• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian Penyakit Terpadu pada Tanaman Kedelai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengendalian Penyakit Terpadu pada Tanaman Kedelai"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Pengendalian Penyakit Terpadu pada

Tanaman Kedelai

Nasir Saleh dan Sri Hardaningsih

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang

PENDAHULUAN

Produktivitas tanaman kedelai di Indonesia masih rendah yaitu sekitar 1,28 t/ha (BPS 2005), jauh di bawah potensi hasil beberapa varietas unggul yang dapat mencapai 2-2,5 t/ha (Suhartina 2005). Salah satu penyebab rendahnya produktivitas tersebut adalah adanya gangguan penyakit tanaman. Tidak kurang dari 20 jenis penyakit yang disebabkan oleh patogen jamur, bakteri, virus, dan mikoplasma menyerang tanaman kedelai di Indonesia telah diidentifikasi (Semangun 1991; Sudjono et al. 1985). Intensitas serangan penyakit beragam antarlokasi dan musim tanam. Tetapi data intensitas serangan, luas serangan, dan kehilangan hasil kedelai akibat serangan setiap jenis penyakit tanaman belum terdokumentasi dengan baik. Kehilangan hasil kedelai dapat ringan (< 10%) hingga > 50% bahkan puso, tergantung jenis patogen, musim, umur dan varietas tanaman, serta teknik pengendalian yang dilakukan.

Petani umumnya kurang memahami penyakit tanaman karena: (1) patogen penyebab penyakit bersifat mikroskopis/submikroskopis, tidak kasat mata, (2) gejala penyakit tanaman kadang-kadang serupa dengan gejala kahat atau keracunan hara, (3) keterbatasan pengetahuan petugas dan petani tentang patogen dan penyakit tanaman. Di beberapa daerah munculnya gejala penyakit bercak daun sering diartikan sebagai tanda bahwa tanaman mereka sudah cukup umur untuk dipanen. Penggunaan fungisida dan bakterisida jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan. Berbeda halnya, penggunaan insektisida untuk menekan serangan hama sudah umum dilakukan, bahkan yang terjadwal tanpa memantau populasi hama (Marwoto dan Suharsono 1988).

Makalah ini membahas konsep, ekologi, arti penting, dan perkembangan epidemi penyakit kedelai serta strategi dan langkah operasional untuk mengendalikannya secara terpadu.

KONSEP PENYAKIT PADA TANAMAN

Tanaman kedelai disebut sehat atau normal apabila semua fungsi fisiologis-nya (pembelahan sel, diferensiasi sel, absorpsi air/mineral dari tanah dan

(2)

translokasinya ke seluruh bagian tanaman, fotosintesis dan translokasi produk fotosintesis, kegiatan metabolisme, dan reproduksi) berjalan sesuai dengan potensi genetiknya. Apabila tanaman terganggu oleh patogen atau kondisi lingkungan tertentu sehingga satu atau lebih fungsi fisiologisnya terganggu maka tanaman tersebut sakit (Agrios 1988).

Penyakit tanaman kedelai yang disebabkan oleh gangguan abiotik seperti halnya akibat cekaman kondisi fisik tertentu sering disebut sebagai penyakit fisiologis. Sebagai contoh adalah kahat hara, keracunan, cekaman ke-keringan, ataupun suhu yang terlalu panas/dingin. Di tanah Vertisol, tanaman kedelai sering kahat unsur kalium yang ditandai dengan pertumbuhan yang tidak optimal dan tepi daun menguning. Demikian juga di tanah Ultisol masam dengan kandungan ion Al yang dapat dipertukarkan (Al-dd) tinggi, pertumbuhan tanaman kedelai menjadi kerdil, terhambat akibat keracunan hara Al.

Penyakit tanaman yang disebabkan oleh gangguan biotik berupa patogen disebut dengan penyakit patogenik. Misalnya penyakit karat daun yang disebabkan oleh jamur Phakopsora pachyrizhi, penyakit bakteri pustul oleh bakteri Xanthomonas xampestris dan berbagai penyakit oleh patogen virus. Makalah ini hanya membahas penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen.

Tanaman mudah sakit apabila rentan terserang oleh patogen dan kondisi lingkungannya mendukung perkembangan patogen tersebut. Jadi penyakit merupakan interaksi antara inang tanaman, patogen, dan kondisi lingkungan yang mendukung. Konsep tersebut lebih dikenal sebagai segitiga penyakit atau triangle disease (Gambar 1).

Alam bebas dengan berbagai jenis tumbuhan mempunyai tingkat ke-ragaman genetik yang tinggi dan umumnya telah mengalami keseimbangan

Gambar 1. Segitiga penyakit. I = tanaman inang, P=patogen dan L= lingkungan.

P

I

L

P

I

(3)

segitiga penyakit sehingga ledakan epidemi penyakit tidak terjadi. Namun apabila keseimbangan tersebut terganggu, maka epidemi penyakit terjadi. Usaha pertanian modern pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk menyeragamkan genetik tanaman (menanam satu jenis tanaman kedelai dalam hamparan yang luas) dan memanipulasi lingkungan agar mendukung produksi yang optimal. Dalam ekosistem demikian, keragaman genetik menjadi lebih sempit, mengakibatkan kerentanan terhadap timbulnya epidemi penyakit tanaman.

Apabila ditanam secara luas, varietas tanaman yang berpotensi produksi tinggi namun rentan terhadap patogen sering menimbulkan ledakan epidemi penyakit. Demikian pula penggunaan pupuk N yang berlebihan sering membuat tanaman tumbuh terlalu subur, sukulen, dan menjadi lebih rentan terhadap infeksi penyakit busuk daun dan busuk polong yang disebakan oleh jamur Rhizoctonia solani. Penanaman suatu varietas tanaman tahan secara terus-menerus memicu timbulnya strain patogen yang mampu mematahkan ketahanan itu. Peran manusia tersebut apabila ditambahkan pada konsep segitiga penyakit menjadi piramida penyakit atau disease pyramide(Gambar 2).

EKOLOGI TROPIKA DAN USAHATANI KEDELAI

DI INDONESIA

Perkembangan tanaman dan patogen penyebab penyakit tanaman sangat dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh mikro maupun makro. Indonesia yang berada antara 11 Lintang Selatan (LS) dan 8 Lintang Utara (LU), merupakan daerah tropika basah yang secara umum mempunyai ciri-ciri berbeda dengan daerah beriklim sedang antara lain (Semangun 1991):

Gambar 2. Konsep piramida penyakit.

M = aktivitas manusia, I = tanaman inang, P = patogen, L = lingkungan

P L M I P L M I

(4)

a. Tidak ada perbedaan tajam antara rata-rata suhu setiap bulan maupun antara siang dan malam. Perbedaan suhu siang dan malam umumnya lebih besar dibanding suhu bulan panas dan dingin. Perbedaan suhu lebih ditentukan oleh tinggi tempat (altitude) daripada oleh derajat lintang (latitude). Tidak ada musim dingin yang panjang dan tegas yang dapat menghilangkan sumber infeksi dan menekan laju infeksi. b. Curah hujan tahunan umumnya tinggi, antara 1000 mm hingga > 10.000

mm/tahun, mengakibatkan kelembaban relatif udara menjadi tinggi yang mendorong perkembangan penyakit.

c. Perbedaan suhu yang kecil serta perbedaan kecil kecepatan rotasi di sekitar katulistiwa, menimbulkan kecilnya perbedaan tekanan udara sehingga membatasi hembusan angin yang kencang.

Di Indonesia tanaman kedelai dibudidayakan di lingkungan yang sangat beragam. Berdasar lahan dan musim tanamnya, sebagian besar (60%) tanaman kedelai diusahakan di lahan sawah pada awal musim kemarau (April-Juni) atau akhir musim kemarau (Juli-Oktober) dengan polatanam padi-kedelai-kedelai atau padi-kedelai-palawija lain. Sebagian kedelai (40%) ditanam di lahan sawah tadah hujan (tegal) pada awal musim hujan (Maret-April) dengan pola tanam padi-kedelai-kedelai atau padi-kedelai-kedelai. Lahan tegal tadah hujan pada awal atau akhir musim hujan tergantung pada polatanam dan ketersediaan air irigasi dan curah hujan setempat. Di Sumatera Selatan, dan Sulawesi Tenggara kedelai juga diusahakan di lahan bukaan baru pada awal atau akhir musim hujan dan ditanam dalam tumpangsari dengan padi, jagung, atau ubi kayu. Sebagai tanaman kedua

(secondary crops), kedelai jarang dibudidayakan secara serempak dalam hamparan yang luas dengan teknologi budi daya intensif. Pemilikan lahan yang sempit, terpencar serta keterbatasan modal seringkali mendorong petani bertanam kedelai dengan teknologi budidaya sederhana.

PATOGEN PENYEBAB PENYAKIT TANAMAN KEDELAI

Lebih dari 20 jenis patogen penyebab penyakit tanaman kedelai dari golongan jamur, bakteri, mikoplasma dan virus telah diidentifikasi di Indonesia (Semangun 1991, Sudjono et al. 1985) (Tabel 1). Di lapang, penyebaran penyakit terjadi dengan bantuan angin, percikan air hujan, aliran air pengairan, tanah/bahan tanaman yang terinfeksi, serangga penular (vektor) dan alat-alat pertanian yang membawa atau terkontaminasi dengan patogen yang berupa spora/konidia/hifa/propagul jamur, bakteri atau virus. Beberapa penyakit tanaman kedelai juga dapat tersebar melalui benih, misalnya anthraknose (Colletotrichum sp.), bercak ungu (Cercospora kikuchii), virus mosaik (Soybean mosaic virus ), dan penyakit virus katai kedelai (Soybean stunt virus).

(5)

Intensitas serangan penyakit beragam tergantung tingkat kerentanan tanaman, patogenisitas patogen, dan kondisi lingkungan di lapang. Secara umum penyakit jamur dan bakteri pada tanaman kedelai lebih mudah berkembang dalam udara yang hangat dan lembab. Sedangkan penyakit virus dan mikoplasma umumnya menyerang di musim kemarau seiring dengan meningkatnya populasi serangga penular berupa kutu daun (Aphis spp.) dan kutu kebul (Bemisia tabaci) di lapang.

Bioekologi Penyakit Utama Kedelai

Penyakit karat daun, bakteri pustul, bakteri hawar, antraknose, busuk batang, dan penyakit virus merupakan penyakit yang sering menimbulkan kerugian besar. Pengetahuan tentang bioekologi penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya di lapang dapat membantu upaya pengendalian secara efektif.

Penyakit Karat Daun

Penyakit karat daun disebabkan oleh jamur Phakopsora pachyrhizi Syd, (sinonim P. sojae, P. vignae, Uredo sojae, Uromyces sojae) dan merupakan penyakit penting yang tersebar luas di Indonesia. Penyakit ini juga menyerang

Tabel 1. Penyakit-penyakit tanaman kedelai di Indonesia. No. Penyakit Patogen

1. Karat daun Phakopsora pachyrhizi 2. Bercak daun Cercospora sojina 3. Bercak mata katak Cercospora kikuchii

4. Anthraknose Colletotrichum lindemuthianum Dematium sp.

5. Hawar batang Rhizoctonia solani 6. Rebah semai Sclerotium rolfsii 7. Downy mildew Peronospora sp.

8. Hawar bakteri Pseudomonas syringae pv. glycinea 9. Pustul bakteri Xanthomonas campestris pv. glycines 10. Sapu setan Mikoplasma

11. Mosaik Soybean mosaic virus (SMV) Soybean yellow mosaic virus (SYMV) Bean yellow mosaic virus (BYMV) Bean common mosaic virus (BCMV) Peanut mottle virus (PMoV) Peanut stripe virus (PStV)

Blakeye cowpea mosaic virus (BlCMV) 12. Kerdil kedelai Soybean dwarf virus (SDV)

13. Katai kedelai Soybean stunt virus (SSV) 14. Belang samar Cowpea mild mottle virus (CMMV)

(6)

tanaman kedelai di negara-negara lain seperti Thailand, Filipina, Taiwan, Brasil, dan Amerika Serikat.

Gejala awal serangan muncul pada daun pertama berupa bercak-bercak yang berisi uredia (badan buah yang memproduksi spora). Bercak ini berkembang ke daun-daun di atasnya sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Bercak terutama terdapat di bagian bawah daun. Warna bercak mula-mula klorotik sampai coklat kemerahan seperti warna karat. Bentuk bercak umumnya bersudut berukuran sampai 1 mm (Semangun 1991).

Epidemi penyakit karat didorong oleh lamanya daun dalam kondisi basah dan periode dengan suhu < 28oC. Perkecambahan spora dan

penetrasi jamur ke dalam jaringan tanaman membutuhkan air bebas dan terjadi pada suhu 8-28oC. Uredia muncul 9-10 hari setelah infeksi, dan

urediniospora diproduksi setelah tiga minggu. Kondisi lembab yang panjang dan periode dingin dibutuhkan oleh jamur untuk menginfeksi daun-daun dan bersporulasi. Penyebaran urediniospora dibantu oleh hembusan angin dan percikan air di waktu hujan. Belum ada bukti bahwa patogen jamur karat ditularkan melalui benih kedelai. Pengaruh kumulatif penyakit karat pada hasil adalah menurunnya bobot biji serta jumlah polong dan biji. Pada varietas yang rentan, serangan penyakit ini mengakibatkan daun kedelai menjadi kering, rontok dan kerugian hasil mencapai 40-80% (Sudjono et al. 1985).

Jamur karat juga menyerang tanaman kacang-kacangan lain seperti Pachyrhizus erosus, Phaseolus lathyroides, P. vulgaris P. lunatus, Pisum sativum, Vigna radiata var. radiata, maupun gulma dan tanaman penutup tanah Calopogonium muconoides, Crotalaria anagyroides, C. striata, Centrocema pubescens, Desmodium sp. (Sudjono 1984). Namun peran inang pengganti tersebut dalam perkembangan epidemi penyakit karat pada kedelai belum diketahui dengan baik.

Penyakit Pustul Bakteri

Penyebab penyakit ini adalah bakteri Xanthomonas campestris pv glycines, yang menurut nomenklatur terbaru adalah Xanthomonas axonopodis pv glycines. Gejala awalnya berupa bercak kecil tampak pada kedua permukaan daun, berwarna hijau pucat, menonjol pada bagian tengah lalu menjadi bisul, berwarna coklat muda atau putih di bagian bawah daun. Gejala ini sering dikacaukan dengan penyakit karat pada kedelai. Tetapi bercak karat lebih kecil dan sporanya tampak jelas bila dilihat dengan kaca pembesar. Bentuk bercak pustul bakteri beragam mulai dari bintik kecil sampai besar tak beraturan, berwarna kecoklatan. Seringkali bercak kecil bersatu memben-tuk daerah nekrotik yang mudah robek oleh angin sehingga daun kelihatan berlubang-lubang dan bila infeksi berat dapat menyebabkan daun

(7)

gugur (Semangun 1991). Bakteri bertahan pada biji, permukaan residu tanaman dan di rhizosfir. Gulma Dolichos bifllorus, buncis jenis tertentu, dan kacang tunggak dapat bertindak sebagai tanaman inang bakteri pustul. Di lapang penyakit umumnya berkembang di dataran rendah di musim hujan, dalam cuaca basah dan suhu relatif tinggi. Penyebaran bakteri dibantu oleh percikan air hujan dan daun yang saling bersinggungan karena hembusan angin. Bakteri masuk ke tanaman melalui lubang-lubang alami (stomata, hydatoda) atau luka, dan memperbanyak diri di dalam sel. Bakteri pustul juga dilaporkan dapat ditularkan melalui benih kedelai.

Penyakit Hawar Bakteri

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Pseudomonas syringae pv. Glycinea. Gejala awal pada daun berupa bercak kecil, bersegi, tembus cahaya dan tampak kebasahan berwarna kekuningan atau coklat muda. Bercak kemudian membesar, bagian tengahnya mengering berwarna coklat tua atau coklat kehitaman dikelilingi oleh lingkaran halo kebasahan. Beberapa bercak dapat bersatu menjadi bercak yang besar dan bagian tengahnya nekrotik sehingga daun sobek-sobek.

Gejala bercak juga dapat terjadi pada batang, tangkai daun, dan polong. Biji dari polong tanaman sakit menjadi berkeriput atau berubah warna, namun ada kalanya tidak bergejala sama sekali. Berbeda dengan bakteri pustul, penyakit hawar bakteri banyak berkembang pada dataran tinggi dengan udara lembab dan sejuk.

Penyakit Hawar Batang dan Polong

Penyakit ini disebabkan oleh jamur Rhizoctonia solani Kuhn. Gejala awal serangan terjadi yang pada tanaman yang baru tumbuh berupa hawar pada bagian dekat akar yang kemudian menyebabkan tanaman rebah dan mati. Gejala pada daun, batang, dan juga pada polong, timbul hawar dengan arah serangan dari bawah ke atas. Bagian tanaman yang terserang berat menjadi kering dan apabila keadaaan sangat lembab timbul miselia jamur yang menyebabkan daun-daun akan lengket satu sama lain sehingga karena itu disebut web blight karena menyerupai sarang laba-laba. Jamur ini juga membentuk sklerotia berwarna coklat sampai hitam, bentuk tidak beraturan berukuran sampai 0,5 mm.

Penyakit ini dapat berupa rebah kecambah, busuk, atau hawar akar dan batang. Jamur R. solani bersifat polifag, mempunyai banyak tanaman inang antara lain: tanaman pangan, sayuran, buah, dan tanaman hias sehingga sulit dikendalikan.

(8)

R. solani menghuni tanah dan mempunyai kemampuan saprofit tinggi dan dapat hidup sampai tiga bulan pada kultur kering dan empat bulan pada kultur cair. Jamur ini dapat pula bertahan hidup tanpa tanaman inang dan hidup saprofit pada semua jenis sisa tanaman. Jamur R. solani dapat menimbulkan epidemi di daerah berkelembaban tinggi dengan suhu hangat karena dapat bertahan lama hidup dalam tanah dan menjadi sumber inokulum yang penting.

Penyakit Antraknose

Penyakit ini disebabkan oleh jamur Colletotrichum dematium var truncatum. Serangan awal timbul pada biji sebelum atau sesudah tumbuh pada batang, polong, dan tangkai daun. Infeksi jamur pada biji mengganggu per-kecambahan biji, tetapi kadang-kadang tidak menunjukkan gejala. Gejala hanya timbul bila kondisi lingkungan menguntungkan bagi perkembangan jamur tersebut. Pada tanaman yang terserang biasanya daun melengkung ke bawah, tulang daun pada permukaan bawah menebal dengan warna kecoklatan. Pada batang akan timbul bintik-bintik hitam berupa duri-duri jamur. Gejala ini spesifik dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi jamur antraknose.

Penyakit antraknose umumnya menyerang tanaman kedelai dengan polong menjelang masak dan berkembang pada kondisi yang lembab. Pada serangan berat, kehilangan hasil dapat mencapai 50% atau bahkan polong menjadi puso. Varietas TK-5 dan Shakti sangat rentan terhadap infeksi jamur antraknose.

Jamur dapat ditularkan melalui benih, terutama apabila tanaman terinfeksi pada umur muda atau selama periode pemasakan polong (Sinaga et al. 1976). Patogen bertahan dalam bentuk miselia pada residu tanaman atau pada biji terinfeksi. Tanaman yang terinfeksi jamur seringkali tidak menunjukkan gejala serangan yang jelas sampai tanaman menjelang masak. Infeksi batang dan polong terjadi selama fase reproduksi apabila cuaca lembab dan hangat.

Jamur ini juga menyerang tanaman Phaseolus vulgaris, Desmodium sp., Cyamopsis tetra gonoloba, Acasia longifolia, dan Dolichos uniflorus (Holliday 1980).

Penyakit Rebah Semai

Penyakit ini disebabkan oleh jamur Sclerotium rolfsii Sacc. Gejala awal serangan terjadi pada pangkal batang atau sedikit di bawah permukaan tanah berupa bercak coklat muda yang berubah cepat menjadi warna gelap, meluas sampai ke hipokotil. Gejala layu mendadak merupakan gejala

(9)

pertama yang timbul. Daun-daun yang terinfeksi mula-mula membentuk bercak bulat berwarna merah sampai coklat dengan pinggir berwarna coklat tua, kemudian mengering dan sering menempel pada batang mati. Gejala khas patogen ini adalah adanya miselium putih yang terbentuk pada pangkal batang, sisa daun, dan pada tanah di sekeliling tanaman sakit. Miselium tersebut menjalar ke atas batang sampai beberapa sentimeter.

Tanaman kedelai peka terhadap jamur ini sejak mulai tumbuh sampai pengisian polong. Kondisi lembab dan panas memacu perkembangan miselium yang kemudian hilang bila keadaan berubah menjadi kering. Apabila udara sangat lembab sklerotia akan muncul berbentuk bulat berwarna kecoklatan seperti biji sawi dengan diameter 1-1,5 mm. Karena mempunyai lapisan dinding yang keras, sklerotium dapat dipakai untuk mempertahankan diri terhadap kekeringan, suhu tinggi, dan sebagainya. Serangan penyakit ini biasa terjadi tetapi jarang berakibat serius. Namun penurunan hasil yang cukup tinggi dapat tercapai bila tanaman rentan dan ditanam secara monokultur atau segera setelah tanaman lain yang peka.

Penyakit Downy Mildew

Penyebab penyakit ini adalah jamur Peronospora manshurica Syd. Gejala awal serangannya terjadi pada daun sebelah bawah, timbul bercak warna putih kekuningan, umumnya bulat dengan batas yang jelas dan berukuran 1-2 mm. Kadang-kadang bercak menyatu membentuk bercak lebih lebar yang selanjutnya dapat menyebabkan bentuk daun menjadi abnormal dan kaku mirip penyakit yang disebabkan oleh virus. Pada permukaan bawah daun terutama di pagi hari yang dingin timbul miselium dan konidium Ciri morfologi penyakit ini adalah adanya miselium dan konidium yang terbentuk di bawah permukaan daun sehingga terlihat seperti bulu. Perkembangan penyakit downy mildew didukung oleh kelembaban udara yang tinggi dan suhu sekitar 20-22oC. Sporulasi terjadi suhu 10-25oC, tidak

pada suhu di atas 30oC atau di bawah 10oC. Daun-daun lebih tahan terhadap

infeksi sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Pada suhu yang lebih tinggi tanaman lebih tahan terhadap infeksi. Apabila jumlah bercak kuning bertambah maka ukuran daun pun makin lama makin menyusut. Patogen jamur bertahan dalam bentuk miselium pada residu tanaman atau pada biji yang terinfeksi. Miselium menjadi penyebab tanaman terinfeksi, namun seringkali tanpa menimbulkan perkembangan gejala sampai tanaman menjelang masak. Infeksi batang dan polong dapat terjadi selama fase reproduksi apabila cuaca lembab dan hangat.

Penyakit Hawar, Bercak Daun dan Bercak Biji Ungu

Penyebab penyakit ini adalah jamur Cercospora kikuchii T. Matsu & Tomoyasu. Gejala pada daun, batang dan polong sulit dikenali. Gejala awal

(10)

pada daun timbul saat pengisian biji dengan warna ungu muda yang selanjutnya mengalami diskolorasi menjadi lebih gelap. Daun-daun menjadi kasar, kaku, dan berwarna ungu kemerahan. Bercak berbentuk menyudut sampai tidak beraturan dengan ukuran yang beragam dari sebuah titik sampai 1 cm dan kemudian menyatu menjadi bercak yang lebih besar. Gejala lebih mudah diamati pada biji yang terserang yaitu timbul bercak berwarna ungu. Biji mengalami diskolorasi dengan warna yang beragam dari merah muda atau ungu pucat sampai ungu tua dan berbentuk titik sampai tidak beraturan dan membesar.Penyakit ini tidak menurunkan hasil secara langsung akan tetapi mampu menurunkan kualitas biji dengan adanya bercak ungu yang kadang-kadang mencapai 50% permukaan biji. Inokulum pertama dari biji atau jaringan tanaman terinfeksi yang berasal dari pertanaman sebelumnya. Suhu 28-30oC disertai kelembaban tinggi yang

berlangsung cukup lama memacu perkembangan penyakit bercak dan hawar daun. Di ruang dengan kelembaban tinggi, infeksi penyakit maksimum terjadi dalam kondisi bergantian antara 12 jam terang dan gelap dan antara 20 dan 24oC. Infeksi penyakit meningkat dengan bertambah

panjangnya periode embun. Penyakit ini lebih parah terjadi pada varietas yang berumur pendek.

Penyakit yang Disebabkan oleh Jamur

Penyakit bercak mata katak (frog eye), bercak daun sasaran (target spot), dan hawar daun Choanephora merupakan penyakit yang juga sering dijumpai meskipun jarang menimbulkan kerugian yang berarti. Penyebab dari ketiga penyakit ini berturut-turut adalah Cercospora sojina, Corynespora cassiicola, Choanephora infundibulifera.

Gejala serangan penyakit bercak mata katak berupa bercak bulat terutama timbul pada daun tetapi kadang-kadang muncul di batang, polong dan biji. Bercak berwarna coklat, berbentuk bulat sampai bersudut dengan diameter yang beragam 1-5 mm. Gejala serangan bercak daun sasaran timbul pada daun, batang, polong, biji, hipokotil dan akar berupa bercak berwarna coklat kemerahan, dengan diameter 10-15 mm dan kadang-kadang mengalami sonasi, yaitu berlingkar seperti pada papan tembak.

Patogen bertahan pada batang, akar, dan biji, serta mampu bertahan dalam tanah yang tidak diusahakan selama lebih dari dua tahun. Infeksi hanya terjadi bila kelembaban relatif 80% atau lebih atau adanya air bebas di atas daun. Cuaca kering menghambat pertumbuhan jamur pada daun dan akar. Infeksi pada batang dan akar terjadi pada awal fase pertumbuhan tanaman. Gejala pada bagian tanaman di bawah tanah pada umumnya terlihat tiga minggu setelah tanaman tumbuh berupa bercak berwarna coklat. Suhu tanah optimal untuk terjadinya infeksi dan perkembangan penyakit selanjutnya berkisar 15-18oC. Pada 20oC gejala penyakit tidak terlalu

(11)

parah dan akar terbentuk normal. Patogen bersifat kosmopolitan dan terutama di negara tropis keberadaannya sangat melimpah.

Gejala serangan hawar daun Choanephora: terutama timbul pada daun tua dan kadang-kadang juga pada daun yang muda di ujung tanaman, dan polong kadang-kadang juga terinfeksi. Daun yang terinfeksi berwarna keabu-abuan serupa dengan daun terkena air panas dan kemudian berubah warna menjadi gelap. Bila keadaan lembab pada tempat terinfeksi tumbuh sporangia dan spora yang dapat dilihat secara kasat mata tanpa bantuan alat pembesar.

Penyakit yang Disebabkan oleh Virus

Penyakit virus kerdil kedelai, katai kedelai, virus mosaik kedelai, virus belang samar kacang tunggak, virus belang kacang tanah, dan virus mosaik kuning buncis. Penyebab penyakit-penyakit ini berturut-turut adalah soybean dwarf virus (SDV), soybean stunt virus (SSV), soybean mosaic virus (SMV), cowpea mild mottle virus (CMMV), peanut stripe virus (PStV), dan bean yellow mosaic virus (BYMV) ) (Roechan 1992).

Infeksi virus pada tanaman kedelai pada umumnya menghasilkan gejala yang serupa yaitu adanya klorosis, belang dan mosaik pada daun, daun berkeriput sehingga di lapang sulit dibedakan jenis virus yang menyerang berdasar penampakan gejala saja, kecuali pada penyakit virus tertentu yang memberikan gejala khusus seperti soybean yellow mosaic virus dan soybean dwarf virus. Hal ini karena di lapangan ada ragam gejala yang mirip antara infeksi virus yang satu dengan lainnya. Ekspresi gejala penyakit virus sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, varietas yang terserang, atau strain virus. Lebih dari itu, satu tanaman dapat terinfeksi oleh lebih dari satu macam virus sehingga gejalanya menjadi semakin kompleks. Gejala yang umum adalah tampak adanya perubahan warna daun menjadi mosaik, agak keriput/keriting, ukuran daun mengecil dan tanaman tampak agak kerdil.

Gejala serangan penyakit katai kedelai yang disebabkan oleh soybean stunt virus (SSV) antara lain berupa bercak klorotik ringan pada daun yang kemudian pada beberapa varietas menghilang, daun-daun mengecil sehingga tanaman tampak pendek dan gemuk. Tanaman yang terinfeksi berat mengakibatkan jumlah polong berkurang dan mengecil, biji mengecil, dan berbercak coklat.

Gejala awal serangan soybean mosaic virus (SMV) berupa tulang anak daun yang masih muda menjadi kurang jernih. Selanjutnya daun berkerut dan mempunyai gambaran mosaik dengan warna hijau gelap di sepanjang tulang daun dan sementara tepi daun sering mengalami klorosis.

(12)

Gejala serangan cowpea mild mottle virus (CMMV) antara lain tulang daun menjadi jernih dan daun menggulung ke bawah sehingga daun nampak menyempit, dengan permukaan daun bagian atas mempunyai gambaran mosaik yang kurang jelas dan permukaan bawah daun berwarna coklat.

Gejala serangan peanut stripe virus (PStV) pada tanaman kedelai sangat beragam tergantung varietas, mulai dari belang sistemik ringan, mosaik sistemik, bercak lokal klorotik diikuti oleh belang sistemik atau lesio lokal nekrotik dan nekrosis sistemik.

Gejala serangan bean yellow mosaic virus (BYMV) pada daun yang muda berupa bercak-bercak klorotik yang kemudian tulang daun menjadi jernih dan gejala mosaik pada daun. Selanjutnya daun berubah bentuk menjadi tidak rata dan sering tepi daun menggulung ke bawah.

Kecuali virus CMMV yang ditularkan oleh serangga vektor kutu kebul (Bemisia tabaci) secara non-persisten, semua virus yang menginfeksi tanaman kedelai ditularkan oleh berbagai kutu daun Aphis spp. Infeksi itu dapat persisten (misalnya penyakit kerdil kedelai yang disebabkan oleh SDV) atau secara non-persisten (misalnya penyakit mosaik kedelai yang disebabkan oleh SMV, SSV, BYMV, dan PStV).

Selain serangga vektor, virus SMV, dan SSV juga ditularkan melalui benih kedelai yang dipanen dari tanaman sakit. Sebagian benih kedelai yang dipanen dari tanaman yang terinfeksi SMV dan SSV kulit bijinya belang (lorek). Persentase penularan virus SSV dan SMV melalui benih kedelai sangat dipengaruhi oleh strain virus, varietas kedelai, dan umur tanaman kedelai pada saat terinfeksi. Infeksi pada stadia pertumbuhan yang awal akan mengakibatkan penularan virus lewat benih yang lebih besar dibanding apabila tanaman terinfeksi virus pada umur yang lebih tua (Saleh 1996).

Di lapang pada umumnya intensitas serangan penyakit virus kedelai pada musim kemarau kedua (MK-2) lebih tinggi dibandingkan pada musim pertama (MK-1) ataupun pada musim hujan. Hal ini diduga berkaitan dengan meningkatnya populasi serangga vektor di musim kemarau dan tersedianya sumber inokulum yang lebih tinggi pada MK-2 tersebut. Kehilangan hasil kedelai sebanyak 50% akibat SMV dapat terjadi pada suatu areal dan penurunan hasil sampai 93% telah dilaporkan pada lahan percobaan yang dilakukan inokulasi virus mosaik kedelai sejak awal pertumbuhan (Roechan 1992).

Selain tanaman kedelai, virus dapat menginfeksi tanaman kacang-kacangan lain seperti buncis, kacang panjang, kapri (Pisum sativum), orok-orok (Crotalaria spp.) dan berbagai jenis kara (Dolichos lablab, Canavalia enciformis, Mucuna sp.).

(13)

ARTI PENTING PENYAKIT TANAMAN KEDELAI

Arti penting penyakit tanaman kedelai ditentukan antara lain oleh distribusi, frekuensi, intensitas serangan, kehilangan hasil yang diakibatkan, serta tersedianya teknologi pengendaliannya. Penyakit yang telah tersebar luas di sentra produksi kedelai dan sering muncul di dengan intensitas serangan yang tinggi dan mengakibatkan kerugian yang besar merupakan penyakit yang lebih penting dibanding penyakit-penyakit lain tanpa karakter itu.

Penyakit karat daun, antraknose, hawar/pustul bakteri, dan beberapa virus termasuk penyakit-penyakit yang mempunyai arti ekonomi penting karena sering menimbulkan kerugian hasil yang cukup besar. Sumarno dan Sujadi (1977) melaporkan bahwa serangan penyakit karat pada kedelai varietas TK5 yang rentan dapat mencapai 81%, sedang pada varietas Orba yang tahan hanya sekitar 36%. Serangan penyakit karat yang parah dapat menimbulkan kerugian hasil sampai 90% (Sudjono et al. 1985). Penyakit antraknose umumnya kurang merugikan, namun pada kondisi cuaca yang lembab kerugian hasil bisa berarti. Di Thailand penyakit antraknose dapat menimbulkan kerugian hasil 30-50% (cit Sudjono et al. 1985).

Penyakit hawar bakteri dan bakteri pustul telah tersebar luas di Indonesia, namun umumnya tidak terlalu merugikan. Di Indonesia penyakit hawar bakteri banyak terdapat di dataran tinggi, sedangkan penyakit bakteri pustul terdapat di dataran rendah . Suhu yang relatif tinggi dan cuaca basah mendorong berkembangnya penyakit bakteri pustul.

Intensitas serangan penyakit virus pada tanaman kedelai umumnya tinggi pada musim kemarau seiring dengan meningkatnya populasi serangga vektor. Infeksi virus katai kedelai (SSV) dan mosaik kedelai (SMV) pada tanaman yang masih muda dapat mengakibatkan kehilangan hasil masing-masing 37% dan 57% (Muchsin 1997; Rahamma dan Hasanuddin 1989).

PENGENDALIAN TERPADU PENYAKIT

TANAMAN KEDELAI

Setiap upaya pengendalian jasad pengganggu, termasuk penyakit, hendaknya mendasarkan pada konsep Pengendalian Hama terpadu (PHT). Ini berarti bahwa berbagai cara atau komponen pengendalian dipadukan dalam satu upaya pengendalian. Dalam PHT pengendalian tidak untuk memberantas habis populasi hama/penyakit, tetapi lebih untuk mengelola populasi itu hingga di bawah ambang kendali.

(14)

Untuk dapat mengelola penyakit secara baik, identitas patogen penyebab penyakit, dan ekobiologi patogen, tanaman dan vektor penyakit (untuk penyakit virus) perlu dipahami. Identifikasi patogen penyebab penyakit merupakan langkah awal yang sangat menentukan keberhasilan pengendalian. Menurut Apple (1977) langkah yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan penyakit tanaman adalah:

a. Menentukan jenis-jenis penyakit.

Tanaman kedelai diketahui diserang oleh berbagai penyakit jamur, bakteri dan virus.

b. Menentukan batas unit yang dikelola penyakitnya.

Upaya pengendalian penyakit lebih efektif dilakukan dalam satu hamparan luas secara serempak. Pengendalian individual dalam skala sempit sering tidak memberi hasil optimum terutama terhadap patogen yang ditularkan angin ataupun oleh vektor yang mampu menyebar secara luas.

c. Strategi pengelolaan penyakit tanaman

Berdasarkan pola perkembangan penyakit, perkembangan epidemi penyakit tanaman kedelai yang disebabkan jamur, bakteri ataupun vi-rus umumnya mengikuti pola bunga majemuk (compound interest). Ini karena daur hidup patogen pendek sehingga dalam satu musim tanam kedelai terjadi beberapa daur perkembangan patogen sehingga perkembangan penyakit bersifat logaritmik (eksponensial). Menurut van der Plank (1963), pola perkembangan epidemi penyakit tanaman dengan pola bunga majemuk mengikuti rumus:

rt Xt = Xo e di mana

Xt = proporsi tanaman sakit pada saat t

Xo = proporsi tanaman sakit pada permulaan (t=0) e = bilangan alam

r = laju infeksi

t = waktu berlangsungnya epidemi

Untuk mengendalikan penyakit tanaman kedelai, petani harus menggabungkan berbagai komponen pengendalian secara terpadu yang ditujukan untuk mengurangi Xo, r, dan t. Xo dan r dapat dikurangi melalui sanitasi dan eradikasi untuk mengurangi sumber infeksi di lapang. Lingkungan tumbuh kedelai dimanipulasi sehingga meng-hambat laju perkembangan penyakit, misalnya dengan mengatur waktu tanam, jarak tanam, pemupukan, drainasi yang baik, menanam varietas kedelai yang tahan atau toleran, mengendalikan vektor (untuk penyakit

(15)

virus), dan apabila diperlukan menggunakan fungisida atau bakterisida (Oka 1995).

Di daerah tropika tindakan sanitasi diperlukan karena tidak adanya sanitasi alamiah oleh musim dingin dan musim kering yang tegas dan panjang. Sanitasi yang efektif memerlukan pengetahuan tentang ekobiologi patogen penyebab penyakit.

Sampai batas tertentu, waktu terjadinya epidemi (t) dapat ditekan dengan menanam varietas tanaman yang berumur genjah (70-75 hari) seperti varietas Tidar, Malabar, atau mengatur/memajukan waktu tanam. d. Penentuan ambang ekonomi

Ambang ekonomi adalah tingkat intensitas penyakit yang menyebabkan pengurangan nilai ekonomi produksi sehingga sama dengan biaya pengelolaan penyakit. Ambang ekonomi suatu penyakit sukar ditentukan karena dipengaruhi oleh jenis patogen, jenis tanaman, lingkungan, biaya maupun harga produk yang selalu berubah. Bahkan menurut Untung (1993) bagi penyakit yang menyebar secara cepat, penentuan saat pengendalian berdasar ambang ekonomi tidak dapat dianjurkan. Menurut Sudjono (1984, 1985), penyemprotan fungisida triadimefon untuk mengendalikan penyakit karat hanya menguntungkan bila intensitas serangan pada umur 50 hari adalah 22% pada varietas Ringgit (rentan), 17% pada varietas Orba (agak tahan), dan 12% pada varietas No.29 (tahan). Secara umum penyemprotan fungisida untuk mengendalikan penyakit karat dilakukan apabila intensitas serangan mencapai 33% (Sudjono et al. 1983). Sampai saat ini penelitian tentang ambang ekonomi sebagian besar penyakit tanaman kedelai, termasuk penyakit virus, belum banyak dilakukan.

e. Pengamatan dan pemantauan

Pengelolaan penyakit memerlukan pengamatan dan pemantauan intensitas serangan penyakit dan keadaan cuaca yang diperkirakan membantu perkembangan penyakit tanaman. Untuk beberapa tanaman perkebunan (teh atau kopi) kajian epidemiologi penyakit yang menghubungkan data cuaca dengan intensitas serangan penyakit telah dilakukan sebagai dasar peramalan penyakit (disease forecasting). Dengan dasar peramalan tersebut saat yang tepat untuk penyemprotan fungisida dapat ditentukan. Namun untuk tanaman pangan, termasuk kedelai, upaya peramalan seperti itu belum berkembang. Karena patogennya berukuran kecil dan tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, upaya pencegahan penyakit masih banyak dilakukan hanya dengan diperkirakan akan terjadinya ledakan penyakit.

(16)

KOMPONEN PPT PADA TANAMAN KEDELAI

Pengendalian penyakit tanaman secara terpadu (PPT) dilakukan dengan memadukan beberapa komponen pengendalian yang kompatibel dalam satu kegiatan pengendalian. Komponen pengendalian tersebut dikelompok-kan menjadi: teknis budi daya, fisik dan medikelompok-kanis, kimiawi, dan hayati.

Pengendalian dengan Teknik Budi Daya

Penentuan Lokasi dan Waktu Tanam

Untuk dapat tumbuh dan memberi hasil optimal, tanaman kedelai meng-hendaki kondisi tanah dan iklim yang sesuai. Pertumbuhan yang optimal membuat tanaman mempunyai ketahanan terhadap penyakit yang baik. Tanaman yang tumbuh di bawah naungan lebih rentan terhadap infeksi beberapa patogen.

Waktu tanam yang tidak serempak dan tumpang tindih mengakibatkan penumpukan hama dan penyakit tanaman. Tersedianya tanaman inang sepanjang tahun meningkatkan sumber inokulum maupun vektor penyakit virus di lapang sehingga intensitas serangan penyakit virus pada tanaman kedelai meningkat dari musim ke musim (Baliadi dan Saleh 1989).

Pergiliran tanaman kedelai dengan tanaman yang bukan inang penyakit karat dan menanam kedelai secara serempak pada awal musim atau awal musim hujan dapat mengurangi intensitas serangan penyakit karat (Sudjono 1984).

Penanaman Varietas Tahan

Menanam varietas tahan merupakan cara yang murah, efektif, kompatibel dengan cara pengendalian lain, dan mudah diadopsi petani. Strategi pengembangan tanaman tahan sebaiknya yang berketahanan lama (durable resistance), lebih-lebih untuk tanaman seperti kedelai yang ditanam luas oleh petani kecil serta bernilai ekonomi rendah.

Varietas Wilis, Kerinci, dan Malabar lebih tahan terhadap infeksi jamur karat (Phakopsora pachyrhizi) dibanding varietas Ringgit, Tidar, dan Jayawijaya (Hardaningsih 1997a). Varietas Kipas Putih, Kipas Merah, dan Singgalang juga diketahui rentan terhadap jamur karat (Salim dan Sadar 1995a). Varietas Galunggung lebih rentan dibanding Raung, Wilis, dan Kerinci (Dahlan dan Masyurdin 1989).

(17)

Varietas Krakatau, Tampomas, dan Cikuray rentan terhadap infeksi jamur tanah Rhizoctonia solani dan Sclerotium rolfsii, sedang varietas Malabar mempunyai ketahanan yang lebih baik (Prayogo dan Baliadi 1995).

Varietas Lokon tahan terhadap penyakit hawar bakteri (Pseudomonas syringae pv. glycinea), sedang varietas Wilis rentan terhadap bakteri tersebut (Budiman 1997). Habazar et al.(1997) melaporkan hasil yang bertentangan. Varietas Wilis dan Lumajang Bewok tahan, sedang Lokon, Krakatau, Tampomas, Orba, dan Singgalang rentan terhadap P. syringae pv. glycinea ras 4. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan ras bakteri yang digunakan dalam pengujian tersebut. Ras 4 merupakan ras yang dominan di sentra produksi kedelai di Jawa Timur dan Sumatra Barat (Habazar dan Rudolf 1997).

Varietas Malabar dan Cikurai tahan terhadap penyakit bakteri pustul, Xanthomonas campestris pv. Glycines. Varietas Tidar dan Dieng bersifat agak tahan sedang Jayawijaya bersifat rentan (Dirmawati et al. 1997).

Menanam varietas tahan merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit virus pada tanaman kedelai. Kedelai varietas Taichung, Bonus, dan No.1592 tahan terhadap SSV (Roechan et al. 1975). Burhanuddin (1995) melaporkan bahwa AGS 129, AGS 222, AGS2102, MLG 2526, dan MLG 2742 tahan terhadap SMV. Hasil penyaringan ketahanan 243 genotipe kedelai koleksi plasma nutfah terhadap infeksi CMMV menunjuk-kan bahwa terdapat dua genotipe yaitu No.3020 dan 3288 yang tahan (Baliadi dan Saleh 1995).

Tabel 4. Reaksi varietas kedelai terhadap karat. Varietas Penyakit karat

Wilis agak tahan

Kerinci agak tahan

Tidar agak tahan

Lumajang Bewok agak tahan

Dieng agak tahan

Jayawijaya agak tahan

Sindoro tahan

Slamet tahan

Sinabung agak tahan Tanggamus agak tahan

Ratai agak tahan

Seulawah tahan

Nanti tahan

Burangrang tahan Anjasmoro agak tahan

(18)

Menanam Benih Sehat

Beberapa patogen yang menyerang tanaman kedelai diketahui dapat terbawa benih (seed-borne) dan ditularkan melalui benih (seed-transmitted) yang dihasilkan dari tanaman sakit antara lain: Colletotrichum lindemutianum, Dematium sp.,Cercospora kikuchii, soybean mosaic virus (SMV), dan soybean stunt virus (SSV). Infeksi patogen lewat benih me-megang peran penting dalam perkembangan epidemi dan penyebaran antarmusim maupun antardaerah/negara.

Infeksi jamur dan bakteri menurunkan daya kecambah biji atau me-matikan bibit yang tumbuh. Menanam benih yang sehat dianjurkan untuk mengatasi penyakit-penyakit tular benih tersebut. Perlakuan benih (seed treatment) dengan fungisida thiram/bakterisida atau merendam dalam air hangat dapat mematikan kontaminasi patogen pada permukaan benih dan mengurangi serangan penyakit tular benih oleh penyebab jamur atau bakteri, namun kurang berhasil terhadap virus tular benih. Sejauh ini belum ditemu-kan perlakuan benih yang dapat mematiditemu-kan virus tanpa harus mem-pengaruhi viabilitas benih itu sendiri.

Bila tanaman terinfeksi SMV atau SSV, sebagian biji yang dihasilkan menjadi belang coklat. Rahamma (1997) melaporkan bahwa penularan SMV melalui benih belang 21%, lebih tinggi dibanding benih yang bersih (1%). Demikian juga Roechan (1992) membuktikan bahwa persentase penularan SSV lewat biji belang jauh lebih tinggi dibanding biji yang tidak belang. Tetapi beberapa peneliti lain membuktikan tidak ada korelasi antara biji belang dengan penularan virus. Saleh (1997) melaporkan bahwa meskipun penggunaan benih kedelai belang hingga 5% tidak berpengaruh terhadap perkembangan penyakit virus di lapang. Namun sebagai tindakan preventif, benih belang sebaiknya tidak digunakan.

Pemupukan

Intensitas serangan beberapa penyakit tanaman dapat dinaikkan atau diturunkan melalui pemupukan. Pemberian pupuk N secara berlebihan membuat tanaman tumbuh terlalu subur, lebih sukulen dan menjadi lebih rentan terhadap infeksi jamur dan bakteri. Pemakaian pupuk daun yang mengandung hara mikro Ca, Mg, Fe, Mo, dan Si sebanyak lima kali penyemprotan dengan selang waktu semprot 10 hari dapat menekan laju infeksi dan daun gugur oleh jamur karat masing-masing sebesar 70% dan 45-60% (Sudjono 2000).

Larutan 10-40 mM KH2PO4, K2HPO4 atau K3PO4 mampu mendorong ketahanan sistemik (induced systemic resistance) terhadap penyakit anthraknose (Mucharromah 2000).

(19)

Pengendalian secara Fisik dan Mekanis

Penyakit umumnya berkembang pada kondisi lembab. Membersihkan lahan dari sisa-sisa tanaman sakit dan menanam dengan jarak tanam yang lebih lebar, khususnya pada pertanaman musim hujan, dapat mengurangi per-kembangan penyakit antraknose (Oka 1971). Penggarapan tanah yang baik, perbaikan saluran drainasi dan penanaman dengan jarak tanam lebih lebar juga menekan serangan penyakit layu Sclerotium.

Penyakit karat dapat dikurangi melalui pergiliran tanaman dan menjauhka pertanaman kedelai dari tumbuhan inang lain yang dapat menjadi sumber penyakit karat (Sudjono et al. 1983). Pemangkasan pucuk tanaman kedelai pada umur 17 hari setelah tanam dapat meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap jamur karat dan meningkatkan hasil hingga 24,6% (Sudjono dan Sutrisno 1995).

Tumpangsari tanaman kedelai dengan tanaman lain dapat mengurangi serangan hama atau penyakit. Tumpangsari kedelai dengan sorgum dapat mengurangi persentase tanaman terserang SMV, namun akan mengurangi hasil kedelai 25-50% (Bottenberg and Irwin 1992). Yulianto et al. (1993) melaporkan bahwa tumpangsari kedelai dengan cabai tidak mengurangi penyebaran SMV dan SSV. meskipun aphid lebih menyukai tanaman cabai dibanding tanaman kedelai. Pakki et al. (1997) melaporkan bahwa tumpang-sari empat baris tanaman jagung/sorgum di antara tanaman kedelai mampu menekan laju infeksi penyakit virus mosaik (SMV).

Mencabut tanaman yang sakit di lapang, mengumpulkannya dalam kantong serta membakarnya merupakan cara untuk mengendalikan penyakit layu oleh jamur Sclerotium atau Rhizoctonia, serta penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus. Di lapang, sumber infeksi atau sumber inokulum virus tanaman kedelai selain benih yang terinfeksi, dapat berupa tanaman budidaya sejenis, lain jenis, maupun tumbuhan liar. Oleh karena itu, untuk memutus daur dan mengurangi sumber inokulum di lapang, pertanaman kedelai sebaiknya digilirkan dengan tanaman serealia atau umbi-umbian yang bukan inang virus kedelai.

Pengendalian secara Kimiawi

Pengendalian penyakit secara kimiawi dengan fungisida atau bakterisida masih sangat jarang dilakukan oleh petani kedelai di Indonesia. Fungisida mankozeb (Dithane M-45), klorotalonil (Daconil), tiofanat methil (Topsin), triadimefon (Bayleton), dan benomil (Benlate) efektif menekan penyakit karat pada tanaman kedelai (Sudjono et al. 1983; Salim dan Sadar 1995b). Selain daun, penyakit anthraknose juga menyerang polong. Polong isi paling rentan terhadap infeksi jamur (Elizabeth et al. 1997; Sulihtyorini et al.

(20)

1997). Infeksi jamur antraknose pada benih kedelai dapat ditekan dengan penyemprotan fungisida benomil (Benlate) atau fentin-hidroksida (Deuter) pada saat mulai berbunga hingga pengisian polong (Sudjono et al. 1983).

Perkembangan penyakit layu Sclerotium dapat ditekan dengan fungisida Dithane, Delsene, Manzate, dan Benlate. Benlate dengan konsentrasi 2-4 g/l paling efektif (Wahab et al. 1995). Pengendalian penyakit bakteri dengan bakterisida tidak dianjurkan karena mahal.

Untuk menekan intensitas serangan penyakit virus nonpersisten, pengendalian vektor dengan insektisida sering tidak memberi hasil memuaskan. Hal ini diduga karena insektisida mematikan aphid setelah vektor itu menularkan virus ke tanaman lain (Lobenstein and Raccah 1980). Tetapi ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penyemprotan insektisida cypermethrin, deltamethrin, permethrin, fanfalerate,disulfoton, dan acephate dapat menekan kolonisasi aphid serta mengurangi atau memperlambat penyebaran virus non-persisten (Pyron et al. 1988).

Penyemprotan minyak mineral secara kontinyu dengan selang lima hari dapat menghambat infeksi dan penyebaran SMV sebesar 27% dibanding perlakuan kontrol yang tidak disemprot (cit. Irwin and Schult. 1981). Tetapi karena harus disemprotkan beberapa kali dan harganya mahal, penggunaan minyak mineral ataupun emulsi minyak nabati kurang ekonomis .

Di lapang, sumber infeksi atau sumber inokulum virus SMV dan SSV selain benih yang terinfeksi, juga tanaman budidaya sejenis atau lain jenis maupun tumbuhan liar. Tanaman kedelai adalah inang utama SMV dan SSV, namun kedua virus itu dapat menginfeksi tanaman kacang panjang dan kacang buncis. Untuk memutus daur hidup dan mengurangi sumber inokulum di lapang, pertanaman kedelai untuk benih perlu dipergilirkan dengan tanaman serealia atau umbi-umbian yang bukan inang.

Secara alami virus SMV dan SSV juga dapat menginfeksi gulma di sekitar pertanaman kedelai, seperti Cassia oxidentalis, Sesbania exaltata, Phaseolus speciosus, dan P. latthyroides (Roechan 1992).

Pemantauan secara rutin dan mencabut tanaman kedelai yang terinfeksi SMV atau SSV, terutama pada saat masih muda hingga mendekati masa berbunga dapat mengeliminasi penularan virus melalui benih yang dihasilkan. Mencabut tanaman sakit juga mengurangi penyebaran lebih lanjut oleh serangga vektor. Gulma yang merupakan inang alternatf virus SMV dan SSV sebaiknya dicabut untuk mengurangi sumber infeksi di lapang. Beberapa gulma selain menurunkan sumber virus, juga berperan dalam perkembangbiakan vektornya.

(21)

Pengendalian secara Hayati

Penyakit busuk batang yang disebabkan oleh jamur Rhizoctonia solani dan layu oleh Sclerotium rolfsii dapat dikendalikan dengan beberapa jamur yang bersifat antagonis. Hardaningsih (1997b) melaporkan bahwa di laboratorium dan rumah kaca, jamur antagonis Trichoderma harzianum dan Gliocladiumi roseum. efektif menekan perkembangan jamur Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, Aspergillus neger, Fusarium sp. dan Colletotrichum dematium. Poromarto dan Widadi (2000) melaporkan bahwa di laboratorium isolat No.8 jamur binukleat R. solani dapat menekan serangan jamur busuk batang R.solani hingga 59%.

Keberhasilan penggunaan jamur antagonis di lapang juga telah dilaporkan. Penggunaan Biotric dengan bahan aktif Trichoderma harzianum masing-masing sebanyak 2,87 ku/ha dan 5,75 ku/ha pada daerah rhizosfer efektif menekan intensitas serangan penyakit layu S.rolfsii dari 52% turun menjadi 8 hingga 8,4% dan mempertahankan hasil 2 t/ha dibanding hanya 0,8 t/ha pada perlakuan kontrol (Sudantha 2000).

OPERASIONALISASI PENGENDALIAN PENYAKIT

DI LAPANG

Di lapang, perkembangan penyakit sangat ditentukan oleh tersedianya sumber inokulum dan agensia penyebar. Penyakit-penyakit jamur yang menyerang bagian tanaman di permukaan tanah umumnya tersebar melalui spora atau konidia jamur yang sangat kecil yang diterbangkan angin (air-borne disease).

Penyebaran penyakit virus yang ditularkan oleh vektorpun dapat sangat dibantu oleh angin. Dengan demikian penyakit dapat meluas dari satu petak pertanaman ke petak pertanaman di sekitarnya secara cepat. Ini berbeda dengan penyakit jamur tular tanah yang penyebarannya terbatas. Oleh karena itu, untuk mengendalikan penyakit yang ditularkan lewat udara, tindakan individual secara terpisah kurang efektif. Guna mendapatkan hasil yang optimal, penyakit harus dikenalkan secara serempak dalam hamparan yang luas. Kekompakan kelompok-kelompok tani sehamparan dapat memberikan hasil yang lebih baik.

Waktu tanam yang tidak serempak juga memperbesar peluang tersedianya tanaman kedelai, sebagai inang yang terus menerus di lapang.

(22)

KESIMPULAN

Penyakit yang disebabkan patogen jamur, bakteri, virus dan mikoplasma merupakan satu kendala peningkatan produksi kedelai di Indonesia. Upaya pemasyarakatan informasi tentang patogen penyebab penyakit tanaman, arti penting dan teknologi pengendaliannya perlu dikembangkan.

Pengendalian penyakit tanaman kedelai dilakukan secara terpadu melalui pemaduan beberapa komponen pengendalian secara teknik budi daya (varietas tahan, pergiliran tanam, benih sehat, pemupukan, pengaturan jarak tanam, perbaikan drainasi), cara fisik (sanitasi, eradikasi, pembenaman, pembakaran) dan cara kimiawi dengan menggunakan pestisida. Upaya pengendalian dapat memberikan hasil optimal apabila dilakukan secara serempak dalam hamparan yang luas melalui pendekatan kelompok tani sehamparan.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology, 3rd eds Academic Press, New York. Apple, J.L. 1977. The theory of disease management. In: J.G.Horsfall and E.B.

Cowling (Eds.). Plant Disease: an advance treatice I. Academic Press. New York.

Budiman, A. 1997. Reaksi ketahanan beberapa genotipe kedelai terhadap penyakit hawar bakteri (Pseudomonas syringae pv. glycinea). Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI. 25-27 September 1995. p. 127-131.

Baliadi, Y. dan N. Saleh 1989. Virus-virus utama kedelai di sentra produksi kedelai Jawa Timur. Pros. Kongres Nasional X dan Seminar Ilmiah PFI. Denpasar, 14-16 Nopember 1989. p. 100-103.

Baliadi, Y. dan N. Saleh. 1995. Tanggapan plasma nutfah kedelai terhadap infeksi Cowpea mild mottle virus (CMMV). Risalah Kongres Nasional XII dan seminar Ilmiah PFI. Yogyakarta, 6-8 September 1993. p. 317-321.

Dahlan,S. dan Mansyurdin. 1989. Pengaruh serangan jamur Phakopsora pachyrhizi terhadap produksi beberapa varietas kedelai. Pros. Kongres Nasional X dan Seminar Ilmiah PFI. Denpasar, 14-16 Nopember 1989. p. 123-126.

Dirmawati, S.R., Y.M.S. Maryudani, dan C. Sumardiyono. 1997. Tanggapan lima varietas kedelai terhadap penyakit bisul bakteri (Xanthomonas

(23)

campestris pv. glycines). Pros. Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah PFI. Palembang, 27-29 Oktober 1997. p. 31-33.

Elizabeth, H., E.B.Trisusilowati, V. Supartini, dan S. Supardjono. 1997. Studi komparatif respon galur kedelai terhadap dua isolat Colletotricum dematium. Pros. Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah PFI, Palembang, 27-29 Oktober 1997. p. 346-349.

Habazar, T., Nurbailis, dan P. Erlinda. 1997. Reaksi beberapa varietas kedelai terhadap Pseudomonas syringae pv.glycinea Ras-4. Pros. Kongres Nasional XIV dan seminar Ilmiah PFI. Palembang, 27-29 Oktober 1997. Habazar, T. dan K. Rudolph. 1997. Karakteristik isolat-isolat Pseudomonas syringae pv. glycinea dari beberapa daerah sentra produksi kedelai di Indonesia. Pros. Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah PFI. Palembang, 27-29 Oktober 1997. p. 52-56.

Hardaningsih, S. 1997a. Reaksi beberapa genotipe kedelai terhadap jamur karat (Phakopsora pachyrhizi). Pros. Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah PFI. Palembang, 27-29 Oktober 1997.

Hardaningsih, S. 1997b. Pemanfaatan mikroorganisme antagonis untuk mengendalikan penyakit tular tanah. In: Saleh (Eds). Pemantapan stabilitas hasil kacang tanah, kacang hijau dan kacang-kacangan lain melalui perbaikan komponen pengendalian hama dan penyakit utama. Laporan Teknis Balitkabi tahun 1996/97. Malang. p. 33-42. Holliday, P. 1980. Fungus diseases of tropical cops, Cambridge Univ. Press.

Cambridge. 607 p.

Irwin, M.E. and G.A. Schultz. 1981. Soybean mosaic virus. FAO Plant Protection Bulletin 19(3/4): 41-55.

Lobenstein, G. And B. Raccah. 1980. Control of non-persistenly transmitted aphid-borne viruses. Phytoparasitica. 3: 43-53.

Marwoto dan Suharsono. 1988. Pengelolaan hama kedelai dengan insektisida di tingkat petani. Seminar Balittan Malang 8 Februari 1988. Muchsin, M. 1997. Pengaruh waktu inokulasi virus kerdil kedelai terhadap hasil kedelai di KP. Muara, Bogor. Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI 25-29 September 1995. p. 106-108.

Mucharromah. 2000. Induksi resisten sistemik tanaman kedelai terhadap penyakit anthraknose: jenis dan konsentrasi agen IRS. Pros.Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI. Purwokerto, 16-18 September 1999. p. 241-247.

Oka, I.N. 1971. Penyakit-penyakit utama kedelai. Proteksi Tanaman. Jawatan Pertanian Prop. Jawa Barat No.19.

(24)

Oka, I.N. 1995. Dasar epidemiologi penyakit tanaman terpadu. Kongres Nasional XII dan seminar Ilmiah PFI. Yogyakarta, 6-8 September 1993. p. 25-35.

Pakki, S., M.K. Said dan S. Rahamma. 1997. Pengaruh tumpangsari kedelai dengan serealia, sesbania dan kacang-kacangan terhadap perkembangan virus mosaik kedelai. Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI 25-29 September 1995. p. 109- 113.

Poromarto, S.H. dan S. Widadi. 2000. Pengendalian hayati Rhizoctonia solani pada kedelai dengan binukleat Rhizoctonia. Pros. Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI 16-18 September 1999. p. 75-81.

Prayogo, Y. dan Y. Baliadi. 1995. Tingkat kerentanan empat varietas kedelai terhadap infeksi penyakit tular tanah Rhizoctonia sola0ni dan Sclerotium rolfsii. Risalah Kongres Nasional XII dan seminar Ilmiah PFI. Yogyakarta, 6-8 September 1993. p. 297-300.

Pyrone, T.P., B, Raccah, and L.V. Madden. 1988. Supression of aphid colonization by insecticides: effect on incidence of polyvirus on tobacco. Plant Disease 72:350-353.

Rahamma, S. 1997. Penularan virus mosaik kedelai (VMK) melalui biji. Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI 25-29 September 1995. p. 87-89.

Rahamma, S. dan A. Hasanuddin. 1989. Inokulasi virus mosaik kedelai pada berbagai umur tanaman kedelai. Pros. Kongres Nasional X dan Seminar Ilmiah PFI. Denpasar, 14-16 Nopember 1989. p. 115-117. Roechan, M. 1992. Virus-virus pada kedelai (Glycine max L. Merr.) di Jawa

dan Lampung; Identifikasi, penyebaran dan kemungkinan pengendaliannya. Disertasi Universitas Padjadjaran Bandung. (tidak diterbitkan).

Saleh, N. 1996. Seed transmitted viruses of soybean in Indonesia in relation to certification and production of healthy seeds. Consultant Report palawija Seed Production and marketing Project.

Saleh, N. 1997b. Pengaruh biji belang dan pengendalian vektor terhadap intensitas serangan Soybean stunt virus dan hasil kedelai. In: Nugrahaeni et al. (Eds.) Komponen teknologi peningkatan produksi tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian. Edisi khusus Balitkabi No.9-1997. p. 82-89.

Salim, Y. dan Sadar. 1995a. Reaksi ketahanan beberapa varietas dan galur harapan kedelai terhadap penyakit karat kedelai. Risalah Konggres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI. Yogyakarta 6-8 September 1993. p. 387-390.

(25)

Salim, Y. dan Sadar. 1995b. Pengendalian penyakit karat kedelai. Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI. Yogyakarta, 6-8 September 1995. p. 381-384.

Semangun, H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press.

Semangun, H. 1995. Konsep dan azas dasar pengelolaan penyakit tumbuhan terpadu. Kongres Nasional XII dan seminar Ilmiah PFI. Yogyakarta, 6-8 September 1993. p. 1-24.

Sinaga, M.J. Sutakaria, R. Suseno, dan S. Musa. 1976. Infeksi cendawan Colletotrichum truntacum pada berbagai umur tanaman kedelai dan pengaruhnya kepada benih yang dihasilkan. Kongres Nasional PFI, Gambung-Bandung, Desember 1976.

Sudantha, I.M. 2000. Pengendalian hayati jamur Sclerotium rolfsii pada tanaman kedelai menggunakan biofungisida “Biotric” (bahan aktif jamur Trichoderma harzianum. Pros. Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI. 16-18 September 1999. p. 121-126.

Sudjono, M.S.1984. Epidemiologi dan pengendalian penyakit karat kedelai . Disertasi, IPB.Bogor.

Sudjono, M.S. M. Amir dan R. Martoatmodjo. 1983. Penyakit kedelai dan penanggulangannya. Dalam: Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Sudjono, M.S. 1985. Ambang ekonomi penyakit karat kedelai (Phakopsora pachyrhizi). Kongres Nasional VIII PFI, Cibubur. p. 76-77.

Sudjono, M.S., M. Amir, dan R. Martoatmodjo.1985. Penyakit kedelai dan penanggulangannya. In: Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Sudjono, M.S. dan O. Sutrisno. 1995. Pengaruh pemotongan kuncup bibit kedelai terhadap ketahanan karat dan komponen hasil. Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI. Yogyakarta, 5-8 September 1993. p. 391-396.

Sudjono, M.S. 2000. Pengaruh pupuk daun terhadap penyakit karat (Phakopsora pachyrhizi) dan komponen hasil kedelai. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI. 16-18 September 1999. p. 280-285.

Suhartina. 2005. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian, Malang.

(26)

Sulihtyorini, E., E.B. Trisusilowati, I.I. Munardini dan S. Supardjono. 1997. Uji patogenisitas Colletotrichum dematium vartruncata pada beberapa varietas kedelai. Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI 25-29 September 1995. p. 472-476.

Sumarno, R.S. and M,S. Sudjadi. 1977. Breeding for soybean rust resistance in Indonesia. Rept.Workshop Rust of soybean- the problem and research needs. Manila, March 1977: 66-70.

Untung, K, 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada Univ.Press, Yogyakarta.

Van der Plank. 1963. Plant diseases: Epidemics and control. Academic Press. New York.

Wahab, R., B. Amril, dan Y. Salim. 1995. Uji beberapa fungisida terhadap penyakit layu kedelai setelah padi gogo. Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI. Yogyakarta, 6-8 September 1993. p. 381-384.

Gambar

Gambar 1. Segitiga penyakit. I = tanaman inang, P=patogen dan L= lingkungan.
Gambar 2. Konsep piramida penyakit.
Tabel 1. Penyakit-penyakit tanaman kedelai di Indonesia. No. Penyakit Patogen
Tabel 4. Reaksi varietas kedelai terhadap karat. Varietas Penyakit karat

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan sikap ilmiah siswa terhadap penguasaan konsep fisika siswa

Pada jenis tanah yang bertekstur remah dengan kedalaman olah lebih dari 50 cm, akar tanaman kedelai dapat tumbuh mencapai kedalaman 5 m.. Sementara pada jenis tanah dengan kadar

Hasil wawancara yang dilakukan kepada pasien mengenai kendala pasien dalam melakukan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi nyeri pasca operasi fraktur

Variabel dalam penelitian ini adalah aktivitas wanita pekerja pemecah batu meliputi tempat kerja, peralatan kerja yang digunakan, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD),

KJA adalah tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang dapat menyebabkan keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran air dari dan

Sebagaimana diilustrasikan pada gambar 3, penilaian kinerja 360 derajat mengakomodasi proses evaluasi kognitif terhadap penilaian kinerja yang dialami individu karena

Tahap kefahaman para pelajar aliran Sains dan bukan Sains masing-masing adalah sederhana (41.30%, 31.50). Julat markat maksimum dan markat manimum adalah besar untuk kedua-dua

Pada usia tersebut dikhawatirkan belum memiliki keterampilan hidup (life skills) yang memadai, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang masih minim, sehingga