• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hukum serta Hak Waris Terhadap Anak atas Pembatalan Perkawinan dalam Perkara antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian

berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua

orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara

melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Ada berbagai cara

pandang dalam menyikapi dan memperlakukan anak yang terus

mengalami perkembangan seiring dengan semakin dihargainya hak-hak anak, termasuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

Seperti yang telah disebutkan dalam bab II bahwa syarat untuk melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Ini berarti bahwa jika

(2)

suatu perkawinan telah dilakukan menurut tata cara dan aturan serta kebiasaan yang ada, seperti pendeta atau pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya sehubungan dengan prosesi perkawinan (bagi yang non-muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat (Wahyu Ernaningsih, 2009: 8). Menurut agama Katolik pernikahan dipandang sah apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut (http://www.kaj.or.id/dokumen/kursus-persiapan-perkawinan-2/prosedur-perkawinan-katolik diakses tanggal 16/02/2016 pukul 11:46): 1. Bebas dari halangan-halangan kanonik. Yakni 12 (dua belas) point jenis

halangan, salah satunya adalah tidak seiman/seagama, sebagaimana yang sudah dirumuskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983.

2. Adanya konsensus atau kesepakatan nikah, yaitu kemauan pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Namun, Konsensus tersebut bisa cacat oleh faktor-faktor yang dapat merusaknya. 3. Dirayakan dalam forma kanonika, artinya perkawinan harus dirayakan

dihadapan tiga orang, yakni petugas resmi gereja sebagai peneguh, dan dua orang saksi.

Menurut agama Kristen Protestan, syarat-syarat perkawinannya adalah:

1. Masing-masing calon mempelai tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain.

2. Kedua mempelai beragama Kristen Protestan (agar perkawinan tersebut dapat diteguhkan dan diberkati).

3. Kedua calon mempelai harus sudah ”sidi” (sudah dewasa). 4. Harus dihadiri dua orang saksi.

5. Harus disaksikan oleh jemaat.Apabila dapat disimpulkan maka perkawinan menurut agama Kristen Protestan menghendaki perkawinan itu adalah perkawinan antara sesama umat agama Kristen Protestan.

(3)

Karena itulah agama Kristen Protestan melarang untuk berpoligami dan menikah dengan orang lain yang beragama lain.

Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jelas menegaskan dari segi materiil dan formil perkawinan. Aspek materiilnya adalah bertolak pangkal pada hukum agamanya sebagai penentuan keabsahan suatu perkawinan, aspek formil terletak pada ketentuan ayat (2) yang menyangkut pencatatan (Herlien Budiono, 2010: 9).

Perkawinan yang sah berdasarkan Pasal 82 Peraturan Pemerintahan Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Peristiwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana paling lambat 60 (enam puluh) hari dengan menyerahkan:

1. Surat perkawinan Penghayat Kepercayaan; 2. Fotokopi KTP;

3. Pas foto suami dan istri; 4. Akta kelahiran; dan

5. Paspor suami dan/atau istri bagi orang asing.

Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka pencatatan perkawinan baru dapat dilakukan. Perkawinan memiliki tujuan yang baik sesuai dengan ajaran agama yang dianut serta dengan mendaftarkan perkawinan tersebut pada kantor catatan sipil maka perkawinan akan sah dimata hukum karena mendapatkan akte perkawinan. Akte perkawinan tersebut akan mempunyai kekuatan hukum tetap dan untuk memudahkan suami-istri untuk melakukan aktifitas keperdataannya terutama dalam hal pengurusan akta kelahiran putra-putri.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara hakiki berbeda dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu dalam hal perkawinan yang sah, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

(4)

Perkawinan orang harus kawin di hadapan seorang fungsionaris keagamaan. Suatu perkawinan haruslah dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing karena suatu perkawinan didasarkan pada suatu keyakinan yang ada (Herlien Budiono, 2010: 11).

Aturan tata tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat adat atau para pemuka agama. Aturan tata tertib itu terus berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasan pemerintahan dan didalam suatu negara.

Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Budaya perkawinan di pengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat yang bersangkutan. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat tetapi juga dipengaruhi budaya perkawinan dari barat.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, berikut adalah beberapa pasal atau point yang dilanggar oleh Jessica Iskandar terkait dengan perkawinannya:

1. Bertentangan dengan Pasal 81 ayat (1) Peraturan Pemerintahan Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan karena perkawinannya tidak dilaksanakan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan.

2. Bertentangan dengan Pasal 82 huruf A Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Administrasi Kependudukan karena tidak didasarkan pada surat perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan yang sah. 3. Bertentangan dengan Pasal 66 huruf S Peraturan Gubernur DKI Jakarta

(5)

Jessica tidak menyertai dokumen yang menyatakan bahwa suaminya adalah warga negara asing.

4. Bertentangan dengan Pasal 83 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 dan Pasal 67 ayat (3) huruf (A) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 karena Ludwig tidak pernah menerima dan mengisi formulir pencatatan perkawinan.

5. Bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 karena Jessica tidak pernah memberitahukan rencana perkawinan kepada Penggugat.

6. Bertentangan dengan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal 83 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 Jo. Pasal 11 huruf A Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2010 karena Jessica dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak pernah melakukan penelitian, verifikasi dan validasi terhadap data-data perkawinan.

7. Bertentangan dengan Pasal 66 huruf I Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 93 Tahun 2012 karena pencatatan perkawinan oleh Jessica tidak dihadiri oleh dua orang saksi.

Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pengaturannya termuat dalam Bab IV Pasal 22 sampai dengan Pasal 28, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Bab VI Pasal 37 dan Pasal 38. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan:

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Kemudian, bila dilihat dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan:

“Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat

(6)

yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang aksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri”.

Perkawinan adalah suatu perbuatan yang sakral yang dilaksanakan atau dilakukan oleh dua orang yang berbeda jenis kelamin, yang memiliki tujuan untuk membina suatu keluarga yang kekal dan abadi. Perkawinan yang dilakukan hanya dengan agama yang diyakinin, tanpa melakukan pencatatan pada kantor catatan sipil tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap, apalagi jika tidak sah secara agama juga tidak sah secara hukum.

Demikian suatu perkawinan dapat dibatalkan, apabila perkawinan dilangsungkan oleh para pihak (suami dan isteri) atau salah satu pihak (suami atau isteri) terbukti tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Secara keperdataan perkawinan akan memberikan jaminan

perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang terkait dengan perkawinan, baik suami, isteri, anak maupun pihak ketiga. Perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum maka mempunyai akibat hukum dan akibat hukum itu dikehendaki oleh yang bertindak (CST. Kansil dan Christine ST. Kansil, 2011: 104).

1. Kedudukan Hukum Anak atas Pembatalan Perkawinan dalam

Perkara antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald

Keberadaan anak dalam hukum keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua meninggal, anak adalah lambang penerus dan lambang keadilan. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi

(7)

maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya (Wijayanto Setiawan, 2012: 202).

Dalam hukum perdata di Indonesia anak dibagi menjadi 2 (dua) yaitu anak sah dan anak tidak sah. Anak tidak sah dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu anak tidak sah yang bukan hasil perselingkuhan atau anak sumbang

dan anak hasil perselingkuhan atau anak zina

(http://www.jurnalhukum.com/kedudukan-anak/ diakses tanggal

27/04/2016 Pukul 10:40).

Namun menurut Ali Afandi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada tiga tingkatan status hukum (Ali Afandi, 2000: 40): a. Anak yang Lahir dalam atau Sebagai Akibat Perkawinan yang Sah

Merupakan anak yang lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang mengikuti prosedur Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Kedudukan anak yang sah dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan berikut ini, yaitu:

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945, pada Pasal 28 huruf B ayat (1), yaitu: "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah";

2) Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu: "Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah";

3) Pasal 2 ayat (1) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu";

(8)

4) Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".

b. Anak yang Lahir di Luar Perkawinan dan diakui

Merupakan anak yang lahir di luar perkainan namun tetap diakui anak oleh seorang ayah dan/atau seorang ibu. Dalam hal ini antara si anak dan orang yang mengakui itu timbul pertalian kekeluargaan.

Pertalian kekeluargaan ini hanya mengikat orang yang mengakui anak itu saja. Jadinya keluarga lain dari orang yang mengakui itu, tidak terikat oleh pengakuan orang lain. Anak dari golongan ini, jika ayah dan ibunya kain, lalu anak tersebut menjadi anak sah.

c. Anak yang Lahir di Luar Perkawinan, tapi Tidak diakui

Merupakan anak yang menurut hukum tidak punya ayah dan tidak punya ibu. Hukum waris dari anak sah yang baru saja selesai dibicarakan. Terhadap anak di luar perkawinan yang tidak diakui, karena tidak mempunyai keluarga maka juga tidak ada ketentuan tentang hukum warisnya.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perkawinan tidak mengenal adanya anak yang lahir tanpa adanya perwinan.

Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori Pasal ini adalah (http://kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anak-di-luar-nikah-dalam-kompilasi-hukum-islam/ diakses tanggal 13 Februari 2016 pukul 13:39):

(9)

b. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.

c. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan kehamilan tetapi tidak di ingkari kelahirannya oleh suami.

Perkawinan antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald menurut Undang-Undang sangat jelas sudah melanggar peraturan agama dan juga peraturan hukum yang berlaku di Indonesia serta tudak adanya kesepakatan bersama antara kedua belah pihak, sehingga perkawinan tersebut tidah sah atau istilahnya tidak sah secara materiil dan tidak sah secara formil. Akibat hukum dari perkawinan yang tidak sah menurut Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah kedudukan hukum anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibu dan keluarga Ibu.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas memberikan pengertian tentang istilah “anak diluar perkawinan” tetapi hanya menjelaskan pengertian anak sah dan kedudukan anak diluar perkawinan. Dikarenakan istilah anak diluar perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak djelaskan secara rinci, maka dilihat dari Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu Peraturan Pemerintah namun sampai sekarang belum diundangkan oleh Pemerintah.

Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang sah itu menurut hukum masing-masing agamanya dan juga dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga perdebatan istilah

(10)

anak diluar perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah terjawab bahwa yang disebut anak diluar perkawinan itu adalah anak hasil dari pernikahan yang tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) maupun ayat (2), dengan kata lain meskipun anak tersebut sah secara agama namun tidak sah secara hukum tetap saja disebut anak diluar perkawinan.

Namun berdasarkan keputusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 memiliki pemahaman tersendiri terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, anak yang lahir di luar perkawinan disamakan

kedudukannya dengan anak yang lahir sah menurut Undang-Undang. Maksud dari keputusan tersebut adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya (Irma Devita Purnamasari, 2015: 115).

Menurut Chotib Rasyid pemahaman terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut adalah salah, terutama terhadap kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan”. Dalam kasus putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, istilah “di luar

perkawinan” sangat berbeda maknanya dengan istilah “tanpa

perkawinan”. Pada kasus putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa perkawinan Hj. Aisyah Mochta alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim adalah sah secara agama namun tidak sah secara hukum. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaannya tapi tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil, yang merupakan anak sah secara materiil tapi tidak sah secara formil. Sedangkan anak yang dilahirkan tanpa perkawinan

(11)

orang tuanya atau anak yang dilahirkan dari hubungan antara lelaki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan merupakan anak yang tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil dan merupakan anak zina. Jadi yang melatarbelakangi putusan ini adalah tentang ”pencatatan perkawinan”, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak bisa dihubungkan dengan perzinahan atau akibat dari perzinahan (Chotib Rasyid, 2012: 8).

Pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat akibat dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi sehingga membuat Mahkamah Konstitusi menjelaskan pertimbangan putusannya yang menyangkut permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan, sebagai berikut (Erlina, 2012: 42-43):

a. Secara alamiah, tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual maupun cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut.

b. Mahkamah Konstitusi juga menegaskan hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/ administrasi

(12)

perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak, maka yang dirugikan adalah anak yang yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.

Negara dan pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab, ini terlihat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,yang menyebutkan bahwa:

“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertangung jawab menghormati menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental”.

Selanjutnya Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa: “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”.

Maksud dari Pasal tersebut adalah semua anak berhak untuk mengetahui identitas kedua orang tuanya. Dari bunyi pasal di atas tentu Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

(13)

Perlindungan Anak yang wajib melindungi anak tanpa memandang status anak baik itu anak sah maupun anak luar kawin (Irma Devita Purnamasari, 2012: 220). Dalam hal ini, hanya berlaku bagi status anak yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pernyataan dari Mahkamah Konstitusi sepanjang menyangkut Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak beralasan menurut hukum, adapun alasan putusan Mahkamah Konstitusi telah dijelaskan di paragraph sebelumnya. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat

(conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat

tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Sehingga Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” (Erlina, 2012: 43-44).

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang lahir tanpa perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya jika sang ibu tidak mengakuinya. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan tidak sah antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald adalah anak yang lahir tanpa perkawinan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

(14)

1974 tentang Perkawinan tersebut maka anak luar kawin otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Anak yang lahir tanpa perkawinan orang tua biologisnya dan tidak diakui sebagai anak oleh bapak atau ayah biologisnya tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, namun setelah diuji materiil menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya

(http://www.negarahukum.com/hukum/status-anak-di-luar-nikah-menurut-hukum-perkawinan-nasional-dan-hukum-islam.html diakses

tanggal 16/02/2016 pukul 13:35).

Suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya karena berzina dan pengadilan akan memberikan keputusan tentang sah tidaknya anak itu (Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Pertanyaan yang timbul adalah apakah kata ‘berzina’ atau ‘perzinaan’ dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu sama dengan pengertian berzina (overspel) dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dikaitkan dengan Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (asas monogami) ataukah berzina menurut pengertian hukum adat atau agama. Apabila Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu dikaitkan dengan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka yang diartikan berzina adalah berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagi perkawinan yang beragama Kristen atau orang-orang Cina yang akan diselesaikan pada Pengadilan Umum,

(15)

sedangkan bagi perkawinan yang beragama Hindu Budha, berzina diartikan menurut pengertian agama masing-masing dan diselesaikan pada pendeta atau Dewan Pandita masing-masing atau ke Pengadilan Umum, sedangkan bagi perkawinan menurut agama Islam yang diartikan berzina adalah berdasarkan Hukum Islam yang diselesaikan Pengadilan Agama (Hilmam Hadikusuma, 2007: 125).

Lain halnya apabila kita menengok peraturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pengertian anak luar nikah dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:

a) Anak luar nikah dalam arti luas adalah anak luar perkawinan karena perzinahan dan anak sumbang

Anak Zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah, antara laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat pernikahan dengan orang lain, sementara anak sumbang adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi.

Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya. Bila anak itu terpaksa disahkan pun tidak ada akibat hukumnya (Pasal 288 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Kedudukan anak itu menyedihkan. Namun pada prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan, karena biasanya hakikat zina dan sumbang itu hanya diketahui oleh pelaku zina itu sendiri.

b) Anak luar nikah dalam arti sempit adalah anak luar perkawinan yang tidak termasuk anak zinah dan anak sumbang

Anak yang lahir diluar perkawinan tapi bukan merupakan anak zina atau anak sumbang. Anak dalam arti sempit ini dilahirkan sebelum berlangsungnya perkawinan kedua orangtuanya, dan sebelum

(16)

hari 180 (seratus delapan puluh) dalam perkawinan kedua orangtuanya keabsahannya dapat diingkari oleh ayahnya.

Status sebagai anak yang dilahirkan di luar pernikahan merupakan suatu masalah bagi anak luar nikah tersebut, karena mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya seperti anak sah karena secara hukumnya mereka hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak luar nikah tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban ayahnya, karena ketidak-absahan pada anak luar nikah tersebut. Konsekuensinya adalah laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah tidak memiliki kewajiban memberikan hak anak tidak sah. Sebaliknya anak itupun tidak bisa menuntut ayahnya untuk memenuhi kewajibanya yang dipandang menjadi hak anak bila statusnya sebagai anak tidak sah. Hak anak dari kewajiban ayahnya yang merupakan hubungan keperdataan itu, biasanya bersifat material.

Anak luar nikah dapat memperoleh hubungan perdata dengan bapaknya, yaitu dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar nikah. Pasal 280 sampai Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa dengan pengakuan terhadap anak di luar nikah, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya. Pengakuan terhadap anak di luar nikah dapat dilakukan dengan suatu akta otentik, bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan pernikahan. Pengakuan demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari penandatanganan. Pengakuan itu harus dicantumkan pada margin akta kelahirannya, bila akta itu ada. Bila pengakuan anak itu dilakukan dengan akta otentik lain, tiap-tiap orang yang berkepentingan berhak minta agar hal itu dicantumkan pada margin akta kelahirannya. Bagaimanapun kelalaian mencatatkan pengakuan pada

(17)

margin akta kelahiran itu tidak boleh dipergunakan untuk membantah kedudukan yang telah diperoleh anak yang diakui itu.

Meskipun berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan bahwa ketentuan yang lama dalam hal perkawinan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie

Christen Indonesia 1933 Nomor 74), Peraturan Perkawinan Campuran

(Regelingop gemeng de Huwelijken S. 1989 Nomor 158, dan

peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku, namun peraturan tentang kedudukan anak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa akan diatur lebih lanjut di Peraturan Pemerintah dan samapi saat ini Pemerintah belum mengundangkannya maka diberlakukanlah ketentuan yang lama yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pengakuan kedudukan hukum anak diluar perkawinan menurut Undang-Undang yang disempurnakan dengan putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan pengakuan kedudukan anak diluar perkawinan menurut Kitab Undang Hukum Perdata. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pengakuan anak diluar perkawinan dapat

dilakukan dengan cara

(http://www.jimlyschool.com/read/analisis/256/putusan-mahkamah-konstitusi-tentang-status-anak-luar-kawin/ Diakses tanggal 11/02/2016 pukul 23:02):

a. Pengakuan sukarela

Suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan Undang-Undang, bahwa ia adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan. Dengan adanya pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan si

(18)

bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

1) Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal 281 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pengakuan dilakukan pada saat pembuatan akta perkawinan dari laki-laki dan perempuan yang membenihkannya, yang berarti anak itu sekaligus pada saat itu telah disahkan (wettiging) pula

2) Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) Jo Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi seorang anak sah.

3) Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta otentik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

4) Dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Pengakuan Paksaan

Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapaknya kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(19)

Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang).

Suatu pengakuan secara sukarela atas anak luar kawin tidak dapat

dibatalkan apabila pengakuan tersebut dilakukan

(https://hukumperdataunhas.wordpress.com/2013/06/17/kedudukan-hukum-anak-luar-kawin/ diakses tanggal 13/02/2016 pukul 16:37): a. Karena akibat paksaan atau salah paham atau tertipu;

b. Oleh seorang anak yang masih dibawah umur akibat suatu bujukan; c. Oleh seorang anak yang masih berumur 18 tahun dan belum kawin

kecuali diakui pada saat dilangsungkannya perkawinannya.

d. Tanpa persetujuan dari ibu anak yang akan diakui sedangkan ibu tersebut masih hidup.

e. Oleh seorang lelaki yang berada dibawah pengampuan. Pengakuan seorang anak luar kawin dapat dilakukan pada: a. Akta kelahiran sang anak yang akan diakui;

b. Akta autentik yang khusus dibuat untuk itu dihadapan dan oleh notaris; c. Akta autentik yang dibuat oleh pejabat catatan sipil dan dibukukan

dalam daftar catatan sipil sesuai dengan tanggal kelahiran anak.

Setelah mendapatkan pengakuan dari pengadilan yang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah disempurnakan dengan putusan Mahkamah Konstitusi serta menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, prosedur pengakuan anak diluar nikah dan syarat-syarat dokumen dalam pembuatan akta pengakuan anak dimana telah disebutkan dalam bab II haruse segara dilaporkan.

Setelah Putusan Mahkamah Nomor 46/PUU-VIII/2010 maka akan terlihat dampak yuridis terhadap akta kelahiran bagi anak di luar kawin. Jika sebelumnya pencantuman nama ayah dalam akta kelahiran anak di

(20)

luar kawin hanya semata-mata didasarkan atau digantungkan pada niat sang ayah untuk mengakui anak luar kawinnya sehingga barulah terjadi hubungan perdata, maka setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 pencantuman nama ayah terhadap anak luar kawin tidak hanya didasarkan atau digantungkan pada niat sang ayah untuk mengakui atau tidak mengakui anak luar kawinnya, akan tetapi juga dapat dilakukan oleh ibu atau bahkan anaknya sendiri ketika dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain bahwa anak tersebut adalah benar anak sang ayah (I Made Surya Dana, 2014: 13-14).

Dengan tercantumnya nama ayah biologis anak luar kawin dalam akta kelahirannya, maka anak diluar kawin akan memiliki bukti yang otentik yang memperkuat bahwa si anak memiliki hubungan keperdataan dengan si ayah sehingga anak akan memiliki hak waris dari sang ayah.

Selain dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap akta kelahiran anak luar kawin yang telah diuraikan diatas tersebut, tentu akta kelahiran yang telah mencantumkan nama ayah biologisnya akan berpengaruh terhadap hubungan keperdataan ayah dan anak luar kawin yang juga menyangkut pengaruhnya terhadap tanggung jawab mengenai hak dan kewajiban secara timbal balik antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya.

Anak luar kawin yang tidak diakui sah oleh ayah biologisnya bila kelak Ia akan melakukan perkawinan, Ia harus mendapatkan persetujuan dari wali atau wali pengawasannya, bila tidak diberikan maka Ia dapat mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan Negeri atau PN (Pasal 40 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Namun bila Anak luar kawin tersebut diakui oleh bapak biologisnya maka pada pokoknya berlaku ketentuan-ketentuan yang sama dengan anak yang sah walaupun tidak seluruhnya sama. Bila kelak sang anak

(21)

akan melakukan perkawinan, Ia akan diakui untuk mendapat persetujuan dari ayah dan ibu yang mengakuinya untuk melangsungkan perkawinan, jika salah seorang meninggal dunia atau tidak dapat menyatakan kehendaknya maka yang diperlukan hanyalah persetujuan dari pihak yang lain yang masih hidup (Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akan berimplikasi pada semakin maraknya perbuatan zina. Putusan tersebut pasti akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat, putusan tersebut akan membuat para wanita tidak takut melakukan zina dan menjadi hamil karena perbuatan tersebut, sebab apabila hal itu terjadi, maka laki-laki yang merupakan bapak biologis dari anak yang dikandungnya secara yuridis formal hampir dipastikan memiliki hubungan perdata dengan anak hasil perzinahan mereka. Mengenai hal tersebut, Mahfud MD dalam satu kesempatan wawancara tidak membenarkan pandangan tersebut. Beliau berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan justru bermaksud menghindari semakin meluasnya perzinahan, semangat yang digunakan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara tersebut adalah semangat menghindari perzinahan. Dengan adanya putusan tersebut, maka laki-laki tentunya akan menjadi takut untuk melakukan perbuatan zina, sebab dapat dituntut tanggungjawab secara hukum (Prianter Jaya Hairi, 2012: 3-4).

Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada, Abdul Gofur, berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadikan status anak luar nikah mendekati model pengaturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Sebagaimana diketahui, Pasal 5a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa anak yang

(22)

sah juga anak tak sah yang diakui oleh ayahnya, maka menyandang nama keturunan ayahnya, sedangkan anak yang tidak diakui oleh ayahnya,

menyandang nama keturunan ibunya

(http://www.dakwatuna.com/#axzz43wNnzhyP diakses tanggal

21/03/2016 pukul 09:06).

Abdul Gofur juga menyampaikan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi yang berimplikasi pada hubungan perdata dengan ayah biologisnya merupakan penguatan terhadap yurisprudensi yang telah ada. Pada Tahun 1996, Pengadilan Sleman pernah memutuskan berdasarkan asas maslahih mursalah (Kepentingan Umum), bahwa seorang anak tetap memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya.

Lebih lanjut, Abdul Gofur mengatakan, berdasarkan fiqih pernah ada satu ahli fikih yang bernama Ishaq bin Rahawaih yang membuka kemungkinan seorang anak di luar nikah diakui sebagai anak dari seorang laki-laki melalui istilaq atau deklarasi pengakuan anak. Namun pendapat ini tidak mendapat tempat di kalangan ulama karena dinilai mengafirmasi kemerosotan moral.

Menurut Imelda Herawati Dewi Prihatin, S.H., M.H. Wakil Ketua Hakim Pengadilan Negeri Batulicin Kalimantan Timur, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dapat membantu melindungi hak anak untuk mengenal kedua orangtuanya dan juga melindungi wanita sebagai korban. Putusan tersebut mempermudah untuk memastikan kedudukan hukum anak diluar perkawinan, namun dalam suatu kasus apabila tidak ada pihak yang mengajukan permasalahan tersebut ke pengadilan meskipun ayah biologis anak tersebut mengakui bahwa Ia adalah ayah biologisnya, tetap kedudukan hukum anak tersebut hanya ada hubungan perdata dengan ibunya, namun bila ada pihak yang mengajukan ke pengadilan walaupun tidak ada hubungan perkawinan antara ayah dan ibunya dan sang ayah biologis mengakui serta mau melakukan tes DNA

(23)

(Deoxyribo Nucleic Acid), berdasarkan hasil dari tes DNA itulah hakim memutuskan anak tersebut memiliki hubungan perdata dengan ayahnya atau tidak. Dalam kasus Jessica Iskandar, putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan mengabulkan gugatan permohonan pembatalan

perkawinan dari Ludwig Franz Willibald namun pihak Jessica Iskandar mengujakan banding dan meminta Ludwig untuk melakukan tes DNA dan sebelumnya memang Ludwig Franz Willibald sudah mengakui kalau anak Jessica Iskandar tersebut adalah anak hasil hubungannya dengan Jessica Iskandar.

Menurut pendapat saya, keputusan Mahkamah Konstitusi tidak sesuai dengan asas peradilan hukum acara perdata, yaitu asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Karena dalam kasus pembatalan perkawinan antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald tersebut pihak laki-laki sudah mengakui bahwa anak tersebut adalah hasil hubungannya dengan Jessica Iskandar, namun mengapa masih harus dilakukan tes DNA yang mana tes DNA tersebut memerlukan biaya yang mahal, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi tidak sesuai dengan asas peradilan hukum acara perdata. Seharusnya dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut apabila pihak laki-laki sudah mengakui bahwa anak tersebut adalah anaknya cukup dibuktikan secara tertulis dengan akta notarial atau pengakuan dihadapan pengadilan, namun apabila pihak laki-laki tidak mau mengakui bahwa anak tersebut adalah anaknya maka tes DNA adalah jalan satu-satunya untuk membuktikan kebenarannya.

2. Hak Waris Anak atas Pembatalan Perkawinan dalam Perkara antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald

Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang

(24)

mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan yang berwujud. Beberapa istilah tersebut beserta pengertiannya, sebagai berikut:

a. Waris ialah orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan orang yang telah meninggal).

b. Warisan berarti harta peninggalan, surat wasiat dan pusaka.

c. Pewaris yaitu orang yang memberi pusaka, yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah pusaka, harta kekayaan maupun surat wasiat.

d. Ahli waris adalah orang yang menjadi pewaris, berarti orang-orang yang berhak meneriam harta peninggalan dari si pewaris;

e. Mewarisi ialah mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris berhak mewarisi harta peninggalan pewarisnya.

f. Proses pewarisan, istilah proses pewarisan mempunya dua pengertian atau dua makna, yaitu:

1) Berarti penunjukan atau penerusan para waris ketika pewaris masih hidup.

2) Berarti pembagian harta warisan terjadi setelah pewaris meninggal.

Pewarisan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu (Soetojo

Prawirohamidjojo, 2000: 4):

a. Pewarisan berdasarkan undang-undang, juga disebut pewarisan

ab-intestato.

Ahli waris ini bersifat otomatis, maksudnya ketika pewaris meninggal dunia, maka anak-anak sahnya otomatis menjadi ahli waris tanpa melakukan suatu perbuatan hukum apapun. Ahli waris ini dapat pula menjadi ahli waris pengganti, yaitu ahli waris yang menggantikan ahli waris sebenarnya karena ahli waris yang sebenarnya ini telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris.

(25)

Pewaris dapat menentukan siapa saja yang akan diberikan hartanya, apakah diambil dari ahli waris abintestato kemudian dicantumkan dalam testament atau diambil dari orang lain yang bukan merupakan ahli warisnya. Selain menentukan siapakah ahli warisnya maka pewaris juga sekalian menetapkan berapa besar bagian ahli waris testamenter ini didalam wasiatnya. Akan tetapi apabila bagian yang ditentukan dalam wasiat oleh pewaris mengurangi bagian legitim dari ahli waris legitimaris maka bagaian dalam wasiat harus dikurangi. Ahli waris testementer ini tidak boleh bertindak sebagai ahli waris pengganti.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pewarisan berdasarkan undang-undang dibicarakan terlebih dahulu, baru kemudian pewarisan testamentair. Kalau dalam pewarisan testamentair yang ditonjolkan adalah kehendak dari pewaris, maka pewarisan ab-intestato

berdasarkan sebagai alasan, sebab yang ada yang bersifat mengatur (melengkapi), tetapi ada juga yang bersifat memaksa (dwingend).

Pada Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai Harta Bersama, namun juga memiliki kaitan dengan masalah warisan walaupun tidak terlalu spesifik. Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berisi bahwa harta selama perkawinan itu menjadi harta bersama, dan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta yang masing-masing individu adalah sebagai hadiah atau warisan yang berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Ini artinya, bahwa:

a. Selama masa perkawinan ayah dan ibu, sekalipun hanya ayah saja yang bekerja mencari nafkah dan mengumpulkan harta, maka Ibu-pun berhak atas setengahnya dari harta perolehan ayah tersebut, begitu pula sebaliknya.

(26)

b. Dan jika mau dibagi warisan dari ayah, maka yang dimaksud dengan warisan ayah di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini, adalah setengah (1/2) dari seluruh harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan ayah dan ibu, ditambah:

1) Harta bawaan ayah (jika ada). Ini adalah harta yang diperoleh beliau sebelum masa pernikahan dengan Ibu.

2) Juga bisa jadi ayah memperoleh hadiah dari seseorang, dari keluarganya atau lembaga, maka itu juga bisa dimasukkan ke dalam harta warisan ayah.

3) Satu lagi adalah warisan yang diperoleh ayah dari pihak keluarganya, maka harta warisan tersebut dimasukkan kedalam kelompok harta warisan ayah, yang akan dibagikan kepada semua ahli warisnya. Namun dalam hal kasus Jessica Iskandar ini, menurut Ludwig tidak ada perkawinan antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald namun akta perkawinan telah terbit dan anaknya pun merupakan anak yang lahir tanpa perkawinan, pada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (tidak dibedakan mengenai anak zina dan anak luar kawin). Yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanyalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Oleh karena adanya hubungan perdata dengan ibunya, maka anak yang lahir setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bisa mendapatkan warisan dari ibunya.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga pasal tersebut harus dibaca:

(27)

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Melihat pada putusan tersebut, ini berarti anak yang dilahirkan di luar perkawinan (tidak dibedakan antara anak zina dengan anak luar kawin, seperti pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dapat memiliki hubungan perdata dengan ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga anak tersebut juga berhak mendapatkan warisan dari ayah biologisnya.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai status anak yang lahir di luar nikah tersebut dapat membuat sebagian orang bergembira, terlebih bagi para ibu yang mengalaminya. Namun, putusan ini dianggap menimbulkan persoalan baru, terutama terkait pembagian harta ayah kepada anak tersebut.

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, HM Nurul Irfan, berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memang mengarah ke pembagian harta ayah kepada anak di luar nikah. Tapi, pembagian harta tersebut tidak bisa diimplementasikan sebagai warisan menurut konsep dasar hukum Islam, yaitu anak laki-laki

mendapat harta dua kali lipat ketimbang anak perempuan

(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f41e31435676/putusan-mk-berpengaruh-pada-hukum-waris- diakses tanggal 25/02/2016 pukul 13:07).

Sebab, warisan menurut konsep dasar hukum Islam memiliki syarat seperti adanya nasab atau hubungan sah menurut pernikahan. Nasab sendiri adalah keturunan darah atau hubungan-hubungan kekerabatan di dalam Islam melalui pernikahan yang sah.

(28)

Apabila akan disinkronisasi dengan konsep dasar hukum Islam istilah waris tidaklah tepat. Syarat waris adalah harus ada hubungan kekerabatan yang sah, apabila kedudukan anak tersebut tidak sah atau merupakan anak diluar perkawinan (menurut hukum), jadi perolehan haknya bukan dengan istilah waris, melainkan seperti hibah, sedekah dan/ atau istilah lainnya.

Mengenai pewarisan terhadap anak luar kawin yang diakui berdasarkan Pasal 863 sampai dengan Pasal 866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah (Ali Afandi, 2000: 41):

a. Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewarisi 1/3 bagian dari bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak yang sah (Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

b. Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas (ibu, bapak, nenek, dst.) atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunannya, maka anak-anak yang diakui tersebut mewaris 1/2 dari warisan. Namun, jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka anak-anak yang diakui tersebut mendapat 3/4 (Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

c. Bagian anak luar kawin harus diberikan lebih dahulu. Kemudian sisanya baru dibagi-bagi antara para waris yang sah (Pasal 864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

d. Jika yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka mereka memperoleh seluruh warisan (Pasal 865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

e. Jika anak luar kawin itu meninggal dahulu, maka Ia dapat digantikan anak-anaknya (yang sah) (Pasal 866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

(29)

Pasal 863 sampai Pasal 866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membahas mengenai hak waris aktif dari anak-anak luar perkawinan yang sepenuhnya haknya sama dengan hak dari keluarga sedara yang sah, demikian juga dengan saudara sedara luar kawin yang merupakan waris yang sesungguhnya.

Jadi, sesuai pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, waris mewaris hanya berlaku bagi anak luar kawin yang diakui oleh ayah dan/atau ibunya. Tanpa pengakuan dari ayah dan/atau ibu, anak luar kawin tidak mempunyai hak mewaris.

Anak yang lahir diluar perkawinan orang tua biologisnya tersebut diakui sebagai anak oleh bapak atau ayah biologisnya. Akibat dari pengakuan sebagai anak oleh bapak biologisnya, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan bapak yang mengakuinya. Anak luar kawin ini mempunyai hubungan perdata dengan bapak yang mengakuinya. Konsekuensi dari mempunyai hubungan perdata ini adalah bahwa anak luar kawin yang diakui sah ini dapat menjadi ahli waris dari bapak yang mengakuinya, meskipun bagiannya lebih sedikit dari anak sah. Akan tetapi jika pembagian harta warisan anak luar kawin ini dilakukan pada saat bapak biologisnya terikat perkawinan dengan perempuan lain (istrinya yang sah pada saat pewarisan) maka anak luar kawin ini bukan

merupakan ahli waris dari bapak biologisnya kecuali

(https://hukumperdataunhas.wordpress.com/2013/06/17/kedudukan-hukum-anak-luar-kawin/ diakses tanggal 25/02/2016 pukul 13:36):

a. Pengakuan tersebut dilakukan pada saat bapak biologisnya belum terikat perkawinan, atau

b. Perkawinan tersebut tidak mempunyai keturunan dan pasangan hidupnya juga sudah bukan merupakan ahli waris disebabkan karena telah meninggal atau bercerai.

(30)

Anak luar kawin yang diakui sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan bapak yang mengakuinya sedangkan terhadap keluarga bapaknya tidak mempunyai hubungan perdata. Oleh karena itulah maka anak luar kawin yang diakui sah ini tidak bisa menjadi ahli waris pengganti, kecuali pengakuan yang dilakukan oleh bapak tersebut telah disetujui oleh sanak keluarga. Ayah yang telah mengakui sah anaknya dapat mengajukan permohonan kepada hakim agar perwalian dari anak yang diakuinya itu diserahkan kepada dirinya dan Ia berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak tersebut tanpa menghiraukan apakah Ia yang menjalankan perwalian atau tidak.

Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 anak-anak yang lahir di luar perkawinan tidak ditolak hak-haknya pada hukum tertentu, seperti warisan dan hak mendapat kebutuhan hidup dari ayah biologisnya, meskipun dalam putusan tersebut hak Ibu tidak dibicarakan, tapi setidaknya putusan tersebut memberikan kemudahan bagi Ibu untuk membuat akta kelahiran bagi anak yang terlahir diluar perkawinan tersebut (Steven L. Nock, 2005: 15).

B. Pembagian Harta Kekayaan atas Pembatalan Perkawinan dalam Perkara antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald

Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membuat kedudukan suami isteri lebih diperhatikan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini, hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Begitu juga mengenai kewajiban-kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya. Dimana dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini ditekankan orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(31)

Mengenai saat dimulainya pembatalan perkawinan beserta akibat hukum yang ditimbulkan dengan adanya pembatalan perkawinan oleh Pengadilan Agama ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnyaperkawinan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka perkawinan yang dibatalkan oleh Pengadilan Negeri dimulai sejak Keputusan Pengadilan dan berlaku surut sejak saat pekawinan tersebut dilangsungkan, artinya perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada.

Apabila dalam perkawinan terjadi pemutusan maka menurut Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa putusnya perkawinan tersebut tidak berlaku surut terhadap: 1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;

3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam uraian tersebut sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Setiap perbuatan hukum pasti akan menimbulkan akibat hukum. Demikian halnya dengan perkawinan, perkawinan merupakan perjanjian perikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan syarat pekawinan tersebut sah secara hukum dalam arti perkawinan tersebut dilangsungkan dengan memenuhi secara sempurna syarat-syarat perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Indonesia, karena hanya dengan perkawinan yang sah saja maka akan membawa akibat hukum yang baik dimata hukum dan masyarakat.

(32)

Lain halnya apabila perkawian antara seorang pria dengan seorang wanita dilakukan dengan tidak mengindahkan syarat-syarat perkawinan yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Oleh karena itu terhadap pihak-pihak yang mengetahui adanya hal-hal yang menyebabkan perkawinan itu tidak sah secara hukum, maka seharusnya segera mengajukan permohonan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama.

Setelah perkara pembatalan perkawinan sudah melalui seluruh tahapan pemeriksaan dan putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap maka perkawinan tersebut batal sejak saat perkawinan tersebut berlangsung, dengan demikian perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.

Mengenai akibat hukum terhadap putusan pembatalan perkawinan mencakup 3 (tiga) masalah penting:

1. Timbulnya hubungan antara suami-istri; 2. Timbul hubungan antara orang tua dan anak;

3. Timbul akibat hukum terhadap harta benda dalam perkawinan.

Membahas tentang harta dalam perkawinan, harta bersama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pengaturannya termuat dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan:

“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Pembagian harta kekayaan atau pembagian harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami istri yang diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan dimana keduanya bekerja untuk kepentingan hidup berumahtangga (Wasmandan Wardah Nuroniyah, 2011: 218). Istilah Harta gono-gini yang sebenarnya digunakan secara resmi dan legal-formal dalam peraturan perundang-undangan di tanah air, baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum

(33)

Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah harta bersama. Hanya, istilah gono-gini lebih popular dibandingkan dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa hukum konvensional. Pembagian harta tersebut diatur dalam Pasal 36 yang terbagi dalam tiga bentuk yaitu:

1. Harta Bersama (Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)

Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh sesudah suami-istri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga baik suami maupun istri punya hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak

Bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, maka menurut Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum yang berlaku sebelumnya bagi suami istri, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata misalnya).

Ketentuan semacam ini kemungkinan akan mengaburkan arti penguasaan harta bersama yang diperoleh suami-istri selama dalam perkawinan. Karena ada kecenderungan pembagiannya tidak sama, dikarenakan dominasi dan stereotipe bahwa suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istri. Yang berarti akan mengecilkan hak istri atas harta bersama. Untuk menghindari hal tersebut, beberapa pasangan suami istri memilih melakukan pemisahan harta dalam perkawinan yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan ini dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat secara tertulis oleh kedua calon pengantin atas persetujuan bersama (Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Kompilasi Hukum Islam-pun juga memungkinkan untuk dilakukan

(34)

pemisahan kekayaan dalam Perjanjian Perkawinan (Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam).

2. Harta Bawaan (Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)

Harta benda yang telah dimiliki masing-masing suami-istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari warisan, hibah, atau usaha mereka sendiri-sendiri. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Artinya, seorang istri atau suami berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya masing-masing. Tetapi bila suami istri menentukan lain yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila terjadi putusnya perkawinan, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Untuk itu penyimpanan surat-surat berharga sangat penting disini.

3. Harta Perolehan

Harta masing-masing suami-istri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan. Harta ini diperoleh bukan dari usaha mereka baik seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan masing-masing. Pada dasarnya penguasaan harta perolehan ini sama seperti harta bawaan, yakni suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta perolehannya.

Asas hukum harta perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengacu pada asas hukum harta perkawinan menurut Hukum Adat, yang juga mengenal harta bersama yang disebut harta gomo-gini dan harta asal (Wiratni Ahmadi, 2008: 383).

Tentang akibat hukum terhadap harta bersama setelah adanya putusan pengadilan yang dapat membatalkan perkawinan dapat diketahui dari Pasal 28

(35)

ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari Pasal 28 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat ditafsirkan bahwa terhadap suami istri yang bertindak dengan niat baik dalam arti diantara suami istri tidak ada unsur kesengajaan sebelumnya untuk melangsungkan perkawinan dengan melanggar hukum yang berlaku, sehingga walaupun perkawinan telah dibatalkan oleh pengadilan karena tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan maka tetap ada pembagian harta bersama diantara suami istri. Dikarenakan keputusan pengadilan tidak berlaku surut dalam arti keputusan pengadilan yang membatalkan perkawinan berlaku saat keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (sama dengan saat berlakunya putusan perceraian). Dengan demikian walaupun perkawinan itu tidak sah namun karena perkawinan ini dilakukan dengan itikad baik, maka diberi perkecualian dalam hal harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, yakni setelah perkawinan dibatalkan masing-masing mantan suami dan mantan istri tetap memperoleh harta bersama.

Penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memberikan suatu ketegasan terhadap maksud dari perkataan “hukum lainnya”, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W.) bagi pengaturan harta bersama orang-orang golongan Timur Asing Tionghoa, golongan Eropa, dan orang-orang yang dipersamakan dengan mereka yang berada di Indonesia.

Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat calon suami dan isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan (R. Soetojo Prawirohamidjojo, 2000: 73):

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian kawin yang disahkan

(36)

oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan Perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Terdapat perbedaan antara perjanjian perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan perjanjian perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain sebagai berikut (Erlando Parsaoran Siburian, 2015: 89-90):

1. Dari sisi subyek perjanjian dalam pembuatan perjanjian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah dibuat oleh kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan, yaitu calon suami isteri. Tidak ada ketentuan bahwa calon suami isteri yang akan membuat perjanjian kawin harus meminta bantuan dari orang lain (orang tua atau wali), sedangkan dalam ketentuan perjanjian kawin menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditentukan jika para pihak yang akan melangsungkan suatu perkawinan ternyata belum dewasa maka pembuatan perjanjian perkawinan dilakukan dengan bantuan orang tua atau walinya. 2. Dari sisi formil dan tata cara pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak diwajibkan harus dibuat dengan akta notaris, tetapi hanya ditentukan bahwa perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan tersebut dapat dibuat dengan akta dibawah tangan bukan dengan akta otentik atau akta notaris sebagaimana berlaku pada perjanjian perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(37)

3. Dari tata cara pembuatan perjanjian perkawinan, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu perkawinan dilangsungkan atau sebelum perkawinan dilangsungkan, hal ini berbeda dengan pembuatan perjanjian perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan yang kemudian disusul dengan pelaksanaan perkawinan segera setelah perjanjian dibuat.

4. Perjanjian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada asasnya tidak dapat diubah kecuali jika kedua belah pihak bersepakat untuk mengubah dengan catatan tidak boleh merugikan pihak ketiga, sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perjanjian perkawinan tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung, karena hal ini untuk menjaga keutuhan bentuk dan macam harta kekayaan selama perkawinan yang tidak boleh berubah atau diubah meski disepakati oleh kedua belah pihak.

5. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak disebutkan macam atau bentuk perjanjian perkawinan yang dapat dibuat oleh calon suami isteri sebelum melangsungkan perkawinan dan juga tidak menjelaskan fungsi dan tujuan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut. Bahwa pembuatan perjanjian perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah untuk menyimpangi terjadinya persatuan harta secara bulat, di mana calon suami isteri dapat menentukan sendiri pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan dengan memilih bentuk atau macam pengaturan.

Pada dasarnya ada bermacam-macam sistem hukum harta kekayaan perkawinan, hal ini karena tiap-tiap sistem hukum mempunyai peraturan-peraturannya sendiri yang mengatur mengenai harta benda suami istri. Hal tersebut sebagaimana diatur di dalam Hukum Adat, Hukum Islam, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sementara itu Undang-Undang Nomor 1

(38)

Tahun 1974 tentang Perkawinan yang juga mengatur mengenai harta benda perkawinan namun ketentuan tersebut belum diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya, menimbulkan persoalan dalam praktek apakah ketentuan harta benda perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah dapat diberlakukan (Hartini, dkk, 2013: 12).

Untuk mengatasi persoalan tersebut, seperti: harta benda perkawinan, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, serta perwalian, belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan sendirinya untuk hal-hal tersebut masih diperlakukan ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan lama.

Kata-kata masih diperlakukan ketentuan dan perundang-undangan yang lama dapat diartikan bahwa hukum harta perkawinan berdasarkan peraturan lama dapat dipergunakan sebagai peraturan pelaksanaan untuk melaksanakan hukum harta perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai peraturan pokok. Hukum dan perundang-undangan lama berarti hukum yang tidak tertulis dan hukum yang tertulis. Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kita mengenal beberapa undang-undang yang mengatur tentang perkawinan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W.), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Staatsblad 1933 Nomor 74, dan Peraturan Perkawinan Campuran Staatsblad 1898 Nomor 158. Menurut Mahkamah Agung, peraturan itu masih berlaku, khusus untuk hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentu saja terbatas pada golongan-golongan yang sediakala berlaku baginya, khusus dalam hal perjanjian perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku bagi orangorang Tionghoa, HOCI untuk orang-orang Indonesia Kristen di Jawa dan Madura, di sebagian Residen Manado yang dikenal dengan nama Minahasa,

(39)

onderafdeling-onderafdeling Ambon, Saparua dan Banda, tanpa pulau-pulau Teun, Nila dan serupa di Afdeling Ambon di Keresidenan Maluku (Erlando Parsaoran Siburian, 2015: 91-92).

Uraian diatas dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi pengecualian terhadap suami istri yang perkawinannya dibatalkan oleh Pengadilan karena dalam melangsungkan perkawinan suami istri bertindak dengan niat baik. Namun, dalam perkawinan antara Jessica dengan Ludwig tidak ada itikad baik dari salah satu pihak untuk melangsungkan perkawinan, dan dari awal perkawinan mereka tidak ada perjanjian perkawinan yang membahas mengenai harta kekayaan bersama, serta mereka tidak pernah hidup bersama meski akta perkawinan telah diterbitkan dan telah dikaruniai seorang anak. Sehingga, dari kelajutan isi Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa terhadap perkawinan yang dibatalkan antara Jessica Iskandar dengan Ludwig tidak akan ada pembagian harta bersama, yang ada hanya harta bawaan dan harta perolehan dari masing-masing pihak berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Referensi

Dokumen terkait

4.1.2 Aspek Sosial pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karyaa. Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya Kota Makassar

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang didapatkan bahwa mikroalbuminuria biasanya terjadi setelah 5 tahun menderita penyakit Diabetes tipe 1 sedangkan

untuk upload file sendiri mengguanakan perintah PUT sebagai contoh ftp>put deden.jpg maka akan langsung file tersebut di upload dari komputer kita ke server. atau anda juga

Dan pengertian algoritma menurut Rinaldi (2007:4) adalah urutan langkah-langkah untuk memecahkan masalah. Sedangakan algoritma menurut Levitin [dikutip Rinaldi,

Lathan Kepemimpinan Tingkat Dasar (LKTD) merupakan salah satu bentuk pelatihan di lingkup kampus Unika yang bertujuan untuk memunculkan potensi yang ada dalam

Menguasai pengetahuan operasional dasar perangkat kerja animasi, prinsip-prinsip serta konsep umum yang terkait dengan proses produksi animasi, sehingga mampu melaksanakan

Sebab hampir tidak ada guna menguasai informasi yang telah usang, padahal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat mengakibatkan usia informasi menjadi

Rataan bobot potong atau bobot akhir ternak kambing jantan yang diberi pakan hijauan dan asam lemak terproteksi 0 g/ekor, 200 g/ekor, 250 g/ekor dan 300 g/ekor dapat dilihat