• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Religiositas Intrinsik dengan motivasi kerja karyawan PT. Nasmoco Bantul Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan antara Religiositas Intrinsik dengan motivasi kerja karyawan PT. Nasmoco Bantul Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA RELIGIOSITAS INTRINSIK DENGAN

MOTIVASI KERJA KARYAWAN PT. NASMOCO BANTUL

YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Gabriella Lelita

NIM: 099114137

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Our greatest glory is not in never falling, but in rising every time we fall.

(Oliver Goldsmith)

Hal terbesar di dunia ini tidak tergantung pada keberadaan kita, Melainkan ke arah mana kita bergerak.

(Oliver Wendell Holmes)

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”

(Matius 6:33)

“Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah”

(Lukas 18:27)

“Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.

Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu”.

(Amsal 3:5-6)

“Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan,

yang menaruh harapannya kepada Tuhan. Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air,

dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak khawatir dalam tahun kering,

dan yang tidak berhenti menghasilkan buah”.

(Yeremia 17:7-8)

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.

Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah

dari awal sampai akhir.”

(5)

v

Dedicated to

Jesus Christ

Holy Mary

My beloved mommy

(6)
(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA RELIGIOSITAS INTRINSIK DENGAN MOTIVASI KERJA PADA KARYAWAN PT. NASMOCO BANTUL

YOGYAKARTA

Gabriella Lelita

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiositas intrinsik dengan motivasi kerja. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara religiositas intrinsik dengan motivasi kerja karyawan. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional. Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling, yaitu karyawan tetap PT. Nasmoco Bantul Yogyakarta. Sampel uji coba berjumlah 50 karyawan dan subjek penelitian berjumlah 100 karyawan. Metode pengumpulan data menggunakan data primer, yaitu melalui 2 jenis skala summated ratings, yaitu skala religiositas intrinsik dengan reliabilitas sebesar 0,833 dan skala motivasi kerja dengan reliabilitas sebesar 0,893. Analisis data penelitian menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson yang menghasilkan ada hubungan positif dan signifikan antara variabel religiositas intrinsik dengan motivasi kerja karyawan dengan koefisien korelasi r = 0,306 pada taraf signifikansi 1%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi religiositas intrinsik karyawan, maka semakin tinggi motivasi kerja yang dialami karyawan. Sebaliknya, semakin rendah religiositas intrinsik karyawan, maka semakin rendah motivasi kerja yang dialami karyawan di PT. Nasmoco Bantul Yogyakarta.

(8)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN INTRINSIC RELIGIOSITY AND WORK MOTIVATION ON EMPLOYEES OF PT. NASMOCO BANTUL

YOGYAKARTA

Gabriella Lelita ABSTRACT

This research aims to find out the relationship between intrinsic religiosity and work motivation. The proposed hypothesis is a positive relationship between intrinsic religiosity and employee work motivation. This is a correlational research. The technique of samples collecting is the purposive sampling, with permanent employees of Nasmoco Bantul Yogyakarta Company. The samples for try out totaling 50 employees and the research subjects totaling 100 employees. Methods of data collection using primary data, through 2 types summated scale ratings, namelyi ntrinsic religiosity scale with a reliability is 0.833 and work motivation scale with a reliability is 0.893. Analysis of research data using product moment correlation technique from Pearson which produces there is a positive correlation and significant between intrinsic religiosity and work motivatio nwith a correlation coefficient is r = 0.306 at 1% significance level. This means that the higher thei ntrinsic religiosity of employees is, the higher the motivation happens to the employees. On the contrary, the lower the intrinsic religiosity of employees is, the lower the motivation happens to the employees at Nasmoco Bantul Yogyakarta Company.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya hingga akhirnya skripsi

dengan judul “Hubungan Antara Religiositas Intrinsik dengan Motivasi Kerja

pada Karyawan PT. Nasmoco Bantul Yogyakarta” dapat terselesaikan dengan

baik.Thanks for grant my wish.

Penulis menyadari bahwa karya ini tidak akan terwujud tanpa bantuan, bimbingan, dukungan, dan dorongan dari pihak-pihak terkait yang terlibat dalam penyelesaian skripsi. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi selaku selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing Akademik atas bimbingan dan arahan kepada penulis selama kuliah

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Dr.T.Priyo Widiyanto,M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang penuh kesabaran dalam membimbing, mengarahkan, dan mendukung penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi selaku dosen penguji. 5. Bapak Heri Widodo, M.Psi selaku dosen penguji.

(11)

xi

7. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Mas Gandung, Mas Muji, dan Bu Nanik atas bantuan dan kerjasamanya demi kelancaran perkuliahan penulis, maaf kalau sering ngerepotin.

8. Mama yang selalu mengarahkan, mengingatkan, mendukung, menyemangati, dan mendorongku untuk menjadi yang lebih baik, love you mom.

9. Daddy Ferry atas bantuan dan dukungannya yang sangat tidak ternilai selama 3 tahun ini.God bless you.

10. Daddy Eston yang selalu membantu, mengarahkan, mengingatkan, memarahi, dan mendukung. Tanpa daddy, penulis tidak bisa menjadi orang seperti sekarang. I am really proud of you.God bless you.

11. Daddy Henry terima kasih atas bantuan dan waktunya selama ini. Maaf sudah merepotkan. God bless you.

12. Daddy Hari yang sudah membantu dan mendukung penulis selama ini. Thank you for always provide delicious food every once a week.

13. Teman-teman Cawan Getsemani atas dukungan, dorongan, dan semangatnya. You are really awesome guys. Fighting! May God bless you all.

14. Teman-teman seperjuangan skripsi, tanpa kalian skalaku tidak akan terwujud. Ayo semangat!

15. Keluarga besarku yang sudah membantu dan mendukungku selama 4 tahun ini. For my granny yang sudah memberiku tempat berteduh dan juga pakdeku

yang sudah meminjamiku si „pitung‟. Thanks for all my family, actually we

couldn’t be together in one house for long time anymore, miss you all my

(12)

xii

16. All of my friends in psychology and my close friends. Semoga ini bukan terakhir kalinya kita bertemu lagi.

(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT...viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………... ix

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah…... 8

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

(14)

xiv

2. Manfaat Praktis……… 9

BAB II LANDASAN TEORI... 10

A. Motivasi Kerja Karyawan... 10

1. Motivasi... 10

2. Kerja... 13

3. Motivasi kerja... 14

a. Pengertian Motivasi Kerja... 14

b. Teori Motivasi Kerja Frederick Herzberg... 21

4. Karyawan... 29

B. Religiositas ... 30

1. Pengertian Religiositas... 30

2. Orientasi-orientasi Religiositas ... 33

3. Aspek-aspek Sentimen Religiositas yang Matang (Intrinsik)... 35

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiositas ... 37

5. Manfaat Perilaku Religiositas... 39

C. Dinamika Hubungan antara Religusitas dengan Motivasi Kerja... 41

D. Kerangka Berpikir... 45

E. Hipotesis... 45

BAB III METODE PENELITIAN... 46

A. Jenis Penelitian... 46

B. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian... 46

1. Variabel Terikat (dependent) Motivasi Kerja Karyawan…...….. 47

(15)

xv

C. Definisi Operasional...49

1. Motivasi Kerja Karyawan……… 49

2. Religiositas Intrinsik……… 50

D. Lokasi Penelitian... 50

E. Populasi dan Sampel... 50

1. Populasi... 50

2. Sampel... 51

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data... 51

1. Skala Motivasi Kerja……… 52

2. Skala Religiositas Intrinsik……….. 55

G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian... 57

1. Validitas... 57

2. Reliabilitas... 59

H. Uji Coba Alat Penelitian... 60

1. Pelaksanaan Uji Coba Alat Penelitian...60

2. Hasil Uji Coba Penelitian... 60

a. Seleksi Item Skala Motivasi Kerja... 60

b. Reliabilitas Skala Motivasi Kerja...62

c. Seleksi Item Skala Religiositas Intrinsik... 63

d. Reliabilitas Skala Religiositas Intrinsik... 64

I. Metode Analisis Data... 64

1. Uji Asumsi... 64

(16)

xvi

b. Uji Linearitas... 65

2. Uji Hipotesis... 65

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 66

A. Persiapan Penelitian... 66

B. Pelaksanaan Penelitian... 66

C. Gambaran Umum Perusahaan... 67

D. Deskripsi Subjek Penelitian... 68

E. Hasil Penelitian... 69

1. Uji Asumsi... 70

a. Hasil Uji Normalitas... 71

b. Hasil Uji Linearitas... 72

2. Uji Hipotesis... 73

3. Bagi Peneliti Selanjutnya………. 82

DAFTAR PUSTAKA...83

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Empat Teori Isi dari Motivasi(Wijono, 2010)... 19

Tabel 3.1 Blue Print Skala Motivasi Kerja ………... 54

Tabel 3.2 Sistem Skoring... 55

Tabel 3.3 Blue Print Skala Religiositas Intrinsik ………... 56

Tabel 3.4 Sistem Skoring... 57

Tabel 3.5 Hasil Uji Korelasi Item-Total Variabel Motivasi Kerja... 61

Tabel 3.6 Tabel Spesifikasi Item Skala Final Motivasi Kerja... 62

Tabel 3.7 Hasil Uji Korelasi Item-Total Variabel Religiositas Intrinsik... 63

Tabel 3.8 Tabel Spesifikasi Item Skala Final Religiositas Intrinsik... 64

Tabel 4.1 Data Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 68

Tabel 4.2 Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin... 69

Tabel 4.3 Data Subjek Berdasarkan Usia... 69

Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas... 70

Tabel 4.5 Hasil Uji Linearitas... 73

Tabel 4.6 Hasil Uji Hipotesis... 74

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sebuah Model Umum Tentang Proses Motivasi

(Winardi, 2011)………. 11

Gambar 2.2 Faktor-Faktor Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja Seperti yang Dilaporkan dalam 12 Investigasi (Herzberg, 1987)... 25

Gambar 2.3 Hubungan Hygiene-Motivator dengan Kepuasan Kerja

(Wijono, 2010)... 26

Gambar 3.1 Skema Hubungan Hygiene dan Motivator Dengan

Motivasi Kerja………. 47

Gambar 4.1 P-P Plot Motivasi Kerja………... 71

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A Skala Uji Coba Motivasi Kerja………... 89

LAMPIRAN B Skala Uji Coba Religiositas Intrinsik………... 96

LAMPIRAN C Data Hasil Uji Coba Skala Motivasi Kerja………... 100

LAMPIRAN D Data Hasil Uji Coba Skala Religiositas Intrinsik………... 103

LAMPIRAN E Validitas dan Reliabilitas Skala Motivasi Kerja………... 106

LAMPIRAN F Validitas dan Reliabilitas Skala Religiositas Intrinsik…... 109

LAMPIRAN G Skala Penelitian Motivasi Kerja………... 112

LAMPIRAN H Skala Penelitian Religiositas Intrinsik………... 118

LAMPIRAN I Data Hasil Penelitian Skala Motivasi Kerja………... 122

LAMPIRAN J Data Hasil Penelitian Skala Religiositas Intrinsik………... 127

LAMPIRAN K Hasil Uji Normalitas………... 132

LAMPIRAN L Hasil Uji Linearitas………... 134

LAMPIRAN M Hasil Uji Hipotesis………... 137

LAMPIRAN N Struktur Organisasi PT. Nasmoco Bantul Yogyakarta…... 139

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Persaingan industri dalam era global membuat setiap perusahaan berlomba-lomba mencapai keberhasilan dengan cara mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki baik dari segi modal, teknologi, maupun manusianya guna mendapatkan output atau hasil yang maksimal. Berbagai macam metode dan prosedur senantiasa dilakukan dalam upaya mempercepat tercapainya sasaran atau target yang diinginkan termasuk dalam perbaikan sistem, alat-alat produksi, dan teknologi yang kini serba canggih. Namun, jika dilihat kembali pada tujuan awal, kualitas sumber daya manusia dalam hal ini tetap menjadi prioritas utama dalam kemajuan suatu perusahaan. Alat dan teknologi hanya menjadi sarana penggerak guna memperlancar kinerja organisasi (Enns, 2009).

Salah satu faktor penentu keberhasilan suatu perusahaan adalah produktivitas kerja karyawan (Koesmono, 2005). Tinggi rendahnya produktivitas kerja karyawan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari lingkungan eksternal maupun internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi adalah tingkat penghasilan, jaminan sosial, iklim kerja, teknologi, sarana produksi, dan manajemen perusahaan, sedangkan faktor internal adalah keterampilan, disiplin, sikap dan etika kerja, serta motivasi (Ravianto, 1985).

(21)

manajerial maupun nonmanajerial. Hal inidisebabkan motivasi lebih bersifat individual dan tidak dapat diamati secara langsung.Riggio (2007) juga menambahkan bahwa motivasi merupakan bahasan yang paling kompleks dan dinamis atau dapat berubah sesuai kondisi individu yang bersangkutan.

Produktivitas dapat meningkat jika motivasi kerja karyawan dapat terlebih dahulu ditingkatkan (Winardi, 2004).Seperti yang diungkapkan Robert (dalam Ravianto, 1985) produktivitas tergantung pada prestasi kerja sebanyak 90% dan 10% tergantung pada teknologi. Sedangkan prestasi kerja tersebut tergantung pada motivasi kerja sebanyak 80%-90% dan 10-20% tergantung pada kemampuan dari karyawan. Luthans (2005) dalam kerangka konsep stimulus-respon yang dibuatnya mengungkapkan bahwa terdapat hubungan kasual antara motivasi kerja dengan produktivitas atau prestasi kerja. Dalam hal ini motivasi dianggap sebagai elemen dalam individu yang dapat menghasilkan perilaku tertentu. Perilaku tertentu tersebut yang pada akhirnya menjadi penyebab munculnya produktivitas kerja. Walaupun demikian, Luthans menambahkan bahwa hubungan antara motivasi dengan produktivitas tidak konsisten karena motivasi dalam diri individu selalu bersifat dinamis.

(22)

1985) mendefinisikan motivasi sebagai sebuah kondisi mental yang dapat memberikan energi dalam beraktivitas untuk mencapai kebutuhan, kepuasan, dan keseimbangan. Winardi (2011) menyampaikan bahwa motivasi memiliki tiga peranan penting bagi individu atau karyawan. Pertama adalah menstimulasi karyawan agar memiliki keterlibatan secara lebih terhadap perusahaan. Peran penting yang kedua adalah membuat karyawan memiliki totalitas dalam melaksanakan pekerjaannya. Selain itu, motivasi penting untuk mendorong perilaku kreatif dan inovatif karyawan sebagai stimulus untuk mencapai prestasi dan kinerja karyawan menjadi lebih produktif.Bertolak dari pengertian motivasi di atas dapat dikatakan bahwa motivasi menjadi salah satu faktor penting dalam dunia kerja.

Menurut Ravianto (1985), motivasi kerja adalah besar kecilnya usaha seseorang dalam menyelesaikan pekerjaannya. Produktivitas yang dihasilkan akan rendah jika motivasi kerja yang dimiliki rendah, begitu pula sebaliknya produktivitas yang dicapai akan menjadi tinggi jika motivasi kerja seseorang juga tinggi. Robert (dalam Ravianto, 1985) menjelaskan bahwa motivasi kerja sendiri sebanyak 50% bergantung pada kondisi sosial, 40% tergantung pada kebutuhan pribadi, dan 10% tergantung pada kondisi fisik.

(23)

produktivitas dapat meningkat. Walaupun demikian, uang juga merupakan salah satu faktor penting dalam proses memotivasi karyawan. Individu termotivasi untuk melakukan sesuatu disebabkan adanya motif dan kebutuhan-kebutuhan tertentu yang sudah pasti berbeda satu sama lain (Jung, 1978). Motivasi individu di dalam dunia kerja lebih dikaitkan dengan kebutuhan akan insentif, keamanan, dan, well-being (Deci, et.al, 2001). Sedangkan menurut Iqbal (2012) berdasarkan review terhadap organisasi modern selama 12 tahun mengatakan bahwa motivasi lebih terkait pada komitmen karyawan pada perusahaan tempat dia bekerja. Iqbal menambahkan bahwa motivasi bekerja karyawan dalam organisasi modern tidak semata-mata hanya untuk memperoleh kompensasi, tetapi juga meningkatkan prestige dan self-esteem atau harga diri.

Menurut teori dua faktor dari Herzberg (dalam Riggio, 2007), uang bukanlah motivator bagi karyawan ataupun perusahaan melainkan termasuk dalam faktor hygiene. Faktor hygiene merupakan faktor periferal yang harus tersedia terlebih dahulu yang kemudian diikuti dengan faktor motivator yang bersifat maintenance atau memelihara. Tersedianya insentif atau kompensasi tidak akan membuat karyawan termotivasi lebih lama tanpa ada faktor lain sebagai faktor pemelihara. Menurut Herzberg (dalam Vroom dan Deci, 1970), faktor pemelihara atau motivator merupakan faktor intrinsikyang dapat memotivasi karyawan menuju ke arah produktivitas kerja yang lebih besar.

(24)

motivasiintrinsik.Motivasi instrinsik merupakan motivasi yang muncul dari dalam diri sendiri yang mana individu lebih bebas dalam menentukan apa yang ingin dilakukan tanpa adanya unsur paksaan (Ravianto, 1973). Salah satu faktor motivasi intrinsik yang juga memiliki andil dalam produktivitas yaitu agama beserta praktek religiositasnya (Ravianto, 1985).

Produktivitas erat kaitannya dengan pekerjaan, di mana salah satu fungsi dari bekerja adalah untuk memproduksi atau menghasilkan sesuatu (Kartono, 2002). Menurut Morgan (dalam Roundy, 2009), jika mencoba mengkaitkan pekerjaan dengan kehidupan beragama dapat dianalogikan seperti minyak dengan air sebab kedua hal tersebut merupakan domain yang berbeda. Namun, Morgan mengatakan bahwa faktanya di dalam organisasi modern saat ini jarak antara kehidupan beragama dengan pekerjaan menjadi sempit dan batas antara kehidupan beragama dengan pekerjaan semakin kabur.

(25)

persepsi kerja karyawan. Karyawan yang memiliki religiositas tinggi akan menunjukkan persepsi dan sikap kerja yang lebih baik.

Mangunwijaya (1982) membedakan antara istilah agama dengan religiositas. Agama lebih menekankan pada aspek formal dan yuridis mengenai aturan-aturan, hukum-hukum, dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemeluk agamanya. Sedangkan religiositas merupakan nilai-nilai dari aspek religi atau agama itu sendiri yang dihayati dan diimani dalam hati. Dengan demikian, religiositas memiliki arti yang lebih mendalam dan bersifat mengatasi jika dibandingkan dengan agama yang bersifat lebih resmi dan formal.

(26)

atau timbul dalam diri pribadi untuk melakukan hal-hal tertentu dan mampu menjalin hubungan yang lebih baik dengan lingkungan sosialnya.

PT. Nasmoco Bantul merupakan salah satu cabang Toyota yang baru berdiri satu tahun. Mayoritas karyawan yang ada berasal dari pindahan PT. Nasmoco cabang lain. Menurut informasi dari Body RepairInstructor PT. Nasmoco Bantul, terdapat beberapa kasus turnover pada karyawan bagian body repair. Hal ini menjadi keprihatinan sendiri, karena pada perusahaan

automobile karyawan terbanyak adalah pada bagian body repair. Dalam salah

satu riset yang diungkapkan Simmons (2005), ditemukan adanya asosisasi yang positif antara religiositas dengan komitmen kerja, yaitu semakin tinggi religiositas karyawan, maka semakin tinggi komitmen kerja yang dialami karyawan. Sebaliknya, semakin rendah religiositas karyawan, maka semakin rendah komitmen kerja karyawan. Menurut Roundy (2009), komitmen kerja berkorelasi negatif dengan turnover di mana semakin tinggi komitmen kerja karyawan, maka semakin rendah turnover yang dialami karyawan. Sedangkan, semakin rendah komitmen kerja karyawan, maka semakin tinggi turnover karyawan.

(27)

variabel religiositas dengan motivasi kerja karyawan di PT. Nasmoco Bantul Yogyakarta.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka peneliti tertarik untuk

meneliti: “Adakah hubungan antara religiositas dengan motivasi kerja

karyawan pada PT. Nasmoco Bantul Yogyakarta?”

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiositas dengan motivasi kerja pada karyawan PT. Nasmoco Bantul Yogyakarta.

D.Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemahaman dan wawasan mengenai keterkaitan religiositas intrinsik dengan motivasi kerja dalam bidang psikologi industri dan organisasi, sehingga dapat dijadikan tambahan literatur untuk penelitian relevan selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Perusahaan

(28)

mempraktekkannya dengan merancang intervensi yang baik dan tepat, sehingga menjadi bagian dalam budaya organisasi.

b. Bagi Karyawan

(29)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Motivasi Kerja Karyawan

1. Motivasi

Istilah motivasi berasal dari bahasa latin, yaitu „movere‟ yang berarti menggerakkan (Winardi, 2008). Gray (dalam Winardi, 2011) mendefiniskan motivasi sebagai hasil dari proses, baik proses dari dalam diri (instrinsik), maupun dari lingkungan (ekstrinsik) yang dapat menimbulkan atau memunculkan dorongan-dorongan antusiasme yang persisten untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang diinginkan.

Definisi lain menyebutkan bahwa motivasi adalah proses dasar psikologis yang memiliki unsur penting yang saling berkaitan, yaitu perilaku dan kognitif, Luthans (dalam Tella, 2007). Luthans menambahkan bahwa motivasi adalah proses yang memberi energi, membangkitkan, langsung, dan menopang perilaku serta performansi seseorang.

(30)

Dunnette dan Kirchner (dalam Wijono, 2010) menjelaskan bahwa terdapat empat komponen penting dalam motivasi. Komponen pertama adalah kebutuhan (need) yang mencakup keinginan, harapan, ekspektansi dari dalam diri individu. Komponen yang kedua adalah perilaku atau tindakan yang dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Komponen yang ketiga adalah tujuan-tujuan yang merupakan visi dan misi, arah, dan maksud dari kebutuhan serta tindakan yang dilakukan. Komponen yang terakhir adalah umpan balik atau feedback yang diperoleh dari lingkungan di sekitarnya atas tindakannya dalam mencapai kebutuhan-kebutuhan yang telah menjadi tujuan sejak awal. Dunnette menambahkan bahwa keempat komponen tersebut tidak dapat dipisahkan dan menjadi sebuah proses yang berkelanjutan.

Gambar 2.1 Sebuah Model Umum Tentang Proses Motivasi (Winardi, 2011)

Seperti yang tampak dalam gambar 2.1, dapat dijelaskan bahwa setiap individu sudah pasti memiliki berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi. Ketika hal-hal yang diinginkan tersebut tidak dapat dicapai

(31)

atau dipenuhi, maka terjadi kondisi ketidakseimbangan secara psikologis. Adanya ketidakseimbangan tersebut akan memicu perilaku individu yang diarahkan pada pemenuhan sebuah sasaran atau tujuan tertentu untuk mengembalikan kondisi keseimbangan internal. Ketika individu telah mencapai kondisi yang seimbang, maka individu akan merasa puas karena kebutuhannya dapat terpenuhi. Keseimbangan psikologis dalam diri individu bukan suatu kondisi yang konsisten melainkan kondisi dinamis yang mana akan menjadi tidak seimbang kembali ketika individu mengalami defisiensi kebutuhan (Winardi, 2011).

Pengertian dan proses motivasi sendiri merupakan sebuah bahasan yang sangat kompleks yang membawa ketertarikan pada sejumlah teoretisi. Para ahli menyebutkan bahwa proses motivasional lebih ditafsirkan sebagai proses yang diarahkan ke arah pencapaian sasaran tertentu yang merupakan hal yang paling esensial yang ketika tercapai akan menimbulkan penyusutan defisiensi-defisiensi kebutuhan dan menimbulkan kepuasan (Jung, 1978). Jung menjelaskan bahwa sasaran yang ingin dicapai terdiri dari motif-motif atau kebutuhan-kebutuhan tertentu yang menjadi penyebab munculnya perilaku termotivasi.

(32)

2. Kerja

Kesuksesan tidak akan mampu dicapai tanpa ada upaya tertentu karena keberhasilan bukanlah sesuatu yang dapat diperoleh secara instan. Upaya inilah yang disebut sebagai kerja yang dilandasi oleh dorongan atau motif untuk dapat memenuhi kebutuhan (Kartono, 2002).

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kerja didefinisikan sebagai sebuah kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk menghasilkan sesuatu. Psikoanalis Jerman, Erich Fromm (dalam Morin, 2204) mengatakan bahwa poin penting dari bekerja adalah cara dalam menyatakan eksistensi dan harga diri seseorang. Bekerja berarti mengerahkan seluruh usaha dan tenaga untuk membuat sesuatu, mencapai sesuatu, atau memproduksi sesuatu. Menurut Morin (2004), bekerja merupakan hal yang vital bagi kesejahteraan manusia. Morin menambahkan bahwa bekerja dapat memperkuat dan meningkatkan harga diri.

(33)

bekerja memberi dampak positif bagi pencapaian dan pengembangan karakter pribadi, serta berkontribusi pada hubungan atau relasi dengan orang lain.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Morin (2004), mengklasifikasikan maksud pekerjaan dalam tiga pendekatan, yaitu: 1. Signifikansi pekerjaan yang didefinisikan sebagai pentingnya arti

pekerjaan dalam kehidupan individu yang bersangkutan. Bagaimana individu menangkap nilai-nilai pekerjaan dari perspektif pribadi. 2. Pendekatan yang kedua adalah nilai-nilai pekerjaan yang didefinisikan

sebagai salah satu orientasi atau kecenderungan terhadap pekerjaan dalam arti apa yang sebenarnya dicari dan yang dimaksudkan dari tindakan yang dilakukan individu tersebut.

3. Pendekatan yang ketiga adalah koherensi pekerjaan, koherensi pekerjaan yang dimaksud di sini adalah keseimbangan atau harmoni antara pekerjaan dan prestasi yang dicapai oleh individu yang bersangkutan.

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kerja adalah aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan finansial dan kepuasan instingtif dengan menghasilkan sesuatu berupa barang atau jasa.

3. Motivasi Kerja

a. Pengertian Motivasi Kerja

(34)

diberikan oleh individu untuk melaksanakan tugas-tugas di dalam pekerjaannya (Ravianto, 1985).

Menurut Pinder (dalam Tremblay, et.al, 2009) mendefiniskan motivasi kerja sebagai kesatuan energi yang dilakukan seseorang untuk memulai perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan, dan menentukan bentuk, arah, intensitas, dan durasi yang mana motivasi tersebut termanifestasi dalam bentuk perhatian, usaha, dan bersifat persisten.

Menurut Kartono (2002), motivasi individu dalam bekerja tidak hanya berorientasi pada uang saja, melainkan adanya kebutuhan lain, yaitu kebutuhan psikis untuk aktif berbuat. Kartono menambahkan bahwa bekerja merupakan salah satu aktivitas sosial yang dijabarkan ke dalam dua fungsi, yaitu:

a. Memproduksi barang/ jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. b. Bersifat mengikat individu dalam interaksinya dengan suatu sektor

kemasyarakatan.

Konsep mengenai motivasi kerja dapat dilihat berdasarkan beberapa teori motivasi yang sudah diungkapkan oleh para ahli. Teori motivasi diklasifikasikan menjadi teori motivasi isi dan motivasi

proses. Teori motivasi isi lebih menekankan pada “apa” yang

memotivasi seseorang, sedangkan teori motivasi proses lebih merujuk

pada pemahaman tentang “bagaimana” proses dari motivasi itu sendiri

(35)

terdapat empat teori yang termasuk di dalam teori motivasi isi, yaitu teori Maslow tentang hirarki kebutuhan-kebutuhan, teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) dari Alderfer, teori dua faktor Herzberg, dan teori motivasi berprestasi dari McClelland. Mullins juga menjelaskan bahwa terdapat teori-teori yang termasuk dalam teori motivasi proses, yaitu teori harapan (expectancy), teori keadilan (equity), dan teori penetapan tujuan.

Maslow (dalam Boeree, 2006) menjelaskan bahwa proses motivasi dijabarkan ke dalam hierarki lima macam kebutuhan, yaitu mulai dari kebutuhan yang paling dasar (fisiologis) sampai dengan kebutuhan yang paling tinggi (aktualisasi diri). Pemenuhan kelima kebutuhan tersebut merupakan sebuah proses berkesinambungan sehingga oleh Maslow disebut sebagai hierarki atau tingkat kebutuhan. Maksud dari berkesinambungan adalah ketika kebutuhan dasar atau yang pertama telah terpuaskan, maka perilaku ditujukan pada pemenuhan kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi begitu seterusnya sampai pada kebutuhan kelima, yaitu aktualisasi diri (Yuwono, et al, 2005).

(36)

manusia terdiri dari lima kategori yang berbeda. Selain itu, Wahba dan Bridwell menjelaskan bahwa tidak ada bukti penelitian yang menyebutkan terpuaskannya kebutuhan pada tingkat tertentu akan mengaktivasi kebutuhan pada tingkat selanjutnya. Nevis (dalam Conferência de Pesquisa Sόcio-cultural, 2000) berdasarkan riset yang

dilakukan di Cina menyebutkan bahwa lima kebutuhan Maslow tidak dapat diterapkan pada kultur tersebut karena hirearki kebutuhan diatur secara berbeda dibandingkan dengan teori Maslow.

Alderfer (dalam Wijono, 2010) mengembangkan sebuah teori yang merupakan hasil modifikasinya terhadap teori Maslow. Alderfer menyebutkan bahwa dirinya tidak puas dengan teori yang disampaikan oleh Maslow karena tampak terlalu kaku yang mana hierarki lima kebutuhan tersebut tidak dapat diseragamkan pada setiap individu mengingat bahwa setiap kebutuhan individu berbeda-beda dan tidak dapat diprediksi. Modifikasi yang dilakukan Alderfer adalah dengan menjabarkan kebutuhan individu dalam tiga kategori yang lebih umum. Kategori yang pertama adalah existenceyang jika dibandingkan dengan teori Maslow mencakup kebutuhan fisiologis dan rasa aman. Sedangkan kategori kedua adalah relatedness yang sama dengan kebutuhan akan rasa cinta. Kategori yang terakhir adalah growthyang sama dengan kebutuhan akan harga diri dan aktualisasi

(37)

dapat diterima karena lebih fleksibel walaupun belum banyak penelitian yang menguji teori tersebut (Yuwono, et.al, 2005)

McClelland (dalam Riggio, 2007) menyebutkan bahwa terpuaskannya individu cenderung berorientasi pada pencapaian kebutuhan akan prestasi. McClelland mengembangkan teori motivasi dengan mengklasifikasikan kebutuhan individu ke dalam tiga kebutuhan, yaitu kebutuhan akan prestasi (achievment), kekuasaan (power), dan afiliasi/ berelasi (affiliation). Walaupun banyak bukti penelitan yang mendukung teori tersebut, tetapi evaluasi terhadap validitas prediktif atas tes penelitiannya masih dipertanyakan (Yuwono, et.al, 2005). Selain itu, McClelland sendiri menyebutkan bahwa penjelasan atas teorinya bertentangan dengan beberapa literatur yang menjelaskan bahwa konsep motivasi yang diperoleh ketika masa anak-anak akan sulit berubah pada masa dewasa (Gellerman, 1984).

(38)

dibandingkan dengan kebutuhan pada tingkat pertama sampai dengan tingkat ketiga miliki Maslow, existence milik Alderfer, dan kebutuhan afiliasi milik McClelland. Aspek-aspek dalam motivator yang dijelaskan herzberg dapat dibandingkan dengan hierarki kebutuhan pada tingkat keempat dan kelima milik Maslow, relatedness dan growthdari Alderfer, dan kebutuhan kekuasaan serta prestasi dalam

teori McClelland (Wijono, 2010). Secara garis besar keempat konsep mengenai motivasi di atas memiliki kemiripan jika dibandingkan satu sama lain yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1

Perbandingan Empat Teori Isi dari Motivasi (Wijono, 2010)

Maslow Alderfer Herzberg McClelland

Aktualisasi diri Pertumbuhan

Harga diri dan status Relasi

Pencapaian

Keberadaan Kebijakan perusahaan dan administrasi

Kebutuhan kekuasaan

Kebutuhan fisiologi Kondisi kerja Gaji/ upah

(39)

ada beberapa tingkat kebutuhan yang bertentangan dengan tingkat hierarki kebutuhan Maslow.

Machungwa dan Smith (dalam Wijono, 2010) dalam penelitiannya yang didasarkan pada teori ERG milik Alderfer memberikan hasil bahwa gaji atau kompensasi yang yang dihilangkan atau tidak disama ratakan hanya mengurangi motivasi kerja saja, sedangkan adanya kebutuhan yang berkaitan dengan relasi dan pertumbuhan dapat meningkatkan motivasi bekerja secara signifikan.

Berdasarkan keempat teori di atas, peneliti menjadikan teori Herzberg sebagai landasan dalam penelitian karena memberikan detail yang lebih jelas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja dan sangat sesuai diaplikasikan dalam konteks organisasi. Teori tersebut memberikan implikasi yang kuat bagi kemajuan industri dan organisasi yang modern karena berfokus pada kebutuhan sumber daya manusia di dalamnya. Selain itu aspek-aspek yang terdapat dalam motivator milik Herzberg dapat dijadikan sebagai cara dalam meningkatkan motivasi karyawan (Jung, 1978).

(40)

b. Teori Motivasi Kerja Frederick Herzberg

Frederick Herzberg (1923-2000) adalah psikolog behavioral asal Amerika Serikat yang mengembangkan teori motivasi yang disorot dari peran kepuasan kerja. Herzberg (dalam Winardi, 2011) mendefinisikan motivasi kerja sebagai dampak secara langsung dari kepuasan kerja seseorang. Herzberg (1987) dalam jurnalnya mengungkapkan bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja adalah dua dimensi terpisah yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kemudian disimpulkan menjadi dua faktor besar, yaitu motivator dan hygiene. Kesimpulan tersebut diperoleh setelah Herzberg melakukan

studi yang mendalam kepada 1.685 karyawan yang bekerja pada 12 organisasi dengan berbagai jabatan dan level yang berbeda-beda. Dalam studinya, Herzberg mengajukan pertanyaan mengenai hal-hal apa saja yang menimbulkan kepuasan dan ketidakpuasan kerja.Dari wawancara tersebut Herzberg menemukan adanya faktor-faktor yang terpisah dan khusus yang menjadi penyebab kepuasan dan ketidakpuasan kerja.

Faktor-faktor penyebab kepuasan kerja (motivator), antara lain: 1. Prestasi (achievement)

(41)

2. Pengakuan (recognition)

Tinggi rendahnya kepuasan kerja juga ditentukan melalui pengakuan dan penghargaan dari atasan, rekan kerja, atau klien atas kinerja karyawan seperti pujian, teguran, dan segala tindakan yang dilakukan dalam pekerjaannya.

3. Konten Pekerjaan (Work Itself)

Pekerjaan itu sendiri juga memberikan dampak kepuasan atau ketidakpuasan karyawan seperti apakah pekerjaan tersebut menarik atau membosankan, menuntun kreatifitas atau tidak, menantang atau tidak, sulit atau relatif mudah.

4. Tanggung Jawab (Responsibility)

Faktor ini mencakup tanggung jawab dan wewenang dalam pekerjaan.Tanggung jawabmengacu pada kontrol karyawanataspekerjaannya atau pekerjaan lain yang diberikan oleh atasan.

5. Kemajuan (Advancement)

Karyawan memiliki kesempatan atau peluang untuk menunjukkan kemajuan dalam pekerjaannya, misalnya mempelajari skill baru mengenai pekerjaannya atau hal-hal baru lain di dalam perusahaan, pengetahuan baru agar semakin lebih meningkat dan ke arah yang lebih baik.

6. Pertumbuhan dalam Pekerjaan (Growth)

(42)

untuk mampu semakin bertumbuh dalam perusahaan dengan mempelajari keterampilanbaru yang aktual sesuai dengan arus pertumbuhan perusahaan atau organisasi yang bersangkutan

Faktor-faktor yang menjadi penyebab ketidakpuasan kerja (hygiene)adalah:

1. Kebijakan dan Administrasi Perusahaan (Company Policies and Administration)

Faktor ini mengungkapkan tentang kesesuaian dan kenyamanan

karyawan dengan kebijakan dan manajemen organisasi. Apakah peraturan, norma-norma, budaya perusahaan, dan wewenang perusahaan sudah didelegasikan dengan sesuai dan sepantasnya bagi karyawan.

2. Pengawasan (Supervision)

Faktor ini merupakan derajat kesesuaian dan kewajaran penyeliaan yang diberikan atasan kepada karyawantermasuk keadilan dan cara atasan memberikan arahan dan bimbingan seputar pekerjaan.

3. Hubungan Interpersonal (Interpersonal Relationship)

(43)

4. Kondisi Pekerjaan (Work Conditions)

Kondisi pekerjaan adalah suasana atau keadaan dalam lingkungan kerja seperti suhu, cahaya, ruang, dan ventilasi. Selain itu, fasilitas, sarana, dan prasarana di tempat kerja, serta ergonomi juga termasuk dalam faktor ini.

5. Gaji (Salary)

Faktor ini mengungkapkan tentang tingkat kesesuaian dengan kompensasi atau gaji yang diterima sebagai imbalan kinerja karyawan dalam perusahaan termasuk bonus, tunjangan, dan upah kerja.

6. Kehidupan Pribadi (Personal Life)

Kehidupan di luar lingkungan kerja ternyata juga berkontribusi dalam pencapaian kepuasan dan ketidakpuasan karyawan dalam pekerjaannya. Kehidupan pribadi tersebut merupakan faktor dengan cakupan terluas karena melibatkan berbagai aspek yang multidimensional.

7. Status (Status)

Status melibatkan hal-hal yang dimiliki karyawan sebagai imbalan, hadiah, atau pinjaman yang diberikanperusahaan maupun kemajuan pribadi dan terdengar penting, seperti kantor pribadi, mobil perusahaan, atau sekretaris pribadi.

8. Keamanan (Security)

(44)

karyawan terhadap pekerjaannya, termasuk masa kerjakaryawandan stabilitasperusahaan, serta ada tidaknya jaminan pekerjaan seperti asuransi kesehatan dan jaminan sosial tenaga kerja

Gambar 2.2 Faktor-Faktor Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja Seperti yang Dilaporkan dalam 12 Investigasi (Herzberg, 1987)

Berdasarkan riset tersebut Herzberg (1987) menjelaskan bahwa faktor hygiene memberikan kontribusi pada ketidakpuasan kerja sebesar 69%. Sedangkan sebesar 81% dikontribusi oleh motivator yang berkaitan dengan kepuasan kerja. Menurut Herzberg, faktor-hygiene

(45)

faktor yang menyebabkan ketidakpuasan kerja atau hygiene tersebut adalah faktor ekstrinsik yang jika tidak hadir sudah pasti mengakibatkan ketidakpuasan, tetapi jika hadir belum tentu menimbulkan kepuasan. Motivator sebagai faktor intrinsik belum tentu menimbulkan ketidakpuasan bila tidak hadir. Namun, jika faktor-faktor tersebut hadir akan memunculkan kepuasan kerja yang tinggi. Pemahaman lebih jelas dapat dilihat melalui gambar di bawah ini:

Gambar 2.3 Hubungan Hygiene-Motivator dengan Kepuasan Kerja (Wijono, 2010)

Menurut Wijono (2010) faktor hygieneyang sudah terpenuhi memang akan menimbulkan kepuasan kerja, tetapi hanya pada tingkat netral dalam arti karyawan tidak benar-benar merasakan kepuasan yang tinggi dengan pekerjaannya. Sebaliknya, ketidakhadiran motivator-motivator akan mengakibatkan ketidakpuasan kerja yang hanya berada pada tingkat netral atau karyawan tidak benar-benar

Tinggi

Rendah

hygiene motivator

(46)

merasa tidak puas dengan pekerjaannya.

Herzberg (1987) juga mengkaitkan istilah “movement” dan

motivation” dengan teori dua faktornya hygiene-motivation. Faktor

hygiene lebih tepat digambarkan sebagai faktor yang hanya “to move

atau menggerakkan daripada sebagai faktor yang “to motive” atau memotivasi, sedangkan istilah “motivation” lebih tepat diberikan pada motivator.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Truc (2012) mengenai motivasi kerja pada organisasi AISEC dengan menggunakan teori Herzberg disebutkan bahwa motivasi kerja karyawan dalam organisasi tersebut akan meningkat secara signifikan jika kebutuhan yang terdapat dalam motivator dapat terpenuhi. Sebaliknya, motivasi kerja karyawan akan menurun secara tajam jika kebutuhan dalam motivator tidak terpenuhi. Walaupun demikian, Truc menyebutkan bahwa hygienetetap dibutuhkan sebagai pemicu awal motivasi kerja

karyawan dan harus diberikan. Meningkatkan motivasi kerja karyawan tidak cukup hanya dengan menghadirkan hygiene atau motivator saja, tetapi harus ada kedua-duanya. Truc menambahkan bahwa faktor hygenemerupakan kebutuhan yang hanya menggerakkan saja sebab kebutuhan tersebut merupakan stimulus pasif/ sesaat yang memotivasi karyawan dalam jangka waktu yang relatif pendek.

Karyawan termotivasi hanya karena ada “sesuatu” yang diberikan,

(47)

kebutuhan akan motivator-motivator merupakan stimulus aktif yang bersifat memotivasi sebab dapat memunculkan motivasi dalam jangka waktu yang panjang. Karyawan tidak semata-mata termotivasi hanya karena diberikan “sesuatu”, melainkan dedikasi dan loyalitas secara total akan pekerjaan serta organisasi tempat ia bekerja.

Teori Herzberg mengindikasikan bahwa jika atasan ingin bawahan tetap termotivasi dan nyaman dalam bekerja, maka ada dua hal yang harus diselesaikan (Winardi, 2011). Pertama adalah dengan menghilangkan ketidakpuasan dalam bekerja dengan menyediakan elemen atau faktor hygiene, misalnya gaji. Kompensasi yang diberikan harus sesuai dengan pekerjaan dan tersedia pula keamanan dalam bekerja. Namun, adanya faktor tersebut belum cukup untuk mendapat usaha atau energi yang besar dari karyawan. Perlu adanya elemen motivator yang penting yang dimunculkan dari diri karyawan tersebut sendiri. Lebih jelasnya Herzberg menyebutkan bahwa karyawan dapat dikatakan sangat termotivasi dalam bekerja jika kebutuhan akan motivator dan hygiene sudah terpenuhi. Jika salah satu kebutuhan motivator atau hygiene saja yang terpenuhi maka karyawan belum dapat dikatakan termotivasi dalam bekerja.

(48)

hanya menyediakan faktor ekstrinsik saja seperti kompensasi atau gaji, melainkan faktor intrinsik dengan selalu memberikan peluang kepada karyawan untuk berprestasi berdasarkan soft skill dan hard skill yang dimiliki karyawan tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja menurut Herzberg adalah proses yang muncul dan terpelihara akibat pemenuhan kebutuhan karyawan akan hygiene dan motivator.

4. Karyawan

Menurut undang-undang no. 13 pasal 1, karyawan adalah tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, pada pasal 4 menyebutkan bahwa karyawan adalah seorang pekerja tetap yang bekerja di bawah perintah orang dan mendapat kompensasi serta jaminan (Tim Pembinaan Penatar, 1981).

(49)

awal. Hasibuan (2005) menambahkan bahwa karyawan diklasifikasikan dalam dua tipe, yaitu karyawan operasional dan karyawan manajerial. a. Karyawan Operasional

Karyawan operasional adalah karyawan yang bekerja sesuai dengan perintah dari atasan secara langsung dan tidak memiliki wewenang untuk memberikan perintah. Karyawan dengan tipe tersebut berada dalam posisi tidak memiliki pegawai atau karyawan dengan posisi di bawahnya.

b. Karyawan Manajerial

Karyawan manajerial adalah karyawan yang tidak hanya bekerja sesuai perintah atasan, tetapi juga berhak untuk memberikan perintah pada bawahannya untuk mengerjakan sebagian pekerjaan sesuai dengan perintah dari karyawan manajerial. Dalam hal ini, karyawan manajerial memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan karyawan operasional. Karyawan manajerial sendiri dibedakan lagi menjadi karyawan manajerial lini dan karyawan manajerial staf.

1. Karyawan Manajerial Lini

Karyawan manajerial lini adalah karyawan yang berhak memerintah bawahannya dan bertanggung jawab atas realisasi tujuan perusahaan.

2. Karyawan Manajerial Staf

(50)

karyawan manajerial lini.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa karyawan adalah orang dengan level jabatan yang berbeda-beda yang melakukan pekerjaan dalam organisasi, instansi, atau lembaga baik besar maupun kecil untuk memproduksi barang atau jasa, sehingga mendapatkan kompensasi.

B. Religiositas

1. Pengertian Religiositas

Menurut Mansen (dalam Kaye & Raghavan, 2002) pengertianreligiositas secara terminologis berasal dari bahasa latin, yaitu

relegare‟ yang berarti sebuah ikatan kebersamaan yang erat. Sedangkan,

secara harafiah, religiositas berarti pengabdian dan ekspresi spiritual yang besar yang berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, ritual, dan hukum yang berlaku.

Chaplin (dalam Thontowi, 2012) mengungkapkan bahwa religiositas adalah suatu sistem kompleks yang terdiri dari kepercayaan dan keyakinan yang tercermin dalam sikap dan perilaku saat melaksanakan upacara keagamaan yang berhubungan dengan Tuhan.

(51)

Tuhan, manusia dengan sesama, dan juga lingkungan yang telah terinternalisasi yang didasarkan suara hati dan keterikatan dengan Tuhan.

Koenig (dalam Gani, Hashim & Ismail, 2010) juga menjelaskan bahwa religiositas adalah suatu sistem keyakinan atau kepercayaan yang terancang secara teratur sebagai fasilitas dalam mendekatkan diri denganTuhan sebagai kekuatan yang lebih tinggi dan sakral dan juga untuk dapat memberikan pemahaman mengenai relasi antar individu dengan orang lain. King (dalam Roundy, 2009) mendefinisikan religiositas sebagai kekuatan manusia untuk berhubungan dan berkeyakinan kepada agamanya.

Menurut Glock dan Stark (dalam Robertson, 1986) religiositas suatu sistem keyakinan yang sangat kompleks dan bukan sesuatu yang konsisten, dalam arti sistem tersebut dapat sangat kuat, tetapi juga dapat mengalami kemerosotan karena faktor-faktor tertentu. Glock dan Stark menjelaskan bahwa kondisi yang tidak konsisten tersebut tergantung pada pendefinisian religius dari segi praktek keagamaan atau dari segi penghayatan oleh masing-masing individu.

(52)

mengurangi ketakutan dan ancaman kematian.

Religiositas menurut ahli behavioristik seperti Skinner (dalam Crapps, 1993) menjadi faktor penguat dalam setiap aktivitas yang mana selalu diulang dalam rangka meredakan konflik atau ketegangan.

Allport (1950) sebagai salah seorang humanistik mengungkapkan bahwa religiositas merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia yang dapat membentuk pola-pola kepribadian. Allport menyebut keagamaan sebagai sentimen keagamaan yang mana memiliki arti bahwa agama merupakan konfigurasi dari unit-unit dalam sebuah kepribadian. Sentimen keagamaan yang dijelaskan oleh Allport memiliki perbedaan untuk masing-masing individu dan dapat mencerminkan kepribadian seseorang dalam segi pemikiran serta emosi dalam menghadapi makna kehidupan.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa religiositas adalah suatu sistem yang terdiri dari nilai, norma, penghayatan, sikap, praktek, dan agama itu sendiri yang dibangun dalam diri setiap individu.

2. Orientasi-orientasi Religiositas

(53)

memotivasi setiap manusia yang dengan kekuatannya dan secara otomatis dapat mengubah kepribadian manusia.

Pada dasarnya keagamaan bukanlah hal yang konsisten atau menetap. Keagamaan dalam pribadi setiap orang kerap kali dapat berubah, baik itu semakin kuat maupun semakin lemah. Hal tersebut disebabkan adanya dorongan hati sesaat yang dapat mengalahkan atau memperlemah semangat beragama, Glock dan Stark (dalam Robertson, 1986). menurut Allport agama yang diyakini secara individual juga memberikan pengaruh pada diri setiap orang. Di mana agama tersebutapakah lebih mengarah kepada kematangan atau ketidakmatangan. Konsep mengenai “mature

dan “immature” inilah yang kemudian menghantarkan Allport kepada

tipologi orientasi religiositas. Orientasi religiositas menurut Allport diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu orientasi ekstrinsik dan orientasi intrinsik.

Menurut Allport dan Ross (dalam Burris, et.al, 1994) ada dua macam orientasi atau tipe religiositas, yaitu :

(54)

religius ke arah ekstrinsik lebih menjadikan agamanya sebagai alat atau instrumen demi kepentingan pribadi.

b. Orientasi intrinsik adalah orientasi yang menggunakan agama yang diyakini untuk dinternalisasi dan diimani. Seseorang yang memiliki orientasi religiositas yang instrinsik akan melakukan semua kegiatan beragama karena dimotivasi oleh spiritualitas dan iman, bukan atas dasar kewajiban atau perilaku yang hanya tampak dari luar.

Orientasi religiositas yang intrinsik maupun ekstrinsik di sini bukan merupakan dimensi yang terpisah atau berdiri sendiri, melainkan sebuah proses berkelanjutan. Namun dalam hal ini akan lebih dibahas religiositas yang berorientasi intrinsik. Hal tersebut disebabkan religiusitas intrinsik lebih menekankan proses intrapersonal yang matang di mana seseorang menggunakan agamanya tidak hanya sebagai simbol dan alat dalam mencapai kepuasan pribadi, tetapi benar-benar dihayati dan diimani. Allport (dalam Crapps, 1993) mengatakan bahwa seseorang dengan orientasi yang intrinsik akan mengabdikan hidupnya pada pelayanan atau sesuatu yang luhur yang tanpa menuntut imbalan secara psikologis maupun materi.

3. Aspek-aspek Sentimen Religiositas yang Matang (Intrinsik)

(55)

a. Differensiasi yang baik artinya bahwa aspek psikis yang dimiliki seseorang semakin bercabang, makin bervariasi, makin baik, makin kaya, makin majemuk. Semua pengalaman rasanya pun makin matang, makin kompleks dan semakin bersifat pribadi. Memiliki pemikiran kritis dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi sebab berlandaskan ke-Tuhanan. Penghayatan hubungan dengan Tuhan makin dirasakan bervariasi dalam berbagai situasi dan kondisi.

b. Motif kehidupan beragama yang dinamis yaitu orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang mampu mengendalikan dan mengarahkan nafsu, dorongan materi, ambisi pribadi dan motif-motif rendah lain ke arah tujuan yang sesuai dengan motivasi keagamaan yang tinggi.

c. Pelaksanaan ajaran agama dilakukan secara konsisten dan produktif, yaitu adanya keajegan/konsistensi pelaksanaan hidup beragama secara betanggungjawab dengan mengerjakan perintah sesuai kemampuan danmeninggalkan larangannya.

(56)

e. Pandangan hidup yang integral yaitu pandangan dengan kesadaran beragama yang matang akan terbuka lebar dalam mencari, menafsirkan, dan menemukan nilai-nilai baru ajaran agama, sehingga dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan perkembangan zaman.

f. Semangat pencarian dan pengabdian kepada Tuhan, yaitu adanya semangat mencari kebenaran, keimanan, rasa ke-Tuhanan, dan cara-cara terbaik untuk berhubungan dengan manusia dan alam sekitar. Individu selalu menguji keimanannya melalui pengalaman-pengalaman kegamaan sehingga menemukan keyakinan akan agamanya secara lebih tepat.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiositas

Crapps (dalam Rahman, 2009) menyebutkan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi perilaku religiositas seseorang, yaitu:

a. Kebutuhan dasar spiritual, yang terbagi menjadi 10 kebutuhan, yaitu: 1. Kepercayaan dasar, yang mana dilakukan berulang kali untuk

menyadarkan seseorang bahwa hidup adalah sebuah ibadah.

2. Makna hidup, yang bertujuan untuk membangun relasi yang seimbang dengan Tuhan dan sesama.

(57)

4. Pengisian keimanan, di mana seseorang ingin lebih mengimani agamanya dengan selalu mengadakan hubungan atau mendekatkan diri dengan Tuhan.

5. Bebas dari rasa bersalah dan dosa, di mana seseorang yang merasa takut dengan Tuhan jika melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan perintah Tuhan. Jika tidak memiliki kebutuhan tersebut maka dianggap terganggu jiwanya.

6. Penerimaan dan harga diri dari orang lain karena menjalin relasi dengan Tuhan berarti mau menjalin relasi dengan sesama.

7. Rasa aman, yaitu seseorang memiliki kebutuhan akan rasa aman agar selamat di dunia dan akhirat. Dengan demikian, individu berusaha untuk menaati perintah Tuhan dan menjauhi larangannya. 8. Pencapaian derajat dan martabat yang semakin tinggi agar

terbentuk pribadi yang utuh.

9. Pemeliharaan hubungan yang serasi, seimbang, dan selaras antara alam dan manusia.

10. Kehidupan masyarakat yang didasari oleh nilai-nilai yang religius. b. Pengalaman, yang terbagi dalam pengalaman moral dan pengalaman

batin.

c. Pengaruh sosial, yaitu tidak hanya dari orang tua saja, melainkan lingkungan sosial dan terealisasi dalam perilaku.

(58)

5. Manfaat Perilaku Religiositas

Gordon Allport (dalam Boeree, 2006) mengungkapkan bahwa religiositas merupakan salah satu dari kategorisasi nilai tentang otonomi fungsional yang mana jika diinternalisasi dan diwujudkan dalam keseharian akan membuat kepribadian menjadi lebih matang dan sehat. Menurut Allport (dalam Schultz, 1991) kepribadian yang matang memiliki tujuh kriteria, yaitu:

a. Perluasan perasaan diri, di mana individu menjadi pribadi yang matang ketika mengembangkan perhatian atau aktivitas ke luar diri. b. Hubungan diri yang hangat dengan orang lain, yaitu individu menjadi

pribadi yang matang jika memiliki kapasitas untuk menjalin relasi yang akrab dan intim dengan orang lain.

c. Kemanan emosional, yaitu individu mampu menerima segala kelebihan dan kekurangan dalam diri tanpa menyerah secara pasif terhadap kekuatan dari luar.

d. Persepsi realistis, individu mampu memandang dunianya secara objektif dan menerima sebagaimana adanya.

e. Keterampilan dan tugas, individu mampu menggunakan keterampilan dalan mengerjakan segala sesuatu dengan ikhlas, antusias, dan melibatkan diri sepenuhnya terhadap pekerjaan tersebut.

(59)

g. Filsafat hidup yang mempersatukan, individu mampu melihat ke depan dengan didorong oleh tujuan atau rencana jangka panjang. Sedangkan menurut Rahman (2009) manfaat perilaku religius, yaitu: a. Edukatif, di mana mengarahkan penganutnya untuk menjadi baik dan

terbiasa dengan ajaran agama.

b. Penyelamat, keselamatan di dunia dan akhirat diberikan dari agama kepada pengikutnya.

c. Pendamai, di mana seseorang akan mengalami kedamaian batin akibat kesalahan yang diperbuat melalui tuntunan agama.

d. Sosial kontrol, di mana individu selalu mengontrol perilakunya sesuai dengan ajaran agama yang dianut.

e. Memupuk rasa solidaritas, individu yang beragama akan selalu berusaha membuat relasi yang baik pada sesamanya.

f. Transformatif, yaitu ajaran agama dapat mengubah kepribadian atau cara hidup seseorang atau kelompok menjadi lebih baik berdasarkan ajaran agama.

g. Kreatif, di mana agama mengajak pengikutnya untuk dapat bekerja secara produktif tidak untuk diri sendiri, melainkan untuk orang lain. h. Sublimatif, yaitu perilaku seseorang dianggap sebagai ibadah jika

(60)

C. Dinamika Hubungan antara Religiositas dengan Motivasi Kerja

Dalam dunia kerja, perilaku atau performansi karyawan yang terwujud di tempat kerja merupakan cerminan dari motivasi atau dorongan di dalam diri setiap individu yang berbeda-beda. Berbagai organisasi awal percaya bahwa kompensasi seperti gaji merupakan metode paling efektif dalam memotivasi dan meningkatkan performansi karyawannya (Truc, 2012). Namun, pada kenyataannya generasi muda saat ini memerlukan sesuatu yang

tidak hanya sekedar “uang” melainkan sesuatu yang dapat mencapai

aktualisasi diri (Winardi, 2004). Walaupun demikian, uang tetaplah menjadi salah satu faktor penting yang memotivasi kerja karyawan yang juga tidak mungkin dapat dikesampingkan.

Penelitian ini memfokuskan teori motivasi kerja dari Herzberg sebab teori tersebut merupakan teori dengan bahasan yang paling sesuai dalam konteks dunia kerja. Berdasarkan survey yang dilakukan Jones dan Llyod (2005) pada 32 organisasi besar ditemukan bahwa teori motivasi Herzberg masih berperan dalam organisasi tersebut di mana peran motivator diusahakan untuk diberikan pada karyawan di samping kebutuhan akan hygiene. Riset lain menyebutkan bahwa karyawan di Afrika memiliki

(61)

Seperti yang diungkapkan oleh Herzberg dalam teori dua faktornya, bahwa karyawan dapat dikatakan termotivasi jika kebutuhan akan hygienedan motivator dapat terpenuhi (Riggio, 2007). Karyawan belum dapat dikatakan benar-benar termotivasi jika hanya hygiene atau motivator saja yang diberikan. Herzberg (1987) menyebutkan bahwa motivator meliputi tanggung jawab, prestasi, rekognisi atau pengakuan, konten pekerjaan, kemajuan, dan pertumbuhan dalam pekerjaan. Sedangkan, hygienemeliputi kebijakan dan administrasi perusahaan, pengawasan, relasi interpersonal, kondisi pekerjaan, kehidupan pribadi, status, dan gaji. Kedua faktor tersebut berjalan secara dinamis dalam arti jika salah satu pemenuhan kebutuhannya melebihi atau kurang dari faktor lain akan mengakibatkan ketidakseimbangan. Seseorang dikatakan belum termotivasi untuk bekerja ketika kedua faktor belum seimbang atau ada salah satu faktor yang belum terpenuhi. Keena dan Beech (dalam Koesmono, 2005) menyampaikan bahwa seorang karyawan yang termotivasi dalam bekerja diwujudkan dalam perilaku atau performansi ketika berada di tempat kerja. Mereka menambahkan bahwa performansi kerja tidak hanya dipengaruhi oleh aspek perilaku, tetapi juga kognisi dan afeksi yang harus berjalan seimbang untuk dapat mewujudkan kinerja yang lebih baik.

(62)

secara optimal berdasarkan ajaran agama. Sedangkan pada aspek afektif, individu diharapkan memiliki kesadaran dalam menjalani ajaran agamanya secara baik dan benar, dalam arti memiliki ikatan atau perasaan yang kuat untuk dekat dengan Tuhan. Aspek behavioristik mengungkapkan bahwa individu seharusnya dapat menjalankan praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan ajaran agama yang dianut.

Individu yang memiliki religiositas berdasarkan ajaran agamanya berpengaruh pada kehidupan sosialnya. Allport (dalam Boeree, 2006) menjelaskan bahwa religiositas dalam diri seseorang ternyata mampu memotivasi setiap perilaku dan dapat berfungsi secara otonomi, dalam arti mampu mewujudkan setiap perilaku dalam lingkungan sosialnya. Dari kedua orientasi religius yang telah dikemukakan oleh Allport, dijelaskan lebih lanjut bahwa religiositas instrinsik memiliki orientasi lebih “ mature” atau matang daripada religiositas ekstrinsik. Definisi „matang‟ mengutip pendapat dari Allport (1950):

“The mature religious sentiment as a disposition, built up through experience, to respond favorably, and in certain habitual ways, to conceptual objects and principles that the individual regards as of ultimate importance in his own life, and as having to do with what he regards as

permanent or central in the nature of things.”64

(63)

lebih sadar dan paham apa yang sedang dikerjakan, serta memiliki dasar atau tujuan dari segala tindakan yang dilakukan. Allport menambahkan bahwa kepribadian yang lebih matang membuat seseorang menjadi semakin menyadari kelebihan dan kelemahannya, serta mau menerima diri apa adanya. Sikap dan perilaku religiositas intrinsik menurut Allport dalam hal ini menjadikan kepribadian seseorang lebih matang seperti yang diungkapkan oleh Allport (dalam Schultz, 1991). Pendapat tersebut diperkuat dengan

adanya riset yang dilakukan oleh Flere dan Lavrić (2007), bahwa religiositas

intrinsik memiliki korelasi yang positif dengan kesehatan mental. Sedangkan religiositas eksrrinsik memiliki korelasi yang negatif dengan kesehatan mental. Selain itu, religiositas intrinsik ternyata mampu mereduksi

kecenderungan perilaku yang beresiko, reaksi impulsif, dan agresi (Pajević,

et.al, 2005). Pajević menambahkan bahwa religiositas dapat mencapai kedewasaan dan aktualisasi diri. Kepribadian yang demikian membuat seseorang lebih mampu memunculkan motivasi dalam diri. Namun, dalam prakteknya di dunia kerja, motivasi intrinsik belum cukup untuk dapat meningkatkan motivasi kerja. Motivasi ekstrinsik yang muncul sebagai akibat adanya sesuatu yang diberikan dari luar dalam konteks organisasi juga

mempengaruhi motivasi kerja seseorang.

(64)

D. Kerangka Berpikir

E. Hipotesis

(65)

46

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian korelasional. Menurut Suryabrata (2005) penelitian korelasional bertujuan untuk melihat sejauh mana variasi dalam satu variabel berhubungan dengan variasi dalam variabel yang lain. Dalam penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui ada tidaknya variasi pada variabel religiositas intrinsik dengan variasi pada variabel motivasi kerja berdasarkan koefisien korelasi.

B. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian

(66)

1. Variabel Terikat (dependent) Motivasi Kerja Karyawan

Definisi konseptual motivasi kerja karyawan adalah adanya indikator-indikator yang terdapat dalam komponen hygiene dan motivator menurut teori yang diungkapkan oleh Herzberg. Dua faktor besar yang diungkapkan oleh Herzberg, yaitu hygiene dan motivator menjadi komponen munculnya motivasi dan kepuasan kerja karyawan. Dengan demikian dapat dijabarkan bahwa karyawan dapat dikatakan termotivasi dalam bekerja jika kebutuhan akan hygiene dan motivator dapat terpenuhi. lebih jelasnya dapat dilihat pada skema di bawah ini:

Gambar 3.1 Skema Hubungan Hygiene dan Motivator dengan Motivasi Kerja

Adanya hygiene dan motivator menimbulkan motivasi kerja yang tinggi pada karyawan. Sedangkan motivasi kerja pada tingkat netral dalam arti karyawan belum sepenuhnya termotivasi dalam bekerja. Tidak

(67)

terpenuhinya komponen hygiene dan motivator mengindikasikan karyawan tidak memiliki motivasi dalam bekerja.

Komponen motivator meliputi tanggung jawab (responsibility), peluang untuk maju (advancement), rekognisi (recognition), prestasi (achievement), dan pekerjaan itu sendiri (the work itself). Faktor kebutuhan atau kondisi pertumbuhan dalam pekerjaan (growth on job) tidak dicantumkan dalam operasionalisasi definisi dan tidak dijadikan sebagai indikator dalam skala motivasi kerja sebab memiliki definisi yang hampir sama dengan indikator peluang untuk maju (advancement).

Komponen hygiene meliputi kebijakan dan administrasi perusahaan (company and administration police), pengawasan (supervision), relasi interpersonal (interpersonal relations), kondisi pekerjaan (work conditions), dan gaji (salary). Faktor keamanan tidak dijadikan sebagai indikator skala motivasi kerja karena sudah tercakup dalam faktor kebijakan dan administrasi perusahaan, sedangkan faktor status juga tidak dijadikan indikator skala motivasi kerja karena telah tercakup dalam faktor gaji. Faktor kehidupan pribadi (personal life) tidak disertakan dalam skala motivasi kerja karena memiliki cakupan yang terlalu luas dan eksternal atau di luar konteks kehidupan kerja.

2. Variabel Bebas (independent) Religiositas Intrinsik

(68)

dibandingkan dengan pengertian agama atau religi itu sendiri. Religiositas intrinsik lebih bersifat intrinsik dalam arti lebih mendalam dan lebih mampu mengatasi persoalan dalam setiap segi kehidupan. Perilaku religius yang intrinsik memberikan dampak pada kepribadian setiap individu yang mana menjadi lebih matang dan sadar akan apa yang sedang dilakukan. Aspek-aspek orientasi religiositas intrinsik yang intrinsik berdasarkan teori dari Allport (1950) adalah deferensiasi yang baik, motif beragama yang dinamis, moralitas yang konsisten dan produktif, komprehensif, integral, dan heuristik yang fundamental.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi dari variabel-variabel yang dirumuskan secara tegas dan jelas dengan makna yang konkret dalam arti memiliki karakteristik yang dapat diukur, serta tidak memiliki makna yang ganda (Azwar, 1998). Indikator-indikator variabel yang terdapat dalam definisi operasional akan dijadikan acuan dalam melakukan pengumpulan data. Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Motivasi Kerja Karyawan

(69)

sedangkan skor motivasi kerja yang rendah menunjukkan karyawan cenderung menjawab pada poin unfavorable.

2. Religiositas Intrinsik

Definisi operasional religiositas intrinsik adalah skor yang diperoleh karyawan dalam skala religiositas intrinsik dengan aspek-aspek religiositas intrinsik intrinsik yang dijelaskan oleh Allport. Tinggi rendahnya religiositas intrinsik pada karyawan ditunjukkan melalui jawaban yang diperoleh pada skala religiositas intrinsik. Skor yang tinggi menunjukkan subjek memiliki religiositas intrinsik intrinsik yang tinggi. Skor yang rendah menunjukkan subjek memiliki religiositas intrinsik intrinsik yang rendah.

D. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah PT. Nasmoco Bantul yang merupakan cabang/ dealer Toyota baru yang terletak di Jl. Ring Road Selatan, Jedan, Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Cabang/ dealer baru tersebut memberikan pelayanan dalam bidang penjualan, servis, suku cadang, body repair, dan pusat layanan Dyna.

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Gambar

Gambar 2.1 Sebuah Model Umum Tentang Proses Motivasi
Gambar 2.1 Sebuah Model Umum Tentang Proses Motivasi (Winardi, 2011)
Tabel 2.1 Perbandingan Empat Teori Isi dari Motivasi (Wijono, 2010)
Gambar 2.2 Faktor-Faktor Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja Seperti yang Dilaporkan dalam 12 Investigasi (Herzberg, 1987)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji koefisien determinasi (R 2 ) menunjukkan Adjusted R Square 0,522 atau 52.2% yakni berarti variasi variabel Profitabilitas yang diukur berdasarkan rasio ROA ( Return

Nevertheless, the fact in the field shows that mispronunciation often happened to labiodental voiced fricative [v] changes into labiodental voiceless fricative [f], interdental

Dalam hal ini, walaupun hasil ujian nasional secara keseluruhan tidak terdapat penurunan nilai yang signifikan, penulis menduga terdapat perbedaan antara cakupan

Pada tugas akhir ini diterapkan mikrokontroler fuzzy NLX220 untuk mengontrol gerakan lengan robot tiga derajad kebebasan, yang diharapkan dapat menyederhanakan pemodelan

sasaran yang berasal dari SES A. Dan, warna yang digunakan untuk merancang kampanye ini.. adalah warna dingin karena akan lebih memberikan

Based on these provisions, the delay in the implementation of the Decision of State Administration may be postponed on the grounds of 3 matters that if the

Lain halnya dengan pertahanan di dalam negeri diserahkan kepada pemuda-pemuda kita, dengan demikian, putera-putera tanah air menjaga tanah airnya sendiri sedangkan

[r]