• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Dalam melakukan penelitian ini ada 2 (dua) tataran teori yang berkaitan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Dalam melakukan penelitian ini ada 2 (dua) tataran teori yang berkaitan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

A. Kajian Pustaka

Dalam melakukan penelitian ini ada 2 (dua) tataran teori yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu pada tataran grand theory dipilih teori Negara Kesejahteraan (welfare state) dan pada tataran middle range theory dipilih teori Kepastian Hukum.

1. Teori Negara Kesejahteraan (welfare state)

Menurut Kusnardi dan Bintara R. Saragih (2000) dalam Agus Surono (2013) Konsep Negara Kesejahteraan, tujuan Negara adalah untuk kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Negara tersebut. Selain konsep Negara berdasarkan atas hukum (biasa disebut Negara Hukum), juga dikenal konsep Negara Kesejahteraan

(welfare state), yakni suatu konsep yang menempatkan peran Negara dalam

setiap aspek kehidupan rakyatnya demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Sehubungan dengan konsep Negara kesejahteraan tersebut, maka Negara yang menganut konsep Negara Kesejahteraan dapat mengemban 4 (empat) fungsi yaitu :

a. Negara sebagai pelayan (the state as provider) b. Negara sebagai pengatur (the state as regulator) c. Negara sebagai wirausaha (the state as enterpreneur) dan

(2)

d. Negara sebagai wasit (the state as umpire).

Dilihat dari fungsi Negara yang menganut konsep Negara Kesejahteraan yang telah dikemukakan oleh Kusnardi dan Bintara R. Saragih (2000) dalam Agus Surono (2013), dapat dikatakan Negara memegang peranan penting dan telibat dalam memberikan wewenang untuk memungut pajak dari warga masyarakat. Oleh sebab itu, pajak merupakan unsur terpenting dalam melaksanakan fungsi pelayanan. Begitu pula Negara dapat dikatakan sebagai pengatur karena Negara memiliki peran penting dalam mengatur perpajakan sebagai salah satu sumber penerimaan Negara untuk pembiayaan pembangunan dan pengeluaran pemerintah. Teori Negara Kesejahteraan ini dipilih karena sangat mendukung untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui sektor perpajakan.

(3)

2. Teori Kepastian Hukum

Menurut Uzair dan Heru Prasetyo (2006:181 dan 203) dalam Agus surono (2013) didalam tataran Middle Range Theory digunakan teori kepastian hukum. Sistem hukum yang baik menghendaki adanya hubungan hukum yang satu dengan lainnya terjalin secara harmonis, artinya diantara pelaksanaan hukum tersebut tidak ada hal – hal yang saling bertentangan. Pemungutan pajak oleh pemerintah adalah suatu kekuasaan Negara yang sedemikian besarnya terhadap anggota masyarakatnya, dimana hukum pajak dapat diciptakan sendiri oleh Negara. Kepastian hukum dicantumkan secara tegas dan jelas sebagai jaminan bagi Wajib Pajak bahwa dia tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat pajak, seperti :

a. Permohonan restitusi harus diselesaikan paling lama dalam waktu satu bulan setelah dikeluarkan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak. Apabila restitusi pajak dilakukan setelah jangka waktu satu bulan maka Pemerintah wajib memberikan bunga sebesar 2% sebulan atas kelambatan restitusi pajak tersebut.

b. Keberatan harus diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan. Apabila jangka waktu 12 bulan telah lewat dan Direktorat Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan atas keberatan Wajib Pajak, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

c. Kerahasiaan Wajib Pajak dijamin. Apabila rahasia Wajib Pajak itu dibocorkan maka pejabat yang membocorkan rahasia itu dapat dipidana.

(4)

Menurut Jeremy Bentham dalam Agus Surono (2013) tujuan hukum semata-mata adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Penanganannya didasarkan pada filsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya.

Teori Kepastian Hukum ini dipilih dikarenakan sangat penting untuk memberikan kepastian bagi Wajib Pajak, terkait dalam penagihan pajak dengan menggunakan Surat Teguran dan Surat Paksa dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara ini dapat diwujudkan untuk mensejahterakan masyarakat, mengingat sektor pajak merupakan sumber dana pembangunan yang paling utama.

3. Dasar–Dasar Perpajakan a. Pengertian Pajak

Beberapa ahli dalam bidang perpajakan memberikan definisi yang berbeda mengenai pajak. Namun demikian, berbagai definisi tersebut pada dasarnya memiliki tujuan dan inti yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami.

Menurut Soemitro dalam Muljono (2010:1), pengertian pajak adalah sebagai berikut :

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

(5)

Djajadiningrat dalam Resmi (2010:1) menyatakan bahwa :

Pajak sebagai suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagaian dari kekayaan kepada Negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang diterapkan pemerintah serta dapat dipaksakan tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan umum.

Sedangkan definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah sebagai berikut :

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu :

1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang.

2. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

3. Pajak bersifat dapat dipaksakan.

4. Tidak ada kontraprestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak.

5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.

(6)

b. Fungsi Pajak

Pada dasarnya fungsi pajak sebagai sumber keuangan negara. Menurut Resmi (2011:3), terdapat dua fungsi pajak yaitu :

1. Fungsi Penerimaan (Budgetair)

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan.

2. Fungsi Mengatur (Regulered)

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.

c. Jenis Pajak

Suandy (2010:37) mengemukakan bahwa jenis pajak dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu menurut sifat, golongan dan lembaga pemungutnya.

1. Menurut sifatnya

a) Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh)

b) Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

2. Menurut golongannya

a) Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib pajakdan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

(7)

b) Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

3. Menurut lembaga pemungutnya

a) Pajak pusat adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Materai.

b) Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak daerah dibedakan menjadi dua yaitu :

1) Pajak Propinsi

Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air.

2) Pajak Kabupaten/Kota

Contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan.

(8)

d. Asas Pemungutan Pajak

Terdapat tiga asas pemungutan pajak (Mardiasmo, 2011:7), yaitu :

1. Asas domisili (asas tempat tinggal)

Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam negeri maupun berasal dari luar negeri.

2. Asas sumber

Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.

3. Asas kebangsaan

Asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.

e. Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Mardiasmo (2011:8) sebagai berikut :

1. Official Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan yang member wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri–cirinya yaitu :

a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.

b) Wajib pajak bersifat pasif.

c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

(9)

2. Self Assessment System

Adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri sistem tersebut, yaitu :

a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri.

b) Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 3. With Holding System

Adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri – cirinya diantaranya wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga (pemberi kerja dan bendaharawan pemerintah).

f. Hambatan Pemungutan Pajak

Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua (Mardiasmo, 2011:9) yaitu :

1. Perlawanan enggan (pasif) membayar pajak yang dapat disebabkan antara lain :

a) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat. b) Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami

masyarakat.

c) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.

(10)

2. Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan menghindari pajak. Bentuknya antara lain :

a) Tax avoidance yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.

b) Tax evasion yaitu meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).

4. Utang Pajak

a. Timbulnya Utang Pajak

Pengertian utang pajak menurut Pasal 1 angka 8 (UU Penagihan Pajak) adalah sebagai berikut :

Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Menurut Resmi (2008:12) ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak (saat pengakuan adanya utang pajak) yaitu :

1. Ajaran Materil

Ajaran materil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya undang-undang perpajakan. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan atau perbuatan yang dapat menimbulkan utang pajak. Ajaran ini konsisten dengan penerapan self assessment sistem.

2. Ajaran Formil

Ajaran formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah).

(11)

Ajaran ini konsisten dengan penerapan official assessment

sistem.

b. Berakhirnya Utang Pajak

Menurut Suandy (2008:128) utang pajak akan berakhir atau terhapus apabila terjadi hal-hal sebagai berikut :

1. Pembayaran

Pembayaran pajak dapat dilakukan Wajib Pajak dengan menggunakan surat setoran pajak atau dokumen lain yang dipersamakan. Pembayaran pajak dapat dilakukan di Kantor Kas Negara, Kantor Pos dan Giro atau di Bank Persepsi.

2. Kompensasi

Kompensasi terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak. Jumlah kelebihan pembayaran pajak dapat dikompensasikan pada masa/tahun pajak berikutnya maupun dikompensasikan dengan pajak lainnya yang terutang.

3. Daluwarsa

Daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun fiskus, maka diberikan batas waktu tertentu untuk penagihan pajak.

4. Penghapusan utang

Penghapusan utang pajak dilakukan karena kondisi dari Wajib Pajak yang bersangkutan, misalnya Wajib Pajak dinyatakan bangkrut oleh pihak–pihak yang berwenang.

(12)

5. Pembebasan

Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya tetapi karena ditiadakan. Pembebasan pajak biasanya dilakukan berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Misal dalam rangka meningkatkan penanaman modal maka pemerintah memberikan pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu atau pembebasan pajak di wilayah-wilayah tertentu.

5. Penerimaan Pencairan Tunggakan Pajak

Penerimaan pencairan tunggakan pajak merupakan penerimaan yang berasal dari jumlah pajak yang tidak dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib Pajak/Penanggung pajak s/d tanggal jatuh tempo pembayaran. Pada hakekatnya tunggakan pajak ini merupakan pajak yang terutang atau pajak yang belum dibayar kepada negara oleh wajib pajak. Sebab-sebab meningkatnya tunggakan pajak tersebut disebabkan jumlah penetapan berupa STP, SKPKB, SKPKBT, SK. Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding lebih besar daripada pembayarannya, yang pada akhirnya mengakibatkan bertambahnya jumlah tunggakan yang ada. Ada beberapa hal yang mengakibatkan mencairnya tunggakan pajak, diantaranya :

a. Pelunasan.

b. Pelunasan tunggakan pajak dengan kompensasi. c. Keputusan penghapusan atau pengurangan ketetapan.

(13)

Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, pajak adalah salah satu primadona penerimaan negara yang paling potensial, sebab peningkatan penerimaan dalam negeri dari sektor pajak adalah suatu yang wajar karena secara logis jumlah pembayar pajak dari tahun ke tahun akan semakin besar berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan penerimaan dalam negeri dari sektor migas, cenderung menunjukan penurunan akibat cadangan sumber daya alam yang semakin lama semakin terbatas. Sehingga dapat disimpulkan penerimaan negara dari sektor pajak adalah pendapatan yang diterima negara dari kontribusi masyarakat kepada negara, diluar pendapatan dari sektor migas. Sedangkan dalam Kamus Besar Akuntansi pengertian Penerimaan pajak adalah uang tunai yang diterima oleh negara dari iuran rakyat yang dipaksakan berdasarkan undang-undang perpajakan dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) secara langsung.

Menurut Suparmoko (2000) dalam Irman Hernadi (2012) Penerimaan Pajak adalah sebagai penerimaan pemerintah yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan yang diperoleh dari hasil penjulan barang dan jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah, pinjaman pemerintah. Peran penerimaan pajak sangatlah penting jika masyarakat masih rendah dalam memahami masalah perpajakan, terutama kewajibannya dalam sistem perpajakan self assessment terebut, maka target-target penerimaan di Negara ini sulit untuk tercapai. Setiap tahunnya pemerintah menargetkan penerimaan pajak dan selalu meningkat tiap

(14)

tahunnya target penerimaan Negara tersebut. Tingkat Penerimaan Pajak adalah ukuran seberapa besar pajak yang diterima oleh pemerintah yang disetorkan Wajib Pajak melalui KPP setempat atau tempat pembayaran pajak lainnya. Peranan pajak terhadap pendapatan negara sangat dominan pada masa sekarang ini. Ini terjadi karena pajak adalah sumber yang pasti dalam memberikan kontribusi dana kepada negara karena merupakan cerminan dari kegotongroyongan masyarakat dalam pembiayaan Negara yang diatur oleh perundang-undangan.

6. Penagihan Pajak

a. Pengertian Penagihan Pajak

Menurut Anang Mury Kurniawan (2011:111) Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita (Pasal 1 angka 9 UU No 19/2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa).

Pelaksanaan penagihan pajak yang tegas, konsisten dan konsekuen diharapkan akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam membayarkan hutang pajaknya. Hal ini merupakan posisi strategis dalam meningkatkan penerimaan Negara

(15)

menyelamatkan penerimaan pajak yang tertunda. Kegiatan penagihan pajak merupakan ujung tombak dalam menyelamatkan penerimaan Negara yang tertunda. Oleh sebab itu, seksi penagihan merupakan seksi produksi yang paling dibanggakan oleh Direktorat Jenderal pajak. Dalam pelaksanaannya penagihan pajak haruslah dilandaskan pada peraturan perudangan-undangan yang berlaku sehingga kekuatan hukum baik bagi Wajib Pajak maupun aparatur pajaknya.

b. Dasar Penagihan Pajak

Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU KUP, Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak.

(16)

c. Tindakan Penagihan Pajak

Tahapan penagihan Pajak Aktif meliputi berbagai tahap sebagaimana yang tercantum dalam tabel berikut :

Tabel 2.1

Tahapan Tindakan Penagihan

Urutan Tahapan Kegiatan Waktu Pelaksanaan Dasar Hukum 1 Penerbitan

SuratTeguran atau SuratPeringatan atau surat lain yang sejenis setelah penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya

7 (tujuh ) hari sejak saat jatuh tempo utang pajak

Pasal 8 s.d. 11

Permenkeu No

24/PMK.03/2008

2 Penerbitan Surat Paksa Sudah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat teguran/surat peringatan dan penanggung pajak tidak melunasi utang pajak

Pasal 7 UU No 19./2000 dan pasal 15 s.d. 23 peraturan menteri keuangan nomor 24/PMK.03/2008 3 Penerbitan surat perintah melaksanakan penyitaan

Setelah lewat 2x24 jam surat paksa diberitahukan kepada penanggung pajak dan utang pajak belum dilunasi

Pasal 12 UU Nomor 19/2000

4 Pengumuman lelang Setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan dan penanggung pajak tidak melunasi utang pajak

Pasal 26 PMK

24/PMK.03/2008

5 Penjualan/pelelangan barang sitaan

Setelah lewat waktu 14 hari sejak pengumuman lelang dan penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya

Pasal 26 UU Nomor 19/2000 dan pasal 28

PMK nomor

24/PMK.03/2008 Sumber: Rudy Suhartono dan Wirawan B ilyas (2010:80)

(17)

7. Penagihan Pajak dengan Surat Teguran a. Pelaksanaan Surat Teguran

Menurut Rudy Suhartono dan Wirawan B Ilyas (2010) Penerbitan Surat Teguran, Surat peringatan atau Surat lain yang sejenis merupakan awal tindakan penagihan pajak sehingga hal tersebut menjadi pedoman tindakan penagihan pajak berikutnya yaitu penyampaian Surat Paksa dan sebagainya.

Sesuai pasal 8 ayat (2) UU PPSP, Surat Teguran / Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis diterbitkan apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.

Pasal 1 angka 10 UU PPSP menyebutkan bahwa Surat Teguran, Surat peringatan atau surat lain yang sejenis adalah Surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.

b. Penentuan tanggal jatuh tempo

Dalam Undang-Undang KUP oleh Rudy Suhartono dan Wirawan B. Ilyas (2010:140) penentuan tanggal jatuh tempo dalam penerbitan Surat Teguran sangat penting karena tanggal jatuh tempo menunjukkan timbulnya utang pajak dan juga mulai timbulnya wewenang melakukan penagihan pajak.

1. STP, SKPKB, SKPKBT dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding, serta putusan peninjauan kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar

(18)

bertambah harus dilunasi dalam jangka waktu satu bulan setelah tanggal diterbitkan.

2. Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan perpajakan, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan.

3. Surat Tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak.

4. SKPKB, SKPKBT, STP dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali dalam Bea atas Perolehan Hak atas Tanah dan / atau bangunan yang menyebabkan jumlah Bea yang harus dibayar bertambah harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak.

5. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas SKPKB/SKPKBT, jangka waktu pelunasan pajak yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

6. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatam sehubungan SKPKB/SKPKBT jangka waktu pelunasan

(19)

pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

c. Penerbitan Surat Teguran

Dalam Undang-Undang KUP pelaksanaan penagihan pajak dilakukan dengan menerbitkan Surat Teguran oleh Dirjen Pajak. Keputusan Dirjen Pajak yang menyetujui penanggung pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak mengakibatkan tidak adanya upaya penagihan pajak kecuali penanggung pajak tidak menepati keputusan tersebut.

Penerbitan Surat Teguran harus dilakukan dengan mempertimbangkan upaya hukum Wajib Pajak karena upaya hukum keberatan dan banding atas utang pajak mulai tahun pajak 2008 menyebabkan tertangguhnya jatuh tempo dengan syarat Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya atas SKPKB/SKPKBT dalam pembahasan akhir adalah sebagai berikut :

1. Apabila Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang terutang dalam pembahasan akhir dan ternyata tidak mengajukan permohonan keberatan atas hasil pemeriksaan tersebut, Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan. Tujuan menunggu jatuh tempo pengajuan keberatan 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya SKPKB/SKPKBT karena dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak mempunyai hak mengajukan permohonan keberatan.

(20)

2. Apabila Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang terutang dalam pembahasan akhir dan tidak mengajukan upaya permohonan banding atas keputusan keberatan SKPKB/SKPKBT, surat teguran disampaikan seteleah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding. Tujuan menunggu jatuh tempo pengajuan keberatan 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan atas Keberatan SKPKB/SKPKBT karena dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak masih mempunyai hak mengajukan permohonan banding.

3. Dalam Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan Wajib Pajak mengajukan :

a) Permohonan keberatan atas SKPKB/SKPKBT, Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo berdasarkan Keputusan Keberatan (jatuh tempo keputusan keberatan adalah 1(satu) bulan sejak tanggal penerbitan keputusan tersebut.

b) Permohonan banding atas Keputusan Keberatan sehubungan dengan SKPKB/SKPKBT, Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo berdasarkan putusan banding (jatuh tempo putusan banding adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan putusan tersebut).

(21)

4. Dalam hal Wajib Pajak mentujui jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Surat Teguran disampaikan setelah 7(tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan (1 bulan setelah tanggal penerbitan SKPKB/SKPKBT).

5. Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB/SKPKBT, Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut.

Surat Teguran dalam rangka penagihan pajak atas utang Pajak Bumi dan Bangunan dan atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana tercantum dalam STP PBB, SKPKB, SKPKBT atau Surat Keputusan Pembetulan, Surat atau Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah disampaikan kepada Wajib Pajak setelah 7(tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo.

(22)

8. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

a. UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP)

Kegiatan penagihan pajak atas utang pajak kepada penanggung pajak bersifat terstruktur sehingga dapat diwujudkan sebagi serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Sesuai jadwal penagihan ternyata penanggung pajak tetap tidak melunasi utang pajak, maka pejabat menerbitkan Surat Paksa. Terhadap Surat Paksa tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

1. Falsafah UU PPSP No. 19/2000

a) Menampung perkembangan sistem hukum nasional perlunya dipertegaskan perolehan hak karena waris dan hibah wasiat yang merupakan objek pajak.

b) Mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

c) Adanya kepastian hukum dan menegakkan keadilan. 2. Tujuan perubahan UU PSP No. 19/2000

a) Banyaknya tunggakan pajak dari waktu ke waktu menunjukkan jumlah yang semakin besar untuk itu perlu dilaksanakan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa.

(23)

b) Kepatuhan Wajib pajak dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam peningkatan penerimaan pajak.

c) Penagihan pajak yang dilaksanakan secara konsistem dan berkesinambungan merupakan wujud law enforcement untuk meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologis bagi Wajib pajak.

d) Memberikan perlindungan hukum, baik kepada penanggung pajak maupun kepada pihak ketiga berupa hak untuk mengajukan gugatan.

3. Hal-hal yang menjadi perhatian pada UU PSPP No. 19/2000

a) Mempertegas proses pelaksanaan penagihan pajak dengan menambahkan ketentuan Penerbitan Surat Teguran, Surat Peringatan dan Surat Lain yang sejenisnya sebelum Surat Paksa dilaksanakan.

b) Mempertegas jangka waktu pelaksanaan penagihan aktif.

c) Mempertegas pengertian penanggung pajak yang meliputi komisaris pemegang saham, pemilik modal.

d) Menaikkan nilai peralatan usaha yang dikecualikan dari penyitaan dalam rangka menjaga kelangsungan usaha penanggung pajak.

e) Menambah jenis barang yang penjualannya dikecualikan dari lelang.

(24)

f) Mempertegas besarnya biaya penagihan pajak yang didasarkan atas prosentase tertentu dari hasil penjualan.

g) Mempertegas bahwa pengajuan keberatan atau permohonan banding oleh Wajib pajak tidak menunda pembayaran dan pelaksanaan penagihan pajak.

h) Memberi kemudahan pelaksanaan lelang dengan cara member batasan nilai barang yang diumumkan tidak melalui media massa dalam rangka efisiensi.

i) Memperjelas hak penanggung pajak untuk memperoleh ganti rugi dan pemulihan nama baik dalam hal gugatannya dikabulkan. j) Mempertegas pemberian sanksi pidana kepada pihak yang sengaja mencegah, menghalang – halangi atau menggagalkan pelaksanaan penagihan pajak.

b. Pelaksanaan Surat Paksa

Menurut Undang-Undang KUP Surat Paksa merupakan kegiatan pelaksanaan penagihan pajak yang dilakukan setelah penerbitan Surat Teguran / Surat Peringatan atau sejenisnya. Menurut pasal 1 angka 12 UU Penagihan Pajak, Surat Teguran, Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

(25)

c. Penerbitan Surat Paksa

Menurut pasal 8 ayat (1) UU PPSP Surat Paksa diterbitkan apabila :

1. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis. 2. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan pajak

seketika dan sekaligus.

3. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

d. Tata Cara Pemberitahuan Surat Paksa

Tata cara pemberitahuan Surat Paksa dalam pasal 10 ayat (1) UU PPSP yaitu pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oleh juru sita dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada penanggung pajak yang dituangkan dalam berita acara.

e. Pemberitahuan Surat Paksa Kepada Orang Pribadi

1. Penanggung pajak ditempat tinggal tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan.

2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja di tempat usaha penanggung pajak, apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai.

(26)

3. Salah seorang ahli waris atau pelaksanaan wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak meninggalkan dunia dan harta warisan belum di bagi.

4. Para Ahli waris apabila penanggung pajak yang telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.

f. Daluwarsa Penagihan

UU KUP juga mengatur mengenai jangka waktu bagi Dirjen pajak untuk melakukan penagihan pajak. Apabila sudah melampaui jangka waktu yang itentukan maka hak untuk melakukan penagihan pajak tersebut menjadi daluwarsa.

1. Jangka waktu hak penagihan

Pasal 22 Undang-Undang KUP Menyebutkan bahwa hak untuk melakukan penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan :

a) Surat Tagihan Pajak

b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar c) Surat Keputusan Pembetulan

d) Surat Keputusan Keberatan e) Putusan Banding

f) Putusan Peninjauan Kembali

Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan pajak dan Surat Ketetapan Pajak diterbitkan. Dalam hal

(27)

Wajib pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau peninjauan kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan peninjauan Kembali.

2. Tertangguhnya daluwarsa Penagihan Pajak

Menurut Pasal 22 UU KUP, daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila :

a) Diterbitkan Surat Paksa

b) Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung

c) Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan

d) Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan

Daluwarsa penagihan pajak menjadi tertangguhkan dan dihitung 5 (lima) tahun sejak tanggal penerbitan atau pelaksanaan kegiatan tersebut di atas.

(28)

9. Penelitian Terdahulu

Penelitian dilakukan oleh Cahyo Wicaksono (2006) tentang penagihan pajak dengan surat teguran dan surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak. Responden penelitian ini yaitu wajib pajak di KPP Pratama Jakarta SetiaBudi Satu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa surat teguran yang dikirimkan kepada wajib pajak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pencairan pelunasan tunggakan pajak oleh wajib pajak. Secara umum bahwa surat paksa yang dikirim kepada wajib pajak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pencairan/pelunasan tunggakan pajak oleh wajib pajak.

Penelitian dilakukan oleh Derlina Sutria Tunas (2013) tentang efektivitas penagihan tunggakan pajak dengan menggunakan surat paksa. Lokasi penelitian dilakukan di KPP Pratama Manado. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penagihan tunggakan pajak dengan menggunakan surat paksa tergolong belum efektif dengan persentase efektivitas 41,26%.

Penelitian dilakukan oleh Andi Marduati (2012) penagihan pajak dengan surat teguran dan surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak. Lokasi penelitian dilakukan di KPP Pratama Makassar Barat. Hasil pengujian variabel surat teguran dapat disimpulkan bahwa jumlah surat teguran yang diterbitkan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak, dan jumlah surat paksa yang diterbitkan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak.

(29)

Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Puspita Sari (2014) tentang penagihan pajak dengan surat paksa terhadap kepatuhan wajib pajak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penagihan pajak dengan surat paksa memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, dan hubungan korelasi antara penagihan pajak dengan surat paksa terhadap kepatuhan wajib pajak cukup kuat.

Penelitian dilakukan oleh Hasbi Rifqiansyah (2014) tentang analisis efektivitas dan kontribusi penagihan pajak aktif terhadap pencairan tunggakan pajak. Lokasi penelitian dilakukan di KPP Pratama Malang Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat efektivitas penagihan pajak aktif secara keseluruhan belum cukup dikatakan efektif, dan kontribusi penagihan pajak aktif terhadap pencairan secara keseluruhan pajak masih sangat kurang.

Berikut adalah ringkasan dari hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya dapat dilihat pada tabel 2.2

(30)

TABEL 2.2 Penelitian Terdahulu

No. Peneliti dan Tuhan Variabel Penelitian + Metode Penelitian Hasil Penelitian 1. Cahyo Wicaksono (2006)

Independen: Surat paksa, surat teguran

Dependen: Pelunasan tunggakan pajak Metode Penelitian: Kuantitatif

Surat teguran yang dikirimkan kepada wajib pajak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pencairan pelunasan tunggakan pajak oleh wajib pajak. Secara umum bahwa surat paksa yang dikirirn kcpada wajib pajak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pencairari/pelunasan tunggakan pajak oleh wajib pajak. 2. Derlina Sutria

Tunas (2013)

Independen: Surat paksa Dependen: Penagihan tunggakan pajak Metode Penelitian: Deskriptif

Penagihan tunggakan pajak dengan menggunakan surat paksa pada tahun 2011 tergolong belum efektif karena dengan penerbitan sebanyak 1900 lembar hanya dapat tertagih sebanyak 898 lembar dengan prosentase efektivitas 41.26 % yang indikatornya tergolong kurang efektif dan dilihat dari nilai nominal surat paksa yang diterbitkan sebesar Rp. 22.354.200.000 hanya tertagih sebesar Rp.14.496.150.595 dengan persentase efektivitas 64.84% yang indikatornya tergolong efektif.

3. Andi Marduati

(2012)

Independen: Surat teguran, surat paksa

Dependen: Pencairan Tunggakan Pajak

Metode Penelitian: Kuantitatif

Hasil pengujian variabel surat teguran dapat disimpulkan bahwa jumlah surat teguran yang diterbitkan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak, dan jumlah surat paksa yang diterbitkan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak.

4. Ratna Puspita

Sari (2014)

Independen: Surat Paksa Dependen: Kepatuhan wajib pajak

Metode Penelitian: Kuantitatif

1) Terdapat Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (X) terhadap kepatuhan

wajib pajak (Y) di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Depok pada tahun 2009-2011 memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, dan hubungan korelasi antara penagihan pajak dengan surat paksa terhadap kepatuhan wajib pajak cukup kuat.

2) Terdapat beberapa kendala dalam melakukan penagihan pajak dengan surat paksa, baik dari lingkungan internal dan eksternal antara lain Sumber Daya Manusia, Penghindaran, Kerjasama, Pengetahuan Wajib Pajak.

5. Hasbi Riqiansyah, Muhammad Saifi, Devi Farah Azizah (2014)

Independen: Surat paksa, surat teguran, surat perintah melaksanakan penyitaan Dependen: Pencairan tunggakan pajak Metode Penelitian: Deskriptif

Tingkat efektivitas penagihan pajak aktif secara keseluruhan belum cukup dikatakan efektif, dan kontribusi penagihan pajak aktif terhadap pencairan secara keseluruhan pajak masih sangat kurang.

(31)

B. Rerangka Pemikiran dan Hipotesis

1. Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Teguran terhadap Penerimaan Pencairan Tunggakan Pajak

Dalam Undang-Undang KUP pelaksanaan penagihan pajak dilakukan dengan menerbitkan Surat Teguran oleh Dirjen Pajak. Keputusan Dirjen Pajak yang menyetujui penanggung pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak mengakibatkan tidak adanya upaya penagihan pajak kecuali penanggung pajak tidak menepati keputusan tersebut.

Menurut Rudy Suhartono dan Wirawan B Ilyas (2010) Penerbitan Surat Teguran, Surat peringatan atau Surat lain yang sejenis merupakan awal tindakan penagihan pajak sehingga hal tersebut menjadi pedoman tindakan penagihan pajak berikutnya yaitu penyampaian Surat Paksa dan sebagainya. Maka dengan mekanisme tersebutlah, surat teguran diharapkan dapat meningkatkan jumlah penerimaan pajak sehingga dapat bertambah sesuai target (Ruri Mabruri, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Ruri Mabruri (2012) menunjukkan bahwa penagihan pajak dengan surat teguran berpengaruh positif terhadap penerimaan tunggakan pajak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

Ha1: Surat teguran berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pencairan tunggakan pajak

(32)

2. Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Paksa terhadap Penerimaan Pencairan Tunggakan Pajak

Tindakan penagihan pajak yang awat dilakukan oleh fiskus adalah dengan menerbitkan surat teguran kepada wajib pajak agar segera melunasi utang pajaknya. Apabila setelah menerima surat teguran dalam jangka waktu 21 hari wajib pajak tidak melunasi utang pajaknya, fiskus dapat melakukan tindakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan adanya Surat Paksa diharapkan wajib pajak dapat segera membayar pajak yang terutang sehingga penerimaan pajak dapat bertambah sesuai target.

Penelitian yang dilakukan oleh Andi Marduati (2012) menunjukan bahwa penagihan pajak dengan surat paksa berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

Ha2: Surat paksa berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pencairan tunggakan pajak

(33)

Berdasarkan rerangka pemikiran dan hipotesis, penagihan pajak dengan surat teguran dan surat paksa merupakan tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh Dirjen Pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak. Tindakan penagihan pajak merupakan wujud upaya untuk mencairkan tunggakan pajak, ini merupakan salah satu cara untuk mencapai target penerimaan pajak secara optimal. Dari hal tersebut, penulis menggambarkan suatu model konseptual penelitian mengenai pengaruh penagihan pajak dengan surat teguran dan surat paksa terhadap penerimaan pencairan tunggakan pajak adalah sebagai berikut :

Gambar 2.1

Model Konseptual Penelitian

Surat

Teguran

Penerimaan

Pencairan

Tunggakan Pajak

Surat

Paksa

Gambar

TABEL 2.2 Penelitian Terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum sasaran prioritas belanja daerah Provinsi Kalimantan Utara tahun 2017 yang disinkronisasikan dengan bidang-bidang pembangunan nasional dituangkan dalam Matriks

Dengan menyimak tayangan video, siswa mampu menaksir harga barang dengan sekelompok pecahan uang yang setara..

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenaikan kemungkinan bank mengalami financial distress yang terjadi pada Sektor Perbankan Indonesia periode 2009-2013. Penelitian ini

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten Minahasa Selatan hakekatnya adalah pengawasan terhadap kinerja pemerintah

Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi sependapat dengan Majelis Hakim Tingkat Pertama yang menyatakan bahwa Tergugat walaupun telah dipanggil secara patut dengan

Generator memiliki jumlah lilitan (N) ,luas penampang (A) ,dengan perioda putar ( T) memiliki GGL induksi maksimum ε ,bila periodanya diperbesar 2 kali maka GGL

Disisi lain metode adsorpsi yang telah sukses dikembangkan untuk mengurangi zat warna remazol brilliant blue memiliki kelemahan diantaranya proses adsorpsi tidak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kepuasan seksual pada suami di fase dewasa awal dan fase dewasa madya di Desa Kedondong Kecamatan Sokaraja. Hipotesis yang