• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kurikulum Pendidikan Hukum dalam Persfek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kurikulum Pendidikan Hukum dalam Persfek"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Kurikulum Pendidikan Hukum dalam Persfektif Kebutuhan

Pasar1

Oleh Maqdir Ismail2

Pengantar

Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru.

Pendidikan Hukum dan sekolah hukum di Indonesia meskipun belum merupakan

pendidikan tinggi sudah dimulai sejak tahun 1909 oleh Gubernur Jenderal J B.

van Heuts, Reglement voor de Opleiding voor Inlandsche Rechtskundigen

(Reglemen untuk Sekolah Pendidikan Ahli Hukum Pribumi), diundangkan dalam

Stb.No. 93/1909.3 Sedangkan pendidikan tinggi hukum itu sendiri baru

diselenggarakan mulai tahun 1924, berdasarkan Hooger Onderwijs-Ordonnantie

(Ordonansi Pendidikan Tinggi), Stb. No. 457/1924, Gubernur Jenderal D. Fock

pada tanggal 9 Oktober 1924 yang menetapkan Reglement van de

Rechtshoogeschool (Reglemen Sekolah Tinggi Hukum), Stb. No. 457/1924 dan

dinyatakan berlaku efektif pada saat dibukanya Rechtshoogesschool (disingkat

RHS atau RH).4 Cerita ini untuk menunjukkan bahwa pendidikan hukum di

Indonesia bukan hal yang baru. Bahkan sesudah zaman kemerdekaan ada

Sekolah Hakim dan Jaksa, begitu juga ada Pendidikan Hakim Islam. Akan tetapi

pembicaraan dan perbincangan yang akan dilakukan terbatas pada kurikulum

Fakultas Hukum secara umum dan Fakultas Hukum UII.

Tulisan ini secara singkat akan memaparkan perkembangan pendidikan

hukum di Indonesia, kemudian akan didiskusikan pula urgensi kurikulum hukum

yang mengakomodasi kebutuhan pasar, selain itu akan didiskusikan pula

karakteristik dan model kurikulum yang sesuai dengan tuntutan pasar,

1 Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya PENGKAJIAN KURIKULUM, yang diselenggarakan oleh Fakultas

Hukum Universitas Islam Indonesia, pada tanggal 23 Desember 2006

2 Advokat dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.

3 Sidharta Pohan Prastowo Legal Research Institute : 2004, Reformasi dan Reorentasi Pendidikan Tinggi

Hukum di Indonesia, Komisi Hukum Nasional, h.vii, diakses dari http://www.komisihukum.go.id/hasil_komisi.php

4 Ibid, h.viii.; Soetandyo Wignjosoebroto:2000, Pembangunan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum di

(2)

impelementasi kurikulum hukum dan tantangannya. Tulisan ini didasarkan pada

penelitian kepustakaan dan pengalaman empiris dalam mengikuti pendidikan

hukum dan pengalaman sebagai praktisi maupun sebagai staf pengajar Fakultas

Hukum.

Pendidikan Hukum di Indonesia

Ketika pendidikan tinggi hukum dimulai di Indonesia pada awal abad 20,

pendidikan hukum sepenuhnya mengikuti pola pendidikan tinggi hukum di

Belanda. Kurikulum serta pola pengajaran juga sepenuhnya mengikuti pola

pengajaran di Belanda, meskipun ada penyesuaian dengan kondisi obyektif

Hindia Belanda sebagai tanah jajahan. Memang dilakukan perubahan pada tahun

1946 kemudian diperbaharui dengan Hoogeronderwijs Ordonnantie 1946 (Stb.

No. 47/1947) dan Universiteitsreglement 1946 (Stb. No. 170/1947).

Sebagaimana halnya dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum di

Belanda, maka pendidikan hukum di Indonesia kurikulumnya lebih

menitik-beratkan pada pendidikan akademiknya (academic schooling) dan kurang

memperhatikan “professional schooling”-nya.5

Pada masa ini, pendidikan tinggi hukum dikatakan oleh Soetandyo

Wignjosoebroto6 bertujuan,

“....yang amat sadar untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas sebagai rechtsambtenaren yang cakap, yang dengan demikian dapat diangkat ke dalam jabatan-jabatan tertentu, entah sebagai hakim landraad atau sebagai petugas-petugas hukum di kantor-kantor pemerintah dalam negeri. Di sekolah tinggi ini matakuliah-matakuliah diberikan dengan tujuan utama agar para mahasiswa menguasai sejumlah kaidah hukum -- utamanya yang tertuang sebagai hukum perundang-undangan -- yang harus dipahami menurut tradisi reine Rechtslehre Kelsenian, yang memodelkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang tertutup, yang dalam penggunaannya harus dipandang tak ada hubungannya yang logis dengan kenyataan-kenyataan empirik yang dialami orang di lapangan. Nyata bahwa program pendidikan hukum pada masa itu, di Rechtshogeschool itu, amat menonjolkan pula kemahiran berlogika deduksi sebagai satu-satunya cara berpikir yuridis. Di sini, dalam kesempatan ini, para mahasiswa dilatih untuk menguasai cara berpikir

5 Ibid, h ix.

(3)

deduksi sebagai satu-satunya cara untuk menemukan hukum in concreto (keputusan hukum) sebagai simpulan silogisme yang ditarik dari premis mayor yang berupa kaidah hukum positif in abstracto. Tanpa mengenali metode berpikir yang induktif untuk membuat keputusan-keputusan hukum, studi-studi hukum di Indonesia semasa pemerintahan kolonial lebih cocoklah kalau dikualifikasi ke dalam bilangan apa yang disebut Rudolf von Jhering sebagai Begriffsjurisprudenz, dan tidak sedikitpun menampakkan bertanda-tanda sebagai Tatsachenjurisprudenz.”

Hal ini berlanjut hingga tahun 1950 an dimana fakultas-fakultas hukum

tetap saja menuruskan kurikulum yang digunakan pada masa sebelum perang,

dimana para ahli hukum dididik untuk memenuhi kepentingan jabatan

dipemerintahan dan kehakiman.7 Sebagaimana dikatakan oleh Soetandyo

Wignjosoebroto antara tahun 1942 hingga tahun 1962 tidak ada perubahan yang

bermakna dan patut dicatat, meskipun hukum kolonial begitu dipersoalkan,

namum tetap dipertahankan dan digunakan sebagai hukum nasional, meskipun

pembagian golongan penduduk yang berwarna rasial dihilangkan.8

Kondisi ini mendatangkan kritik dari Presiden Soekarno, bahkan dalam

pidato dihadapan Kongres Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia) di

tahun 1961. Dalam pidatonya beliau mengungkapkan keperihatinannya terhadap

kekurang pekaan dan kurang tanggapnya para yuris Indonesia terhadap

perubahan yang tengah terjadi. Karena para yuris dianggap oleh beliau

cenderung melihat dan menyelesaikan perkara hanya dari persfektif yuridis dan

doktrinal.9 Bahkan dulu ada ucapan Presiden Soekarno yang sangat terkenal

yang menyatakan, “ ... bahwa “met de juristen kunnen wij geen revolutie maken”, dengan sarjana hukum kita tidak bisa membuat revolusi.10 Hal ini

sebagai akibat dari pendidikan hukum kita yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo

7 Ibid, h.5 8Ibid, h.2. 9 Ibid, h.6.

10 J.E. Sahetapy : 2003,Reformasi Hukum : Quo Vadis ? diakses dari

(4)

sebagai “penjaga status quo”.11 Kondidisi ini kemudian oleh Hikmahanto Juwana

dikatakan bahwa,

“Para lulusan tahun 1930-an, 1950-an, 1970-an, 1980-an maupun 1990-an dapat dikatak1990-an sama. Lulus1990-an y1990-ang dihasilk1990-an cenderunglegalistik tidak berbeda dengan lulusan pada masa pemerintahan Kolonial, bahkan cenderung tidak dapat memenuhi berbagai tujuan pendidikan hukum

pasca Indonesia merdeka”.12

Perubahan dan pembaharuan arah pendidikan hukum di Indonesia mulai

dikembangkan pada tahun 70 an. Salah seorang pelopor dari pembaharuan

pendidikan hukum ini adalah Mochtar Kusumaatmadja, yang mengemukakan

bahwa hukum itu bukan hanya sebagai kaidah, tetapi juga adalah sebagai sarana

pembangunan. Teori ini sebagai modifikasi terhadap teori law as a tool of social

engineering dari Roscoe Pound.13 Pada periode ini mulai diperkenalkan latihan

keterampilan professional, etika professional, dan tanggung jawab professional.14

Pembaharuan kurikulum ini terus menurus dipikirkan dan dilakukan dan

kemudian menjadi baku dikenal dengan nama kurikulum 1993. Dengan

kurikulum ini diharapkan semua Fakultas Hukum secara proporsional

mengajarkan aspek-aspek kemahiran hukum dan aspek-aspek pengetahuan

atau keilmuan hukum. Dengan demikian diharapkan setelah lulus nanti mereka

memiliki bekal yang cukup memadai untuk masuk ke dunia praktik hukum.15

Kurikulum inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Kurikulum pendidikan

tinggi hukum di Indonesia. Kurikulum ini berlaku berdasarkan Keputusan

Mendikbud No. 0325/U/1994 dan No. 056/U/1994 yang kemudian dalam

perkembangannya mengalami sedikit perubahan di tahun 2000 dengan

Keputusan Mendikbud No. 232/U/2000. Perubahan pokok dari kurikulum bukan

pada substansinya melainkan lebih pada (1). perubahan penamaan materi

muatan kurikulum nasional menjadi kurikulum inti, dan kurikulum lokal menjadi

11 Satjipto Rahardjo: 2005, Dimanakan Pendidikan Hukum ?, Kompas, Kamis 8 April 2004.

12 Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D: 2006, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, diakses

dari http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=252&tipe=opini, h 5-6.

13 Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, h. 59-60. 14 Ibid, h 67.

(5)

kurikulum institusional (2).16 Kurikulum 1994 ini pada dasarnya disusun dengan

landasan dengan semangat, serta motivasi untuk melakukan pembaharuan

pendidikan tinggi hukum agar lebih mampu menyiapkan para lulusan fakultas

hukum siap dalam memasuki kerja atau siap mengemban profesi hukum,

sehingga dalam kurikulum 1994 ini diintrodusirnya matakuliah hukum yang sarat

dengan bobot kemahiran hukum. Sebelum berlakunya kedua SK tersebut,

kurikulum program Sarjana Hukum mengacu pada “kurikulum inti” yang

ditetapkan dalam Keputusan Direktur Pendidikan Tinggi Depdikbud No

30/DJ/Kep/1983 tanggal 27 April 1983. Kurikulum inti tersebut lebih berorientasi

dan menitik beratkan pada kepentingan fungsi peradilan dan pemerintahan. 17

Kurikulum dan kebutuhan pasar

Kalau benar asumsi bahwa pendidikan hukum kita adalah untuk

memenuhi kebutuhan pasar, maka pasar yang paling besar membutuhkan apara

ahli hukum adalah yang berhubungan dengan peradilan, mejadi hakim, jaksa

atau advokat, dan menjadi bagian hukum pada perusahaan atau menjadi

pegawai pemerintah.

Hal yang harus segera dilakukan agar lulusan fakultas hukum siap pakai

adalah melakukan perubahan kurikulum pendidikan hukum. Perubahan ditujukan

agar para lulusan tidak sekedar memahami teori tetapi juga menguasai

ketrampilan hukum, sehingga pendidikan hukum akademis dan profesi tidak

disatukan dalam satu kurikulum. Penyatuan pendidikan hukum akademis dan

profesi sebenarnya tidak realistis.18 Waktu yang dialokasikan untuk mahasiswa

agar memiliki pengetahuan teoritis dan praktis terlalu singkat. Untuk itu Fakultas

Hukum diharapkan memiliki laboratorium hukum yang dapat dijadikan media

bagi mahasiswa fakultas hukum dalam mengembangkan kemampuan berpraktik

yang baik dalam arti terhindar dari praktik “kotor” yang biasa disebut mafia

16 Ibid, h. 24

17 Asep Saefullah dan Herni Sri N: 2003, Pendidikan Hukum di Indonesia Perlu Jalan Alternatif, Jentera

Jurnal Hukum, Edisi Khusus, h. 122.

(6)

peradilan. Tugas Laboratorium Hukum ini seperti dikatakan oleh Mardjono

Reksodiputro adalah: (a) menyelenggarakan pendidikan kemahiran (secara

khusus dan tersendiri), dan (b) membina (para dosen) menggunakan

pendekatan-terapan melalui penyediaan bahan untuk dosen, maupun memacu

para dosen untuk menggunakan bahan dari studi kasus, peraturan.19

Dengan kondisi yang dikemukan diatas yang harus dibangun adalah sikap

optimis, sebagaimana pernah dikemukakan Prof. Erman Rajagukguk, S.H,. LL.M,

Ph.D, dalam orasinya ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang

Hukum, menyimpulkan:

“… pendidikan hukum menghasilkan sarjana hukum yang mempunyai

keterampilan dalam praktek hukum yang mengandung unsur

internasional; di pihak lain membekali mereka dengan kemampuan menghadapi berbagai masalah yang dihadap masayarakat, termasuk memberikan jalan bantuan hukum bagi mereka yang palin terkena

globalisasi”.20

Dengan demikian yang layak untuk segera dipikirkan dan dilakukan

sekarang adalah menjadikan pendidikan hukum menjadi satu kesatuan dengan

pembangunan hukum, sehingga arah dari pendidikan hukum adalah mendidik

mahasiswa agar dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan dan

penegakan hukum.21 Menurut Bagir Manan,22 selama ini, pendidikan hukum

ditempatkan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Struktur dan isi pendidikan

hukum dari dahulu sampai sekarang sangat ditekankan pada sistimatik dan isi

kaedah hukum. Akibatnya pendidikan hukum beserta hasil-hasilnya kurang

fungsional dalam mengembangkan dan mengisi secara tepat komponen

19 Mardjono Reksodiputro : 2005, Reformasi Pendidikan Tinggi Hukum untuk Memungkinkan Pendidikan

Khusus bagi Advokat, h.1, diakses dari http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?

20 Erman Rajagukguk: 1997, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada era Globalisasi:

Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997, h.24.

21 Bandingkan dengan pernyataan Bagir Manan dalam Bisnis Indonesia Rabu 18 Februari 2004, h T3. 22 Prof. Bagir Manan: 2004, Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan dan Penegakkan Hukum untuk

(7)

subsistim hukum yang lain. Sehingga pendidikan hukum kita tidak akan

mempunyai kontribusi apapun terhadap pembangunan hukum dan penegakan

hukum.

Pendidikan hukum yang mampu melahirkan mahasiswa yang mampu

melakukan pembangunan hukum dan mampu menjadi penegak hukum hanya

dapat dilakukan dengan cara melibatkan mahasiswa dalam kegiatan penelitian

dan kegiatan peraktis. Seperti magang pada kantor Advokat, atau pada

Kejaksaan dan juga dengan magang di Pengadilan.

Selain dengan kegiatan magang untuk kepentingan Mahasiswa, yang juga

harus dilakukan adalah memperbincangkan kurikulum secara terus menerus dan

disesuaikan dengan kebutuhan riil dalam masyarakat dan perkembangan

kebutuhan praktis masyarakat, sehingga ini, “akan mengatasi kekakuan dan

kekurang pekaan atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang sedang berubah

yang hingga kini merupakan kelemahan sekian banyak universitas-universitas

kita”.23 Perbincangan terus menerus atas kurikulum bukan hanya dilakukan oleh

kalangan staff pengajar, tetapi juga melibatkan para peneliti dan praktisi, baik

sebagai alumni atau sebagai ahli.

Persoalan kurikulum itu bukan hanya persoalan apa yang harus

diajarkan,24 tetapi juga adalah menyangkut topik apa yang patut dan dibutuhkan

oleh masyarakat pada masa yang akan datang ketika Mahasiswa sudah kembali

ke masyarakat. Hal seperti ini yang disebut oleh Conant sebagai “ clinical professor”, 25 karena professor adalah seorang praktisi yang setiap hari

memperaktikkan berbagai macam teori ke dalam peraktik dengan tepat . Dengan

meminjam kalimat dari Prof. Mochtar Kusumatmadja, maka akan dikatakan,

“..pendidikan klinis yang direncanakan dengan baik tidak hanya mengajarkan keteramplan teknis, melainkan juga harus menghadapakan mahasiswa-mahasiswa pada keadaan-keadaan yang akan dijumpainya dalam masyarakat kelak dan juga harus menambahkan suatu kebiasaan

23 Soedjatmoko: 1976, Beberapa Fikiran tentang Perguruan Tinggi, Prisma, No.2 Maret, h 30.

24 Bursja Zahir : 1978, Pendidikan Tinggi: Hubungan dengan Masyarakat dan Keadaan Sekarang, Prisma

No.2 Maret, Tahun VII, h 28.

25 Dikutip dari Toisuta, Willi: 1976, Kurikulum Perguruan Tinggi: Perimbangan antara Beban Belajar Dan

(8)

atau sikap terhadap suatu masalah yang dapat disebut suatu problem

solving attitude”.26

Kurikulum pendidikan hukumpun seharusnya dipikirkan seperti apa yang

dilakukan oleh seorang professor yang mempraktikkan teori kedokteran ke dalam

praktik dokter sehari-hari. Dengan kurikulum seperti ini Mahasiswa diharapkan

dapat berpikir dan memecahkan masalah secara independent, karena mereka

berkesempatan untuk memperoleh pengalaman secara langsung. Atau seperti

dikatakan oleh, Richard J. Wilson,

“The methodology by which, such programs are accomplished is as broad

as the creative minds of the legal educator; it may include something as simple as a short role play by students in a large lecture section or as complex as supervised representation of people involved in real legal disputes, usually referred to in the US (without any apparent sense of irony) as "live client" work. In between these two extremes are many other pedagogical devises: the role-play, gaming, small and large-scale simulations, externships or other work under the supervision of a practitioner in that person's office, or other devises. Any of these is a means by which students can understand their work as lawyers through experience, the assumption being that attempting to teach lawyering through lectures or reading alone is tantamount to learning how to drive

by reading the car owner's manual”.27

Artinya kurikulum seperti inilah yang diharapkan akan melahirkan Sarjana

Hukum yang mampu melakukan pembangunan hukum dan juga mampu

melakukan penegakan hukum, sebab mahasiswa mendapat bukti yang kuat dan

efektif serta menerima pelajaran praktis sebagai lawyer karena berhubungan

langsung dengan klien, selain itu mahasiswa juga memperoleh kesempatan

memberikan kontribusi dalam penegakan hukum. Paling tidak ada dua alasan

menurut Richard J. Wilson,pendidikan klinik hukum itu dilakukan, yaitu:

26 Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, cetakan ke 2, Alumni, h.

63.

27 Richard J. Wilson: 1996 Clinical Legal Education as a Means to Improve Access to Justice in Developing

(9)

“First, while do not denigrate the effectiveness of other means of clinical

legal education, each of which can and should have a central place in law school curricula, I believe the live client clinic has prove itself to be the most powerful and effective means by which to teach the art of lawyering. Just, experience has shown that neophyte doctors learn best when working with real patients, the same is true with neophyte lawyers and real clients. Second, and perhaps just as important, the live client clinic provides a means by which students and law schools can make a

contribution toward access to justice in their communities.”28

Dari apa yang dikemukakan diatas, maka hal pokok yang harus dipelajari

oleh Mahasiswa dan harus dipersiapkan secara baik dalam perkara litigasi agar

supaya siap dalam memperaktikkan pengetahuan hukum yang mereka miliki

adalah pengetahuan praktik dalam menyusun gugatan, menyusun jawaban

dalam perkara perdata, menyusun surat dakwaan dan tuntutan atau membuat

eksepsi dan pleidooi dalam perkara pidana dan tentu saja pengetahuan untuk

menyusun putusan pengadilan dalam perkara perdata atau pidana serta gugatan

dan jawaban serta putusan dalam perkara tata usaha Negara. Sedangkan untuk

bersiap menjadi konsultan hukum, maka mahasiswa harus dipersiapkan untuk

mampu menyusun memorandum hukum, menyusun pendapat hukum,

menyusun kontrak,

Karakteristik dan model kurikulum yang sesuai dengan tuntutan

pasar

Kalau karakteristik dan model kurikulum yang sesuai dengan tuntutan

pasar yang dibicarakan, maka yang harus dikaji dari awal adalah peta lapangan

kerja dan kebutuhan masyarakat terhadap sarjana hukum. Secara umum dapat

kita katakan bahwa Sarjana Hukum bisa masuk kesemua lapangan kerja yang

tersedia. Sarjana Hukum dibutuhkan hampir oleh semua lapangan pekerjaan.

Perusahaan membutuhkan Sarjana Hukum untuk bagian hukum perusahaan,

yang pekerjaannya mulai dari pengurusan izin-izin sampai pada menyelasaikan

(10)

masalah PHK, menyusun perjanjian. Sehingga tidak jarang Sarjana Hukum itu

bisa mengerjakan apa saja. Pekerjaan-pekerjaan ini tidak membutuhkan banyak

pengetahuan hukum praktis seperti menjadi praktisi hukum, meskipun

pengetahuan dasar untuk berpraktik tetap juga diperlukan.

Pasar kerja yang cukup luas untuk para Sarjana Hukum adalah mengisi

lapangan kerja dilingkungan pengadilan. Sarjana Hukum bisa menjadi Hakim,

bisa menjadi Jaksa dan bisa menjadi Pengacara. Hal ini sesuai seperti dikatakan

oleh Prof. Hamid S Attamimi, bahwa dari 12 mata kuliah dari kurikulum inti

keahlian hukum adalah untuk menunjang fungsi peradilan dan 3 mata kulaih

menunjang fungsi pemerintahan, sedangkan 15 dari 16 mata kuliah pendalaman

adalah untuk menunjang fungsi peradilan.29 Jika asumsi ini yang benar, artinya

model kurikulum yang dibutuhkan pasar adalah model kurikulum yang

dibutuhkan untuk menunjang fungsi peradilan, untuk menjadi hakim, jaksa atau

pengacara. Akan tetapi pengetahuan yang menunjang fungsi peradilan ini tidak

akan banyak manfaatnya untuk mereka yang bergerak dalam bidang konsultan

hukum, atau yang biasa kita sebut untuk kegiatan non-litigasi.

Namun pertanyaan pokok yang patut diajukan dengan kurikulum Fakultas

Hukum UII 2002, sebagai penjabaran dari kurikulum nasional, Mahasiswa itu

akan dididik menjadi apa ? Menjadi praktisi yang bekerja dilingkungan

pengadilan, menjadi pekerja dibidang pemerintahan atau menjadi konsultan

hukum yang biasa disebut non litigasi ? Kita juga tidak pernah tahu segmen

pasar yang diisi oleh sarjana hukum lulusan UII.

Terus terang percaya tidak percaya melihat begitu banyaknya mata

kuliah yang harus ditempuh seorang mahasiswa Fakultas Hukum UII sesuai

kurikulum 200230 untuk mendapatkan gelar sarjana hukum. Mari kita lihat

kurikulum inti – matakuliah wajib yang terdiri dari :

a. matakuliah pengembangan kepribadian (mpk) 3

29 Asep Saefullah dan Herni Sri N: 2003, Op. Cit, h, 123.

(11)

1. 10000511 Pendidikan Pancasila 2 SKS

2. 10000611 Pendidikan Kewarganegaraan 2 SKS

3. 10000711 Pendidikan Agama 2 SKS

b. matakuliah keilmuan dengan kepribadian (mkk) 16

1. PENDIDIKAN DAN LATIHAN KEMAHIRAN (6 SKS) meliputi matakuliah :

41004131 Praktek Peradilan 2 SKS

Matakuliah institusional – matakuliah wajib

a. matakuliah pengembangan kepribadian (mpk) 4

b. matakuliah keilmuan dan keterampilan (mkk) 17

c. matakuliah keahlian berkarya (mkb) 2

(12)

e. matakuliah berkehidupan bersama (mbb) 1

Kemudian ada lagi tambahan kurikulum institusional- matakuliah pilihan

yang terdiri dari:

a. matakuliah pilihan beban wajib lulus 6 dari 60 pilihan;

b. matakuliah pilihan pendidikan kemahiran 1 dari 6 pilihan;

c. matakuliah pilihan hukum islam 1 dari 8 pilihan;

Data-data ini menunjukkan bahwa seorang mahasiswa fakultas hukum

baru dapat lulus menjadi sarjana hukum kalau sudah menyelesaikan 144 SKS

yang terdiri dari 78 SKS kurikulum inti dan 66 SKS kurikulum institusional,

sehingga dapat diduga sarjana hukum yang diharapkan adalah sarjana hukum

yang serba tahu, meskipun dapat berakibat tidak tahu apa-apa, karena

“…para mahasiswa yang mengambil banyak mata kuliah ini hanya akan

memahami hukum yang dipelajarinya secara superficial belaka, dan tidak

mendalam”.31

Sebagai perbandingan mari kita lihat syarat matakuliah yang dapat

diambil untuk lulus menjadi sarjana hukum atau BA in Law di salah satu

Universitas di Inggris.32 Seorang mahasiswa akan dianggap lulus misalnya kalau

sudah mengambil mata kuliah sebagai berikut:

Part IA: Civil law I; Constitutional law; Criminal law; Law of tort

Part IB: Law of contract; Land law; International law; Sentencing and the penal system; Criminal procedure and criminal evidence

Part II: Equity; European Union law; Commercial law; Company law; Essay;

Pada tahun pertama cukup mengambil 4 mata kuliah wajib, pada tahun

kedua 5 mata kuliah dan tahun ketiga 4 matakuliah serta skripsi. Tidak terlalu

31 Harkistuti Harkisnowo: 2003, Selintas Sejarah dan Prospek Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum di

Indonesia, Jentera Jurnal Hukum, Edisi Khusu, h. 14.

(13)

banyak matakuliah yang perlu diambil, tetapi dipelajari dengan cukup mendalam,

bukan hanya melalui kuliah di kelas, tetapi ada juga tutorial yang sangat intensif

dengan jumlah mahasiswa yang cukup terbatas pada setiap kelompok dan

dibimbing oleh para staf pengajar senior dan mempunyai keahlian pada

matakuliah yang diajarkan.

Dengan mengambil contoh dari kurikulum di salah satu Universitas di

Inggris ini layak untuk dipikirkan untuk mengurangi jumlah matakuliah yang ada

di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, terutama matakuliah yang tidak

terlalu banyak hubungannya dengan kegiatan praktis pada masa yang akan

datang, atau karena hal itu akan menjadi pasti untuk dihadapi sebagai seorang

anak manusia. Atau bisa juga dipikirkan untuk menggabung beberapa

matakuliah tertentu yang dianggap saling berhubungan dan seperti simbiosis.

Selain itu patut pula dipikirkan untuk penambahan matakuliah baru seperti

Common Law system dan European Union Law, serta hukum yang akan

berhubungan dengan peraktik internasional, mengingat semakin banyaknya

aturan-aturan hukum yang diadopsi menjadi hukum nasional.

Impelementasi kurikulum hukum dan tantangannya

Memang yang menjadi persoalan pokok dalam mengimpelementasikan

kurikulum adalah ketersedian staf pengajar yang mempunyai keahlian dan

handal. Terutama sejak diperkenalkannya kurikulum yang berbasis kompetensi,

karena “ciri dari kompetensi dapat juga dicerminkan dalam metode mengajar

maupun proses belajar mengajar.”33 Dalam arti yang diperlukan adalah staf

pengajar yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk mengajar mata kuliah

tententu secara terus menerus dan disesuaikan dengan perkembangan. Bukan

staf pengajar yang mau dan merasa bisa mengajar apa saja sesuai dengan

kebutuhan dan pesanan dari Fakultas Hukum. Hal ini diperburuk lagi oleh para

33

(14)

pengajar yang tidak pernah memperbaharui buku diktat yang selalu didiktekan

dan terus mengajar dengan cara monolog.

Hal yang berat juga kita hadapi adalah yang berkaitan erat dengan

ketersediaan buku teks. Kalau kita lihat buku-buku teks yang diterbitkan oleh

penerbit-penerbit Amerika atau Inggris atau Australia, hampir semua buku teks

pokok dan selalu menjadi standar yang penulis awalnya sudah meninggal selalu

ada orang yang memperbaharui buku teks tersebut. Hal ini yang tidak terjadi di

Indonesia. Bahkan buku-buku teks pokok dan standar yang penulisnya masih

hidup-pun, jarang sekali ada pembaharuan terhadap isi buku teks sesuai dengan

perkembangan hukum. Sebagai contoh buku teks tentang kontrak berbahasa

Inggris adalah Chitty on Contract General Principles, yang terbit pertama tahun

1826 masih diperbaharui terus menerus,34 atau Paget’s Law of Banking yang

diterbitkan tahun 1904, masih juga diperbaharui dan diterbitkan.35

Hal lain yang juga dapat mempersulit implementasi kurikulum adalah

ketersediaan buku dan Journal di perpustakaan yang tidak memadai, bahkan ada

saja Universitas atau fakultas yang tidak mempunyai kemampuan menyediakan

buku dan ruang belajar di perpustakaan secara memadai.

Problem lain yang cukup berat kita hadapi adalah kualitas mahasiswa

Fakultas Hukum bukan berasal dari calon mahasiswa terbaik. Bahkan tidak

jarang, pada awalnya mahasiswa yang mengikuti pendidikan tinggi hukum

kualitas nilai pelajarannya pada tingkat sekolah menengah tidak sebaik

mahasiswa fakultas tehnik atau mahasiwa fakultas kedokteran misalnya. Hal ini

yang berbeda dengan di Australia dan Inggris, dimana syarat untuk menjadi

calon mahasiswa Fakultas Hukum itu adalah dengan syarat terbaik kedua

setelah Fakultas Kedokteran.

Mungkin ada korelasinya antara input mahasiwa fakultas hukum dengan

penemuan hasil penelitian yang dilakukan oleh World Bank dan Bappenas bahwa

umumnya sarjana hukum kita tidak mampu menuliskan secara logis dan

34

Kebetulan copy yang ada pada saya terbitan tahun 1994.

35

(15)

konsisten suatu opini hukum atau memorandum hukum, padahal kemampuan

menuliskan secara logis dan konsisten ini adalah satu keahlian yang harus

dimiliki seorang sarjana hukum.36 Ini artinya tantangan yang dihadapi oleh

Fakultas Hukum, tidak hanya terbatas pada kurang sarana dan prasarana, tetapi

juga kurang bagusnya kualitas input. Kalau asumsi ini benar, maka beban dari

Fakultas Hukum untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas baik, menjadi dua

kali lebih berat dari yang dihadapi oleh fakultas yang lain.

Penutup

Perubahan kurikulum kearah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan

mengikuti perkembangan hukum adalah satu keniscayaan. Namun melakukan

perubahan itu tidak semudah membalik telapak tangan, perlu kesabaran dan

kerja keras, dan dana yang tidak sedikit disamping keberanian untuk melakukan

perubahan itu sendiri.

Sudah barang tentu bahwa setiap perubahan yang besar akan

mendatangkan guncangan, tetapi apapun bentuk perubahan itu adalah demi

kepentingan fakultas hukum itu sendiri dan demi kebaikan bangsa pada masa

yang akan datang.

Tantangan bagi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia akan menjadi

imam dalam melakukan perubahan sekarang, atau akan menjadi makmum

menunggu perubahan yang akan dilakukan oleh Fakultas Hukum yang lain.

36

(16)

Daftar Bacaaan

Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro kerjasama Mochtar, Karuwin & Komar : 2002, Reformasi Hukum di Indonesia, CYBERconsult.

Asep Saefullah dan Herni Sri N: 2003, Pendidikan Hukum di Indonesia Perlu Jalan Alternatif, Jentera Jurnal Hukum, Edisi Khusus.

Bagir Manan dalam Bisnis Indonesia Rabu 18 Februari 2004, h T3.

Prof. Bagir Manan: 2004, Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan dan Penegakkan Hukum untuk Masa Depan Indonesia, diakses dari

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=9738&cl=Kolom

Bursja Zahir : 1978, Pendidikan Tinggi: Hubungan dengan Masyarakat dan Keadaan Sekarang, Prisma No.2 Maret, Tahun VII

Erman Rajagukguk: 1997, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada era Globalisasi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997.

Faculty Handbook University of Cambridge Faculty of Law 2003 – 2004.

Harkistuti Harkisnowo: 2003, Selintas Sejarah dan Prospek Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Jentera Jurnal Hukum, Edisi Khusus.

Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D: 2006, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, diakses dari http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.

Fakultas Hukum UII http://www.uii.ac.id/index.asp?u=410&b=I&v=1&j=I&id=8

J.E. Sahetapy : 2003,Reformasi Hukum : Quo Vadis ? diakses dari

http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?

Mardjono Reksodiputro : 2005, Reformasi Pendidikan Tinggi Hukum untuk Memungkinkan Pendidikan Khusus bagi Advokat, h.1, diakses dari

http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?

Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, cetakan ke 2, Alumni.

(17)

Richard J. Wilson: 1996, Clinical Legal Education as a Means to Improve Access to Justice in Developing and Newly Democratic, A Paper Presented at the Human Rights Seminar of the Human Rights Institute, International Bar Association Berlin, Germany Oct. 17.

Satjipto Rahardjo: 2005, Dimanakan Pendidikan Hukum ?, Kompas, Kamis 8 April 2004.

Sidharta Pohan Prastowo Legal Research Institute : 2004, Reformasi dan Reorentasi Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Komisi Hukum Nasional, diakses dari http://www.komisihukum.go.id/hasil_komisi.php

Soedjatmoko: 1976, Beberapa Fikiran tentang Perguruan Tinggi, Prisma, No.2 Maret.

Soetandyo Wignjosoebroto:2000, Pembangunan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum di Indonesia Pada Indonesia Pascakolonial, h.2, diakses dari

http://www.huma.or.id

Referensi

Dokumen terkait

(Studi Kasus Wanprestasi dalam Perjanjian Pertunjukan musik antara “Band Begundal Lowokwaru” dengan Event Organizer “Londo” di Taman Budaya Banjarmasin) adalah benar-benar hasil

Dari Gambar 7 sampai dengan Gambar 9 yang menunjukan hubungan beban dan lendutan pada cangkang silindris yang juga merepresentasikan hubungan momen dan

Masyarakat yang mengakses air bersih dari sumber mata air umumnya berada dilokasi agak jauh dari pesisir dan belum tersedianya sambungan perpipipaan dari Sistem

Tahapan pelaksanaan KLHS diawali dengan penapisan usulan rencana/program dalam RPI2-JM per sektor dengan mempertimbangkan isu-isu pokok seperti (1) perubahan

Banyak pengaruh yang diberikan majelis ta‟lim kepada jama‟ahnya di antaranya; pengaruh dari aspek pendidikan keagamaan, yaitu majelis ta‟lim dapat menjadi tempat

(2) Penyalahguna narkotika bagi diri sendiri, yang dimaksud dengan “penyalahguna narkotika” adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum, menurut Pasal

Penyakit paru kerja akibat debu adalah penyakit atau kelainan pada paru yang timbul sehubungan dengan pekerjaan yang disebabkan oleh debu.

Substitusi konsentrat oleh tepung keratin secara umum mengakibatkan peningkatan protein pakan, karena kadar protein konsentrat sebesar 35% dan tepung bulu 78%.