• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sains Islam dan Revolusi Ilmiah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sains Islam dan Revolusi Ilmiah"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh Sulfikar Amir

http://muryo.blogspot.co.id/2010/11/sains-islam-dan-revolusi-ilmiah.html

Sains, Islam, dan Revolusi Ilmiah

Oleh Sulfikar Amir

Tulisan ini memfokuskan diri pada isu sains dan Islam yang akhir-akhir ini banyak

mendapat perhatian dari kalangan akademik dan masyarakat Islam di Indonesia. Isu ini

menjadi hangat karena adanya keinginan, harapan, dan semangat akan bangkitnya

peradaban Islam yang dimotivasi oleh romantisisme sejarah kejayaan peradaban Islam

dalam bidang sains beberapa abad yang lampau. Studi mengenai sains dalam Islam

sebenarnya sudah dibahas secara serius oleh beberapa sarjana, baik muslim maupun

Barat. Secara garis besar, studi ini mencakup dua aspek, yakni historis dan

epistemologis.

Tulisan ini memfokuskan diri pada isu sains dan Islam yang akhir-akhir ini banyak mendapat

perhatian dari kalangan akademik dan masyarakat Islam di Indonesia. Isu ini menjadi hangat

karena adanya keinginan, harapan, dan semangat akan bangkitnya peradaban Islam yang

dimotivasi oleh romantisisme sejarah kejayaan peradaban Islam dalam bidang sains beberapa

abad yang lampau. Studi mengenai sains dalam Islam sebenarnya sudah dibahas secara serius

oleh beberapa sarjana, baik muslim maupun Barat. Secara garis besar, studi ini mencakup dua

aspek, yakni historis dan epistemologis. Dalam tulisan ini saya akan mendiskusikan kedua aspek

ini dan melajutkannya ke dalam konteks Indonesia.

Revolusi Ilmiah

Diskusi sains dan Islam ada baiknya dimulai dari satu peristiwa monumental yang menandai

lahirnya sains modern, yakni Revolusi Ilmiah pada abad ke 17 di Eropa Barat yang menjadi “cikal

bakal” munculnya sains moderns sebagai sistem pengetahuan “universal.” Dalam historiografi

sains, salah satu pertanyaan besar yang selalu menjadi daya tarik adalah: Mengapa Revolusi

Ilmiah tersebut tidak terjadi di peradaban Islam yang mengalami masa kejayaan berabad-abad

sebelum bangsa Eropa membangun sistem pengetahuan mereka? Bukankan peradaban Islam itu

sendiri sudah memiliki dasar-dasar yang kuat (tradisi filsafat dan ilmu pengetahuan) yang

memungkinkan terjadinya Revolusi Ilmiah itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua hal yang

perlu dipahami. Pertama adalah sejarah sosial sains di Eropa ketika terjadi Revolusi Ilmiah. Yang

kedua adalah karakteristik internal sistem pengetahuan peradaban Islam yang tidak

memungkinkan terjadinya Revolusi Ilmiah. Walaupun membandingkan kedua hal ini sedikit

ambigius, komparasi singkat ini cukup bermanfaat untuk melihat bagaimana sains modern dan

(2)

Ada beberapa tesis yang kita bisa ambil untuk memahami peristiwa Revolusi Ilmiah di Eropa.

Pertama, Revolusi Ilmiah selalu dikaitkan dengan proses sekularisasi atau tercabutnya kekuasaan

agama dalam sistem sosial politik yang memungkinakn sains lepas dari kungkungan institusi

agama. Telah banyak diketahui bahwa pada abad 16 dan 17 ketika era Renaissannce, agama

sebagai institusi yang sangat dominan dan hegemonik di Eropa kala itu mengalami perubahan

radikal dalam posisinya sebagai pemegang otoritas penuh segala bentuk kebenaran. Tetapi

lepasnya sains dari otoritas agama tidak menjadikannya independen. Dalam catatan Leonardo

Olschki, terjadinya Revolusi Ilmiah tidak lepas dari proses transformasi pengetahuan ilmiah ke

dalam bentuk utilitas teknis. Menurut Hessen keberhasilan sains moderen di abad 16 dan 17

didorong oleh runtuhnya sistem ekonomi feodal yang digantikan oleh sistem ekonomi kapitalisme.

Secara spesifik, Hessen merujuk perkembangan ilmu fisika pada saat itu sebagai bentuk respon

terhadap kebutuhan-kebutuhan teknis dalam industri dan peperangan. Dari catatan-catatan

sejarah tentang Revolusi Ilmiah ini kita bisa memahami bahwa perkembangan sains moderen di

Eropa tidak lepas dari berbagai bentuk kepentingan ekonomi dan politik. Bahkan, seperti yang

dikatakan oleh oleh Sandra Harding, sains moderen telah menjadi kendaraan bagi praktek

hegemoni dan pemenuhan ambisi-ambisi nasionalisme bangsa Eropa ketika melakukan penjajahan

terhadap bangsa-bangsa lain.

Sekarang mari kita menengok ke sejarah yang lebih awal tentang peradaban Islam dan sistem

pengetahuan yang dibangunnya. Catatan A.I. Sabra dapat kita jadikan salah satu pegangan untuk

melihat kontribusi peradaban Islam dalam sains. Dalam pengamatannya, peradaban Islam

memang mengimpor tradisi intelektual dari peradaban Yunani Klasik. Tetapi proses ini tidak

dilakukan begitu saja secara pasif, melainkan dilakukan melalui proses appropriation atau

penyesuaian dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian peradaban Islam mampu mengambil,

mengolah, dan memproduksi suatu sistem pengetahuan yang baru, unik, dan terpadu yang tidak

tidak pernah ada sebelumnya. Ada dua hal yang dicatat Sabra sebagai kontribusi signifikan

peradaban Islam dalam sains. Pertama adalah dalam tingkat pemikiran ilmiah yang diilhami oleh

kebutuhan dalam sistem kepercayaan Islam. Penentuan arah kiblat secara akurat adalah salah

satu hasil dari konjungsi ini. Kedua dalam tingkat institusionalisasi sains. Sabra merujuk pada

empat institusi penting bagi perkembamgan sains yang pertama kali muncul dalam peradaban

Islam, yaitu rumah sakit, perpustakaan umum, sekolah tinggi, dan observatorium astronomi.

Semua kemajuan yang dicapai ini dimungkinkan oleh dukungan dari penguasa pada waktu itu

dalam bentuk pendanaan dan penghargaan terhadap tradisi ilmiah.

Lalu mengapa sains dalam peradaban Islam tidak berhasil mempertahankan kontinyuitasnya,

gagal mencapai titik Revolusi Ilmiah, dan justru mengalami penurunan? Salah satu tesis yang

menarik datang dari Aydin Sadili. Seperti dijelaskan di atas bahwa keunikan sains dalam Islam

adalah masuknya unsur agama dalam sistem pengetahuan. Tetapi, menurut Sadili, disini jugalah

(3)

intelektual Yunani Klasik yang diwarisi oleh peradaban Islam baru dapat menghasilkan kemajuan

ilmiah jika terjadi proses rekonsiliasi dengan kekuatan agama. Rekonsiliasi antara sains dan

agama tersebut terjadi di peradaban Eropa, tetapi tidak terjadi di peradaban Islam. Dikotomi

antara dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan keagamaan dan pengetahuan duniawi (awâil)

adalah indikasi kuat. Permasalahan yang terjadi adalah adanya ketimpangan posisi antara

pengetahuan agama dan pengetahuan duniawi di mana pengetahuan agama menempati posisi

sosial politik yang lebih baik sementara status pengetahuan duniawi berada pada status

pelengkap.

Selanjutnya, Sadili melihat bahwa salah satu permasalah krusial gagalnya sains Islam dalam

mencapai tahap Revolusi Ilmiah adalah terpisahnya tradisi filsafat dengan tradisi pemikiran

keagamaan. Karena sains dan filsafat berada dalam kelompok pengetahuan yang sama, yakni

pengetahuan duniawi. Pemisahan ini pada akhirnya membatasi filsafat dan sains dalam

mempertanyakan hal-hal di luar otoritasnya. Adanya keterbatasan ini berimplikasi pada

berhentinya tradisi ilmiah di peradaban Islam sampai akhirnya semua tradisi ilmiah tersebut

diimpor oleh bangsa Eropa beberapa abad kemudian.

Sains Moderen dan Islam

Keinginan atau obsesi akan bangkitnya kembali peradaban Islam secara jujur lahir dari bentuk

romantisisme terhadap sejarah masa lampau. Walau begitu, keinginan itu tentunya sesuatu yang

wajar. Bahkan menjadi kewajiban setiap muslim untuk dapat membangun suatu peradaban yang

berlandaskan nilai-nilai Islam. Karena itu, catatan sejarah di atas akan membuat kita lebih bijak

dalam melihat ke arah mana kita akan menuju. Satu hal yang jelas adalah sebuah peradaban baru

dapat berdiri kokoh jika berhasil membangun suatu sistem pengetahuan yang mapan. Bangkitnya

peradaban Islam akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam bidang sains melalui prestasi

institusional dan epistemologis menuju pada proses dekonstruksi epistemologi sains moderen yang

memungkinkan nilai-nilai Islam terserap secara seimbang ke dalam sistem pengetahuan yang

dibangun tanpa harus menjadikan sains sebagai alat legitimasi agama dan sebaliknya. Ini sejalan

dengan gagasan islamisasi pengetahuan yang pernah dilontarkan oleh Ismail Raji Al-faruqi.

Mengapa masyarakat Islam perlu melakukan reformasi sains moderen? Bukankah sains moderen

telah begitu banyak memberikan manfaat bagi manusia? Pernyataan ini mungkin benar jika kita

melihat tanpa sikap kritis bagaimana sains moderen membuat kehidupan (sekelompok) manusia

menjadi lebih sejahtera. Argumen yang masuk akal datang dari Sal Restivo yang mengungkap

bagaimana sains moderen adalah sebuah masalah sosial karena lahir dari sistem masyarakat

moderen yang cacat. Secara historispun kita bisa memahami bagaimana sains moderen lahir

sebagai mesin eksploitasi sistem kapitalisme. Paul Feyerabend bahkan mengkritik sains moderen

(4)

kelangsungan hidup bumi beserta isinya. Dalam kondisisi seperti ini, Islam semestinya dapat

menjadi suatu alternatif dalam mengembangkan sains ke arah yang lebih bijak.

Walau begitu, islamisasi pengetahuan adalah sebuah proyek ambisius untuk tidak menyebutnya

utopia. Proyek islamisasi pengetahuan yang sarat dengan nilai akan sangat sulit tercapai karena

bertentangan dengan dogma sains moderen yang mengklaim dirinya sebagai “bebas” nilai

sehingga bersifat netral dan universal. Klaim netralitas dan universalitas sains moderen itu sendiri

pada dasarnya bermasalah. Netralitas justru menjadi tempat perlindungan bagi sains moderen dari

kritik terhadap berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara universalitas tidak

lebih dari sekedar alat hegemoni sains moderen terhadap sistem pengetahuan yang lain. Studi

sosial dan kultural terhadap sains moderen yang dilakukan beberapa sarjana memberi cukup bukti

bahwa sains dan pengetahuan yang dihasilkannya selalu bersifat kultural, terkonstruksi secara

sosial, dan tidak pernah lepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Inilah tantangan terbesar bagi

saintis muslim dalam upaya membangun sistem pengetahuan yang islami.

Islam dan Sains di Indonesia

Kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia

selalu dikaitkan dengan harapan akan bangkitnya Islam di negara ini. Fakta kuantitatif ini

sayangnya belum cukup bagi kita untuk bersikap optimis. Kendala besar bagi cita-cita tersebut

ada pada dua sisi. Sisi pertama adalah masih lemahnya tradisi ilmiah di Indonesia. Walaupun

Indonesia memiliki perguruan tinggi yang cukup berkualitas, kegiatan ilmiah yang sehat,

khususnya dalam bidang sains, dalam menghasilkan pengetahuan yang orisinil masih jauh dari

harapan. Kondisi ini menjadi lebih lemah lagi karena terpisahnya sains dan filsafat dalam wacana

akademik. Masuknya sains dalam kategori ilmu eksakta sementara filsafat sebagai ilmu

non-eksakta adalah indikasinya. Padahal kategori non-eksakta dan non-non-eksakta tersebut bersifat ilusif. Ini

menyebabkan tidak terbentuknya suatu tradisi filsafat kritik sains yang mapan, dan sebaliknya,

sains berjalan sendiri seolah-olah dia bersifat otonom.

Pada sisi kedua, merujuk pada tesis Nurcholish Majid, satu kenyataan bahwa masyarakat Islam di

Indonesia tidak mewarisi tradisi intelektual peradaban Islam ketika masa keemasan. Islam muncul

di Indonesia justru ketika tradisi intelektual Islam sedang mengalami penurunan di tempat asalnya

sehingga tradisi intelektual tersebut tidak sempat terserap dalam sistem sosial dan kebudayaan.

Disamping itu, salah satu syarat tumbuhnya tradisi intelektual adalah adanya sikap keterbukaan

atau inklusivitas karena suatu sistem pengetahuan baru dapat terbentuk dengan baik jika berada

dalam sistem sosial yang menghargai perbedaan dan keberagaman pemikiran. Hal ini menjadi isu

penting mengingat masih kuatnya eksklusivitas di berbagai lapisan masyarakat Islam di Indonesia.

Sebagai penutup, apa yang diuraikan di atas adalah suatu bentuk kepedulian terhadap Islam dan

(5)

membangkitan semangat dan tradisi kritik sains sekaligus kritik bagi masyarakat Islam di

Indonesia. Dan karenanya studi relasi antar sains dan Islam seharusnya menjadi agenda penting,

baik dalam tradisi filsafat Islam maupun dalam wacana sains di level teoritis maupun praksis.

Referensi

Al-Faruqi, Ismail R. (1982) Islamization of Knowledge: the Problem, Principles, and the Workplan,

Islamabad : National Hijra Centenary Committee of Pakistan.

Cohen, H. Floris (1994). The Scientific Revolution: A Historiographical Inquiry, Chicago: The

University of Chicago Press.

Harding, Sandar (1998) Is Science Multicultural?: Postcolonialisms, Feminisms, and

Epistemologies, Bloomington: Indiana University Press.

Lenoir, Timothy (1997) Instituting Science: the Cultural Production of Scientific Disciplines

Stanford: Stanford University Press.

Madjid, Nurcholish (1992) Islam: Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimanapun kajian mendapati pencapaian dalam mata pelajaran Pendidikan Islam mempengaruhi tahap penghayatan dalam ibadah, dimana pelajar yang baik pencapaiannya lebih

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kuantitatif komparasi dengan penarikan kesimpulan melalui analisis statistik. Sampel yang diambil sebanyak 94 siswa dengan

10. Dalam melaksanakan praktik mengajar dikelas, sebelumnya telah mempersiapkan satuan mata diklat agar pada saat mengajar nantinya jelas arah dan tujuannya. Hal

Pemilik penyedia air bersih merasa terbantukan dengan adanya aplikasi penjualan air bersih yang dikembangkan peneliti, begitu juga pada pelanggan, merasa sangat

Contoh : Saat menggunakan media sosial seperti aplikasi chat line, di dalam aplikasi ine terdapat fitur multichat yang didalam obrolan tersebut tidak hanya

Konstipasi dapat terjadi karena ibu memberikan makanan padat atau susu formula pada umur yang terlalu dini, sehingga bayi mengalami gangguan saluran pencernaan seperti

(Untuk mematikan monitor, gunakan tombol di panel belakang.) Monitor juga akan mengaktifkan mode rendah daya bila tidak ada tidak ada masukan sinyal video. Ketika monitor

PENGARUH PENDIDIKAN ORANG TUA TERHADAP MOTIVASI IBADAH SHALAT DAN MOTIVASI MEMBACA AL- QUR’AN SISWA.. KELAS VII DI MTS AL- MA’ARIF PON -PES PANGGUNG TULUNGAGUNG TAHUN