II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Nanoteknologi
Kata nano berarti benda-benda yang berukuran sangat kecil dengan ukuran sepermiliar meter (10-9 m) (Winarno dan Fernandez 2010). Menurut Sekhon (2010),
nanoteknologi adalah teknologi yang melibatkan atom dan molekul dengan ukuran lebih kecil dari 100 nanometer, namun beberapa pakar mengusulkan pelebaran skala dari 100 nm menjadi 300 nm sehingga yang disebut nanoteknologi adalah benda yang ukuran materialnya kurang dari 300 nm (Winarno dan Fernandez 2010). Adapun Winarno dan Fernandez (2010) mendefinisikan nanoteknologi sebagai kegiatan yang meliputidesign,
produksi dan pemanfaatan struktur, peralatan sistem dan material dengan cara pengendalian ukuran dan bentuk material pada skala atom dan molekul.
Nanoteknologi dianggap sebagai sebuah evolusi dari ilmu pengetahuan karena memberikan banyak keuntungan dan kemudahan. Wacana nanoteknologi telah masuk ke Indonesia pada awal tahun 2000 dan telah banyak dikembangkan sejak 3 tahun ke belakang. Nanoteknologi telah banyak dikembangkan dalam berbagai macam industri termasuk industri pangan, dalam bidang pangan nanoteknologi bisa digunakan untuk pengembangan kemasan pangan, nanoenkapsulasi, nanoemulsi, nanopartikel dan sebagainya. Nanoteknologi yang diterapkan dalam proses pengolahan pangan disebut dengan nanofood (Winarno dan Fernandez 2010).Adapun aplikasi nanoteknologi dalam
kemasan pangan dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan aplikasi nanoteknologi pada bidang pangan lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Aplikasi nanoteknologi dalam pengemasan
Aplikasi Penjelasan
Nanocomposites Menggabungkan nanomaterial ke dalam kemasan untuk meningkatkan daya tahan, kemampuan menghalangi dan biodegradasi.
Nano-coatings Menggabungkan nanomaterial ke dalam permukaan kemasan khususnya untuk meningkatkan kemampuan menghalangi/melindungi makanan dari senyawa asing yang tidak diinginkan.
Surface Biocides Menggabungkan nanomaterial dan senyawa antimikroba ke dalam permukaan kemasan.
Active Packaging Menggabungkan nanomaterial, antimikroba, dan bahan lain (misalnya antioksidan) yang secara perlahan akan dilepaskan.
Intelligent Packaging Menggabungkan nanosensor untuk mengawasi dan melaporkan kondisi makanan.
Tabel 2. Aplikasi nanoteknologi dalam bidang pangan
No Sub-bidang Aplikasi
1 Pertanian • Molekul tunggal pendeteksi untuk menentukan
interaksi enzim dan substrat
• Nanokapsul untuk mengirimkan pestisida, pupuk, dan bahan lainnya agar lebih efisien • Nanochips untuk identitas pelestarian
• Nanosensor untuk deteksi hewan dan tanaman patogen
• Nanokapsul untuk mengirimkan vaksin
• Nanopartikel untuk mengirimkan DNA ke tanaman (target rekayasa genetika)
2 Pengolahan pangan
• Nanoenkapsulasi flavor
• Nanotube dan nanopartikel sebagai penggumpal
dan agen viskositas
• Nanoemulsi dan partikel untuk ketersediaan dan penyerapan nutrisi yang lebih baik
3 Suplemen • Tepung berukuran nano untuk meningkatkan
absors dari nutrisi
• Nanokristal selulosa sebagai pengangkut obat • Vitamin dalam bentuk spary yang
menyebarluaskan molekul dalam nanodroplet untuk penyerapan lebih baik.
Sumber : Winarno dan Fernandez (2010)
B.
Limbah Lignoselulosa
Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang tidak dipergunakan kembali dan merupakan hasil dari aktivitas manusia atau proses-proses alam yang mempunyai nilai ekonomi sangat rendah. Tongkol jagung, jerami, dedaunan, dan kulit kacang-kacangan merupakan limbah pertanian yang memiliki potensi tinggi untuk dimanfatkan kembali menjadi produk baru bernilai ekonomi tinggi karena keberadaannya yang melimpah di Indonesia. Limbah-limbah pertanian tersebut tergolong ke dalam limbah lignoselulosa. Limbah lignoselulosa adalah limbah yang mengandung selulosa, hemiselulola dan lignin (Richana dan Suarni 2004).
Penelitian tentang limbah lignoselulosa sudah cukup banyak dilakukan. Rata-rata limbah lignoselulosa tersebut diolah kembali menjadi bioetanol dengan teknologi BBN (Bahan Bakar Nabati) yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai biomassa baru (Sari dkk 2008) . Selain sebagai sumber biomassa, limbah lignoselulosa juga bisa dimanfaatkan
sangat prospektif untuk dikembangkan. Di luar negeri telah dilakukan beberapa penelitian yang mencoba memanfaatkan jerami (Kaushik dan Sigh 2011), sekam (Johar et al.2012),
dan kulit kacang kedelai(Alemdar dan Sain 2008) sebagai bahan baku untuk pembuatan nanoselulosa.
Jagung merupakan salah satu bahan makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia . Banyak daerah di Indonesia yang berbudaya mengkonsumsi jagung, antara lain Madura, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, dll. Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 17,39 ton pipilan kering (BPS 2011). Seiring dengan kebutuhan jagung yang cukup tinggi, maka akan bertambah pula limbah yang dihasilkan dari industri pangan dan pakan berbahan baku jagung.Tanaman jagung termasuk jenis tanaman pangan yang diketahui banyak mengandung serat kasar yang terdiri dari senyawa kompleks selulosa, hemiselulosa dan lignin. Komposisi kimia limbah jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Kimia Limbah Jagung
Komponen Tongkol Jagung
Air (%) 7.68
Serat (%) 38.99 (crude fiber) Selulosa (%) 19.49
Xilan (%) 12.4
Lignin (%) 9.1
Sumber : Richana dan Suarni (2004)
C.
Selulosa
Selulosa merupakan polisakarida yang kandungannya paling tinggi dalam dinding sel tanaman. Struktur kimia selulosa berupa rantai yang tidak bercabang dan tersusun atas satuan β-D-gluko-piranosa dengan ikatan glikosida 1,4. Analisis sinar-X membuktikan bahwa selulosa berupa rantai-rantai panjang sejajar yang terikat menjadi satu oleh ikatan hidrogen. Hal ini yang menyebabkan selulosa berbentuk serat-serat panjang (Sumardjo 2009). Struktur kimia selulosa terdiri dari unsur C, O, H yang membentuk rumus molekul (C6H10O5)n.
Selulosa yang terdiri dari ribuan unit glukosa dapat saling terhubung dan membentuk struktur kristal yang dihubungkan dengan ikatan hidrogen sehingga memiliki kekuatan tarik yang tinggi. Satu fibril selulosa pada dinding sel tanaman memiliki ukuran diameter 2-20 nm dan panjangnya 100-400 nm (Akin 2010). Satu fibril selulosa saling berikatan membentuk mikrofibril dan kemudian membentuk serat, ilustrasi susunan komponen dinding sel tanaman dapat dilihat pada Gambar 1. Reaktivitas dan sifat selulosa sangat dipengaruhi oleh gugus hidroksilnya (OH), gugus -OH tersebut dapat berinteraksi dengan gugus –S, O, dan –N membentuk ikatan hidrogen. Adapun gugus -OH pada selulosa juga dapat berikatan dengan gugus –H pada air sehingga membuat selulosa bersifat hidrofilik(Plaket 2011).
Selulosa terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu α-selulosa, β-selulosa, dan γ-selulosa berdasarkan derajat polimerisasi dan kelarutannya dalam larutan NaOH. α-selulosa adalah bagian selulosa yang tidak larut dalam larutan alkali kuat (NaOH). β-selulosa adalah bagian selulosa yang larut dalam media alkali dan mengendap jika dinetralkan, sedangkan γ-selulosa adalah bagian selulosa yang larut dalam alkali dan tetap larut jika larutan dinetralkan. α-selulosa tersebut biasa digunakan sebagai penentu atau penduga dari tingkat kemurnian selulosa(Sumada dkk 2011).
Gambar 1. Ilustrasi susunan komponen dinding sel tanaman
D.
Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah polisakarida kedua terbanyak setelah selulosa. Selama ini hemiselulosa sudah dimanfaatkan oleh industri untuk memproduksi etanol, xylitol, dan 2,3-butanadiol. Hemiselulosa merupakan polimer karbohidrat yang heterogen dengan tulang punggung xylose yang menghubungkan glukosa, asam galaktosa dan manosa
(Singh dan Harvey 2010). Polisakarida yang tergolong ke dalam hemiselulosa yaitu glukan (polimer dari monomer D-glukosa—C6H12O6), mannan (polimer dari manosa--
C6H12O6), galaktan (polimer dari galaktosa-- C6H12O6), arabinan (polmer dari arabinosa—
Pada dinding sel tanaman, hemiselulosa terdapat pada matriks di middle lamela dan berfungsi sebagai perekat antar serat/mikrofibril selulosa (seperti pada gambar 1). Hemiselulosa memiliki bobot molekul yang lebih rendah dibandingkan selulosa dan bersifat tidak tahan terhadap perlakuan panas. Tidak seperti selulosa, polisakarida hemiselulosa bersifat amorf dan strukturnya kurang bercabang, sehingga potensi
kelarutannya sangat berbeda. Hemiselulosa tersebut dapat dipisahkan dari selulosa dengan alkali karena ikatannya lemah sehingga mudah dihidrolisis (Placket 2011). Struktur molekul hemiselulosa dan penyusunnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur hemiselulosa
E.
Lignin
Lignin merupakan sebuah polimer yang tersusun atas unit-unit fenilpropana. Dalam dinding sel tanaman, lignin berfungsi sebagai perekat dan melapisiselulosa dan hemiselulosa (seperti pada gambar 1) . Lignin yang melindungi selulosadah hemiselulosa tersebut bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arialkil dan ikatan ester (Soeprijanto 2010). Menurut Akin (2010) lignin merupakan komponen pada dinding sel yang sangat mempengaruhi kekuatan dan kekerasan dinding sel, serta daya tahan terhadap serangan mikroba patogen.
Reaktivitas lignin sangat dipengaruhi oleh gugus-gugus fungsi yang terdapat pada polimer lignin itu sendiri. Polimer lignin mengandung gugus metoksil, gugus hidroksil denol dan beberapa gugus aldehid pada rantai sampingnya. Gugus fungsi yang sangat mempengaruhi reaktifitas lignin adalah gugus hidroksil fenolik dan gugus karbonil(Hatakeyama H dan Hatakeyama T 2009). Struktur molekul lignin dan penyusunnya dapat dilihat pada Gambar 3. Dalam pengolahan pulp lignin sangat berpengaruh terhadap warna pulp karena oksidasi sruktur aromatik lignin akan menghasilkan warna coklat yang seringkali tidak diiginkan. Lignin tidak terhidrolisis dengan asam, tetapi larut dalam alkali panas (Bismark et al.. 2005)
Gambar 3. Struktur lignin
F.
Nanoselulosa
Nanoselulosa merupakan selulosa yang diameternya berukuran nano. Nanoselulosa berbeda dengan selulosa alami karena nanoselulosa memiliki sifat-sifat yang khas seperti sangat kuat, rasio permukaan terhadap volume yang besar, kemampuan mengikat air yang tinggi, kekuatan tarik yang tinggi, jaringan yang halus, dan sangat porous. Berdasarkan metode sintesisnya nanoselulosa digolongkan menjadi tiga yaitu,
Microfibrillated Cellulose (MFC)/Nanofibrillated Cellulose (NFC), Nanocristalline Cellulose (NCC), dan Bacterial Nanocellulose (BNC) (Klemn et al. 2011). MFC atau
NFC disintesis dari pulp kayu yang kemudian mengalami proses pre-treatment
(enzimatik, kimia, atau mekanik) dan proses homogenisasi, NCC disintesis dari pulp kayu yang kemudian mengalami proses grinding, hidrolisis asam dan separasi, sedangkan
BNC disintesis dari gula atau alkohol dengan menggunakan bantuan mikroba, contohnya
Gluconacetobacter (Bouchard 2012). Ukuran diameter MFC atau NFC biasanya berkisar
antara 5-60 nm dengan panjang beberapa mikrometer, ukuran diameter NCC biasanya berkisar 5-70 nm dengan panjang 100-250 nm, sedangkan ukuran diameter BNC biasanya berkisar 20-100 nm (Klemn 2011).
Banyak penelitian yang telah mencoba untuk mensintesis nanoselulosa dari bahan baku sumber serat lain selain kayu, misalnya limbah pertanian. Limbah pertanian yang bisa digunakan sebagai bahan sumber sintesis nanoselulosa adalah jerami gandum, tongkol jagung, daun nanas, kulit kacang kedelai, ampas tebu dsb. Pada gambar 4 dapat dilihat nanoselulosa dari ampas tebu yang disintesis dengan metode kimia-mekanik (hidrolisis asam dan sentrifugasi), sedangkan pada gambar 5 dapat dilihat nanoselulosa dari daun nanas yang disintesis dengan metode kimia-mekanik (hidrolisis kimia dan
Gambar 4. Nanoselulosa dari ampas tebu (hasil pengamatan dengan Scanning Electron Microscope)
Sumber : Mandal dan Chakrabarty (2011)
Gambar 5.Nanoselulosa dari daun nanas (hasil pengamatan dengan Transimission Electron Microscope)
Sumber: Cherian et al.. (2010)
Nanoselulosa bisa dimanfaatkan di berbagai bidang seperti pada industri kertas, industri kemasan, industri pangan dan industri farmasi. Pada industri kertas nanoselulosa bisa dimanfatkan sebagai bahan penguat kertas. Pada industri kemasan nanoselulosa bisa dimanfaatkan sebagai bahan penguat kemasan. Pada industri pangan nanoselulosa bisa dimanfaatkan bahan pengental dan penstabil suspensi pangan, sedangkan pada industri farmasi nanoselulosa bisa dimanfaatkan sebagai bahan perban dan komponen pembentuk tablet obat (Klemn et al. 2011).
G.
Metode Sintesis Nanoselulosa
Secara garis bersar terdapat enam metode yang biasa digunakan untuk memproduksi nanoselulosa, yaitu metode sintesis dari bakteri, metode electro spinning,
metode mekanik, metode kimia, metode bio-mekanik, dan metode kimia-mekanik.Nanoselulosa yang diperoleh dari bakteri disebut bacterial nanocellulose(BNC).
Bacterial nanocellulose ukuran diameternya sekitar 20-100 nm (Klemn et al. 2011). BNC
biasanya diproduksi oleh Gluconacetobacteryang telah dikultivasi pada media fruktosa
dengan suhu 30o C (Ghosh
et al. 2010). Pada metode ini residu bakteri dan komponen
lain pada media pertumbuhan dapat dihilangkan dengan dipanaskan kemudian dicuci dengan air.Adapun pada metode electro spinning, nanoselulosa diproduksi dengan
menggunakan energi listrik yang memberikan tekanan tinggi ke larutan polimer yang dilewatkan pada sebuh lubang kecil sehingga terbentuk serabut-serabut tipis berukuran nano (Ghost et al. 2010).
Metode sintesis nanoselulosa dengan perlakuan mekanik biasanya membutuhkan energi yang tinggi. Prinsip dari metode ini adalah fibrilasi selulosa karena adanya gaya gesek dan tekanan yang sangat tinggi. Contoh perlakuan dari metode ini adalah fibrilasi dengan high shear homogenization, fibrilisasi dengan stone atau disc refiner maupun cryocrushing, sedangkan metode pada metode kimia nanoselulosa diproduksi dari Microcrystalline cellulose (MCC) yang diberi perlakuan asam dengan H2SO4 pada
konsentrasi sekitar 65%(Ghost 2010).
Metode bio-mekanik menggabungkan prinsip biologi dan mekanik untuk memproduksi nanoselulosa. Produksi nanoselulosa dengan perlakuan mekanik membutuhkan energi yang tinggi. Oleh karena itu, menurut Ghost (2010) sebagai alternatif untuk mengurangi energi dapat digunakan enzim unuk membantu proses degradasi hemiselulosa, lignin dan pektin yang terkandung dalam bahan baku . Enzim yang digunakan biasanya diisolasi dari fungi kelompok jamur busuk putih (white rot fungi) yang tergolong Basidiomicetes. Fungi tersebut menghasilkan enzim lignolitik yang
dapat mendegradasi lignin. Enzim yang dapat mendegradasi lignin terdiri dari tiga jenis enzim, yaitu lignin peroksidase, mangan peroksidase dan lakase (Hattaka 2001). Serat
yang telah diberi perlakuan dengan enzim selanjutnya akan diberi perlakuan kimia sepeti
shear refining dan cryocrushing.
Metode kimia-mekanik menggabungkan prinsip kimia dan mekanik untuk memproduksi nanoselulosa. Perlakuan kimia yang dilakukan adalah hidrolisis dengan larutan basa (NaOH) yang diikuti hidrolisis dengan larutan asam (HCl) pada suhu diatas 80oC. Perlakuan kimia tersebut bertujuan untuk menghilangkan hemiselulosa, lignin dan
pektin yang terkadung dalam bahan baku. Perlakuan mekanik yang dilakukan seperti homogenisasi atau cryocrushing pada serat yang telah mengalami perlakuan kimia
sebelumnya. Adapun perlakuan mekanik ini bertujuan untuk memisahkan fibril-fibril selulosa yang masih saling berikatan sehingga dihasilkan nanoselulosa dengan diameter yang berukuran nano (Ghost et al. 2010).
Sintesis nanoselulosa dengan menggunakan metode steam explosion juga
merupakan salah satu metode kimia-mekanik untuk memproduksi nanoselulosa. Pada metode ini perlakuan kimia yang dilakukan sama seperti yang dijelaskan diatas. Akan tetapi perlakuan mekaniknya nya berupa steam explosion. Menurut Cherian et al. (2010),
pada metode steam explosion, bahan dijenuhkan dengan uap pada tekanan tinggi yang
diiukuti dengan penurunan tekanan secara tiba-tiba. Hal ini akan menyebabkan terjadinya evaporasi air yang kemudian memberikan gaya termo mekanis pada serat sehingga dapat memecahkan material serat menjadi komponen yang lebih kecil, agar dapat dihasilkan nanoselulosa.