• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan dan evaluasi gel anti-ageing ekstrak tempe dengan gliserin sebagai chemical penetration enhancer - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pembuatan dan evaluasi gel anti-ageing ekstrak tempe dengan gliserin sebagai chemical penetration enhancer - USD Repository"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

i

PEMBUATAN DAN EVALUASI GEL ANTI-AGEING EKSTRAK TEMPE DENGAN GLISERIN SEBAGAI CHEMICAL PENETRATION ENHANCER

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Olivia Christie Anjalicca NIM : 108114040

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

PEMBUATAN DAN EVALUASI GEL ANTI-AGEING EKSTRAK TEMPE DENGAN GLISERIN SEBAGAI CHEMICAL PENETRATION ENHANCER

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Olivia Christie Anjalicca NIM : 108114040

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Ikutilah kata hatimu dan bersikap tegaslah karena apa yang kamu pilih dan ambil akan menentukan jalanmu untuk ke depannya...

Semuanya ini proses untuk mendapatkan yang terbaik dan semuanya akan indah pada waktunya...

Bermimpilah, targetkanlah, usahalah untuk mencapai semuanya itu karena semuanya pasti akan ada jalannya...

Kupersembahkan untuk :

Keluargaku, Mamah, Papah, Vina, Ivan, Edwin

(6)
(7)
(8)

viii PRAKATA

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus

Kristus atas semua rahmat, kasih dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi “Pembuatan dan Evaluasi Gel Anti-Ageing Ekstrak Tempe dengan Gliserin sebagai Chemical Penetration Enhancer” sebagai salah satu

syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) di Fakultas Farmasi,

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Selama perkuliahan, penelitian hingga proses penyusunan skripsi, penulis

telah mendapatkan bantuandari berbagai pihak yang berupa dukungan sarana,

bimbingan, nasihat, kritik dan saran. Pada kesempatan ini, penulis ingin

mengucapkan terimakasih kepada :

1. Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma.

2. Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing atas segala

kesabaran untuk selalu mendukung, memotivasi, membimbing, dan memberi

masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

3. Enade Perdana Istyastono, Ph.D., Apt., selaku dosen penguji atas

ketersediaannya meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji, serta kritik

dan saran yang diberikan kepada penulis.

4. Florentinus Dika Octa Riswanto, M.Sc., selaku dosen penguji atas

ketersediaannya meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji sekaligus

memberikan kritik dan saran kepada penulis.

5. Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt., atas diskusi, masukan dan saran dalam

penyusunan skripsi.

6. Phebe Hendra, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang telah

memberikan kritik dan saran kepada penulis.

7. Semua dosen Fakultas Farmasi yang telah membagikan ilmunya kepada

penulis selama penulis melaksanakan kuliah di Fakultas Farmasi Universitas

(9)

ix

8. Segenap laboran dan karyawan, Pak Musrifin, Pak Parlan, Mas Bimo, Mas

Agung, Pak Wagiran, Pak Parjiman, Pak Heru, Mas Kayat, Mas Darto atas

bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian.

9. Papi, Mami, Vina, Ivan, dan Edwin atas dukungan, kasih sayang, cinta dan

semangatnya.

10. Hendy atas dukungan, semangat, kasih sayang, cinta dan kebersamaannya.

11. Sita sebagai teman satu tim atas bantuan, kerjasama, canda tawa, keluh kesah

dan dukungan selama penyusunan skripsi.

12. Juli, Liana, Angel, Yudhytha, Reri, Cilla Tuing, Cilla Ciun, Lulu, Ve, Odil,

Didit, Fanny, Monic, Aries teman-teman Farmasi A 2010 dan FST 2010.

Terimakasih telah menjadi teman yang luar biasa, bekerjasama, berbagi duka

serta dukungan yang telah diberikan selama ini dan segala pengalaman yang

tak terlupakan selama masa kuliah.

13. Mba Tyas, Mba Asti, Nadia, keluarga Wisma Surya terimakasih telah

menjadi teman yang luar biasa selama di kos, berbagi canda tawa serta

dukungan yang telah diberikan selama bersama-sama di kos Wisma Surya.

14. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

banyak memberikan andil hingga terselesaikannya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak

kekurangannya mengingat keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang

dimiliki. Oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan oleh

penulis demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta,

(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

PRAKATA ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xviii

ABSTRACT ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

(11)

xi

2. Keaslian Penelitian ... 4

3. Manfaat Penelitian ... 4

B. Tujuan Penelitian ... 5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 6

A. Isoflavon dan Tempe ... 6

I. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ... 18

J. Landasan teori ... 20

K. Hipotesis ... 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 22

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 22

B. Variabel Penelitian ... 22

C. Definisi Operasional ... 22

D. Alat dan Bahan Penelitian ... 23

1. Alat penelitian ... 23

2. Bahan penelitian ... 24

(12)

xii

1. Ekstraksi isoflavon dari tempe ... 24

2. Pembuatan larutan baku genistein yang digunakan untuk penentuan panjang gelombang pengamatan ... 25

3. Penetapan panjang gelombang maksimum ... 25

4. Pembuatan larutan baku genistein ... 26

5. Penetapan kadar ekstrak tempe ... 26

6. Pemilihan formula ... 27

7. Pembuatan sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe ... 28

8. Uji sifat fisis sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe ... 28

a. Uji Daya Sebar ... 28

b. Uji pH ... 29

c. Uji Viskositas ... 29

9. Uji iritasi primer dengan metode Draize Test ... 29

10.Uji penetrasi sediaan gel dengan metode Franz Diffusion Cell 30 11.Analisis hasil ... 31

a. Indeks Iritasi Primer ... 31

b. Jumlah Kumulatif Genistein ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

A. Ekstraksi Isoflavon dari Tempe ... 33

B. Penetapan Kadar Ekstrak Isoflavon Tempe ... 34

a. Penetapan Panjang Gelombang Maksimal ... 34

b. Pembuatan Kurva Baku Genistein ... 35

(13)

xiii

C. Pembuatan dan Uji Sifat Fisi Sediaan Gel Anti-ageing Ekstrak

Isoflavon Tempe ... 37

1. pH ... 38

2. Daya sebar ... 38

3. Viskositas ... 39

D. Uji Iritasi Primer dengan Metode Draize Test ... 40

E. Uji Penetrasi Sediaan Gel dengan Metode Franz Diffusion Cell ... 41

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

A. Kesimpulan ... 45

B. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

LAMPIRAN ... 50

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Formula gel standar dan modifikasi ... 27

Tabel II. Formula gel yang digunakan ... 28

Tabel III. Evaluasi Reaksi Iritasi Kulit ... 29

Tabel IV. Kriteria iritasi ... 30

Tabel V. Data uji sifat fisik, Q3jam, dan Fluks... 40

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur Daidzein, Glycitein, dan Genistein ... 7

Gambar 2. Mekanisme hidrolisis Genistin menjadi Genistein... 7

Gambar 3. Struktur kulit ... 8

Gambar 4. Komponen kulit ... 10

Gambar 5. Mekanisme penangkapan radikal bebas oleh Genistein, (a) tahap inisiasi, (b) tahap elongasi, (c) tahap terminasi ... 12

Gambar 6. Struktur Gliserin ... 16

Gambar 7. Diagram blok sistem KCKT secara umum ... 19

Gambar 8. Spektra genistein dengan pelarut etanol ... 34

Gambar 9. Spektra genistein dengan pelarut buffer ... 34

Gambar 10. Kurva hubungan antara konsentrasi baku genistein dengan AUC menggunakan pelarut etanol ... 35

Gambar 11. Kurva hubungan antara konsentrasi baku genistein dengan AUC menggunakan pelarut buffer ... 36

Gambar 12. Gambar sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe ... 37

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Penimbangan Ekstraksi ... 51

Lampiran 2.Data Penimbangan Ekstrak Bobot Tetap ... 51

Lampiran 3. Spektra panjang gelombang pengamatan genistein ... 52

Lampiran 4. Data penimbangan baku dan perhitungan kadar larutan baku

genistein ... 53

Lampiran 5. Kromatogram dan data penentuan kurva baku genistein

dengan pelarut etanol ... 54

Lampiran 6.Persamaan dan gambar kurva baku genistein dengan

pelarut etanol ... 56

Lampiran 7. Kromatogram dan data penentuan kurva baku genistein

dengan pelarut buffer ... 57

Lampiran 8.Persamaan dan gambar kurva baku genistein dengan pelarut

buffer ... 59

Lampiran 9. Data penimbangan, kromatogram dan perhitungan kadar

sampel ... 59

Lampiran 10. Data hasil pengukuran uji sifat fisik sediaan gel ... 62

(17)

xvii

Lampiran 12. Ethical Clearance ... 65

Lampiran 13. Kromatogram sampel dalam sediaan dengan uji Franz Cell

Diffusion ... 66

Lampiran 14. Kadar genistein setelah uji Franz Cell Diffusion pada

setiap formula ... 70

Lampiran 15. Foto gel anti-ageing ekstrak tempe ... 72

(18)

xviii INTISARI

Salah satu penyebab penuaan dini adalah radikal bebas. Isoflavon merupakan salah satu antioksidan yang dapat mencegah adanya radikal bebas. Isoflavon yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari ekstrak tempe.

Chemical penetration enhancer dapat membantu masuknya isoflavon ke dalam kulit. Penelitian mengenai Pembuatan dan Evaluasi Gel Anti-Ageing Ekstrak Tempe dengan Gliserin sebagai Chemical Penetration Enhancer Chemical penetration enhancer bertujuan untuk mengetahui pengaruh penetrasi ekstrak isoflavon tempe dengan chemical penetration enhancer gliserin dengan konsentrasi FI 0%, FII 5%, FIII 10%, dan FIV 20%.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni. Evaluasi sediaan gel ekstrak isoflavon tempe ini dilihat berdasarkan parameter jumlah kumulatif dan fluks dengan menggunakan metode Franz Diffusion Cell secara in vitro.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa FI mempunyai jumlah kumulatif dan fluks yang lebih tinggi daripada FII, FIII, dan FIV. Jumlah kumulatif FI, FII, FIII, dan FIV berturut-turut adalah 1,885±0,065; 0,953±0,028; 0,660±0,026; dan 0,572±0,015 µg/cm2. Nilai fluks FI, FII, FIII, dan FIV berturut-turut adalah 0,628; 0,318; 0,220; 0,191 µg/cm2/jam. Gliserin sebagai chemical penetration enhancer

berpengaruh menurunkan penetrasi dengan meningkatnya konsentrasi.

Kata kunci: Tempe, ekstrak tempe, isoflavon, chemical penetration enhancer, gliserin, gel

(19)

xix ABSTRACT

One of the causes of aging is free radicals. Isoflavone is one of antioxidants which can scavenge free radical. Sources of isoflavones used in this study is derived from tempe extract. Chemical penetration enhancers are subtances which can help isoflavone penetrates into the skin. Research about Formulation and Evaluation of Gel Anti-Ageing of Extract Tempe with glycerin as Chemical Penetration Enhancer ait to observe the effect of penetration of isoflavone tempe extract by using chemical penetration enhancer glycerin at concentration F1 0%, FII 5%, FIII 10%, and FIV 20%.

This research was a purely experimental study. Evaluation of this research was looking for the response of cumulative amount and flux by testing Franz Diffusion Cell in vitro.

The result shown that FI has cumulative amount and flux was higher than FII, FIII, and FIV. The cumulaltive amount of FI, FII, FIII, and FIV were 1,885±0,065; 0,953±0,028; 0,660±0,026; and 0,572±0,015 µg/cm2. Flux of FI, FII, FIII, and FIV were 0,628; 0,318; 0,220; 0,191 µg/cm2/hours. Glycerin as chemical penetration enhancer showed effect toward decrease penetration of isoflavone by increased a concentration of glycerin.

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penuaan merupakan proses alami yang terjadi pada setiap orang yang

da-pat dilihat di kulit. Meningkatnya usia, fungsi kulit ikut menurun, kulit akan

kehi-langan elastisitas sehingga mulai kendur dan berkeriput (Wahyono, 2011).

Pe-nuaan juga bisa disebabkan oleh faktor eksternal seperti sinar matahari, polusi

udara, maupun nutrisi yang tidak seimbang. Radiasi sinar UV matahari

menye-babkan foto oksidasi yang terjadi akibat pelepasan reactive oxygen species (ROS).

Meningkatnya ROS sebagai akibat radikal bebas dapat menyebabkan naiknya

peroksidasi lipid. Lipid yang seharusnya menjaga kulit agar tetap segar, berubah

menjadi lipid peroksida karena bereaksi dengan radikal bebas sehingga

memper-cepat penuaan (Wahyono, 2011).

Radikal bebas merupakan molekul yang mengandung satu atau lebih

elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak

ber-pasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari ber-pasangan dengan

menempel pada sel yang berpasangan. Radikal bebas bersumber dari polusi, asap

rokok, sinar ultraviolet dimana akan menyebabkan penuaan dini seperti kerutan

pada kulit, kulit kusam, dan kendur (Rohmatussolihat, 2009). Oleh karena itu

un-tuk mencegah radikal bebas dapat digunakan antioksidan. Antioksidan dapat

(21)

menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif

memben-tuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil sehingga reaksi oksidasi berhenti

(Hudson, 1990). Berdasarkan mekanisme kerjanya, maka dapat dikembangkan

sediaan cosmeceuticals untuk menghambat penuaan dini yang disebabkan oleh

radikal bebas.

Isoflavon adalah salah satu senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan.

Isoflavon termasuk dalam golongan senyawa flavonoid dan merupakan senyawa

polifenol. Kandungan isoflavon ini banyak terdapat di dalam kedelai dan produk

olahannya (Hernawati, 2010). Isoflavon pada kedelai berbentuk glikosida yang

terdiri dari 64% genistin, 24% daidzin, dan 13% glisitin; dan bentuk aglikon.

Ben-tuk glikosida terdapat pada makanan kedelai yang tidak difermentasi, sedangkan

yang difermentasi misalnya tempe, isoflavonnya dalam bentuk bebas (aglikon).

Ketika bentuk glikosida didegradasi menjadi senyawa aglikon maka akan lebih

mudah diserap oleh tubuh (Astuti, 2008).

Isoflavon aglikon dapat dibuat dalam bentuk sediaan gel, lotion, dan

cream. Pada penelitian kali ini, isoflavon akan dibuat dalam bentuk sediaan gel

hidrofilik. Bentuk sediaan gel mempunyai beberapa kelebihan yaitu dapat

mem-berikan rasa dingin di kulit dengan adanya kandungan air yang cukup tinggi

se-hingga nyaman digunakan, mudah dipakai, menyebar dengan baik dan

memberi-kan kenyamanan pada penggunanya (Mitsui, 1997). Menurut penelitian Nan et al.

(22)

larut di dalam eter, kloroform dan petroleum eter. Genistein termasuk dalam

isoflavon dimana sebagian larut dalam air sehingga bisa dibuat jadi gel.

Chemical penetration enhancer diperlukan untuk meningkatkan

ma-suknya zat aktif (isoflavon) ke dalam stratum corneum sehingga dapat mencapai

lapisan dermis untuk mencegah penuaan kulit dengan menangkap radikal bebas.

Zat peningkat penetrasi dapat bekerja melalui tiga mekanisme, yaitu: dengan cara

mempengaruhi struktur stratum corneum, berinteraksi dengan protein intraseluler,

dan memperbaiki partisi obat, coenhancer atau cosolvent ke dalam stratum

corneum (Swarbrick dan Boylan, 1986).

Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi antara

lain: air, sulfoksida, azone, pyrrolidones, asam-asam lemak, alkohol dan glikol,

surfaktan, urea, minyak atsiri, terpen dan fosfolipid (Sukmawati dan Suprapto,

2010). Pada penelitian ini digunakan zat peningkat penetrasi yaitu gliserin.

Glis-erin dapat digunakan sebagai chemical penetration enhancer pada konsentrasi

0,1-20% (Stinchcomb dan Banks, 2010). Kecepatan penetrasi obat dengan

meng-gunakan chemical penetration enhancer gliserin ke dalam kulit dapat dilakukan

secara in vitro menggunakan Franz Diffusion Cell.

1. Perumusan Masalah :

Bagaimana pengaruh gliserin sebagai chemical penetration enhancer

(23)

2. Keaslian Penelitian

Penelitian pengembangan isoflavon dalam pembuatan gel telah dilakukan

oleh Lulu (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Optimasi Formula Gel

Anti-Ageing Ekstrak Etil Asetat Isoflavon dengan Carbopol 940 Sebagai

Gelling Agent dan Propilen Glikol Sebagai Humektan : Aplikasi Desain

Faktorial”. Dalam penelitian tersebut digunakan isoflavon yang berasal dari

ekstrak etil asetat tempe serta dilakukan optimasi formula gel.

Berdasarkan penelitian diatas, “Pembuatan dan Evaluasi Gel Anti-Ageing

Ekstrak Tempe dengan Gliserin sebagai Chemical Penetration Enhancer

belum pernah dilakukan.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoretis

Menambah pengetahuan terutama dalam bidang farmasi mengenai

penetrasi genistein ke dalam kulit pada sediaan gel dengan penetration

enhancer gliserin.

b. Manfaat metodologis

Menambah informasi ilmu pengetahuan kefarmasian mengenai upaya

pengembangan dan aplikasi formula gel ekstrak bahan alam dan

penggunaan chemical penetration enhancer dalam formulasi gel ekstrak

(24)

c. Manfaat praktis

Memberikan informasi kepada masyarakat maupun penelitian lebih

lanjut mengenai chemical penetration enhacer dalam sediaan gel

anti-ageing ekstrak tempe.

B. TUJUAN PENELITIAN 1.Tujuan umum

Membuat sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe.

2. Tujuan khusus

Mengetahui pengaruh gliserin sebagai chemical penetration enhancer

(25)

6 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Isoflavon dan Tempe

Isoflavon merupakan senyawa yang termasuk dalam golongan flavonoid

yang merupakan senyawa polifenolik. Senyawa isoflavon banyak ditemukan pada

tanaman kacang-kacangan (Leguminosa) dan produk olahannya (Astuti, 2008).

Salah satu tanaman kacang-kacangan yang mengandung isoflavon yaitu kedelai

dan salah satu produk olahan yang mengandung isoflavon yaitu tempe

(Hernawati, 2010). Tempe merupakan makanan tradisional yang dibuat dengan

cara memfermentasikan kedelai tanpa kulit dengan jamur Rhizopus, sampai

kedelai tertutup dengan miselium putih jamur dan mempunyai aroma khas jamur

(Pramesti, 2007).

Isoflavon pada kedelai terdiri dari aglikon (genistein, glisitein, dan

daidzein), glikosida (daidzin, genistin, dan glisitin) (Pramesti, 2007). Kandungan

isoflavon dalam 100 g kedelai berkisar 0,1-0,5 g (Cho et al., 2009). Di dalam

kedelai, isoflavon yang banyak ditemukan sebagai β-glukosida yang dapat

terhidrolisis menjadi bentuk aglikon menjadi daidzein, genistein, glisitein

(Carrao-Panizzi et al., 2002). Bentuk aglikon dari isoflavon lebih aktif daripada glikosida

dimana pengaruh itu sebanding dengan peningkatan jumlah gugus hidroksil pada

molekulnya (Pramesti, 2007).

Genistin dan daidzin akan terhidrolisis menjadi bentuk aglikonnya

(26)

fermentasi akibat aktivitas enzim β-glukosidase. Rhizopus oryzae dan Rhizopus

oligosporus diketahui memproduksi enzim β-glukosidase yang menghidrolisis

isoflavon glikosida menjadi isoflavon aglikon sehingga menyebabkan senyawa

isoflavon aglikon lebih banyak pada tempe (Pramesti, 2007).

Gambar 1. Struktur Daidzein, Glycitein, dan Genistein (Doerge et al.,1999).

Gambar 2. Mekanisme hidrolisis Genistin menjadi Genistein

B. Kulit

Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh dimana bobot kulit dapat

mencapai 10% bobot individu dengan luas permukaan kulit pada orang dewasa

(27)

protektif ini menjadikan tubuh terhindar dari masuknya zat-zat asing (bakteri,

virus, debu) yang dapat membahayakan tubuh (Nugroho, 2013). Menurut Walters

et al. (2002), secara anatomi kulit terdiri dari empat lapisan jaringan yaitu stratum

korneum, epidermis, dermis, dan subkutan (lapisan lemak dibawah kulit).

Stratum korneum merupakan lapisan terluar kulit sebagai hasil

pembelahan sel epidermis ke arah keluar yang membentuk lapisan-lapisan terluar

epidermis (Nugroho, 2013) yang selnya telah kehilangan air, tidak berinti dan

mati (Walters et al., 2002). Sel-sel ini akan mengalami keratinisasi menjadi

struktur yang disebut korneosit (Nugroho, 2013).

Gambar 3. Struktur kulit (Walters et al., 2002)

Stratum korneum erat hubungannya dengan kosmetik karena dapat

mencerminkan kondisi kulit. Lapisan ini berperan pada tahap penembusan

sehingga menentukan konsentrasi senyawa aktif pada sel target. Membran

(28)

dan biologis disebabkan oleh adanya jembatan disulfida (menyusun serat keratin

α) dan ikatan kovalen antarmolekul. Ketebalan stratum korneum dapat dirangsang

oleh paparan ulang senyawa kimia atau fisika. Respon ini melindungi epidermis

dari rangsangan luar (Mitsui, 1997; Alache, Devissaguet, dan Hermann, 1993).

Epidermis merupakan bagian kulit di bawah stratum korneum yang

tersusun atas lapisan-lapisan sel seluler dan tipis dengan kandungan air yang

mulai berkurang jika dibandingkan dengan jumlah air yang ada di dermis.

Semakin ke atas kandungan air semakin menurun dan akhirnya sama sekali hilang

di bagian stratum korneum (Nugroho, 2013). Tebal epidermis secara keseluruhan

yaitu 74,9-96,4 µm (Sandby-Moller et al., 2003). Menurut umur lapisan selnya,

lapisan epidermis dapat dibedakan menjadi stratum germinativum yang

merupakan lapisan terdalam (usia termuda), stratum spinosum, stratum

granulosum, dan stratum korneum di lapisan terluar (Barry, 1983).

Dermis merupakan bagian di bawah epidermis berupa lapisan-lapisan sel

aselular yang menjadi tempat sistem pembuluh darah, saraf, folikel rambut,

kelenjar minyak, dan kelenjar keringat (Nugroho, 2013). Dermis mempunyai tebal

sekitar 0,1-0,5 cm dan terdiri dari 70% kolagen dan jaringan elastin (Walters et

al., 2002). Dermis dihubungkan dengan epidermis oleh papilla. Dermis tersusun

dari materi nonselular yang mendukung keberadaan organ-organ pembuluh darah,

pembuluh limfa, urat-urat saraf, dan komponen retikuloendotelia (Nugroho,

2013). Jaringan lemak subkutan terletak di bawah dermis yang berperan penting

dalam menyerap panas, meredam tekanan atau beban yang menimpa kulit

(29)

Gambar 4. Komponen kulit (Walters et al., 2002)

C. Penuaan Kulit

Kulit berubah seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Paparan sinar

matahari dipercaya mempercepat proses perubahan kulit. Penuaan kulit dapat

dipercepat lagi dengan adanya radikal bebas. Tanda-tanda penuaan kulit yang

dapat terlihat yaitu kulit terlihat kasar, kering, kendur dan kehilangan

elastisitasnya, terdapat noda hitam, keriput, timbul lipatan pada leher dan garis

kerutan pada wajah (Tortora et al., 1990).

Faktor yang dapat menyebabkan penuaan kulit salah satunya adalah

(30)

terluarnya memiliki elektron yang tidak berpasangan sehingga elektron tersebut

menjadi reaktif dan tidak stabil. Elektron akan mencari pasangan elektron yang

lain dengan cara menariknya dari molekul lain. Pada kulit, radikal bebas akan

merusak lemak dan membran sel sehingga menyebabkan kulit kehilangan

kekencangan dan timbul keriput (Tortora et al., 1990).

Senyawa bioaktif isoflavon yang mengandung gugus fenolik mempunyai

kemampuan sebagai antioksidan dan mencegah kerusakan akibat radikal bebas

melalui dua mekanisme, yaitu mendonorkan ion hidrogen dan bertindak sebagai

scavenger radikal bebas secara langsung. Isoflavon mempunyai kemampuan

untuk mencegah peroksidasi lipid karena berperan sebagai akseptor radikal bebas

sehingga dapat menghambat reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid dan

radikal bebas dapat diredam (Astuti, 2008).

Senyawa flavonoid dapat mendonorkan hidrogen pada radikal bebas

sehingga menghasilkan radikal stabil berenergi rendah yang berasal dari senyawa

flavonoid yang kehilangan atom hidrogen. Radikal antioksidan yang terbentuk

menjadi lebih stabil melalui proses resonansi struktur cincin aromatiknya

sehingga tidak mudah untuk terlibat pada reaksi radikal lain (Astuti, 2008).

Mekanisme penangkapan radikal bebas oleh genistein di dalam lapisan

dermis meliputi tahap inisiasi, elongasi, dan terminasi. Tahap inisiasi merupakan

tahap pembentukan radial, tahap elongasi merupakan tahap penyerangan radial,

(31)

Gambar 5. Mekanisme penangkapan radikal bebas oleh Genistein, (a) tahap inisiasi, (b)

tahap elongasi, (c) tahap terminasi

D. Gel

Gel merupakan sediaan semisolid yang mengandung larutan bahan aktif

tunggal maupun campuran dengan pembawa senyawa hidrofilik atau hidrofobik

(Dirjen POM, 1995). Beberapa gel mempunyai tampilan jernih karena adanya

tampilan dari air dan lainnya keruh yang disebabkan bahan-bahannya tidak

terdis-persi molekular atau membentuk agregat. Gel harus memiliki clarity dan kilau

untuk menarik konsumen. (Allen dan Loyd, 2002).

Gel dikategorikan menjadi gel inorganik, organik, hidrogel, dan

organo-gel. Gel inorganik mempunyai sistem dua fase, sedangkan gel organik mempunyai

sistem satu fase. Hidrogel mengandung bahan yang terdispersi seperti koloid atau

terlarut pada air. Pada konsentrasi tinggi, koloid hidrofilik membentuk gel

semi-solid yang disebut jelly (Allen dan Loyd, 2002).

Hidrogel komposisi utamanya tersusun dari 85-95% air atau campuran

(32)

mendinginkan (Buchmann dan Stephan, 2001). Humektan yang ditambahkan

membuat sediaan ini menjadi lunak, memberikan kelembutan, daya sebar yang

cukup, dan menghindari kemungkinan terjadinya pengeringan. Keuntungan gel

tipe ini yaitu tidak berlemak, membentuk lapisan film tembus pandang elastis

setelah kering dengan daya lekat tinggi, tidak menyumbat por-pori, dan mudah

dicuci dengan air (Voight, 1994).

E. Sifat Fisik Gel

Sifat umum yang diinginkan dari sediaan gel yaitu dapat diterima oleh

konsumen seperti mudah dikeluarkan dari wadah, sensasi dingin ketika kontak

dengan kulit, kemampuan melekat pada tempat aplikasi selama waktu tertentu,

residu yang tidak meninggalkan rasa lengket setelah diaplikasikan, dan efikasi

klinis yang terkait pelepasan obat dan absoprsi. Hal ini terkait dengan daya sebar,

dan viskositas sediaan sehingga perlu diperhatikan (Garg et al., 2002).

Daya sebar berhubungan dengan sudut kontak tiap tetes cairan atau

preparasi semisolid yang berhubungan langsung dengan koefisien friksi. Faktor

yang mempengaruhi daya sebar adalah formulanya kaku atau tidak, kecepatan dan

lama tekanan yang menghasilkan kelengketan, temperatur pada tempat aksi.

Kecepatan penyebaran bergantung pada viskositas formula, kecepatan evaporasi

pelarut, dan kecepatan peningkatan viskositas karena evaporasi (Garg et al.,

2002).

Viskositas adalah pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir.

Semakin tinggi viskositas maka semakin besar tahanannya (Martin et al., 1993).

(33)

akan menurunkan daya sebar (Garg et al., 2002). Gel pada penggunaan topikal

sebaiknya tidak terlalu lengket karena dapat menimbulkan rasa tidak nyaman.

Konsentrasi gelling agent yang terlalu tinggi dengan bobot molekul yang terlalu

besar akan menghasilkan gel yang sulit diaplikasikan (Zatz et al.,1996).

F. Penetration Enhancer

Penetration enhancer adalah senyawa-senyawa kimia tunggal maupun

kombinasi yang mempunyai kemampuan meningkatkan permeabilitas (Nugroho,

2013) dan mengurangi impermeabilitas kulit secara temporal (sementara)

se-hingga dapat lebih mudah dilewati oleh bahan obat (Sinha dan Kaur, 2000).

Ideal-nya, bahan yang digunakan sebagai penetration enhancer haruslah inert secara

farmakologi, tidak toksik, tidak mengiritasi, tidak menyebabkan alergi (tidak

ber-sifat alergenik), tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, murah, serta

kompati-bel dengan zat aktif maupun eksipien yang digunakan (Sinha dan Kaur, 2000).

Selain itu, penetration enhancer harus dapat membalikkan barrier pertahanan

stratum korneum kepada struktur awal ketika konsentrasi enhancer telah habis

tanpa menyebabkan kematian sel (Pathan et al., 2009).

Mekanisme umum penetration enhancer yaitu dengan mengacaukan

struktur lipid dari stratum korneum kemudian berinteraksi dengan protein

interse-luler dan terakhir meningkatkan partisi obat/zat aktif, coenhancer atau pelarut ke

(34)

Beberapa senyawa yang bertindak sebagai penetration enhancer, yaitu:

a. Golongan alkohol dan glikol

Alkohol rantai pendek (C2-C5) dan senyawa golongan glikol

dapat meningkatkan absorpsi, khususnya absorpsi molekul polar.

Senyawa ini meningkatkan absorpsi dengan cara meningkatkan

fluiditas dari lapisan lipid pada stratum korneum dengan berinteraksi

dengan protein pada stratum korneum (Rosen, 2005).

b. Asam lemak dan esternya

Sejumlah besar asam lemak sudah secara luas diteliti untuk

meningkatkan penetrasi sediaan trasndermal. Asam lemak tidak

jenuh dilaporkan lebih aktif daripada asam lemak yang jenuh.

Mekanisme aksi dari asam lemak adalah meningkatkan kelarutan

dari obat, meningkatkan partisi obat, meningkatkan penetrasi pelarut

dan mengubah struktur barrier kulit (Rosen, 2005).

c. Terpene

Terpene diketahui dapat meningkatkan permeasi perkutan dari

obat hidrofilik maupun yang bersifat hidrofob. Terpene yang bersifat

polar ternyata diketahui dapat meningkatkan permeasi dari senyawa

polar dan sebaliknya (Rosen, 2005).

d. Amina dan amida

Senyawa yang termasuk golongan ini meliputi urea dan

derivatnya, asam amino dan esternya, amida, seperti azone dan

(35)

enhancer dan merupakan salah satu senyawa yang banyak diteliti

karena dapat meningkatkan permeasi dari obat dalam spektrum luas

(Rosen, 2005).

G. Gliserin

Gliserin merupakan cairan higroskopis yang tidak berwarna, tidak

berbau, rasa manis. Gliserin dapat digunakan dalam formulasi seperti oral,

optalmik, topikal maupun parenteral. Fungsi gliserin dapat digunakan sebagai

humektan dan emolient dalam sediaan topikal. Dalam sediaan krim, emulsi,

parenteral dapat berfungsi sebagai solvent maupun co-solvent. Sedangkan di

dalam sediaan larutan oral dapat berfungsi sebagai pemanis, pengawet. Selain itu

gliserin juga dapat digunakan sebagai plasticizer. Penggunaan yang berbeda

fungsi ini dapat digunakan sesuai dengan konsentrasi yang diperbolehkan (Rowe

et al., 2009).

Gliserin merupakan bahan yang sudah terdaftar dalam Food and Drug

Assosiation (FDA), dan aman digunakan dalam konsentrasi 0,2-65,7%

(Smolinske, 1992). Gliserin juga bisa digunakan sebagai penetration enhancer

dengan konsentrasi 0,1-20% (Stinchcomb dan Banks, 2010).

(36)

Gliserin bersifat sebagai penetration enhancer dan juga sebagai

humektan yang kuat dan aman bagi kulit karena mempunyai kemampuan

menyerap air yang hampir sama dengan natural moisturizing factor (NMF) yang

merupakan pengikat alami dalam kulit (Pius, 2012). Gliserin termasuk dalam

golongan glikol yang dapat memfasilitasi masuknya senyawa aktif dengan

membentuk celah yang disebut microchannel pada stratum korneum dan

memungkinkan senyawa aktif yang lebih polar berpenetrasi ke dalam kulit

(Dayan, 2005).

Humektan dapat membantu menjerat air dari udara yang kemudian dapat

berpenetrasi ke dalam kulit, bila kelembaban relatif rendah. Tetapi humektan

dapat juga menarik air dari bagian epidermis dan dermis yang dapat menyebabkan

kulit menjadi kering. Mekanisme humektan yang menarik air untuk penetrasi ke

dalam kulit, akan mengakibatkan pengembangan stratum korneum yang

memberikan persepsi kulit halus dengan sedikit kerut (Johnson, 2002).

H. Draize Test

Draize test merupakan model uji in vivo yang biasa digunakan dalam uji

iritasi dengan menggunakan kelinci albino. Uji ini menggunakan sistem scoring

untuk menunjukkan index iritasi primer yang didapatkan dari perhitungan eritema

dan edema yang dihasilkan (Maibach, 2001).

Kelinci albino yang sudah dicukur bulunya diaplikasikan sediaan atau

senyawa yang akan diukur indeks iritasi primernya pada waktu tertentu. Iritasi

(37)

tertentu. Iritasi ini dapat terjadi jika suatu zat menempel pada kulit dan

menyebabkan zat tersebut terpenetrasi masuk ke dalam kulit dan mengakibatkan

dilatasi pembuluh darah pada daerah yang terkena. Jika zat tersebut mengiritasi

maka akan menyebabkan iritasi pada kulit yang terkena zat tersebut dan

sebaliknya (Irsan, dkk., 2013).

Hasil eritema maupun edema diukur dengan menggunakan sistem

scoring yang kemudian dihitung dengan rumus untuk mengetahui indeks iritasi

primer yang didapatkan (Irsan, dkk., 2013).

I. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu metode

kromatografi cair yang dilengkapi dengan sistem pompa bertekanan tinggi untuk

mengalirkan fase gerak dan detektor yang sensitif sehingga pemisahan dapat

berlangsung dengan cepat dan memiliki efisiensi yang tinggi. Salah satu

keunggulan KCKT dibandingkan dengan kromatografi gas yaitu dapat untuk

menganalisis senyawa yang tidak menguap atau tidak tahan panas tanpa peruraian

atau tanpa perlunya derivat yang menguap (Dirjen POM, 1995).

Instrumen KCKT terdiri dari delapan komponen pokok, yaitu wadah fase

gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukkan sampel, kolom,

detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung penghubung, dan suatu

perekam/komputer (Rohman, 2007).

Fase gerak biasanya terdiri dari campuran pelarut yang dapat bercampur

(38)

oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen

sampel. Fase normal dimana fase diam lebih polar daripada fase gerak,

kemampuan elusi meningkat dengan meningkatkan polaritas pelarut, sedangkan

untuk fase terbalik dimana fase diam kurang polar daripada fase gerak,

kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut (Rohman,

2007).

Fase diam yang digunakan berupa silika yang dimodifikasi secara

kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren dan divinil

benzen. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya residu

gugus silanol (SiOH). Oktadesil silika (ODS/C18) merupakan fase diam yang

paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan

kepolaran rendah, sedang, maupun tinggi (Rohman, 2007).

Gambar 7. Diagram blok sistem KCKT secara umum (Rohman, 2007)

Penelitian mengenai genistein dengan menggunakan KCKT telah

dilakukan oleh Orhan et al. (2011) dengan penelitian analisis kandungan genistein

(39)

menggunakan fase diam C18, fase gerak metanol : air (70:30) dengan panjang

gelombang 261 dan kecepatan alir 0,7ml/menit.

J. Landasan Teori

Penuaan kulit merupakan hal yang terjadi pada manusia dikarenakan

bertambahnya usia, faktor radikal bebas, dan makanan. Isoflavon mempunyai

daya antioksidan yang dapat menghambat penuaan kulit. Tempe merupakan salah

satu sumber yang mengandung isoflavon, yang digunakan sebagai bahan aktif

dalam sediaan anti-ageing untuk menghambat penuaan kulit di dermis (Astuti,

2008).

Sediaan anti-ageing merupakan sediaan cosmeuticals yang dalam

penelitian ini, akan dibuat dalam formulasi gel karena mempunyai sifat fisik dan

stabilitas yang dapat diterima oleh masyarakat, mempunyai konsistensi yang

lembut, serta memberikan rasa nyaman pada kulit saat penggunaan maupun

pembersihannya yang mudah dicuci dengan air.

Dalam sediaan gel ini diformulasikan pula penetration enhancer yang

berfungsi untuk membawa bahan aktif serta meningkatkan penetrasi isoflavon,

khususnya genistein ke dalam lapisan kulit untuk mencegah penuaan kulit di

dermis. Penetration enhancer yang digunakan dalam formulasi sediaan ini adalah

gliserin. Dalam penelitian ini akan dilihat kemampuan penetration enhacer

gliserin dengan empat konsentrasi yang berbeda untuk mengetahui pengaruhnya

dalam membawa dan meningkatkan bahan aktif ke dalam lapisan kulit tanpa

(40)

Gliserin bersifat sebagai penetration enhancer dan juga sebagai

humektan yang mempunyai kemampuan menarik air untuk penetrasi ke dalam

kulit, akan mengakibatkan pengembangan stratum korneum (Johnson, 2002).

Gliserin termasuk dalam golongan glikol yang dapat memfasilitasi masuknya

senyawa aktif dengan membentuk celah yang disebut microchannel pada stratum

korneum dan memungkinkan senyawa aktif yang lebih polar berpenetrasi ke

dalam kulit (Dayan, 2005).

Salah satu isoflavon yaitu genistein yang mempunyai sifat semipolar

yang diformulasikan ke dalam gel dengan penetration enhancer gliserin

diharapkan dapat berpenetrasi ke dalam lapisan kulit dengan metode Franz

Diffusion Cell dan perlu dilakukan penetapan kadar untuk mengetahui kadar

genistein yang terpenetrasi.

Penetapan kadar genistein dilakukan dengan metode KCKT fase terbalik

detektor UV, karena KCKT memiliki sensitivitas dan selektivitas yang baik untuk

analisis senyawa dalam campuran dengan kadar yang kecil serta genistein

memiliki gugus kromofor yang dapat memberikan serapan pada daerah panjang

gelombang UV.

K. Hipotesis

Gliserin dapat berfungsi sebagai chemical penetration enhancer terhadap

(41)

22 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan rancangan eksperimental murni.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Kadar gliserin yang digunakan sebagai chemical penetration enhancer.

2. Variabel tergantung

Sifat fisik gel anti-ageing ekstrak isoflavon tempe yang meliputi daya

sebar, viskositas gel dan pH sediaan serta kecepatan penetrasi zat aktif ke

dalam kulit.

3. Variable pengacau terkendali

Kecepatan putar dan waktu pengadukan dalam proses pembuatan sediaan

gel, wadah penyimpanan, lama penyimpanan.

4. Variable pengacau tak terkendali

Kelembaban, suhu ruangan saat pembuatan dan penyimpanan gel,

kondisi patologis hewan uji, subyektifitas penulis dalam pengamatan.

C. Definisi Operasional

1. Ekstrak tempe adalah cairan kental yang diperoleh dari hasil ekstraksi tempe

(42)

2. Gel anti-ageing ekstrak tempe adalah sediaan semi padat yang dibuat dari

ekstrak tempe sesuai formula yang telah ditentukan.

3. Chemical penetration enhancer adalah substansi atau senyawa yang dapat

memfasilitasi absorpsi penetrasi melalui kulit dengan mengurangi

impermeabilitas dari kulit secara sementara, dalam hal ini adalah gliserin.

4. Sifat fisik gel anti-ageing adalah parameter untuk mengetahui kualitas fisik gel

anti-ageing, dalam penelitian ini meliputi parameter daya sebar, pH, dan

viskositas.

5. Draize Test adalah uji iritasi yang dilakukan pada hewan uji untuk mengetahui

apakah sediaan gel anti-ageing ekstrak kedelai menyebabkan iritasi atau tidak.

Hewan uji yang digunakan adalah kelinci albino.

6. Franz Cell Diffusion adalah suatu alat uji yang digunakan untuk mengukur

jumlah obat yang terpenetrasi melalui kulit secara in vitro.

D. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas (Iwaki

TE-32 Pirex Japan Unmderli), alat maserasi (Innova 2100 platform shaker),

Vaccum Rotary Evaporator (Janke-Kulken), mixer, blender, neraca analitik

Mettler-Todelo AB204, Horizontal Double Plate, indikator pH universal

Merck, pHmeter, Viskometer Rion VT-04, alat vakum, seperangkat alat KCKT

dengan detektor ultraviolet (UV) merek Shimadzu LC-2010C, kolom C18

(43)

B115Y620), seperangkat komputer (merek Dell B6RDZ1S Connexant system

RD01-D850 A03-0382 JP France S.A.S, printer HP Deskjet D2566

HP-024-000 625730), UV/Vis Spectrophotometer SP-3000plus merek OPTIMA dengan

deterktor silicon photo diode, millipore, alat ultrasonicator Refsch., Tipe :

T460 (Schwing.1 PXE, FTZ-Nr. C-066/83, HF-Frequ.:35 kHz), mikropipet,

dan kertas saring Whatman 0,45 μm.

2. Bahan penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempe yang diperoleh

dari SUPERINDO, Seturan, aquadest, gliserin, propilenglikol, carbopol 940,

triethanolamin, metil paraben, natrium klorida dan ethanol kualitas farmasetis;

ethanol, metanol p.a. (E. Merck), aquabidest hasil penyulingan di laboratorium

Kimia Analisis Instrumental Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta, dan baku pembanding genistein.

E. Tata Cara Penelitian 1. Ekstraksi isoflavon dari tempe

Tempe segar yang didapatkan dari SUPERINDO merek MUCHLAR,

Seturan dipotong-potong kecil kemudian diblender hingga halus. Kemudian

tempe yang sudah halus ditimbang sebanyak 150,0 gram ditambah petrolium

eter (PE) sebanyak 300,0 mL (1:2), kemudian di maserasi selama sehari (±24

jam). Kemudian PE dibuang dan ditambahkan etanol sebanyak 300,0 mL

kemudian di maserasi selama 3 hari. Hasil maserasi disaring sehingga

(44)

menggunakan rotary evaporator hingga didapatkan ekstrak kental tempe.

Ekstrak kental ini dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 50°C selama 1 jam kemudian dikeluarkan dan ditimbang bobotnya. Kemudian dilakukan hal yang

sama hingga didapatkan bobot tetap.

2. Pembuatan larutan baku genistein yang digunakan untuk penentuan panjang gelombang pengamatan

Sejumlah lebih kurang 1,0 mg genistein ditimbang seksama dan

dilarutkan dalam 1,0 mL etanol sehingga didapatkan konsentrasi sebesar

1000,0 µg/mL, kemudian dibuat larutan intermediet dengan mengambil

sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu takar 5,0 mL kemudian

diencerkan dengan etanol hingga tanda batas sehingga didapatkan konsentrasi

sebesar 100,0 µg/mL. Larutan seri untuk pengamatan panjang gelombang

menggunakan 2 konsentrasi yaitu 5,0 dan 10,0 µg/mL. Larutan seri dibuat dari

larutan intermediet dengan mengambil masing-masing sejumlah 250,0 dan

500,0 µ L dimasukkan ke dalam labu 5,0 mL kemudian diencerkan dengan

etanol hingga tanda batas sehingga didapatkan konsentrasi sebesar 5 µg/mL,

10 µg/mL.

3. Penetapan panjang gelombang maksimum

Masing-masing konsentrasi 5, 10 µg/mL larutan seri baku genistein

(45)

spektrofotometer UV-Vis. Spektrum yang dihasilkan akan menunjukkan

panjang gelombang maksimum yang akan digunakan pada sistem KCKT.

4. Pembuatan larutan baku genistein

Sejumlah lebih kurang 1,0 mg genistein ditimbang seksama dan

dilarutkan dalam 1,0 mL etanol sehingga didapatkan konsentrasi sebesar

1000,0 µg/mL, kemudian dibuat larutan intermediet dengan mengambil

sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu takar 5,0 mL kemudian

diencerkan dengan etanol hingga tanda batas sehingga didapatkan konsentrasi

sebesar 100,0 µg/mL.

Pembuatan seri larutan baku dibuat dari larutan intermediet dengan

mengambil masing-masing sejumlah 5,0; 25,0; 50,0; 250,0; 500,0 µL

dimasukkan ke dalam labu ukur 5,0 mL secara beruturan dari volume kecil

hingga besar kemudian diencerkan dengan etanol hingga tanda batas sehingga

didapatkan konsentrasi sebesar 0,1; 0,5; 1,0; 5,0; dan 10,0 µg/mL. Larutan

disaring dengan millipore dan didegassing dengan ultrasonicator selama 15

menit kemudian diinjeksikan ke dalam sistem KCKT fase terbalik.

5. Penetapan kadar ekstrak tempe

Ekstrak tempe di timbang sebanyak 1,0 g kemudian dilarutkan ke dalam

15,0 mL aquadest dan 15,0 mL etil asetat kemudian dilakukan ekstraksi

cair-cair. Fase atas larutan diambil (larutan A), kemudian fase bawah ditambahkan

(46)

hingga dua kali. Fase atas disatukan dengan larutan A. Larutan A kemudian

diuapkan hingga didapatkan bobot tetap.

Ekstrak yang telah bobot tetap dilarutkan dengan etanol secukupnya

kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100,0 mL dan diencerkan dengan

etanol hingga tanda batas. Larutan stok sampel diambil sebanyak 1 mL

dimasukkan ke dalam labu takar 10,0 mL kemudian diencerkan dengan etanol

hingga tanda batas. Larutan disaring dengan di milipore dan didegassing

dengan ultrasonicator selama 15 menit, kemudian diinjeksikan ke dalam

sistem KCKT fase terbalik detektor UV dengan fase diam C18, fase gerak

metanol : air (70:30) dengan kecepatan alir fase gerak 0,7 mL/min sebanyak

20,0 µ L.

6. Pemilihan formula

Formula yang digunakan mengacu pada International Journals of

Pharmaceutical Compounding dengan judul Gel Compounding. Formula yang

digunakan adalah sebagai berikut :

Tabel I. Formula gel standar dan modifikasi

Formula Standar Formula Modifikasi R/ Carbopol 0,5 g R/ Carbopol 1%

(47)

Formula yang digunakan:

Tabel II. Formula gel yang digunakan

Bahan F1 F2 F3 F4

7. Pembuatan sedian gel anti ageing ekstrak tempe

Campur gliserin dan ekstrak tempe menggunakan mixer skala kecepatan

1 hingga homogen, kemudian tambahkan propilenglikol campur homogen.

Carbopol 940 ditambahkan ke dalam campuran kemudian mixer selama 2

menit, kemudian ditambahkan sisa aquadest, metil paraben ke dalam campuran

dan mixer hingga homogen. TEA ditambahkan ke dalam campuran dan

dicampur homogen menggunakan mixer skala kecepatan satu selama 2 menit.

Sediaan gel ditambahkan pewangi apel sebanyak 5 tetes dan dimixer homogen.

8. Uji sifat fisis sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe

a. Uji Daya Sebar. Uji daya sebar dilakukan 48 jam setelah pembuatan

dengan cara gel ditimbang seberat 1 gram dan diletakkan di tengah kaca

bulat berskala, kemudian ditutup dengan kaca bulat yang lain. Diatas gel

diberi beban dengan berat total 125 gram kemudian didiamkan selama 1

(48)

b. Uji pH. Uji pH dilakukan sesaat setelah pembuatan gel menggunakan

indikator pH universal.

c. Uji Viskositas. Uji viskositas dilakukan dengan menggunakan alat

viskosmeter dengan cara gel dimasukkan ke dalam wadah dan dipasang

pada portable viscotester. Viskositas gel diketahui dengan mengamati

gerakan jarum penunjuk viskositas. Uji ini dilakukan 48 jam setelah

pembuatan gel.

9. Uji iritasi primer dengan metode Draize Test

Evaluasi iritasi primer dilakukan dengan menggunakan hewan uji kelinci

albino sebanyak 2 kelinci setiap formula. Dibuat area dengan ukuran 2,54 x

Tabel III. Evaluasi Reaksi Iritasi Kulit (Buchman dan Stephan, 2001)

Jenis Iritasi Skor Eritema Tanpa eritema 0

Eritema hampir tidak tampak 1 Eritema berbatas jelas 2 Eritema moderat sampai berat 3 Eritema berat (merah bit) sampai sedikit membentuk kerak 4

Edema Tanpa edema 0

Edema hampir tidak tampak 1 Edema berbatas jelas 2 Edema moderat (tepi naik ±1 cm) 3 Edema berat (tepi naik lebih dari 1 mm dan meluas keluar

daerah pejanan)

(49)

Tabel IV. Kriteria iritasi (Buchman dan Stephan, 2001)

Indeks Iritas Kriteria Iritasi Senyawa Kimia 0 Tidak mengiritasi <2 Kurang merangsang 2-5 Iritasi moderat

>5 Iritasi berat

10. Uji penetrasi sediaan gel dengan metode Franz Diffusion Cell

Uji penetrasi menggunakan membran abdomen kulit mencit jantan galur

Swiss usia 2-3 bulan. Mencit dibius dengan eter kemudian bulu pada bagian

abdominal dicukur dan disayat serta lemak-lemak pada bagian subkutan yang

menempel dihilangkan secara hati-hati. Sayatan direndam dalam larutan Na

fisiologis steril dan disimpan pada suhu 4°C. Kompartemen reseptor diisi dengan larutan dapat fosfat pH 7,4 sekitar 27,0 mL yang dijaga suhunya sekitar

37±0,5°C dan diaduk dengan pengaduk magnetik stirer dengan kecepatan 300rpm.

Kulit abdomen diletakkan diantara kompartemen donor dan

kompartemen reseptor dengan sisi dermal berhubungan langsung dengan

medium reseptor. Sampel ditimbang seksama sebanyak ±1,0 gram kemudian

diaplikasikan pada permukaan kulit. Kemudian sampel diambil pada jam

ke-0,5; 1; 2; dan 3 sebanyak 600,0 µ L dari kompartemen reseptor dengan

menggunakan syriringe dan larutan dapar fosfat pH 7,4 segera ditambahkan

sejumlah volume yang sama dengan volume yang diambil. Kemudian sampel

disaring dengan menggunakan milipore dan diinjekkan ke dalam sistem KCKT

(50)

11. Analisis Hasil

a. Indeks Iritasi Primer

Indeks iritasi primer untuk sediaan juga dihitung dengan rumus sebagai

berikut :

Jumlah kumulatif genistein yang terpenetrasi per luas area difusi

(µg/cm2) dapat dihitung dengan rumus :

Q kumulatif = 𝐶𝑛.𝑉 +( 𝐶.

𝑛 −1 𝑖=1 𝑆) A

Keterangan :

Q = Jumlah kumulatif isoflavon yang terpenetrasi per luas area difusi(µg/cm2)

Cn = Konsentrasi isoflavon µg/mL pada sampling menit ke-n V = Volume sel difusi Franz

𝐶

𝑛−1

𝑖=1 = Jumlah konsentrasi isoflavon (µg/mL) pada sampling pertama

hingga sebelum menit ke-n S = Volume sampling (mL) A = Luas area membran (cm2)

Kemudian dilakukan perhitungan fluks (kecepatan penetrasi tiap satuan

waktu) obat berdasarkan hukum Fick I :

𝐽= M

S × t

Keterangan :

J = Fluks (µ g cm-2 jam-1)

M = Jumlah kumulatif genistein yang melalui membran (µg) S = Luas area difusi (cm2)

(51)

Kemudian dibuat grafik kumulatif genistein yang terpenetrasi (µ g) per

(52)

33 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ektraksi Isoflavon dari Tempe

Penelitian ini menggunakan tempe yang didapatkan dari SUPERINDO,

Seturan dengan merek MUCHLAR sebanyak 3 kg untuk meminimalkan faktor

pengacau. Tempe yang digunakan dipotong-potong terlebih dahulu kemudian di

blender sampai halus untuk memperluas area kontak dengan cairan penyari

se-hingga proses maserasi lebih baik. Tempe yang digunakan untuk maserasi

sebanyak 2655,80 g.

Tempe dimaserasi menggunakan petroleum eter (PE) untuk menarik

senyawa non polar seperti protein, lemak, dan pengotor non polar lainnya yang

terdapat pada tempe. Kemudian PE dibuang dan dilakukan remaserasi

mengguna-kan etanol untuk menarik flavonoid dari tempe. Selanjutnya dilakumengguna-kan pemekatan

hingga bobot tetap untuk menghilangkan kandungan etanol di dalam ekstrak.

Hasil pemekatan berupa cairan kental berwarna coklat kehitaman berbau khas

sebanyak 69,6132 g.

Ekstrak tempe sebanyak 3,1884 g diekstraksi cair-cair menggunakan etil

asetat dan akuades sehingga didapatkan fraksi isoflavon. Proses ini dilakukan

untuk menarik aglikon isoflavon (Robinson dan Trevor, 1991). Selanjutnya fraksi

etil asetat dipekatkan untuk menghilangkan etil asetat sehingga didapatkan cairan

(53)

B. Penetapan Kadar Ekstrak Isoflavon Tempe

a. Penetapan panjang gelombang maksimal

Penetapan panjang gelombang maksimal (λmaks) bertujuan untuk mencari

panjang gelombang yang dapat memberikan serapan secara maksimal. Penetapan

λmaks dilakukan dengan menggunakan larutan baku genistein dengan konsentrasi

5,035 µg/mL dan 10,07 µ g/mL. Penetapan panjang gelombang dilakukan dengan

menggunakan dua pelarut yaitu etanol dan buffer fosfat pH 7,4. Penetapan

panjang gelombang menggunakan pelarut etanol digunakan untuk penetapan

kadar ekstrak isoflavon tempe. Sedangkan penetapan panjang gelombang

menggunakan pelarut buffer digunakan untuk penetapan kadar sediaan dari sel

difusi Franz. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pelarut maka panjang

gelombang yang dihasilkan pun berbeda.

Gambar 8. Spektra baku genistein dengan pelarut etanol

Gambar 9. Spektra baku genistein dengan pelarut buffer fosfat pH 7,4

261 nm

(54)

Dari hasil scanning panjang gelombang maksimal (Gambar 6 dan 7 )

diketahui bahwa λmaks genistein dengan pelarut etanol adalah 261 nm dan dengan

pelarut buffer fosfat pH 7,4 adalah 269 nm.

b. Pembuatan kurva baku genistein

Kurva baku genistein dibuat dengan menggunakan senyawa standar

genistein yang bertujuan untuk memperoleh persamaan regresi linear yang

selan-jutnya digunakan untuk menghitung kadar genistein dalam ekstrak isoflavon

tempe. Penggunaan genistein sebagai standar karena genistein merupakan salah

satu senyawa isoflavon yang terdapat di dalam tempe (Pramesti, 2007).

Pengu-kuran seri baku genistein dilakukan pada panjang gelombang 261 nm dan 269 nm

dengan menggunakan 5 seri konsentransi, yaitu 0,1007 µg/mL; 0,5035 µ g/mL;

1,007 µg/mL; 5,035 µ g/mL dan 10,07 µg/mL.

(55)

Gambar 11. Kurva hubungan antara konsentrasi baku genistein dengan AUC menggunakan pelarut buffer fosfat pH 7,4

Berdasarkan pengukuran tersebut, diperoleh persamaan kurva baku

genistein dengan pelarut etanol yaitu y = 214780,720x – 16242,695 dengan nilai r

sebesar 0,99950 yang akan digunakan dalam penetapan kadar isoflavon dalam

ekstrak isoflavon tempe dan diperoleh persamaan kurva baku genistein dengan

pelarut buffer fosfat pH 7,4 yaitu y = 172800,318x – 12453,734 dengan nilai r

sebesar 0,9991 yang akan digunakan dalam penetapan kadar isoflavon dengan

menggunakan sel difusi Franz.

c. Penetapan kadar isoflavon ekstrak tempe

Penetapan kadar isoflavon tempe dilakukan untuk mengetahui isoflavon

di dalam ekstrak tempe. Ekstrak tempe yang telah dilakukan LLE (Liquid-Liquid

Extraction) kemudian dilarutkan ke dalam etanol p.a di dalam labu ukur 100,0

mL. Larutan uji diperoleh dengan mengambil sebanyak 1,0 mL larutan stok yang

kemudian diencerkan ke dalam labu 10,0 mL. Larutan uji inilah yang akan diukur

(56)

dengan KCKT pada panjang gelombang 261 nm. Isoflavon yang dimaksudkan

dalam penelitian ini adalah semua kandungan isoflavon yang ada di dalam ekstrak

kering tempe yang terhitung terhadap genistein karena senyawa baku yang

digunakan adalah genistein. Dari hasil penetapan kadar genistein dalam ekstrak

tempe diperoleh kadar sebesar 0,4506 % b/b.

C. Pembuatan dan Uji Sifat Fisis Sediaan Gel Anti-ageing Esktrak Isoflavon Tempe

Formula yang digunakan dalam penelitian ini yaitu carbopol 940 sebagai

basis gel hidrofilik, TEA (Trietanolamin) sebagai pembasa atau netralisasi

carbopol, gliserin sebagai chemical penetration enhancer, propilenglikol sebagai

humektan, akuades sebagai pelarut, parfum, pengawet, dan ekstrak isoflavon

tempe sebagai zat aktif. Carbopol 940 bersifat asam seingga dibutuhkan TEA

untuk menaikkan pH karena kulit manusia mempunyai pH pada range 5,5-7. Hal

ini untuk menghindari iritasi kulit apabila pH terlalu asam atau basa. Selain itu,

pada pH netral, pada carbopol 940 terjadi proses tolak menolak antar ion pada

gugus karboksil sehingga membuat gel menjadi lebih rigit (kaku) dan

mengembang (Barry, 1983).

(57)

Uji sifat fisis sediaan gel anti-ageing ekstrak isoflavon tempe dilakukan

untuk mengetahui sediaan gel yang dihasilkan telah memiliki sifat fisis yang baik

yaitu dapat diterima oleh masyarakat (acceptable). Sifat fisis yang diamati dalam

penelitian ini adalah daya sebar, viskositas, dan pH. Uji sifat fisis sediaan,

khususnya daya sebar dan viskositas dilakukan 48 jam setelah pembuatan gel

di-mana waktu 48 jam dianggap sudah tidak ada lagi pengaruh gaya atau energi yang

diberikan dalam proses pembuatan sediaan yang dapat mempengaruhi hasil

pen-gujian.

1. pH

Uji pH dilakukan untuk mengetahui pH tiap formula yang dibuat, sesaat

setelah pembuatan gel dengan menggunakan pH universal. Hasil uji pH menurut

Tabel V, didapatkan bahwa semua sediaan mempunyai pH 6 yang masuk ke

dalam range pH yang dingiinkan yaitu pH dengan range 5,5-7.

2. Daya sebar

Pengujian daya sebar sediaan gel bertujuan untuk mengetahui

kemampuan sediaan gel menyebar dan merata pada area yang diinginkan di

per-mukaan kulit saat diaplikasikan. Daya sebar berbanding terbalik dengan

viskositas, semakin kecil viskositas suatu sediaan semisolid maka kemampuan

menyebarnya pada permukaan kulit akan semakin besar, begitu juga sebaliknya

(Garg et al, 2002). Daya sebar yang optimum untuk sediaan semistiff adalah

(58)

Pengujian daya sebar dilakukan dengan menimbang 1 g sediaan

ke-mudian ditimpa dengan kaca bundar dengan total berat 125 g, ditunggu selama

satu menit, setelah itu diukur daya sebarnya. Berdasarkan data daya sebar pada

Tabel V, semua sediaan masuk ke dalam range daya sebar yaitu 3-5 cm sehingga

termasuk dalam sediaan semistiff. Daya sebar adalah karakteristik yang berguna

untuk memperhitungkan kemudahan saat digunakan, pengeluaran dari wadah

serta mempengaruhi penerimaan konsumen (Garg et al., 2002). Dilihat secara

vis-ual, sediaan gel ini tidak terlalu cair dan tidak terlalu kental sehingga dapat

diap-likasikan di kulit dengan mudah dan dapat menyebar rata di kulit.

3. Viskositas

Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan gel.

Viskositas dapat diartikan sebagai tahanan untuk mengalir. Viskositas berbanding

terbalik dengan kemampuan alir dimana semakin besar viskositas maka

kemam-puan untuk mengalir akan semakin kecil, begitu pula sebaliknya (Martin et. al,

1993). Pengujian viskositas dalam penelitian ini dilakukan 48 jam setelah

pem-buatan karena setelah 48 jam sediaan dianggap sudah melewati suatu fase yang

tidak ada lagi energi mekanik (shearing) yang digunakan saat proses

pencampu-ran sehingga viskositas yang terukur dianggap viskositas sistem gel yang

se-benarnya, sehingga diharapkan struktur kerangka tiga dimensi gel telah tertata

dengan baik. Pengukuran viskositas sediaan gel dilakukan menggunakan

vis-cotester Rion seri VT dengan menggunakan rotor nomor 2. Berdasarkan data

(59)

200-300 dPas, sehingga dapat dikatakan bahwa gel yang dibuat tidak terlalu

ken-tal maupun tidak terlalu encer.

Tabel V. Data Uji Sifat Fisik, Q3jam, dan Fluks

Formula pH Viskositas (d.Pas)

D. Uji Iritasi Primer dengan Metode Draize Test

Uji iritasi primer sediaan gel anti-ageing ekstrak tempe dilakukan untuk

mengetahui efek dari sediaan dalam mengiritasi kulit. Sediaan yang mengiritasi

kulit cenderung tidak dapat digunakan selama periode waktu tertentu karena

adanya kecenderungan pemakai untuk menghentikan penggunaan bila terjadi

reaksi iritasi. Sifat mengiritasi dapat berasal dari gesekan mekanis, pH sediaan,

maupun sifat kimia dari bahan yang terkandung di dalam formula.

Penelitian ini menggunakan kelinci albino sebagai hewan percobaan

karena tidak memiliki pigmen sehingga lebih mudah dalam pengamatan efek

iri-tasi. Iritasi yang timbul ditandai dengan adanya eritema dan edema pada area kulit

yang telah diberi gel.

Tabel VI. Hasil indeks iritasi primer

Kelinci Indeks iritasi primer Kriteria

(60)

Hasil uji iritasi primer gel anti-ageing ekstrak tempe menunjukkan

bahwa pada semua formula memberikan nilai indeks iritasi primer 0. Hasil ini

menunjukkan bahwa keempat formula tidak mengiritasi pada kulit sehingga aman

digunakan.

E. Uji Penetrasi Sediaan Gel dengan Metode Franz Diffusion Cell

Uji penetrasi bertujuan untuk mengetahui banyaknya zat aktif (isoflavon)

yang dapat menembus ke dalam kulit. Uji penetrasi ini dilakukan secara in vitro

dengan metode Franz diffusion cell. Uji penetrasi ini juga bertujuan untuk

menge-tahui pengaruh gliserin sebagai chemical penetration enhancer dalam

mening-katkan penetrasi obat melalui membran kulit mencit dari sediaan gel.

Membran yang digunakan yaitu kulit bagian abdomen mencit jantan

galur Swiss yang berumur 2-3 bulan dengan luas membran 4,867 cm2. Kulit men-cit yang digunakan dalam uji ini mudah didapatkan dan mempunyai permeabilitas

yang mirip dengan permeabilitas kulit manusia. Preparasi kulit mencit awalnya

dicukur kemudian dihilangkan lemak subkutannya agar tidak mengganggu uji

penetrasi. Setelah itu kulit dikondisikan dalam larutan Na fisiologis 0,9% selama

maksimal 24 jam. Ketika kulit akan digunakan, kulit dikondisikan pada medium

reseptor yaitu buffer fosfat pH 7,4 : etanol (7:3). Buffer fosfat pH 7,4 digunakan

sebagai cairan reseptor karena simulasi kondisi pH cairan biologis manusia.

Membran dipastikan telah kontak dengan cairan kompartemen reseptor

agar sediaan yang diaplikasikan dapat berpenetrasi menembus kulit menuju cairan

(61)

antara membran dengan cairan yang dapat menghalangi penetrasi zat aktif ke

kompartemen reseptor. Pada kompartemen perlu dilakukan pengadukan

meng-gunakan magnetik stirer yang berfungsi untuk homogenisasi.

Setiap formula gel masing-masing diuji in vitro dengan menggunakan sel

difusi selama 3 jam dengan 4 kali pencuplikan yaitu pada jam ke 0,5; 1; 2; dan 3.

Lama pengujian selama 3 jam ini diasumsikan seperti lama menempelnya gel di

kulit setelah diaplikasikan serta dengan waktu 3 jam ini, isoflavon dapat masuk ke

dalam kulit. Sampel yang diambil sebanyak 0,6 mL dari kompartemen, kemudian

segera tambahkan 0,6 mL cairan kompartemen baru ke dalam sel difusi untuk

menjaga volume cairan tetap konstan selama percobaan berlangsung. Pengukuran

sampel dilakukan menggunakan KCKT dengan fase gerak metanol : air (70:30)

dengan flow rate 0,7 ml/menit (Orhan, et al., 2011) pada panjang gelombang

269 nm.

Uji penetrasi secara in vitro memiliki dua parameter yaitu jumlah

kumu-latif zat yang terpenetrasi dan fluks (laju penetrasi). Hasil kumukumu-latif penetrasi

ek-strak isoflavon tempe melalui membran kulit mencit selama 3 jam dari sediaan

gel dapat dilihat pada tabel V. Berdasarkan data pada tabel V didapatkan bahwa

jumlah isoflavon yang terpenetrasi terbanyak yaitu pada sediaan formula 1 dengan

konsentrasi gliserin 0. Hal ini disebabkan karena dengan penambahan gliserin

yang semakin banyak maka viskositas sediaan pun bertambah, kecuali pada

formula 2 dan 3, sehingga dimungkinkan zat aktif (ekstrak tempe) tidak dapat

(62)

Fluks diperoleh pada keadaan steady state dengan mengikuti kaidah

hu-kum Fick. Jumlah hu-kumulatif obat terpenetrasi melalui membran mencit diplotkan

terhadap waktu dan dibuat persamaan regresi linear sehingga dapat ditentukan

nilai fluks isoflavon tempe. Fluks ditentukan dari kemiringan grafik tersebut pada

keadaan steady state dimana terlihat sebagai satu garis mendatar pada kurva fluks

yang diplotkan terhadap satuan waktu. Nilai fluks yang diperoleh dapat dilihat

pada Tabel V.

Berdasarkan Tabel V didapatkan bahwa formula 1 memiliki nilai fluks

lebih tinggi daripada formula yang lainnya selama 3 jam percobaan. Hal ini berarti

bahwa formula 1 memiliki kecepatan penetrasi obat yang lebih tinggi.

Gambar 13. Kurva hubungan antara waktu dengan jumlah kumulatif

Jumlah terpenetrasi yang lebih tinggi pada formula 1 yang tidak

men-gandung gliserin memiliki nilai viskositas yang lebih rendah dan mempunyai

Gambar

Tabel I. Formula gel standar dan modifikasi ...........................................
Gambar 1. Struktur Daidzein, Glycitein, dan Genistein (Doerge et al.,1999).
Gambar 3. Struktur kulit (Walters et al., 2002)
Gambar 4. Komponen kulit (Walters et al., 2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Proses penghitungan timer dilakukan pada bagian layanan interupsi dengan proses perhitungan mundur dari nilai awal yang sebelumnya telah dimasukkan melalui keypad. Selama

Kaur Pemerintahan Desa Cantuk Kecamatan Singojuruh Kaur Pemerintahan Desa Padang Kecamatan Singojuruh Kaur Pemerintahan Desa Singolatren Kecamatan Singojuruh 16 Mufid

I Jualan perabot secara tunai Akaun Tunai Akaun Perabot II Ambilan tunai untuk kegunaan sendiri Akaun Ambilan Akaun Modal III Belian kredit daripada Kedai Maya Akaun Belian

- Data ruang yang akan diubah Output Info data tutor yang sudah diubah Destination (Tujuan) Bagian Akademik dan Petugas Logika Proses. { Bagian Akademik mengubah data ruang

Hasil observasi yang telah di lakukan peneliti setelah mengukur kepadatan tulang responden di Desa Kemantren, didapatkan bahwa dari 32 responden yang mempunyai frekuensi

Tampilan gambar diatas menjelaskan tentang tampilan awal input aplikasi tebak gambar, yang terdiri dari 4 menu, 1 menu ensiklopedia yang mana di dalam menu

Determinan kejadian komplikasi persalinan di Indonesia adalah paritas satu atau lebih sama dengan empat anak, adanya komplikasi kehamilan dan adanya riwayat komplikasi

Pengangkatan pejabat-pejabat lain dilingkungan Dinas Tata Kota, Pertamanan, dan Pemakaman Kota Bontang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Daerah atas usul