• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Kebijakan affirmative action merupakan kebijakan yang berusaha untuk menghilangkan tindakan diskriminasi yang telah terjadi sejak lama melalui tindakan aktif yang menjamin kesempatan yang sama, seperti dalam pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative

action diperlukan untuk mendorong keterwakilan perempuan di lembaga

legislatif yang hingga saat ini sangat minim secara kuantitatif. Menurut Utami (dalam Faizain, 2012:3), minimnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif disebabkan kultur atau budaya yang mengukuhkan bahwa laki-laki dipandang sebagai pencari nafkah, sehingga laki-laki yang dominan peranannya dalam proses pengambilan keputusan sehingga membuat perempuan menjadi lemah sikap mentalnya untuk terjun ke ranah publik. Keberadaan keterwakilan perempuan yang sangat minim di DPR RI sejak pemilu 1955-2009 dapat dilihat pada tabel 1.

(2)

Tabel 1. Jumlah Perempuan di DPR (1955-2009).

Masa Kerja DPR Perempuan Jumlah Anggota Persentasi

1955 - 1960 17 272 6,3 1956 - 1959 25 488 5,1 1971 - 1977 36 460 7,8 1977 - 1982 29 460 6,3 1982 - 1987 39 460 8,5 1987 - 1992 65 500 13 1992 - 1997 62 500 12,5 1997 - 1999 54 500 10,8 1999 - 2004 45 500 9 2004 - 2009 65 550 11,8 2009 - 2014 108 560 17,5

Sumber : Media Center KPU (mediacenter.kpu.go.id)

Kebijakan affirmative action untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR dapat dilakukan dengan menempatkan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif sebagai calon potensial, memberikan pelatihan khusus dukungan pendanaan, dan publikasi berimbang terhadap calon perempuan tersebut. Di Indonesia, kebijakan affirmative action yang diterapkan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR dilakukan dengan memberlakukan sistem kuota 30% keterwakilan perempuan. Sistem kuota dianggap menjadi pilihan yang tepat untuk mempercepat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, khususnya dalam keterwakilan perempuan di DPR.

Sistem kuota 30% calon legislatif perempuan telah berhasil diwujudkan pertama kali ke dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kemudian berlanjut pada Pemilu tahun 2009 yang tertuang dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 dan kemudian pada Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

(3)

Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menjadi salah satu dasar penyelenggaraan Pemilu tahun 2014. Pasal tentang pemberlakuan kuota 30 persen calon legislatif perempuan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tertuang pada Pasal 55 yang berbunyi : “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”.

Untuk mempertegas kuota 30% keterwakilan perempuan pada pemilu 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan yang menimbulkan kontroversi. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disingkat PKPU) No. 7 Tahun 2013 tentang pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan pada PKPU No. 7 Tahun 2013 terdapat pada pasal-pasal berikut :

1. Pasal 11 huruf (a) yang berbunyi : “Daftar bakal calon menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan.”

2. Pasal 24 ayat 1 huruf (c) yang berbunyi : “Jumlah dan persentase keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) untuk setiap daerah pemilihan sebagaimana dimaksud Pasal 11 huruf a.” 3. Pasal 24 ayat 2 yang berbunyi : “Dalam hal partai politik telah

memenuhi syarat 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan dan menetapkan sekurang-kurangnya 1 (satu) nama bakal calon perempuan dalam setiap 3 (tiga) nama bakal calon nomor urut yang lebih kecil, partai politik dinyatakan telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.”

4. Pasal 50 yang berbunyi : “Jumlah minimum penyertaan keterwakilan 30% (tiga puluh persen) perempuan berdasarkan alokasi kursi pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta penempatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, terlampir dalam Lampiran II peraturan ini, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan ini.”

(4)

Kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam PKPU No. 7 Tahun 2013 memberikan konsekuensi kepada partai politik peserta pemilu 2014 untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan berdasarkan alokasi kursi pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Apabila partai politik peserta pemilu 2014 tidak dapat memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan di setiap tingkatan maka partai politik tersebut dinyatakan tidak memenuhi persyaratan pengajuan bakal calon pada daerah pemilihan yang tidak memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Artinya, daerah pemilihan suatu partai politik akan dihapuskan apabila tidak memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan walaupun bakal calon lain partai politik dalam daerah pemilihan tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan. Konsekuensi dari kebijakan KPU inilah yang pada akhirnya menimbulkan kontroversi.

Menurut Arif Wibowo (anggota Komisi II DPR), pengaturan soal sanksi penghapusan keterwakilan partai politik daerah pemilihan apabila tidak melaksanakan ketentuan diantara 3 calon ada 1 (satu) calon perempuan dan tidak menyertakan sekurang-kurangnya 30 % bakal calon perempuan dalam suatu daerah pemilihan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum1.

Sedangkan menurut pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Saleh Daulay2 mengungkapkan bahwa pemenuhan kuota 30 persen perempuan 1 http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/03/17/1/139214/DPR-Menilai-Peraturan-KPU-Nomor-7-Inkonstitusional 2 http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/06/25/moyck4-kuota-30-persen-perempuan-diminta-dikaji-ulang

(5)

dalam proses pencalonan perlu dikaji ulang. Ada beberapa isu yang perlu dipertimbangkan berkenaan dengan itu. Penetapan kuota 30 persen itu membuat demokrasi Indonesia menjadi lebih liberal dibandingkan dengan di negara-negara tempat kelahiran demokrasi. Liberalisasi di sini dimaknai sebagai proses pemaksaan partisipasi perempuan dalam politik. Jika dilihat dari aspek sosio-kultural masyarakat Indonesia, tidak semua perempuan tertarik dengan dunia politik. Banyak yang lebih tertarik mengurusi pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya. Kuota perempuan itu sifatnya formalitas, bukan substansial. Dengan aturan itu, banyak partai politik yang hanya sekadar merekrut caleg perempuan agar daftar calegnya lolos. Persoalan perempuan yang direkrut itu serius atau tidak, kelihatannya belum jadi perhatian utama. Selain itu, Aturan kuota 30 persen justru akan melanggar hak-hak politik orang lain. Jika ternyata di dalam satu daerah pilihan ada yang tidak cukup kuota perempuannya, maka seluruh calon legislatif di daerah pilihan itu digugurkan. Aturan ini secara faktual telah mengebiri hak-hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih dalam proses demokrasi yang ada. Hanya karena kuota perempuan, muncul ketidakadilan pada yang lain.

Kebijakan ini juga mendapatkan kritikan dari rekan kerja KPU dalam menyelenggarakan pemilu, yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu menilai KPU telah melebihi batas kewenangannya. Menurut Ketua Bawaslu, Muhammad3, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, secara tegas mengatur jika syarat minimal 30 persen tidak dipenuhi, maka berkas akan dikembalikan ke partai politik untuk dipenuhi. Dan kalau tidak juga

3

http://www.jpnn.com/read/2013/04/05/166066/KPU-Saklek-soal-Kuota-30-Persen-Perempuan,-

(6)

Bawaslu-Teriak-dipenuhi, KPU dapat mengumumkannya kepada publik. Tapi dalam Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013, KPU justru menghilangkan hak-hak politik partai di daerah pemilihan, di mana syarat 30 persen tidak terpenuhi, maka akan membatalkan keterwakilan partai politik lainnya.

Di lain pihak, KPU sebagai pembuat kebijakan tersebut meyakini pengaturan KPU terkait kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen dalam daftar calon anggota legislatif partai politik untuk diajukan dalam pemilu 2014 sudah sesuai dengan Undang-Undang Pemilu4. Sementara itu Komisioner KPU Ida Budhiati5 mengatakan, “UUD 1945 menjamin kesetaraan perempuan di bidang politik. Ada afirmasi kepada kelompok-kelompok minoritas. Dari aspek historis, spirit jaminan perlindungan HAM dan hak asasi perempuan diadopsi dalam norma hukum kita.”

Selain mendapatkan kritikan, kebijakan KPU ini juga mendapatkan dukungan dari berbagai aliansi penggiat perempuan. Tokoh penggiat kesetaraan gender dan hak-hak perempuan, Sjamsiah Achmad, mendukung penuh kebijakan tersebut dan berharap KPU tetap konsisten menerapkan kebijakan tersebut tanpa terpengaruh lobi partai politik. Menurutnya kebijakan kuota 30 persen merupakan kebijakan khusus yang bersifat sementara untuk mendorong terlibatnya perempuan dalam ranah pengambilan keputusan publik secara lebih massif. Kebijakan ini diambil untuk mencapai salah satu di antara 8

4 http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=284500:kuota-30-persen-caleg-perempuan-sesuai-uu-pemilu&catid=17:politik&Itemid=30 5 http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/04/01/1/143003/Kuota-Caleg-Perempuan-30-Persen-Sesuai-UU-Pemilu

(7)

Millenium Developments Goals (MDG’s) yang disepakati 189 negara anggota PBB dan ditargetkan tercapai pada tahun 2015.6

Walaupun ini merupakan kebijakan yang positif bagi perempuan, tetapi dampak negatif dari kebijakan tersebut dikhawatirkan akan berimbas kepada perempuan itu sendiri. Hal ini terjadi karena partai politik harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi kuota 30 persen calon legislatif dan jika tidak terpenuhi, ancaman diskualifikasi akan diberlakukan bagi daerah pemilihan partai politik yang tidak memenuhi kuota 30 persen perempuan. Kemudian yang terjadi adalah penurunan syarat-syarat kualitas yang sudah distandarisasi oleh setiap partai politik agar perempuan dapat menjadi calon legislatif yang hanya sekedar memenuhi syarat administratif. Bahkan ada partai politik yang ikut membantu mengurus proses pendaftaran berikut semua syarat-syaratnya7.

Kebijakan affirmative action kuota 30% keterwakilan perempuan telah ada sejak pemilu 2004. Oleh sebab itu, telah ada beberapa penelitian terkait kuota 30% keterwakilan perempuan ini. Beberapa penelitian terdahulu yang sejenis dengan penelitian ini, diantaranya:

1. Ariany (2009) tentang Partisipasi Perempuan di Legislatif Melalui Kuota 30% Keterwakilan Perempuan di Provinsi Kalimantan Selatan. Hasil penelitian yang didapat adalah bahwa ketentuan kuota 30% keterwakilan perempuan tidak sepenuhnya terlaksana di Provinsi Kalimanta Selatan karena terlihat dari daftar calon legislatif yang belum

6

http://www.shnews.co/detile-18208-caleg-perempuan-di-balik-%E2%80%9Ckursi-istimewa%E2%80%9D.html

7

(8)

sepenuhnya memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Selain itu, rendahnya keterpilihan perempuan dalam lembaga legislatif yang hanya (11,81%) juga karena banyak perempuan yang tidak memiliki kualitas tetapi hanya semata-mata untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan.

2. Siregar (2006) tentang Women and the Failure to Achive the 30 Percent Quota in the 2004-2009 Indonesian Parliaments: The Role of The

Electoral System. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya ada 3

partai politik peserta pemilu 2004 yang mampu memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya sanksi yang mengatur pemberlakuan kuota 30% keterwakilan perempuan. Sehigga pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan berdasarkan dari keinginan partai politik itu sendiri.

3. Muri (2009) tentang Evaluasi Respon Partai Politik Terhadap Pemenuhan Kuota 30% Keterwakilan Perempuan dalam Pencalonan Anggota Legislatif Pada Pemilu 2009 di Surakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partai politik telah memiliki respon yang positif terhadap pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan. Tetapi partai politik belum menindaklanjuti respon tersebut dalam hal peningkatan kualitas kader perempuan. Oleh sebab itu peneliti memberikan saran kepada partai politik untuk meningkatkan program pelatihan ataupun pendidikan politik untuk peningkatan kualitas dan kapabilitas calon legislatif perempuan.

(9)

Hasil penelitian terdahulu terkait kuota 30% keterwakilan perempuan menunjukkan bahwa masih banyak masalah mengenai pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan. Buruknya kaderisasi partai politik terhadap terhadap perempuan memberikan dampak terhadap sulitnya partai politik dalam merekrut calon legislatif perempuan untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Akibatnya partai politik masih berorientasi terhadap kuantitas ketimbang kualitas calon legislatif perempuan yang direkrut. Setelah melalui dua kali masa pemilu, semestinya partai politik telah mempersiapkan kader perempuan yang berkualitas dan tidak lagi kesulitan untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam pemilu 2014. Tetapi pada kenyataannya hal tersebut masih dialami partai politik peserta pemilu 2014. Untuk itu, masalah kualitas calon legislatif perempuan yang direkrut partai politik sepatutnya menjadi sorotan jika dilihat dari hasil penelitian terdahulu untuk membuktikan keterkaitan antara pemberlakuan kuota 30% keterwakilan perempuan dengan kualitas calon legislatif perempuan yang direkrut partai politik. Terlebih lagi pada pemilu 2014 terdapat sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Hal ini akan menyebabkan partai lebih berorientasi kepada kuantitas ketimbang kualitas dalam memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan.

Berdasarkan pada uraian di atas, mengenai pemberlakuan kuota 30 persen calon legislatif perempuan yang harus dipenuhi oleh partai politik dan sanksi yang diberlakukan apabila partai politik tidak dapat memenuhi syarat tersebut yang tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 tentang pencalonan

(10)

Anggota DPR, DPRD Provinsi Dan DPRD Kabupaten/Kota sehingga menimbulkan beberapa kendala seperti penurunan syarat-syarat kualitas yang sudah distandarisasi oleh setiap partai politik agar perempuan dapat menjadi calon legislatif yang hanya sekedar memenuhi syarat administratif yang akan berdampak kepada kualitas dari calon legislatif perempuan. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti tentang “Dampak Kebijakan Affirmative Action Calon Legislatif Perempuan terhadap Kualitas Rekrutmen Calon Legislatif Perempuan di DPC PDI Perjuangan Kabupaten Pringsewu Tahun 2013”.

B. Rumusan Masalah

Dari penjelasan latar belakang masalah di atas, maka agar penelitian ini lebih jelas dan terarah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak kebijakan affirmative action kuota 30% calon legislatif perempuan terhadap kualitas rekrutmen calon legislatif perempuan ?.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang akan dilaksanakan oleh penulis adalah untuk mengetahui dampak kebijakan affirmative action kuota 30% calon legislatif perempuan terhadap kualitas rekrutmen calon legislatif perempuan.

(11)

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis

Berguna bagi pengembangan pembuatan teori kebijakan khususnya kebijakan yang berkaitan tentang perempuan dan dapat digunakan untuk menambah literatur atau sebagian bahan masukan bagi penelitian selanjutnya yang mengkaji permasalahan yang sama dengan penelitian ini.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai referensi dan informasi bagi berbagai pihak, terutama bagi perempuan dalam politik dan bagi partai politik dalam melakukan rekrutmen terhadap perempuan untuk dijadikan calon legislatif agar kualitas dan kesetaraan gender dapat tercapai di dunia politik.

Gambar

Tabel 1. Jumlah Perempuan di DPR (1955-2009).

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengucapkan Alhamdulillah, puji syukur atas, rahmat, ridho dan ijin Allah SWT yang selalu dilimpahkan kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi

Menurut hasil studi tersebut, kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai merupakan perkalian antara jumlah penduduk perkotaan dengan kebutuhan air untuk pemeliharaan/penggelontoran

Raja Noor Hanani Binti Raja Azman Shah * B886. Sarah Nabilah Binti Sallehuddin *

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas sitotoksik ekstrak etanol umbi ubi jalar ungu dan oranye (Ipomoea batatas L.) terhadap sel kanker payudara MCF-7 dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis aktivitas ekonomi istri, peran istri terhadap pendapatan rumah tangga dan untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan istri,

(2) Gaya tarik yang masuk dan yang ke luar dari tali baja governor harus diuji untuk menentukan kesesuaian dengan A10.5. Jika penyetelan dilakukan atas governor maka harus

Untuk memastikan dosis paparan radiasi yang diterima pekerja minimal, kami menyediakan desain radiologi diagnostik dan intervensional yang memenuhi standar sesuai peraturan

Konsultasi ke dokter “Biasa aja karena kata dokter gitu jangan dipikirkan, selagi ada penyakit pasti ada obatnya, kalau memang belum ada, yang untuk sembuh