iklim secara perlahan mulai mempengaruhi kehidupan di berbagai belahan dunia. Berbagai upaya dilakukan untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer. Kesepakatan berbagai negara maju untuk mengurangi emisi kemudian diwujudkan dengan Protokol Kyoto. Protokol ini merupakan dasar bagi Negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kasa gabungan mereka, paling sedikit 5 % dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008 sampai 2012. Di dalam protokol tersebut juga di atur mengenai mekanisme kerjasama antar negara maju dan negara berkembang dalam pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan bersih . CDM dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Negara berkembang yang tidak wajib mereduksi emisi agar berperan dalam pengurangan GRK (Murdiyarso, 2003).

Melalui Protokol Kyoto Negara-negara dapat menyatukan gudang penyimpanan karbon yang berkembang seiring dengan afforestration dan

reforestation semenjak tahun 1990 menuju target pengurangan emisi.

Perdagangan emisi memiliki potensial untuk menjadi sarana yang paling efektif biayanya untuk mengurangi emisi GRK dan protokol menyediakan untuk pertukaran emisi antara Negara-negara Annex B untuk mencapai target-target mereka. Berdasarkan hal tersebut, maka penyimpanan karbon di hutan harus dapat diperdagangkan dalam sebuah system pertukatran emisi-emisi. Jual beli itu dalam bentuk sertifikat, yaitu jumlah emisi para pelaku perdagangan akan diverifikasi oleh sebuah badan internasional atau badan lain yang diakreditasi oleh badan tersebut. Reduksi Emisi Bersertifikat (RES) atau Certified Emission Reduction

(CER) inilah yang diperjualbelikan dalam sebuah pasar internasional, RES itu dinyatakan dalam ton karbon yang direduksi. Sekarang perdagangan ini sudah berjalan melalui implementasi patungan (Joint Implementation). Hampir semua

Negara di Amerika Latin yang berhutan sudah mennerapkan niaga karbon seperti Brazil, Costarica, Guetemala, Argentina, dan Meksiko. Sedangkan untuk

(9)

perdagangan dengan negara berkembang dalam Protokol Kyoto ada mekanisme khusus yang disebut Clean Development Mechanism (Soemarwoto, 2001).

CDM merupakan suatu mekanisme yang memungkinkan Negara maju melaksanakan kegiatan investasi pengurangan emisi GRK di Negara berkembang dan membuka peluang bagi Negara berkembang untuk memaksimumkan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dari pelaksanaan kegiatan investasi tersebut. Menurut Protokol Kyoto kegaiatan yang diperbolehkan untuk kegiatan CDM hanya yang masuk kategori afforestrasi dan reforestrasi. Menurut Protokol Kyoto, afforestrasi adalah konversi lahan bukan hutan menjadi hutan dimana lahan tersebut sudah merupakan hutan sejak 50 tahun yang lalu, sedangkan reforestrasi adalah penghutanan kembali lahan yang sudah tidak merupakan hutan sebelum tahun 1990. Penegrtian lahan menurut Protokol Kyoto adalah areal yang luasnya minimal 0,05-1,0ha yang ditumbuhi tanaman dengan tingkat penutupan tajuk kurang dari 10%-30% dan tingginya secara potensial tidak kurang dari 2-5m. Sedangkan bagi Indonesia pengertian lahan adalah areal yang luasnya kurang dari 0,25ha yang ditumbuhi tanaman dengan tingkat penutupan tajuk kurang dari 30% dan tinginya secara potensial kurang dari 5m.

Toman dan Cazorla (2001) menerangkan bahwa Protokol Kyoto secara resmi menyatakan keterlibatannya pada Negara-negara industry guna mengurangi emisi gas rumah kaca yang banyak sampai 5% dibandingkan dengan tingkat pada tahun 2008-2012. Untuk mencapai sasaran ini dengan biaya serendah mungkin bagi negara-negara yang punya komitmen pada reduksi itu, protokol menciptakan dua mekanisme, penjualan emisi gas rumah kaca dan CDM. CDM merupakan mekanisme penurunan emisi pengganti bagi Joint Implementation. Peran CDM bukan hanya dalam mitigasi GRK, seperti yang tertera dalam Artikel 12 dari Protokol Kyoto, tujuan CDM adalah:

1. Membantu Negara berkembang yang tidak termasuk dalam Negara Annex I untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan serta menyumbnag pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dunia pada tingkat yang tidak mengganggu sistem iklim global.

(10)

2. Membantu Negara-negara Annex I atau negara maju dalam memenuhi target penurunan jumlah emisi negaranya.

Mekanisme CDM memungkinkan Negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK secara lebih murah dibandingkan dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri (domestic action). Oleh karenanya, CDM beserta dengan dua mekanisme

lainnya dikenal sebagai mekanisme fleksibilitas (flexibility mechanisms). Dalam

pelaksanaan CDM, komoditi yang diperjualbelikan adalah reduksi emisi GRK tersertifikasi yang biasa dikenal dengan CER (Certified Emission Reduction).

CER ini diperhitungkan sebagai upaya Negara Annex I dalam memititigasi emisi GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai penurunan emisi yang dilakukan secara domestic dan karenanya dapat diperhitungkan dalam pemenuhan target penurunan emisi GRK Negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto.

Neagara-negara berkembang berpotensi sumberdaya hutan yang besar seperti Indonesia sangat potensial di dalam perdagangan karbon ini. Hutan yang lestari akan bernilai jual tinggi dibandingkan dengan hutan yang beresiko terhadap kebakaran, berdasarkan kesepakatan dunia internasional, harga karbon bervariasi antara US$0,4-28/ton karbon/ha. Untuk beberapa tingkat luasan, pasar kredit karbon telah ada di USA dan beberapa proyek kehutanan yang didesain untuk mengurangi emisi karbon telah berjalan. Sebagai contoh, sebuah kelompok peralatan elektik telah mendirikan Utilithtree Carbon Company yang telah

berinisiatif terlibat dalam proyek mengurangi karbon di beberapa tempat (Hoover

et al. 2000).

Dalam sektor kehutanan, kegiatan yang diizinkan untuk di ajukan dalam proyek CDM adalah kegiatan aforestasi dan reforestasi, merupakan pencegahan terhadap deforestasi tidak dapat diajukan dalam skema CMD. CDM Kehuatanan bukan dimaksudkan untuk menurunkan emisi pada sumbernya tetapi untuk menyerap GRK dari atmosfer. Hingga saat ini, CDM Kehutanan dibatasi hanya digunakan dalam Periode Komitmen I (2008 sampai 2012).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Ayu Sari dan Rina Harimurti dengan judul Sistem Pakar untuk Menganalisis Tingkat Stres Belajar pada Siswa

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis akan meneliti pengaruh dari penerapan PSAK 24 khususnya mengenai imbalan pascakerja terhadap risiko perusahaan dan

Namun pada neonatus dengan gejala klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan mikrobiologis darah v.umbilikalis)

Sistematika dokumen Renja Kecamatan Semanding Tahun 2021 sebagaimana mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara

Sebuah papan permainan yang dimulai dari petak start dan dilengkapi dengan petak-petak materi, petak masuk rumah sakit, parkir bebas, dana umum dan juga

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP)

Antagonis reseptor muskarinik menyekat efek asetilkolin dengan memblok ikatan ACh dan reseptor kolinergik muskarinik pada neuroefektor yang terdapat pada otot

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena