• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN - HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA Repository - UNAIR REPOSITO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN - HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA Repository - UNAIR REPOSITO"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN

ECONOMIC COMMUNITY

3.1 Pentingnya Harmonisasi Pengaturan tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam ASEAN Economic Community

Salah satu tujuan dibentuknya ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi Bangkok adalah mewujudkan percepatan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial di kawasan. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut berbagai kebijakan kerjasama ekonomi telah dilakukan salah satunya adalah pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN atau AEC pada tahun 2015.

Dengan adanya kebijakan AEC pada tahun 2015 ini negara-negara di kawasan ASEAN menghendaki adanya liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil secara bebas dan arus modal yang lebih bebas diantara negara kawasan ASEAN, hal ini nantinya akan mengintegrasikan negara-negara di kawasan ASEAN menjadi suatu pasar tunggal yang bebas. Perwujudan integrasi ekonomi merupakan langkah penting bagi pencapaian AEC yang memiliki daya saing yang tinggi serta dapat turut serta berperan aktif dalam kegiatan ekonomi global.

(2)

tunggal, maka pelaku usaha di negara-negara ASEAN dapat dengan bebas melakukan transaksi-transaksi bisnis di kawasan ASEAN, keadaan ini membuat kawasan ASEAN tumbuh menjadi kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi.86 Tingkat kompetisi yang tinggi diantara pelaku-pelaku usaha di ASEAN ini berpotensi menimbulkan permasalahan terutama yang berkaitan dengan praktek persaingan usaha tidak sehat salah satunya adalah penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position).

Dengan terbentuknya kawasan ASEAN sebagai pasar tunggal, pelaku usaha di kawasan ASEAN dapat dengan mudah melakukan transaksi-transaksi bisnis yang bersifat lintas batas negara. Dengan adanya kebijakan AEC ini tentu akan memungkinkan pelaku usaha yang berasal dari suatu negara di ASEAN untuk melakukan penetrasi pasar ke negara ASEAN lainnya dan memegang posisi dominan di pasar tempat ia melakukan penetrasi tersebut. Dengan posisi dominan yang dimilikinya, pelaku usaha tersebut berpotensi untuk melakukan penyalahgunaan yang nantinya akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat di pasar yang ia kuasai tersebut.

Sifat transaksi yang melibatkan lintas batas negara serta belum adanya kebijakan terpadu tentang persaingan usaha di antara negara-negara ASEAN terutama yang mengatur mengenai posisi dominan dan penyalahgunaannya tentu berpotensi menimbulkan berbagai persoalan terlebih pada saat kebijakan AEC nanti resmi diberlakukan.

      

86

(3)

Belum adanya keseragaman pengaturan mengenai posisi dominan yang berlaku secara global bagi pelaku usaha di kawasan ASEAN dapat menimbulkan permasalahan terlebih ketika AEC akan resmi diberlakukan pada 2015. Permasalahan yang mungkin timbul dari disharmonisasi ini terkait dengan:

1. Definisi pelaku usaha

Definisi dari pelaku usaha merupakan salah satu unsur paling penting untuk menentukan keberlakuan kebijakan persaingan usaha khususnya mengenai pengaturan posisi dominan bagi pelaku usaha. Dengan adanya kebijakan AEC yang menghendaki adanya integrasi ekonomi ke dalam satu pasar tentu akan meningkatkan lalu lintas transaksi bisnis di kawasan ASEAN. Pelaku usaha dari negara ASEAN dapat dengan bebas melaksanakan kegiatan bisnisnya di negara ASEAN lainnya tanpa ada lagi batasan antar negara di kawasan ASEAN.

(4)

Tabel III.1

Definisi pelaku usaha di ASEAN

No Negara Definisi Pelaku Usaha

1 Indonesia subjek/badan hukum yang berdiri dan berkedudukan atau melakukan kegiatan di wilayah Indonesia 2 Filipina subjek/badan hukum Filipina

3 Laos perorangan/badan hukum yang bergerak di bidang barang dan jasa

4 Malaysia

semua badan yang melakukan kegiatan komersial di bidang barang dan jasa di dalam/luar malaysia yang berpengaruh di pasar Malaysia

5 Singapura semua pelaku usaha domestik maupun asing yang kegiatannya berdampak terhadap pasar Singapura 6 Thailand distributor, produsen, importir ke dalam wilayah

Thailand

7 Vietnam pelaku usaha domestik maupun asing yang beroperasi di Vietnam

Sumber : diolah dari berbagai sumber.

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa diantara negara-negara ASEAN masih belum terdapat keseragaman mengenai definisi dari pelaku usaha. Masih terdapat beberapa negara yang mendefinisikan pelaku usahanya secara sempit sehingga hanya mencakup pelaku usaha domestik saja hal ini ditemui di Filipina dan Laos.

(5)

definisi pelaku usaha yang terdapat dalam ketiga negara ini yaitu tidak adanya kekuatan keberlakuan yang bersifat ekstra teritorial dalam definisi tersebut.

Dengan diberlakukannya kebijakan AEC yang menghendaki ASEAN terintegrasi ke dalam suatu pasar tunggal yang bebas tentu akan membuat pelaku usaha-pelaku usaha di kawasan ASEAN semakin bebas melakukan transaksi bisnis nya dimana saja. Dengan terbentuknya pasar bebas ini tidak selalu penyalahgunaan posisi dominan yang akhirnya berdampak negatif bagi pasar domestik suatu negara, dilakukan oleh pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usahanya di wilayah yang terkena dampak penyalahgunaan tersebut. Pelaku usaha asing yang berasal dari negara ASEAN lain bisa saja melakukan bentuk penyalahgunaannya di luar wilayah suatu negara ASEAN lainnya namun tindakan itu memberikan dampak negatif bagi persaingan di negara tersebut. Sebagai contoh adalah ilustrasi kasus sebagai berikut:

(6)

pasar dan memegang posisi dominan di pasar penyedia jasa layanan telekomunikasi di ASEAN, hal ini tentu dapat menimbulkan dampak bagi pasar domestik jasa layanan telekomunikasi di Indonesia. Dengan tidak adanya kekuatan keberlakuan ekstra teritorial dari undang-undang yang berlaku di Indonesia maka akan menyulitkan komisi pengawas persaingan usaha di Indonesia untuk melakukan penindakan dari tindakan merger yang dilakukan oleh pelaku usaha Singapura tersebut.

Pendefinisian pelaku usaha yang lebih luas terdapat di Malaysia dan Singapura. Definisi pelaku usaha di negara ini mencakup pelaku usaha dalam negeri maupun asing baik yang berada di dalam maupun luar wilayah negara tersebut dan tindakannya berdampak pada pasar masing-masing negara tersebut.

Dengan masih tidak seragamnya pendefinisian mengenai pelaku usaha diantara negara-negara ASEAN tentu akan berpotensi menimbulkan permasalahan terkait dengan penindakan terhadap pelaku usaha yang melakukan penyalahgunaan posisi dominan.

Bentuk harmonisasi yang harus dilakukan terkait dengan masalah ini adalah harus segera dilakukan penyeragaman terkait definisi pelaku usaha dan menetapkan definisi yang lebih luas serta mempunyai daya berlaku ekstra teritorial sehingga dapat mencakup seluruh pelaku usaha di kawasan ASEAN khususnya dalam menghadapi kebijakan AEC nanti.

2. Penetapan posisi dominan

(7)

posisi dominan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha yang memegang posisi dominan di suatu pasar bersangkutan.

Masih adanya perbedaan kriteria dalam penetapan posisi dominan diantara negara-negara di ASEAN tentu akan menimbulkan permasalahan dalam AEC nanti. Perbedaan kriteria dalam penetapan posisi dominan di kawasan ASEAN dapat dilihat dari:

a.)Definisi pasar bersangkutan

Seperti yang diuraikan sebelumnya, pasar bersangkutan merupakan salah satu indikator utama untuk mengukur apakah suatu pelaku usaha memegang posisi dominan dalam suatu pasar bersangkutan. Ketepatan dalam mengukur pasar bersangkutan diperlukan untuk mengukur struktur pasar dan batasan dari perilaku anti persaingan yang dilakukan.87

Dalam UU No.5/1999 pasal 1 angka 10 mendefinisikan pasar bersangkutan sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau subtitusi dari barang dan/atau jasa tersebut.88 Berdasarkan definisi pasal diatas terdapat 2 (dua) aspek yang terdapat dalam pasar bersangkutan yaitu pasar produk (product market) dan pasar geografis (relevant geographic market).

       87

Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.50.

88

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Loc.Cit.

(8)

Cakupan pasar produk ini terkait dengan dengan kesamaan, kesejenisan dan/atau tingkat subtitusi suatu produk. Sedangkan cakupan pasar geografis ini terkait dengan jangkauan daerah pemasaran suatu produk.89

Dalam pasar produk untuk menentukan apakah suatu barang dengan barang lain dapat dinyatakan sama atau menjadi subtitusi terhadap barang tertentu perlu dilihat dari empat aspek yaitu: a. bentuk dan sifat barang tersebut; b. fungsi barang; c. harga barang; dan d. fleksibilitas barang tersebut bagi konsumen (interchangeable).90 Apabila suatu produk sudah ditetapkan mempunyai barang sejenis atau subtitusi maka pangsa pasar produk tersebut termasuk dalam satu pasar bersangkutan secara objektif.91

Di Uni Eropa pernah terjadi suatu kasus mengenai penentuan pasar bersangkutan terkait dengan pengukuran definisi pasar produk yaitu United Brands Case.92

Kasus ini terjadi antara United Brands Company and United Brands Continentaal BV versus Commission of the European Communities.Dalam kasus ini United Brands Company dianggap melanggar ketentuan pasal 106 Treaty on the Functioning of the European Union (untuk selanjutnya disebut TFEU) yang melarang negara anggota menerapkan kebijakan khusus atau ekslusif yang bertentangan dengan yang diatur dalam pasal 101-109 TFEU.

       89

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h.5.

90

Andi Fahmi Lubis, et al., Loc.Cit.

91

Ibid.

92

(9)

Dalam kasus ini United Brands perusahaan yang memproduksi Chiquita Bananas dianggap telah melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan dalam bentuk unfair condition yang diwujudkan dengan melarang distributor di Belgo-Luxembourg Economic Union, Denmark, Jerman, Irlandia dan Belanda untuk menjual kembali pisang dari United Brands apabila masih dalam keadaan mentah. Selain itu United Brands juga dianggap menetapkan unfair condition dan discriminatory prices terhadap distributor yang tidak termasuk kedalam the spicio group. United Brands juga telah melakukan refusal to supply kepada TH.Olesen A/S, Valby, Copenhagen, Denmark.

Dalam rangka membuktikan adanya penyalahgunaan tersebut maka diperlukan analisis terlebih dahulu mengenai penguasaan United Brands atas suatu produk tertentu dalam hal ini pisang.Analisa ini dimulai dengan pengukuran terhadap pasar bersangkutan yang terdiri dari dua aspek yaitu pasar produk dan pasar geografis.

Terdapat hal yang menarik dalam kasus ini yaitu terkait dengan penilaian terhadap pasar bersangkutan dilihat dari aspek pasar produk. Dalam kasus ini United Brands menolak bahwa ia memegang posisi dominan di pasar dan mendalilkan bahwa pisang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari buah lainnya seperti apel, orange, anggur dan lain lain. Pisang termasuk produk sejenis dengan buah lainnya dikarenakan pisang dan buah segar lain mempunyai sifat interchangeable.

(10)

Pembedaan ini didasarkan pada elatisitas silang pada permintaan. Statistik menunjukkan bahwa pembelian pisang oleh konsumen berada di tingkat paling rendah diantara bulan Juni dan Desember dimana saat itu terdapat banyak pasokan dari buah segar domestik di dalam pasar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh the Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan harga produk pisang cenderung lemah selama musim panas dan harga dari produk buah lain seperti apel memiliki dampak statistik yang cukup besar terhadap tingkat konsumsi pisang di negara Jerman. Pada musim puncak dimana terdapat pasokan yang melimpah dari produk buah segar lain memberikan pengaruh tidak hanya terhadap harga namun juga terhadap volume penjualan pisang hal ini juga berdampak terhadap tingkat impor produk ini.

Komisi berpendapat bahwa terdapat perbedaan tingkat permintaan antara pisang dengan produk buah segar lainnya, selain itu terdapat kualitas khusus dalam pisang yang mempengaruhi tingkat preferensi dari konsumen yang menyebabkan mereka tidak serta merta dapat mengganti pisang dengan buah lain. Berdasarkan analisa tersebut komisi memutuskan bahwa pisang dan buah segar lain bukanlah produk yang sejenis. Sempitnya pembatasan terhadap pasar produk yang dilakukan komisi ini membawa dampak terhadap United Brands, dominasi United Brands atas produk pisang ini terlihat jelas sehingga United Brands dianggap memiliki posisi dominan terhadap produk pisang.

(11)

Dalam pasar geografis faktor-faktor yang digunakan menentukan luas dan cakupan wilayah dari suatu produk adalah kebijakan perusahaan, biaya transportasi, lamanya perjalanan, tarif dan peraturan yang membatasi lalu lintas perdagangan antar kota/wilayah.93

Dalam pasar geografis penetapan pasar bersangkutan ini mengacu pada lokasi pelaku usaha melakukan kegiatan usahanya dan/atau lokasi peredaran produk dan jasa dan/atau dimana beberapa daerah memiliki kondisi persaingan yang relatif seragam dan berbeda dengan kondisi persaingan di daerah lainnya.94

Berdasarkan analisa terhadap pengaturan persaingan usaha di negara-negara ASEAN masih terdapat ketidakseragaman terkait dengan pendefinisian pasar bersangkutan. Dalam kawasan ASEAN masih terdapat beberapa negara yang tidak mendefinisikan secara spesifik mengenai pasar bersangkutan dalam instrumen hukum persaingan usahanya.

Tabel III.2

Definisi pasar bersangkutan di ASEAN

No Negara Definisi Pasar Bersangkutan 1 Indonesia terdiri dari pasar produk dan pasar

geografis

2 Filipina tidak ditemui definisi pasar bersangkutan 3 Laos tidak ditemui definisi pasar bersangkutan 4 Malaysia tidak didefinisikan secara spesifik 5 Singapura terdiri dari pasar produk dan pasar

geografis

6 Thailand tidak ditemui definisi pasar bersangkutan 7 Vietnam terdiri dari pasar produk dan pasar

geografis

       93

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h.16.

94

(12)

Sumber: diolah dari berbagai sumber.

Berdasarkan tabel diatas terlihat masih terdapat perbedaan terkait dengan pengaturan mengenai definisi pasar bersangkutan. Tidak semua negara ASEAN mencantumkan definisi yang spesifik di dalam aturan persaingan usaha negaranya mengenai apa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan serta aspek-aspek didalamnya.

Berdasarkan analisis terhadap pengaturan persaingan usaha yang dimiliki negara-negara ASEAN hanya Indonesia, Singapura dan Vietnam yang mendefinisikan secara spesifik mengenai pasar bersangkutan. Di ketiga negara ini terdapat dua aspek dalam pasar bersangkutan yaitu pasar produk (product market) dan pasar geografis (geographic relevant market). Sedangkan di Malaysia definisi pasar bersangkutan tidak disebutkan secara spesiifik dalam undang-undang yang berlaku namun terdapat ketentuan yang menyebutkan penilaian yang dilakukan oleh komisi pengawas persaingan di negara ini terhadap pasar mencakup analisa terhadap: struktur pasar, perilaku pelaku usaha di pasar, perilaku distributor dan konsumen terhadap pelaku usaha di pasar dan hal lain yang dianggap relevan.95 Di ketiga negara lainnya di ASEAN yaitu Filipina, Laos dan Thailand tidak ditemui adanya pengaturan mengenai definisi pasar bersangkutan dalam undang-undang yang berlaku di negara-negara tersebut.

Ketidakseragaman mengenai pengaturan definisi pasar bersangkutan yang terjadi di negara-negara ASEAN ini tentu berpotensi menimbulkan permasalahan pada saat AEC resmi diberlakukan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya pasar

       95

(13)

bersangkutan merupakan salah satu indikator utama dalam mengukur apakah suatu pelaku usaha memegang posisi dominan atau tidak. Definisi pasar bersangkutan ini penting untuk mengidentifikasi seberapa besar penguasaan produk tertentu dalam suatu pasar oleh pelaku usaha. Definisi pasar bersangkutan dapat digunakan untuk mengukur luasnya dampak dari tindakan anti persaingan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Melalui pendefinisian pasar bersangkutan ini kondisi faktual di pasar bisa dianalisis melalui perspektif persaingan.96

Ketepatan dalam mendefinisikan pasar bersangkutan sangat diperlukan untuk menghasilkan pengukuran terhadap dominasi pelaku usaha atas produk tertentu di suatu pasar yang akurat, semakin sempit pembatasan terhadap pasar bersangkutan maka dominasi pelaku usaha atas produk tertentu akan sangat terlihat sedangkan apabila pengukuran terhadap pasar bersangkutan terlalu luas akan menyebabkan dominasi pelaku usaha dalam pasar tersebut tidak akan terlihat. Mengingat hal tersebut maka diperlukan ketepatan dalam mendefinisikan pasar bersangkutan.

Masih adanya ketidakseragaman terkait dengan definisi pasar bersangkutan ini tentu akan menimbulkan kesulitan bagi suatu komisi pengawas persaingan usaha di suatu negara untuk melakukan penilaian yang akurat terkait dengan apakah suatu pelaku usaha tersebut memegang posisi dominan atau tidak.

Bentuk harmonisasi yang diperlukan terkait dengan perbedaan definisi pasar bersangkutan ini adalah perlu adanya suatu kesepahaman diantara negara-negara anggota ASEAN tentang apa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan serta

       96

(14)

aspek-aspek yang terkait dengan penilaian pasar bersangkutan agar terdapat suatu definisi yang seragam diantara negara-negara anggota ASEAN mengenai apa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan dan aspek-aspek penilaian apa saja yang ada di dalamnya sehingga terdapat suatu batas penilaian yang jelas untuk mengukur kepemilikan posisi dominan suatu pelaku usaha di kawasan ASEAN, yang kemudian akan menghasilkan penilaian yang akurat terkait dengan kepemilikan posisi dominan pelaku usaha di kawasan ASEAN.

b.) Jumlah penguasaan pangsa pasar

Dalam menentukan dominasi suatu pelaku usaha di suatu pasar, selain menetapkan batas pengukuran yang tepat terhadap pasar bersangkutan suatu produk tertentu, hal lain yang juga harus dilihat adalah presentase penguasaan pangsa pasar oleh pelaku usaha. Penentuan jumlah presentase penguasaan pangsa pasar ini sangat dipengaruhi oleh struktur pasar yang berada di suatu pasar di negara tersebut.

Dalam UU No. 5/1999 pasal 1 angka 11 yang dimaksud struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan penguasaan pangsa pasar.

Struktur pasar merupakan kondisi lingkungan dimana pelaku usaha melakukan aktivitasnya sebagai produsen.Struktur pasar dalam ilmu ekonomi dibagi ke dalam empat bentuk yaitu:97

a. Pasar persaingan sempurna (perfect competition)

       97

(15)

Pasar persaingan sempurna merupakan suatu pasar dimana jumlah antara penjual dan pembeli relatif seimbang.

b. Pasar persaingan monopolistik (monopolistic competition)

Hampir sama dengan pasar persaingan sempurna, pasar monopolistik jumlah penjual relatif banyak dan produk yang terdapat dalam pasar ini terdiferensiasi yang berarti produk dalam pasar ini memiliki perbedaan karakteristik dengan produk sejenis lain sehingga menimbulkan preferensi konsumen terhadap produk tertentu. 98

c. Pasar oligopoli (oligopoly)

Dalam suatu pasar oligopoli hanya terdapat beberapa penjual yang ada di pasar. Para pelaku usaha dalam pasar oligopoli ini cenderung memilliki ketergantungan satu dengan yang lain, dalam artian dalam struktur pasar ini keputusan strategis pelaku usaha sangat dipengaruhi oleh keputusan strategis pelaku usaha lain.99

d. Pasar monopoli (monopoly)

Pasar monopoli merupakan industri satu perusahaan dimana dalam suatu pasar hanya terdapat satu penjual. Produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha ini juga tidak dapat dibeli di tempat lainnya serta produk tersebut tidak mempunyai subtitusi yang ada hanyalah barang pengganti yang sangat berbeda sifatnya.100

       98

Ibid, h.34-35.

99

Ibid, h.36.

  100

(16)

Menurut ilmu hukum struktur pasar terbagi kedalam dua bentuk yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Perbedaan struktur pasar tersebut disebabkan adanya perbedaan degree of market power atau kemampuan pelaku usaha dalam mempengaruhi keseimbangan harga pasar.101

Suatu pasar dapat dikategorikan memiliki struktur persaingan sempurna apabila memiliki karakteristik sebagai berikut102:

a. Banyaknya penjual dan pembeli

Jumlah penjual dan pembeli dalam pasar yang memiliki struktur persaingan sempurna cenderung seimbang atau sama banyaknya antara penjual dan pembeli. Kondisi ini merupakan kondisi yang ideal karena harga yang didapatkan konsumen ditentukan dari kinerja mekanisme pasar.

b. Produk yang homogen

Produk yang homogen yaitu produk yang mampu memeberikan kepuasan kepada konsumen tanpa mengetahui siapa produsennya, sehingga disini konsumen membeli kegunaan barang dan konsumen menganggap semua pelaku usaha mampu memproduksi barang dan jasa dengan kualitas dan karakter yang sama.

c. Bebas masuk dan keluar pasar

Dalam struktur pasar persaingan sempurna, faktor mobilitas produksi menjadi tidak terbatas dan tidak memerlukan biaya. Tidak terbatasnya mobilitas suatu produksi ini menyebabkan pelaku usaha mudah untuk masuk keluar pasar. d. Informasi sempurna

       101

Ibid.

102

(17)

Dalam struktur pasar persaingan sempurna pelaku usaha maupun konsumen memiliki pengetahuan yang sempurna terhadap harga suatu produk dan input yang dijual. Keadaan ini akan mencegah adanya pemberlakuan harga jual yang berbeda antara pelaku usaha satu dengan pelaku usaha lainnya.

Berbeda halnya dengan struktur pasar persaingan sempurna, karakteristik yang dimiliki oleh struktur pasar persaingan tidak sempurna adalah:

a. Tidak seimbangnya jumlah penjual dan pembeli

Berbeda dengan struktur pasar persaingan sempurna dalam struktur pasar ini jumlah antara penjual dan pembeli cenderung tidak seimbang. Contohnya dalam pasar monopoli yang hanya terdapat satu penjual dengan banyak pembeli serta pasar oligopoli dimana hanya terdapat beberapa penjual dengan banyak pembeli. Dengan kondisi ini konsumen cenderung dirugikan karena pelaku usaha cenderung memiliki bargaining position yang lebih tinggi dari konsumen.

b. Terdapat hambatan teknis

Dalam pasar dengan struktur persaingan tidak sempurna cenderung terdapat hambatan teknis bagi pelaku usaha yang menyebabkan pelaku usaha tersebut sulit bersaing dengan pelaku usaha yang telah ada di pasar.103 Keadaan ini sering ditemui dalam pasar dengan struktur monopoli.

c. Produknya terdiferensiasi

Tidak seperti dalam pasar persaingan sempurna yang produknya bersifat homogen. Dalam pasar ini produk yang ada di pasar cenderung terdiferensiasi, antara satu produk dengan produk lain memiliki karakteristik yang berbeda

       103

(18)

sehingga menyebabkan konsumen mempunyai kecenderungan terhadap produk tertentu dibanding produk lainnya. Hal ini biasa ditemui dalam pasar persaingan monopolistik.

d. Dapat menguasai penentuan harga

Dalam pasar persaingan tidak sempurna jumlah penjual dan pembeli relatif tidak seimbang. Dalam struktur pasar ini biasanya jumlah penjual cenderung lebih sedikit daripada jumlah pembeli contohnya dalam pasar monopoli dan oligopoli. Dengan keadaan tersebut pelaku usaha tentu mempunyai bargaining position yang lebih tinggi dari konsumen sehingga pelaku usaha mempunyai kemampuan untuk menentukan harga suatu produk tersebut bagi konsumen.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, struktur pasar ini merupakan faktor yang mempengaruhi penetapan jumlah presentase penguasaan pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan terutama terkait dengan banyaknya jumlah pelaku usaha yang ada di dalam suatu pasar tersebut. Dalam struktur pasar yang terdapat banyak pelaku usaha di dalamnya seperti pasar persaingan sempurna maupun pasar persaingan monopolistik tentu penguasaan pangsa pasar yang dibutuhkan untuk menduduki posisi dominan tidaklah terlalu besar, sedangkan dalam struktur pasar yang jumlah pelaku usahanya terbatas seperti pasar oligopoli dan monopoli penguasaan pangsa pasar yang dibutuhkan untuk menduduki posisi dominan tentu akan lebih besar.

(19)

dengan presentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan.

Dalam negara-negara di kawasan ASEAN masih terdapat adanya perbedaan terkait dengan jumlah presentase pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan.

Perbedaan presentase pangsa pasar diantara negara di kawasan ASEAN ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan struktur pasar yang terdapat di negara-negara ASEAN.

Tabel III.3

Presentase penguasaan pangsa pasar di ASEAN

Sumber: diolah dari berbagai sumber.

Dalam tabel diatas terdapat perbedaan mengenai presentase penguasaan pasar sehingga pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan di suatu pasar. Di Indonesia berdasarkan UU No.5/1999 pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai 50% atau lebih untuk pelaku usaha perseorangan dan 75% atau lebih untuk dua pelaku usaha atau lebih. Di dalam

No Negara presentase penguasaan pasar satu pelaku usaha dua/lebih pelaku usaha

1 Indonesia ≥ 50% ≥ 75%

2 Filipina - -

3 Laos - -

4 Malaysia - -

5 Singapura ≥ 60% ≥ 60%

6 Thailand > 50% > 75%

(20)

pengaturan persaingan usaha di negara Filipina tidak ditemui pengaturan terkait besaran penguasaan pangsa pasar bagi pelaku usaha dominan sedangkan untuk Malaysia dan Laos dalam undang-undang yang berlaku di negaranya pelaku usaha dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai pangsa pasar melebihi nilai yang ditetapkan komisi pengawas persaingan masing-masing negara. Tidak ditemui besaran pasti terkait presentase pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku usaha untuk memegang posisi dominan di negara-negara tersebut.Singapura menetapkan pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai 60% pangsa pasar hal ini berlaku bagi pelaku usaha perseorangan atau lebih. Di Thailand seorang pelaku usaha dapat dikatakan memegang posisi dominan apabila menguasai lebih dari 50% pangsa pasar dan lebih dari 75% pangsa pasar bagi dua/lebih pelaku usaha. Berbeda dengan negara lainnya Vietnam menetapkan penguasaan pangsa pasar sebesar 30% atau lebih untuk seorang pelaku usaha dan membagi kelompok usaha menjadi tiga bagian yaitu untuk dua pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar, tiga dan empat pelaku usaha berturut turut 65% atau lebih dan 75% atau lebih pangsa pasar.

Perbedaan terkait presentase pangsa pasar ini tentu akan berpotensi menimbulkan permasalahan terutama dalam pelaksanaan AEC pada 2015. Hal ini disebabkan karena penguasaan pangsa pasar merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur kepemilikan posisi dominan suatu pelaku usaha.

(21)

menetapkan nilai presentase penguasaan pangsa pasar bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan di suatu pasar.

3. Bentuk penyalahgunaan

Dalam penyalahgunaan posisi dominan terdapat dua bentuk penyalahgunaan yang ada yaitu: penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif (exploitative abuse) dan penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran (exclutionary abuse).

Penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif disini merupakan bentuk upaya maksimalisasi keuntungan dengan cara mereduksi iuaran dan menaikkan harga diatas level kompetitif sehingga terjadi suatu eksploitasi dari pelaku usaha terhadap konsumen.104 Penyalahgunaan jenis ini dapat berupa excessive price yang merupakan penerapan harga yang bersifat monopolistik, unfair condition yaitu penerapan syarat-syarat yang tidak adil bagi konsumen atau pelaku usaha pesaing dan the quite life yakni penolakan penggunaan teknologi tertentu dengan alasan-alasan yang tidak dapat diterima.105 Penyalahgunaan lainnya adalah penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran. Dalam penyalahgunaan ini pelaku usaha pemegang posisi dominan berusaha membatasi akses terhadap pasar baik dari pelaku usaha pesaing maupun pelaku usaha potensial. Tujuan dari penyalahgunaan ini adalah menyingkirkan pelaku usaha pesaing yang telah ada di pasar dan mencegah masuknya pelaku usaha potensial ke dalam suatu pasar yang dikuasainya. Penyalahgunaan ini dapat berupa:106

a. Hambatan masuk ke pasar (barrier to entry) bagi pelaku usaha potensial,

       104

Vegitya Ramadhani Putri, Loc.Cit.

105

Ibid.

106

(22)

b. Export bans yang merupakan pelarangan ekspor,

c. Pricing strategies yang meliputi discount and rabates dan predatory pricing, d. Tying and leverage,

e. Merger

f. Refusal to supply yang meliputi refusal to deal dan refusal to allow consumers access to essential facility

Diantara negara-negara anggota ASEAN masih terdapat perbedaan mengenai bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang di dalam legislasi mereka masing-masing. Hal ini dapat dilihat berdasarkan tabel di bawah ini

Tabel III.4

Bentuk penyalahgunaan posisi dominan di ASEAN

No  Bentuk  Penyalahgunaan 

Negara 

Indonesia Filipina Laos  Malaysia  Singapura  Thailand  Vietnam 

excessive price  ×        ×  ×  ×  × 

Sumber: diolah dari berbagai sumber.

Keterangan: untuk Filipina dan Laos tidak terdapat pengaturan penyalahgunaan posisi dominan.

Keterangan : × = tidak diatur √ = diatur

(23)

kawasan ASEAN hampir semua menetapkan penerapan unfair condition terhadap konsumen atau pelaku usaha pesaing merupakan bentuk dari penyalahgunaan posisi dominan. Negara-negara anggota ASEAN kecuali Thailand menetapkan pembatasan penggunaan teknologi (the quite life) sebagai salah satu bentuk penyalahgunaan posisi dominan.

Terdapat keseragaman terkait dengan bentuk penyalahgunaan berupa barrier to entry, semua negara ASEAN yang mengatur mengenai penyalahgunaan posisi dominan mengatur bahwa hambatan masuk ke pasar merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang. Di negara ASEAN tidak ada yang mengatur pelarangan ekspor (export bans) sebagai bentuk penyalahgunaan posisi dominan, selain itu untuk bentuk penyalahgunaan berupa pricing strategies hanya Indonesia yang tidak memasukkannya ke dalam bentuk penyalahgunaan posisi dominan. Malaysia menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang mengatur secara spesifik mengenai kebijakan tying and leverage sebagai bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang. Merger yang dapat mengakibatkan posisi dominan dilarang hampir di seluruh negara ASEAN hanya Malaysia yang tidak mengatur secara spesifik mengenai merger. Selain di Singapura, tindakan refusal to supply oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan dikategorikan oleh negara-negara di ASEAN sebagai bentuk penyalahgunaan yang dilarang.

(24)

bagi pelaku usaha untuk melakukan penyalahgunaan posisi dominan terutama pada saat AEC diberlakukan karena tidak semua negara ASEAN mengatur bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang sama.

Bentuk harmonisasi yang perlu dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN adalah menyeragamkan pengaturan mengenai bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang bagi pelaku usaha, hal ini untuk menutup celah timbulnya praktek penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha di kawasan ASEAN.

4. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penyalahgunaan posisi dominan

Dalam hukum persaingan usaha terdapat dua jenis pendekatan yang digunakan dalam menerapkan pasal-pasal yang mengatur tindakan anti persaingan yaitu per se illegal dan rule of reason.

Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu illegal tanpa memerlukan pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut, sedangkan pendekatan rule of reason adalah pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi terhadap akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian atau kegiatan usaha tertentu untuk menentukan apakah perjanjian atau kegiatan usaha tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.107

Terdapat kelebihan dan kelemahan dalam masing-masing pendekatan tersebut. Kelebihan dalam menggunakan metode pendekatan per se illegal adalah

       107

(25)

pada proses penyelidikan yang relatif mudah dan sederhana. Dalam pendekatan ini tidak diperlukan lagi suatu evaluasi terhadap situasi dan karakteristik pasar.108 Pada pendekatan per se illegal keputusan melawan hukum diberikan tanpa adanya analisa lebih lanjut terkait dengan dampak dari perbuatan tersebut, sehingga terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pendekatan ini yaitu adanya dampak kerugian yang signifikan dari perilaku tersebut dan kerugian tersebut harus tergantung pada kegiatan yang dilarang.109 Kelebihan lain yang terdapat dalam pendekatan ini adalah penerapan per se illegal dianggap lebih memberikan kepastian hukum terutama bagi pelaku usaha. Kelemahan yang terdapat dalam pendekatan ini adalah berkaitan dengan pembuktian adanya suatu perjanjian atau kegiatan usaha tertentu yang dilarang tersebut, hal ini dikarenakan pada umumnya pelaku usaha tidak melakukan perjanjian maupun kegiatan usaha yang dilarang tersebut secara terang-terangan sehingga dalam hal ini perlu kejelian dari otoritas pengawas persaingan usaha untuk membuktikan adanya perjanjian maupun kegiatan usaha tersebut.

Berbeda dengan pendekatan per se illegal, dalam pendekatan rule of reason memungkinkan adanya interpretasi terhadap undang-undang sehingga tidak serta merta suatu perjanjian atau kegiatan usaha tertentu yang dilarang dianggap melanggar undang-undang, melainkan dianalisis terlebih dahulu apakah perjanjian atau kegiatan usaha yang dilakukan itu menghambat proses persaingan atau tidak.

       108

Andi Fahmi Lubis, et al., Op.Cit., h. 60 dikutip dari Carl Kaysen and Donald F.Turner, Antitrust Policy an Economic and Legal Analysis, (Cambridge: Harvard University Press, 1971) p.142.

109

(26)

Kelebihan dalam pendekatan rule of reason adalah adanya analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui secara pasti apakah tindakan pelaku usaha tersebut berdampak terhadap persaingan.110 Pendekatan rule of reason ini juga mengandung kelemahan yaitu dipersyaratkannya pengetahuan tentang teori ekonomi dan data-data ekonomi yang kompleks untuk menganalisa tindakan pelaku usaha tersebut apakah bersifat menghambat persaingan. Kelemahan lainnya adalah proses penyelidikan yang lebih rumit dan waktu yang lebih panjang hal ini dikarenakan perlu suatu analisis ekonomi terlebih dahulu untuk menilai apakah tindakan pelaku usaha tersebut menimbulkan dampak terhadap persaingan.

Di kawasan ASEAN masih terdapat perbedaan terkait dengan jenis pendekatan yang digunakan oleh komisi pengawas persaingan usaha di masing-masing negara dalam menerapkan pasal mengenai penyalahgunaan posisi dominan.

Tabel III.5

Jenis pendekatan yang digunakan di ASEAN

Sumber: diolah dari berbagai sumber.

       110

Ibid, h.66.

No Negara Jenis Pendekatan yang digunakan

1 Indonesia Per Se Illegal

2 Filipina -

3 Laos -

4 Malaysia Rule of reason

5 Singapura Rule of reason

6 Thailand Rule of reason

(27)

Keterangan: untuk Filipina dan Laos tidak terdapat pengaturan penyalahgunaan posisi dominan.

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa terdapat ketidakseragaman diantara negara-negara anggota ASEAN terkait dengan jenis pendekatan yang digunakan untuk menerapkan pasal mengenai penyalahgunaan posisi dominan. Di Indonesia secara normatif terlihat dalam pasal yang mengatur mengenai penyalahgunaan posisi dominan menggunakan pendekatan per se illegal namun dalam prakteknya otoritas pengawas persaingan di Indonesia cenderung menggunakan pendekatan rule of reason dalam menerapkan pasal terkait penyalahgunaan posisi dominan.

Vietnam yang dengan tegas melarang adanya penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan sehingga dapat disimpulkan pendekatan yang digunakan oleh negara ini adalah per se illegal, sedangkan di Malaysia, Singapura dan Thailand pendekatan yang digunakan untuk menerapkan pasal penyalahgunaan posisi dominan adalah rule of reason.

Ketidakseragaman terkait dengan jenis pendekatan yang digunakan oleh negara-negara anggota ASEAN dalam menerapkan pasal penyalahgunaan posisi dominan tentu berpotensi menimbulkan permasalahan terkait ketidakpastian hukum dalam menerapkan ketentuan mengenai penyalahgunaan posisi dominan terhadap pelaku usaha pemegang posisi dominan di kawasan ASEAN.

(28)

Tidak adanya harmonisasi terkait pengaturan posisi dominan di negara-negara ASEAN tentu akan menyebabkan lemahnya penindakan oleh suatu komisi pengawas persaingan terhadap tindakan penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Keadaan tersebut disebabkan belum adanya aturan yang berlaku secara global di kawasan ASEAN terkait dengan posisi dominan dan penyalahgunaannya. Perbedaan aturan diantara negara-negara ASEAN ini tentu akan berpengaruh terhadap kekuatan hukum dari putusan yang dikeluarkan oleh komisi pengawas persaingan di suatu negara, contohnya ketika komisi pengawas persaingan usaha Indonesia dalam hal ini KPPU menjatuhkan putusan bersalah bagi pelaku usaha asal Singapura yang terbukti berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia melakukan penyalahgunaan posisi dominan di pasar domestik Indonesia bisa saja karena terdapat perbedaan pengaturan mengenai posisi dominan dan penyalahgunaannya yang berlaku diantara kedua negara ini maka pelaku usaha tersebut dinyatakan bebas oleh komisi pengawas persaingan usaha di Singapura, sehingga dalam hal ini perlu adanya suatu harmonisasi agar putusan yang dijatuhkan dapat oleh komisi pengawas persaingan usaha suatu negara memiliki kekuatan hukum yang mengikat juga di negara lain.111

Pentingnya harmonisasi pengaturan khususnya terkait dengan kepemilikan posisi dominan diantara negara-negara ASEAN ini dapat dilihat dalam AEC Blueprint. Dalam AEC Blueprint ini memuat empat kerangka utama untuk mencapai AEC 2015 salah satunya adalah mewujudkan ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi dengan elemen peraturan kompetisi,

       111

(29)

perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan dan e-commerse.

3.2 Bentuk Pendekatan dalam Upaya Harmonisasi Pengaturan Posisi Dominan

Dalam upaya membentuk suatu harmonisasi pengaturan diantara negara-negara anggota ASEAN dalam rangka menyambut berlakunya kebijakan AEC pada 2015, terdapat beberapa dasar pendekatan yang mengemuka yaitu:112

1. Harmonisasi dilakukan dengan membentuk sebuah peraturan internasional yang komperhensif dan dilengkapi dengan adanya lembaga penegakan hukum persaingan usaha yang bersifat supranasional. Supranasional disini mempunyai arti suatu lembaga tersebut mempunyai kewenangan yang melampaui satu negara. Pendekatan ini digunakan oleh Munich Group yang mengusulkan International Antitrust Code yang diterbitkan pada tahun 1993 sebagai draft dari GATT plurilateral agreement;

2. Dalam pendekatan ini harmonisasi tidak dilakukan dengan membentuk suatu ketentuan hukum yang bersifat supranasional melainkan melalui harmonisasi terhadap hukum persaingan usaha nasional. Upaya harmonisasi ini dapat berbentuk “uniform laws project” yang disusun oleh orang-orang ahli dan berpengalaman yang didalamnya berisi banyak aturan dan opsi.

3. Dalam pendekatan ini langkah awal dari harmonisasi dimulai dengan membentuk dan menyempurnakan perjanjian-perjanjian bilateral yang bertujuan

       112

(30)

untuk memperkuat kerjasama antar otoritas persaingan usaha. Tahap selanjutnya negara-negara akan membentuk suatu plurilateral framework yang berisikan tentang perangkat minimum aturan-aturan persaingan usaha dan instrumen penyelesaian sengketa.

Dalam plurilateral framework ini mengatur mengenai hal-hal yang bersifat konstitusional dalam persaingan usaha yang pada umumnya berupa pelarangan terhadap praktek-praktek anti persaingan usaha yang menutup market access seperti penyalahgunaan posisi dominan maupun pelarangan terhadap kartel-kartel transnasional.

Langkah harmonisasi berdasarkan pendekatan ini dimulai dari penerapan plurilateral framework oleh kelompok inti dari negara-negara yang kemudian akan diperluas penerapannya oleh kelompok partisipasi hingga menghasilkan suatu peraturan persaingan usaha yang sesuai bagi negara-negara tersebut.113 4. Salah satu hambatan dari upaya harmonisasi adalah adanya keengganan dari negara-negara untuk membawa permasalahan kebijakan persaingan ke tingkat multinasional. Negara-negara cenderung berasumsi bahwa permasalahan kebijakan persaingan ini dapat diselesaikan di level nasional dengan menggunakan perangkat hukum nasional. Melalui pendekatan ini harmonisasi dilakukan dengan meningkatkan kesadaran negara-negara tersebut mengenai pentingnya pembahasan mengenai permasalahan kebijakan persaingan di tingkat

      

(31)

multinasional sebagai suatu langkah awal untuk mewujudkan harmonisasi pengaturan diantara negara kawasan.114

3.3 Langkah-Langkah Untuk Mewujudkan Harmonisasi Pengaturan Posisi Dominan dalam ASEAN Economic Community

Pembentukan suatu komunitas masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah regional tidak hanya terjadi dalam ASEAN Economic Community, pembentukan komunitas masyarakat ekonomi regional ini pernah dilakukan oleh Uni Eropa (European Union) (untuk selanjutnya disebut sebagai EU). EU merupakan organisasi yang bersifat supra-nasional yang beranggotakan negara-negara di Eropa. Salah satu langkah awal pembentukan EU ini bermula dari kerjasama ekonomi diantara negara-negara di kawasan Eropa yang ditandai dengan pembentukan European Economic Community (EEC). Komunitas Ekonomi Eropa ini dibentuk pada 1 Januari 1958 berdasarkan perjanjian roma (rome treaty).115 Saat ini EU telah bertransformasi dari sebuah kesatuan ekonomi menjadi suatu kesatuan politik.

3.3.1 Harmonisasi dalam Uni Eropa

Dalam perkembangannya EU telah melakukan berbagai langkah harmonisasi pengaturan diantara negara-negara anggotanya. Terdapat dua konsep harmonisasi yang digunakan oleh EU dalam mengharmonisasikan aturan-aturannya yaitu harmonisasi minimum dan harmonisasi maksimum.

       114

Ibid.

115

(32)

Harmonisasi minimum disini umumnya berupa kesepakatan politik antara negara anggota EU dengan European Commission (untuk selanjutnya disebut EC). Harmonisasi ini diwujudkan dengan pembentukan platform umum dalam EU yang berlaku bagi seluruh negara anggota namun dimungkinkan bagi negara anggota EU untuk mengatur standar yang lebih ketat dalam hukum nasionalnya.116

Berbeda dengan harmonisasi minimum, dalam harmonisasi maksimum ini negara-negara anggota diharuskan memberlakukan seluruh ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan EU ke dalam hukum nasionalnya. Negara-negara anggota tidak dimungkinkan untuk mengatur standar yang lain lebih ketat kecuali dengan alasan-alasan yang telah diatur dalam peraturan EU tersebut. Salah satu contoh penerapan harmonisasi maksimum ini dapat ditemui dalam The Unfair Commercial Practices Directive 2005/29/EC.

Terkait dengan kebijakan persaingan usaha khususnya mengenai pengaturan posisi dominan, upaya harmonisasi pengaturan ini dapat dilihat dalam TFEU. Di dalam TFEU ketentuan mengenai penyalahgunaan posisi dominan diatur dalam article 102. Ketentuan penyalahgunaan posisi dominan tersebut berlaku bagi seluruh negara anggota dalam EU. Hal ini untuk menjamin bahwa persaingan dalam pasar bersama di EU tidak terdistorsi.117 Bentuk harmonisasi yang digunakan EU dalam penerapan kebijakan persaingan usaha khususnya terkait dengan penyalahgunaan posisi dominan adalah harmonisasi maksimum, hal ini

       116

Geraint Howells, Hans-W. Micklitz, and Thomas Wilhelmsson, European Fair Trading Law The Unfair Commercial Practices Directive, Ashgate, 2006, h. 28.

  117

(33)

dapat dilihat dari ketentuan pelaksana competition policy yang ada dalam EU yaitu Council Regulation (EC) No.1/2003 of 16 December 2002 on the implementation of the rules on competition laid down in Articles 101 and 102 of the Treaty on the Functioning of the European Union yang tidak melarang negara-negara anggota EU untuk menerapkan legislasi nasional yang berlaku di wilayahnya selama produk legislasi tersebut sesuai dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum dan ketentuan hukum lainnya yang telah diatur dalam TFEU.

3.3.2 Konsep harmonisasi dalam pelaksanaan ASEAN Economic Community Tidak sepenuhnya konsep harmonisasi yang diterapkan dalam EU dapat diaplikasikan ke dalam AEC. Keadaan ini disebabkan karena terdapat perbedaan antara EU dengan AEC. Perbedaan yang mendasar antar EU dengan AEC adalah adanya penyerahan kedaulatan oleh negara-negara anggota EU kepada EC sehingga EC berwenang untuk mengambil keputusan yang otonom yang mengikat negara-negara anggota EU, sedangkan dalam AEC kedaulatan tertinggi tetap berada di negara-negara anggota ASEAN.

Mengingat kondisi tersebut maka bentuk harmonisasi pengaturan posisi dominan yang sesuai untuk dapat diterapkan dalam pelaksanaan AEC adalah harmonisasi minimum.

(34)

Demi mewujudkan adanya suatu harmonisasi terkait dengan pengaturan posisi dominan dalam AEC perlu adanya kesepahaman terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan posisi dominan serta kriteria penyalahgunaannya diantara negara-negara anggota ASEAN. Setelah tercapai suatu kesepahaman mengenai definisi dari posisi dominan dan kriteria penyalahgunaannya maka upaya harmonisasi dilakukan dengan menyeragamkan pengaturan mengenai hal-hal yang mendasar dalam pegaturan posisi dominan yaitu:

1. Definisi pelaku usaha

Pelaku usaha merupakan unsur penting dalam menentukan keberlakuan dari pengaturan posisi dominan. Dengan adanya integrasi ekonomi dalam AEC tentu akan meningkatkan arus transaksi bisnis yang bersifat lintas batas negara serta melibatkan pelaku usaha yang berasal dari berbagai negara di ASEAN. Masih belum seragamnya definisi pelaku usaha di negara-negara ASEAN tentu rawan menjadi celah bagi pelaku usaha asing yang berasal dari negara anggota ASEAN untuk melakukan penyalahgunaan posisi dominan yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasar domestik di negara ASEAN lain.

(35)

berpotensi melakukan penyalahgunaan dominan yang berdampak terhadap pasar domestik di suatu negara tanpa harus menjalankan kegiatan usahanya di negara tersebut. Dengan adanya definisi pelaku usaha yang mempunyai kekuatan berlaku yang bersifat ekstra teritorial ini pengaturan tentang posisi dominan khususnya mengenai penyalahgunaannya dapat mencakup pelaku usaha asing dan memudahkan penindakan terhadap pelaku penyalahgunaan posisi dominan tersebut.

2. Penetapan posisi dominan a. Pasar bersangkutan

Harmonisasi terkait dengan definisi pasar bersangkutan di ASEAN dalam rangka menghadapi kebijakan AEC 2015 sangat penting untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan definisi pasar bersangkutan merupakan salah satu indikator utama untuk mengukur penguasaan pelaku usaha atas produk tertentu. Perbedaan definisi pasar bersangkutan yang terjadi di kawasan ASEAN tentu akan menyulitkan komisi pengawas persaingan di suatu negara untuk menilai secara tepat apakah pelaku usaha tersebut dapat dikatakan memiliki posisi dominan atau tidak atas suatu produk tertentu.

(36)

yang akurat dan tepat terkait dengan dominasi pelaku usaha di pasar yang terdapat di kawasan ASEAN.

b. Pangsa pasar

Faktor lain yang penting dalam menentukan posisi dominan palaku usaha adalah penguasaan pangsa pasar oleh pelaku usaha. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat perbedaan diantara negara-negara anggota ASEAN terkait dengan jumlah presentase pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan. Perbedaan terkait dengan jumlah presentase pangsa pasar tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan struktur pasar yang dimiliki masing-masing negara. Selain terdapat perbedaan mengenai jumlah presentase penguasaan pangsa pasar masalah lain juga terlihat dengan masih adanya negara yang tidak menetapkan secara spesifik nilai presentase penguasaan pangsa pasar berlaku di negaranya.

(37)

c. Bentuk penyalahgunaan

Belum adanya harmonisasi terkait dengan bentuk penyalahgunaan apa sajakah yang dilarang dalam AEC tentu akan menimbulkan masalah terkait dengan lemahnya penegakan hukum terkait penyalahgunaan posisi dominan. Dalam prakteknya bisa saja suatu bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang di suatu negara tidak dilarang di negara ASEAN lainnya. Hal ini tentu akan menimbulkan celah bagi pelaku usaha asing yang memiliki posisi dominan untuk dapat melakukan penyalahgunaan yang nantinya berdampak negatif terhadap pasar domestik di suatu negara di kawasan ASEAN.

Harmonisasi yang dapat dilakukan negara-negara di ASEAN terkait hal ini adalah dengan menetapkan bentuk-bentuk penyalahgunaan apa saja yang dilarang bagi pelaku usaha dominan di kawasan ASEAN. Hal ini penting agar ada suatu aturan main yang jelas bagi pelaku usaha di kawasan ASEAN mengenai apa saja tindakan penyalahgunaan yang dilarang bagi pemegang posisi dominan.

d. Jenis pendekatan yang digunakan

Sebagaimana yang diketahui terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam hukum persaingan usaha yaitu per se illegal dan rule of reason. Dalam pengaturan mengenai posisi dominan yang ada di ASEAN masih terdapat perbedaan mengenai jenis pendekatan yang digunakan dalam menerapkan pasal terkait dengan penyalahgunaan posisi dominan.

(38)

akan menimbulkan ketidakpastian karena berbeda jenis pendekatan maka berbeda pula dampak yang diakibatkan bagi pelaku usaha, apabila negara tersebut menggunakan pendekatan per se illegal maka setiap tindakan pelaku usaha yang dilarang oleh undang-undang akan selalu dianggap melanggar hukum. Berbeda jika negara tersebut menggunakan pendekatan rule of reason, maka tindakan yang dilakukan pelaku usaha yang dilarang oleh undang-undang tidak serta merta dianggap suatu pelangggaran melainkan terlebih dahulu dilakukan analisa apakah tindakan tersebut membawa dampak negatif terhadap persaingan di pasar tersebut atau tidak.

Jenis pendekatan yang sebaiknya digunakan dalam menerapkan ketentuan posisi dominan dalam AEC adalah pendekatan rule of reason, hal ini mengingat bahwa pada dasarnya dalam hukum persaingan usaha memegang posisi dominan tidaklah dilarang.

Tujuan dari setiap pelaku usaha adalah agar dapat menjadi lebih unggul dari pelaku usaha lainnya di pasar bersangkutan sehingga untuk mencapai posisi tersebut pelaku usaha melakukan inovasi serta efisiensi agar mampu menghasilkan produk yang kompetitif dan berkualitas sehingga lebih diminati konsumen. Sehingga dapat dikatakan memiliki posisi dominan merupakan prestasi tersendiri bagi pelaku usaha.

(39)

pendekatan rule of reason agar tidak membatasi pertumbuhan pelaku usaha yang efisien, inovatif dan kompetitif di suatu pasar bersangkutan.118

Selain pembentukan aturan yang seragam mengenai hal-hal yang mendasar dalam penetapan posisi dominan, hal yang penting yang perlu dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN adalah menyepakati tentang kekuatan keberlakuan dari kebijakan yang dibentuk secara bersama ini, hal ini untuk menghindari adanya pergesekan antara hukum yang dibuat secara bersama oleh negara-negara anggota ASEAN dengan hukum nasional masing-masing negara yang mereka miliki. Selain itu hal ini juga diperlukan untuk memberikan suatu code of conduct yang jelas bagi komisi pengawas persaingan usaha di masing-masing negara dalam melakukan pengawasan serta penindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha di kawasan ASEAN terhadap aturan bersama tersebut.

 

       118

Gambar

Tabel III.1
Tabel III.2
Tabel III.4
Tabel III.5

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga dari posisi keempat merek yang dibandingkan, serta kelemahan atribut tersebut dapat dijadikan saran perbaikan strategi pemasaran dengan memperbaiki

Dilihat dari identifikasi masalah dapat diketahui banyaknya masalah yang berkaitan dengan prokrastinasi akademik maka penelitian ini dibatasi. pada hubungan antara

Operasi panel surya sepsrti di atas utrtuk aplikasi teftetrtu k:wang disukai karena tidak bekerja pada kondisi optimahya. Agar dapat bekerja pada kodisi optiDialnya maka arus

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variabel fundamental yang diukur oleh profitabilitas, ukuran perusahaan dan struktur aktiva terhadap struktur modal

Lampiran 1 Laporan Hasil Produksi Bagian Tayloring Bulan Januari L.1 Lampiran 2 Laporan Hasil Produksi Bagian Tayloring Bulan Februari L.2 Lampiran 3 Laporan Hasil Produksi

Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi minat para calon mahasiswa dalam memilih jurusan akuntansi di Universitas Katolik

Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan diterima untuk memenuhi sebagian dari persyaratan.. memperoleh gelar

Analisa data diatas diperoleh hasil p value 0,000 < dari ( < 0,05 ) , yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang