• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEGAL REVIEW PERLINDUNGAN ANAK DI INDONE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LEGAL REVIEW PERLINDUNGAN ANAK DI INDONE"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Evaluasi UU perlindungan anak

LEGAL REVIEW PERLINDUNGAN ANAK DI

INDONESIA

Oleh Ahmad Sofian (Januari 2017)

Pendahuluan

Biro Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa penanganan masalah perlindungan anak di Indonesia masih jalan di tempat. Sementara itu, Komite Hak Anak PBB menyebutkan bahwa Indonesia masih mendapatkan “rapor” buruk dalam penanganan perlindungan anak. Buruknya

penanganan perlindungan anak ini ditunjukkan oleh data statistik anak-anak yang menjadi korban tindak pidana. Menurut BPS, pada tahun 2014 jumlah penduduk Indonesia yang menjadi korban tindak pidana sebanyak 1,06 persen, dan dari jumlah tersebut sebanyak 0,29 persen atau 247.610 adalah anak-anak. Dari 247.610 anak yang menjadi korban kejahatan, 80 persen diantaranya memiilih untuk tidak memproses kasus tersebut ke kepolisian.

Sumber : BPS, 2015

Meski jumlah data di atas tidak memberikan rincian terhadap anak-anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi, penelantaran maupun perlakuan salah. Akan tetapi rincian tentang kasus-kasus anak ini bisa didapat di berbagai non-goverment organization (NGO) baik dari dalam negeri ataupun dari luar negeri yang selalu memantau pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Anak. Berdasarkan data yang dihimpun ECPAT Indonesia, ditemukan sekitar 30 persen dari total kasus kekerasan

terhadap anak merupakan kasus kejahatan seksual anak. Jika persentase ECPAT ini digunakan untuk menghitung korban kejahatan anak, maka sekitar 74 ribu anak adalah korban dari kejahatan seksual.

(2)

Sumber : Bank Data KPAI 2011-2015

Tingginya anak-anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi,

penelantaran dan perlakuan salah disebabkan karena belum maksimalnya upaya pemerintah dan peran berbagai aktor perlindungan anak dalam menjalankan upaya preventif. Bahkan instrumen hukum positif saat ni juga belum benar-benar mampu melindungi anak-anak dari tindak kejahatan.

Perundangan-Undangan Nasional

Berdasarkan penelitian yang pernah saya lakukan, setidak-tidaknya ada 22 undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap anak-anak dari praktik kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah. Adapun gambaran dari 22 undang-undang ini dapat digambarkan pada tabel di bawah ini.

Hukum Positif terkait Perlindungan Anak

No. Undang-Undang (UU)

1. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak

2. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi KILO 138

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang HAM

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi KILO 182

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(3)

7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT

9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Anak Sipil dan Politik

10. Undang-Undang No. 31 Tahun 2006 tentang LPSK

11. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

12. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO

13. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE

14. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

15. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

16. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in

Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi)

17. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Opsional Protokol KHA tentang Anak yang berkonflik dengan Senjata

18. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Opsional Protokol KHA tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak

19. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPA

20. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang REVISI UU No. 13/2006 (LPSK)

21. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang REVISI UU No. 23/2002 (Perlindungan Anak)

(4)

Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang

Sumber : Dikumpulkan dan dikelola dari berbagai sumber, 2016

Undang-undang yang disebutkan di atas tidak semuanya mengatur perlindungan anak secara langsung, tetapi ada juga yang mengatur masalah perlindungan anak secara tidak langsung, bahkan sebagian adalah ratifikasi konvensi (opsional protokol) internasional. Namun demikian, semuanya memiliki relasi atau keterkaitan dengan

perlindungan anak di Indonesia.

Undang-Undang Perlindungan Anak menjadi catatan khusus, karena undang-undang ini telah dua kali mengalami revisi, dan revisi yang

dilakukan tidak didasarkan pada semangat untuk melakukan harmonisasi dengan standard internasional yang diratifikasi tetapi lebih didasarkan pada respon atas persoalan-persoalan anak yang mengemuka atau muncul di masyarakat. Dengan kata lain revisi yang dilakukan masih bersifat parsial dan kasuistis. Oleh sebab itu, revisi yang sudah dilakukan tidak menjawab pengentasan persoalan anak secara menyeluruh.

Perundang-Undangan Nasional Tentang Kekerasan, Eksploitasi, Penelantaran dan Perlakuan Salah pada Anak

Perundang-undangan nasional tentang perlindungan anak mengatur sejumlah tindak pidana yang ditujukan pada anak diantaranya: kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah dan diskriminasi terhadap anak.], yang mana tindakan tersebut dilarang dan diancam pidana. Pengaturan terhadap tindak pidana tersebut di atas tertuang dalam beberapa pasal dalam Undang No. 23 Tahun 2002, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 dan secara khusus untuk tindak pidana seksual pada anak diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016.

Namun undang-undang tersebut tidak memberikan definisi yang

memuaskan terhadap tindak pidana kekerasan, eksploitasi, penelantaran, diskirminasi dan perlakuan salah pada anak. Undang-undang nasional cenderung memberikan ancaman hukuman kepada siapa saja yang melakukan tindak pidana tersebut dengan ancaman hukuman yang sangat bervariasi dan cenderung menggunakan

pendekatan retributive (balas dendam). Meski dalam beberapa pasal juga memberikan ancaman hukuman berupa denda, ganti kerugian dan

rehabilitatif, tetapi pendekatan retributif lebih menonjol dalam undang-undang nasional.

Definisi dan Sanksi Kekerasan, Eksploitasi, Penelantaran dan Perlakuan Salah dalam Undang-Undang Nasional dan Perbandingannya dengan Insrumen Internasional

(5)

pidana tersebut tidak didefinisikan sehingga sulit untuk menakar

perbuatan pidana yang ditujukan kepada anak, karena lemahnya unsur dalam rumusan delik tersebut. Pentingnya mencantumkan unsur-unsur tindak pidana pada anak adalah untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Dalam konteks hukum pidana unsur tindak pidana

(bestandelen delick) menjadi hal yang sangat krusial untuk memasikan pelaku tindak pidana telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pada anak. Berikut ini ditampilkan beberapa definisi dari tindak pidana tersebut dalam konteks undang-undang

nasional yakni dari persfektif Undang No. 23/2002 juncto Undang-Undang No. 35/2014, Undang-Undang-Undang-Undang No. 23/2004, UU No. 44/2008. Larangan melakukan kekerasan terhadap anak dipertegas dengan pasal 76 huruf C yang berbunyi:

Pasal 76C

Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.

Pasal di atas telah memberikan peringatan terhadap siapapun yang

melakukan kekerasan terhadap anak dengan ancaman pidana. Hanya saja ketika merujuk penjelasan pasal ini, maka tidak ada unsur-unsur pasal yang dimaksud tentang tindak pidana kekerasan pada anak. Selain itu dalam konteks undang-undang perlindungan anak juga dicantumkan dalam pasal kekerasan seksual pada anak yang diatur dalam pasal 76 huruf D dan E yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:

Pasal 76D

Setiap orang dilarang melakukan ekekarasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain

Pasal 76E

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul

(6)

beberapa ukuran yang bisa dipergunakan untuk mendefinisikan dan mengurai unsur kekerasan terhadap anak (child abuse) salah satunya adalah rumusan berikut ini:

“Child abuse includes physical and non-physical violence, infanticide, neglect and sexual violence. Non-physical violence, which includes emotional violence, can take many forms including insults, ignoring, isolation, rejection, threats, emotional indifference and belittlement. It is more prevalent than other forms of violence. Neglect involves the failure to provide for the development of the child including leaving the child alone without appropriate care, not providing the child with adequate food, clothing, medicines or health care, or the failure to properly supervise or protect children from harm.” (UNICEF: Analysis of Domestic Related to Law Violence against Children : June 2015 : 1)

Analisa dari uraian di atas yang dapat ditarik jika diperbandingkan antara rumusan yang ada dalam undang-undang perlindungan anak

menunjukkan masih terjadinya kesenjangan antara unsur-unsur yang ada dalam undang-undang perlindungan anak dengan definisi di atas,

sehingga unsur-unsur kekerasan terhadap anak mencakup bentuk-bentuk yang lebih konkret dan rinci, tidak sekedar mencatumkan kekerasan fisik, mental dan sosial, yang menimbulkan keraguan pada penegak hukum dan sulitnya membuktikan secara juridis formil, sehingga pada akhirnya

merugikan anak itu sendiri.

Selain itu, perlu juga mempertimbangkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh anak. Pendefinisian secara khusus menjadi penting, agar definisi yang terlalu luas terhadap kekerasan anak dalam lingkup rumah tangga menjadi lebih spesifik. adapun rumusan berikut ini juga bisa dipertimbangkan untuk digunakan:

“Domestic violence is one of the most pervasive forms of violence affecting children and includes acts of violence perpetrated by one member of a family or household against another, including children. Domestic violence may include physical violence, verbal and emotional abuse, sexual coercion and rape, and other various controlling behaviours. Children who witness acts of domestic violence are regarded as victims of the

violence.” (UNICEF: Analysis of Domestic Related to Law Violence against Children : June 2015 : 3)

Rekomendasi yang patut dipertimbangkan di masa depan dalam

menyempurnakan rumusan kekerasan terhadap anak adalah: sebaiknya pasal-pasal tentang kekerasan pada anak (kekerasan fisik, seksual dan mental) harus memasukkan semua unsur dalam rumusan delik dan lebih operasional sehingga memudahkan dalam menentukan apakah sebuah perbuatan kekerasan terhadap anak merupakan kategori perbuatan melawan hukum atau bukan melawan hukum.

(7)

Pasal 76I

Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,

menyeluruh melakukan,a tau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.

Norma larangan di atas ini adalah kabur dan unsur-unsur dari perbuatan yang dilarang juga tidak tidak dicantumkan. Rumusan eksploitasi harus didefinisikan secara kongkret, sehingga ketika unsur tersebut dipenuhi maka siapa saja yang melakukan tindak pidana eksploitasi dapat

dipidana. Eksploitasi dalam konteks pasal ini dibatasi pada eksloitasi seksual dan eksploitasi ekonomi. Unsur eksploitasi seksual dan unsur eksploitasi ekonomi juga perlu dijabarkan secara lebih lanjut, sehingga memiliki makna yang berbeda dengan tindak pidana kekerasan seksual pada anak.

Penelantaran pada anak sebagaimana didefinisikan di atas menunjukkan sulitnya menegakan delik ini dan sulit juga memastikan jenis dan unsur deliknya sebagai tindak pidana penelantaran pada anak. Dalam pasal 76 huruf B penelataran dana perlukan salah ditempat dalam satu pasal yang berbunyi:

Pasal 76B

Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyeluruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.

Perbuatan yang dilarang dalam pasal di atas masih sangat kabur, unsur-unsur penelantaran tidak dijelaskan dalam rumusan delik maupun

penjelasan. Pasal 1 angka 6 UU No. 35/2014 hanya mendefinisikan anak telantar sebagai berikut :

6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

Rumusan ini tidak cukup untuk memastikan bahwa seseorang yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana penelantaran pada pada anak. Berdasarkan pemaparan di atas, tentunya rumusan norma pada undang-undang perlindungan anak perlu diperbaiki rumusannya karena urgensinya yang tinggi.

Penutup

Perundang-undang nasional di bidang perlindungan anak khususnya terkait tindak pidana kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan

(8)

persoalan tindak pidana ini menjadi clear dan mudah ditegakkan oleh penegak hukum, serta mudah difahami oleh masyarakat awam sekalipun. Ada kesan bahwa bahasa undang-undang hanya bisa difahami oleh

mereka yang berpendidikan hukum semata. Padahal undang-undang yang baik haruslah dibuat untuk mudah dipahami masyarakat yang

menggunakan undang-undang itu.

Beberapa rekomendasi yang ditawarkan dalam untuk mengantisipasi problematikan di atas antara lain: (1) perlu dipertimbangkan rumusan delik pidana dalam undang-undang perlindungan anak dengan model rumusan single track. Artinya antara perbuatan yang dilarang dengan ancaman pidananya dirumuskan dalam pasal yang sama; (2)

Menyebutkan semua unsur dalam tindak pidana kekerasan pada anak, eksploitasi anak, penelantaran anak dan perlakuan salah pada anak; (3) Mempertimbangkan untuk dimasukkannya unsur tambahan dalam rumusan delik yang ditujukan kepada siapa saja melaporkan, menolong dan/atau memberikan bantuan kepada anak yang mengalami kekerasan, penelantaran, eksploitasi dan perlakuan salah; (3) mendefinisikan tindak pidana yang disesuaikan dengan standar internasional khususnya dengan ketentuan yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. (***)

Gambar

tabel di bawah ini.

Referensi

Dokumen terkait

Katanya, beberapa pegawai dari pejabat Pelajaran Daerah Miri menemui pengurusan sekolah berkenaan apabila beberapa pelajar yang dipercayai terbabit dalam insiden itu sudah

NO Nomor Registrasi Instruktur Nama Lengkap Fakultas Jurusan Mapel Sertifikasi Guru.. 1

Reformasi di bidang kesehatan telah menetapkan Visi Pembangunan Kesehatan Kabupaten Sleman “Terwujudnya Masyarakat Sleman Sehat yang Mandiri, Berdaya saing dan

[r]

Tim II di koordinir oleh Bidan Aldina Ayunda Insani bersama mahasiswa Prodi S1 Kebidanan. ibu hamil yang hadir ada 6 orang yang terdiri dari ibu primipara dan multi

Sebagaimana halnya sebuah permainan musik yang terdiri atas berbagai alat, kehidupan nyata yang penuh dengan perbedaan pun dapat berdampingan dengan baik, asalkan setiap orang

Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

[r]