ABSTRACT
Background: Food is an important environmental element in improving the optimal health status. Several foodborne-disease transmissions have been reported to have been associated with poor personal hygiene of people handling foodstuff including diarrhea, gastroenteritis, and food poisoning. This study aims at analysing the risk factor related to attitude associated with Staphylococcus aureus bacterial contaminants in food handler including knowledge, attitude and practices regarding contamination.
Design and Method: A cross-sectional study included 22 ready served food seller in Telogosari Kulon, Pedurungan, Semarang.
Result: The study showed there are no contamination in 14 (63.6%) samples of bacteria and 8 (36.4%) samples contain Staphylococcus aureus bacterial contaminants. There was a significant differences in knowledge, attitude and practice of the food handler with bacterial contamination. Further, we found significant correlation knowledge, attitude and practices of the food handler regarding contamination.
Conclusion: Counseling, emphasis on food safety training for food seller, and supervision by visiting or laboratory tests on samples regularly are needed to ensure that food safety practices are followed, (Sains Medika, 1 (2) : 168-175).
Keywords: behavior, food handler, Staphylococcus aureus. ABSTRAK
Pendahuluan: Makanan adalah unsur lingkungan yang penting dalam meningkatkan derajat kesehatan secara optimal. Sebaliknya makanan dapat pula menjadi sumber penularan penyakit atau penyebab terjadinya keracunan makanan, jika makanan tersebut tidak dikelola secara hygiene. Penyakit yang sering terjadi berkaitan dengan penyediaan makanan yang tidak hygiene adalah diare, gastroenteritis, dan keracunanan makanan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor perilaku yang berhubungan dengan kontaminan bakteri Staphylococcus aureus pada penjamah makanan yang meliputi pengetahuan, sikap dan praktik dengan kontaminan bakteri Staphylococcus aureus.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel sebanyak 22 penjual makanan siap saji (nasi bungkus) di Telogosari Kulon, Pedurungan, Semarang.
Hasil Penelitian: Sebanyak 14 (63,6%) sampel tidak terjadi kontaminasi Staphylococcus aureus dan 8 (36,4%) sampel kontaminan bakteri Staphylococcus aureus. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan, sikap dan praktik penjamah makanan dengan kontaminan bakteri Staphylococcus aureus. Kesimpulan: Upaya agar makanan siap saji menjadi aman dan terhindar dari kontaminan mikroba dapat dilaksanakan melalui penyuluhan dan peningkatan motivasi kepada penjual makanan, pengawasan dengan melakukan kunjungan atau pemeriksaan sampel di laboratorium secara berkala, (Sains Medika, 1 (2) : 168-175).
Kata Kunci : perilaku, penjamah makanan, Staphylococcus aureus.
Faktor Perilaku yang Berhubungan dengan Kontaminan Bakteri
Staphylococcus aureus
pada Makanan Siap Saji
Behavior Factors Associated with Contamination of Staphylococcus aureus
Bacteria in Fast Food
Siti Thomas Zulaikhah1 dan Elly Karlina2
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang Staf Balai Laboratorium Kesehatan Semarang, (thomasanalis17@yahoo.co.id)
1 2
PENDAHULUAN
Makanan adalah unsur lingkungan yang penting dalam meningkatkan derajat kesehatan secara optimal dalam rangka pemenuhan sumber daya manusia yang berkualitas. Agar tersedia makanan sehat maka upaya higiene sanitasi makanan harus berdasarkan pada 6 (enam) prinsip upaya higiene sanitasi yang meliputi: 1) pengamanan bahan makanan, 2) penyimpanan bahan makanan, 3) pengolahan makanan, 4) pengangkutan makanan, 5) penyimpanan makanan, dan 6) penyajian makanan (Anwar, 1990).
Makanan yang aman adalah makanan yang hygiene yaitu terhindar dari cemaran yang berasal dari faktor-faktor lingkungan seperti bangunan tempat pengolahan makanan, alat yang dipakai, hygiene perorangan penjamah makanan, dan air yang digunakan. Ada keterkaitan antara air, sanitasi, peralatan, lalat, hewan lain, hygiene perorangan dengan makanan yang mengakibatkan penularan penyakit (Sulistiyani,2002).
Penyakit dapat ditularkan dari makanan ke manusia melalui tangan yang tidak bersih, kotoran yang menempel di badan maupun pakaian, dan percikan ludah. Penjamah makanan atau orang yang menangani makanan dengan personal hygiene yang rendah dan kebiasaan sanitasi yang tidak baik, lebih sering mengkontaminasi makanan dengan organisme enterik. Selama ini, kasus keracunan yang sering terjadi adalah akibat seseorang menelan makanan yang telah dicemari racun yang dikeluarkan oleh bakteri Staphylococcus (Hartono,1991).
Makanan siap saji (nasi bungkus) yang di jual di warung-warung non permanen (tenda maupun gerobak) merupakan golongan makanan yang berisiko terkontaminasi kuman karena disajikan dalan keadaan tidak panas, sehingga sangat memungkinkan terkontaminasi mikroba. Dari hasil survey pendahuluan yang dilakukan pada 4 sampel makanan siap saji (nasi bungkus) didapatkan 1 sampel (25%) terkontaminasi
Staphylococcus aureus.
Sumber Staphylococcus aureus adalah carrier atau orang pembawa Staphylococcus
aureus dalam tubuhnya yang biasanya menderita luka atau lesi. Staphylococcus
mengkontaminasi makanan dengan cara kontak langsung, misalnya kontak langsung melalui tangan atau kulit dan pakaian atau melalui sapu tangan. Dari survey yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa 43-97% pegawai yang bekerja pada berbagai
industri pengolahan makanan merupakan pembawa Staphylococcus, Coliform, dan Enterococci (Azwar, 1990). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan praktik tentang sanitasi makanan dengan kontaminan bakteri
Staphylococcus aureus pada makanan siap saji.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian Observasional dengan pendekatan cross
sectional. Penelitian menggunakan sampel jenuh yaitu seluruh populasi menjadi sampel
dalam penelitian ini, sebanyak 22 penjual makanan siap saji (nasi bungkus) di Telogosari Kulon, Pedurungan, Semarang. Pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium nasi bungkus dan pengisian kuesioner terhadap penjual makanan siap saji (nasi bungkus).
Variabel bebas yaitu perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap dan paktik penjual makanan tentang hygiene sanitasi makanan. Variabel terikat yaitu bakteri
Staphylococcus aureus pada makanan siap saji (nasi bungkus) di Kelurahan Telogosari
Kulon, Pedurungan, Semarang.
Data diolah dan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui gambaran distribusi masing-masing variabel. Untuk menganalisis hubungan antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat dilakukan analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square. Untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama dari semua variabel bebas dilakukan analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik ganda.
HASIL PENELITIAN
Jenis kelamin responden 72,7% laki-laki dan 27,3% perempuan dari total 22 responden. Pengetahuan responden tentang hygiene sanitasi baik (72,7%) dan sedang (27,3%). Distribusi pengetahuan, sikap dan praktik penjamah makanan, serta kontaminan kandungan Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Tabel 1. Pengetahuan responden tentang higiene sanitasi makanan berhubungan secara signifikan dengan kontaminan bakteri Staphylococcus aureus (p=0,011) (Tabel 2.). Higiene sanitasi makanan berhubungan secara signifikan dengan kontaminasi bakteri Staphylococcus aureus (p=0,002) (Tabel 3.). Praktek/kebiasaan responden terhadap higiene sanitasi makanan berhubungan secara signifikan dengan kontaminan bakteri Staphylococcus aureus (p=0,002) (Tabel 4.).
Hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda pada pengaruh ketiga faktor perilaku di atas terhadap kandungan Staphylococcus aureus menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas yaitu pengetahuan (p= 0,003), sikap (p=0,012), dan praktik (p=0,020) responden terbukti bersama-sama berhubungan secara signifikan terhadap kandungan
Staphylococcus aureus, sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
Tabel 1. Distribusi Perilaku Penjamah Makanan dan kandungan Staphylococcus aureus
Tabel 2. Hubungan antara pengetahuan responden dengan kontaminan bakteri
Staphylococcus aureus pada makanan siap saji di Telogosari, Semarang tahun
2008
Tabel 3. Hubungan antara sikap responden dengan kontaminan bakteri Staphylococcus
Tabel 4. Hubungan antara praktek/kebiasaan responden dengan kontaminan bakteri
Staphylococcus aureus pada makanan siap saji di Telogosari, Semarang tahun
2008
Tabel 5. Hasil Analisis regresi logistik ganda pengetahuan, sikap dan praktik dengan kontaminan bakteri Staphylococcus aureus pada makanan siap saji di Telogosari, Semarang tahun 2008
PEMBAHASAN
Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan Staphylococcus aureus
pada makanan siap saji (nasi bungkus) yang dijajakan oleh responden dengan pengetahuan sedang lebih besar (83,3%) dibandingkan dengan pengetahuan yang baik (18,7%). Bloom melaporkan bahwa pengetahuan dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti umur seseorang. Semakin tua seseorang, maka akan semakin banyak pengalaman yang didapatkan dan diharapkan akan semakin banyak pengetahuan yang didapatkan terutama dalam pengamanan, penyimpanan, pengolahan, pengangkutan, sampai penyajian makanan.
Tingkat pendidikan seseorang sangat mempengaruhi pengetahuan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya. Disamping pendidikan formal yang didapat, pendidikan non formal maupun pengalaman sangat mempengaruhi pengetahuan. Pada penelitian ini pengetahuan yang dimiliki responden mayoritas karena pengalaman. Pengalaman dapat menjadi sumber pengetahuan. Pengalaman berjualan akan mempengaruhi seseorang dalam penyimpanan, pengamanan, pengolahan, pengangkutan, dan penyajian agar makanan tersebut terhindar dari kontaminan oleh kuman/bibit penyakit, sehingga aman untuk
dikonsumsi.
Responden yang mempunyai sikap mendukung terhadap adanya sanitasi makanan sebesar 63,6%, sedangkan sisanya 36,4% kurang mendudkung. Sikap yang kurang mendukung akan berpengaruh terhadap praktik dalam pengamanan, penyimpanan, pengolahan, pengangkutan sampai penyajian makanan, sehingga hal tersebut akan berpengaruh terhadap kurangnya higiene sanitasi makanan yang pada akhirnya dapat menyebabkan makanan yang dijamah terkontaminasi bakteri patogen seperti
Staphylococcus aureus. Sikap merupakan predisposisi emosional untuk bereaksi secara
konsisten mendukung atau tidak mendukung dengan berbagai cara tertentu terhadap suatu obyek (Fisbein, 1975). Sikap merupakan suatu bentuk evaluasi yang mendukung
(favourable) ataupun yang tidak mendukung (unfavourable) terhadap suatu stimulus
(Azwar, 1998). Hasil analisis menggunakan Chi Square diperolah nilai p <0,05 yang artinya ada hubungan signifikan antara sikap responden tentang sanitasi makanan dengan kandungan Staphylococcus aureus pada makanan siap saji (nasi bungkus) yang dijualnya. Terjadinya perubahan perilaku seseorang harus didasari dengan adanya pengetahuan yang positif, dimana hal ini akan menyebabkan seseorang mempunyai sikap positif terhadap suatu obyek. Sikap yang positif ini akan mempengaruhi niat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan. Adanya niat untuk melakukan suatu kegiatan akhirnya sangat menentukan apakah kegiatan tersebut betul-betul dilakukan apabila mendapat dukungan sosial dan tersedianya fasilitas. Dukungan dan fasilitas merupakan fakltor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factor) (Green, 1991).
Hubungan antara praktik/kebiasaan tentang sanitasi makanan dengan kandungan
Staphylococcus aureus dianalisis dengan Chi Square diperolah nilai p <0,05 yang artinya
ada hubungan yang signifikan antara praktik responden tentang sanitasi makanan dengan kandungan Staphylococcus aureus pada makanan siap saji (nasi bungkus). Praktik atau tindakan adalah respon seseorang terhadap obyek. Respon ini sudah dalam bentuk tindakan (action) yang melibatkan aspek psikomotor atau seseorang telah mempraktikan apa yang diketahuinya atau disikapi. Praktik responden mengenai sanitasi makanan akan berpengaruh langsung terhadap kondisi makanan yang dijamahnya. Peran penjamah makanan dalam menyebarkan penyakit melalui makanan dengan berbagai cara, antara lain: a) kontak antara penjamah makanan yang menderita penyakit menular dengan konsumen yang sehat; b) kontaminasi makanan oleh penjamah makanan yang sakit,
misalnya batuk atau luka; c) pengolahan makanan oleh penjamah makanan yang sakit atau membawa kuman. Faktor penjamah makanan sangat berperan besar terhadap kondisi sanitasi makanan khususnya terhadap kontaminasi Staphylococcus aureus.
Habitat kuman tersebut adalah hidung, kulit, tenggorokan dan saluran pencernakan manusia maupun hewan (Irianto,2007). Kontaminasi makanan siap saji yang dijajakan bisa dikarenakan praktik dari responden dalam upaya higiene sanitasi makanan (pengamanan, penyimpanan, pengolahan, pengangkutan, dan penyajian), terbukti masih ada responden yang mempunyai kebiasaan kurang baik (22,7%). Penyebaran
Staphylococcus aureus lebih banyak berasal dari praktik higiene perorangan responden
yang kurang baik, seperti: tidak mencuci tangan terutama apabila keluar dari toilet, tidak menjaga kebersihan pakaian kerja, tidak menutup rambut, menyisir rambut di area penyajian makanan, merokok di area penyajian, batuk dan bersin di area penyajian makanan, kukunya yang panjang atau kotor, kulit tangannya yang luka dan lain sebagainya.
KESIMPULAN
Kontaminasi Staphylococcus aureus ditemukan 36,4% sampel. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik (72,7%), sikap mendukung terhadap sanitasi makanan (63,6%) dan praktik sanitasi makanan yang baik (77,3%). Pengetahuan, sikap dan praktik sanitasi makanan, masing-masing berhubungan secara signifikan dengan kontaminan Staphylococcus aureus pada makanan siap saji. Pengetahuan, sikap dan praktik tentang sanitasi makanan terbukti bersama-sama berhubungan secara signifikan dengan kandungan Staphylococcus aureus.
SARAN
Dinas Kesehatan perlu melakukan beberapa upaya menjaga keamanan dan menghindarkan makanan siap saji dari kontaminan mikroba, antara lain melalui: 1) penyuluhan yang lebih intensif dan efisien kepada penjamah makanan khususnya tentang higiene perorangan dan sanitasi makanan dan 2) pengawasan dengan melakukan kunjungan atau pemeriksaan sampel di laboratorium secara berkala.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,S, 1990, Pedoman Bidang Studi Sanitasi Makanan dan Minuman pada Institusi
Pendidikan Tenaga Sanitasi, Pusat Tenaga Kesehatan, DepKes RI, Jakarta.
Azwar, A,, 1990, Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta. Azwar, S., 1998, Sikap Manusiawi: Teori dan Pengukurannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Depkes RI, 1998, Higiene dan Sanitasi Sarana Pengolahan Makanan, Jakarta.
Fiehbein M and Ajzen, 2000, Belief attitude, Intention and Behavior: An Introduction to
Theory and Research, Wesely Publishing Company, Manila.
Hartono, R, 1991, Penyetahan Jasa Boga, Kumpulan makalah Pelatihan Higiene Sanitasi
Makanan dan Minuman bagi GuruAPK/SPPH se Indonesia, Yogyakarta.
Purawidjaya,T., 1988, Program Penyehatan Makanan, DepKes RI.
Praditya, A; 2005, Keracunan Makanan, www.jilbabonline.htm, dikutip tgl. 12.08.2008. Saksono L, 1986, Pengantar Sanitasi Makanan, Alumni, Bandung.
Sastroasmara, Sudigdo dan Sofyan I; 2002, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, CV. Sagung Seto, Jakarta.
Sumoprastowo, 2000, Memilih dan Menyimpan Sayur-Mayur, Buah-buahan, dan Bahan
Makanan, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Supardi, Imam dan Sukamto, 1999, Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan, Penerbit Alumni, Bandung.
Sulistiyani, 2002, Manajemen Penyehatan Makanan dan Minuman, Lembaga Penelitian, UNDIP, Semarang.