• Tidak ada hasil yang ditemukan

Telaah Studi Hubungan Internasional Kela

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Telaah Studi Hubungan Internasional Kela"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Mata Kuliah International Relations Jurusan Diplomasi Pertahanan

Universitas Pertahanan

Telaah Studi Hubungan Internasional: Kelahiran Ilmu HI,

Paradigma, dan Tawaran Pencegahan Perang

Oleh: Budi Hartono

“Sivis pacem para pactum [if you want peace, agree to keep the peace].”

-Andrew Carnegie.1

“Sivis pacem parabellum [if you want peace prepare for war].”

-Vegetius.2

Studi Hubungan Internasional Sebagai Ilmu

Kutipan di atas secara implisit menjelaskan mengenai ide utama dari dua paradigma besar di dalam studi Hubungan Internasional (HI), yaitu liberalisme dan realisme. Meskipun kedua paradigma tersebut memiliki tujuan yang sama seperti tujuan dasar dibentuknya ilmu HI yaitu mencegah perang, akan tetapi terdapat perbedaan logika dan cara dalam mencapai tujuannya itu. Tulisan ini bertujuan untuk

                                                                                                               

1 Richard Bartholdt, (1907), “The Interpaliamentary Plan” dalam Robert Erskine Ely, Proceedings of the National Arbitration and Peace Congress New York, April 14th to 17th, 1907, New York: The National Arbitration and Peace Congress.

(2)

mendeskripsikan mengenai kelahiran ilmu HI dan paradigma di dalam ilmunya. paradigma yang dijelaskan dalam tulisan ini hanya berfokus pada paradigma liberalisme pasca Perang Dunia I dan realisme dari pemikiran E. H. Carr. Adapun fokus dari pembahasan mengenai liberalisme dan realisme dalam tulisan ini adalah bagaimana kedua paradigma tersebut melihat penyebab perang? Selanjutnya apa tawaran dari kedua paradigma terkait dengan pencegahan perang?.

Ilmu HI secara tradisional merupakan studi yang berfokus pada interaksi antar negara. Inti dari studi HI tradisional berkaitan dengan isu perkembangan negara-negara berdaulat dalam konteks sistem negara bangsa. Fokus utama studi HI adalah perang dan perdamaian melalui analisis negara dan interaksinya dengan negara lain di dalam sistem

internasional.3

Sedangkan pada perkembangannya, studi HI kontemporer berfokus bukan hanya pada interaksi antar negara. Studi HI kontemporer menambahkan subjek lain dalam kajiannya seperti interdepedensi ekonomi, hak azasi manusia, perusahaan transnasional, organisasi internasional, lingkungan hidup, dll. Perkembangan tersebut membuat

sebagian penstudi HI memilih nama world politics sebagai nama dari HI

kontemporer.4

Secara garis besar terdapat empat paradigma penting di dalam keilmuan HI yaitu realisme, liberalisme, masyarakat internasional, dan ekonomi politik internasional. Namun pada perkembangannya terdapat pendekatan-pendekatan alternatif yang membuat paradigma HI semakin beragam.

Pemikiran HI tidak berdiri sendiri, melainkan dibangun berdasarkan subjek-subjek akademik lain. Subjek akademik yang membangun studi HI antara lain filsafat, hukum, sejarah, sosiologi, dan ekonomi. Selain itu pemikiran HI turut menjawab perkembangan historis dan kontemporer dalam dunia nyata. Fenomena yang dikaji HI meliputi

                                                                                                               

3 Robert Jackson & Georg Sorensen, (1999), “Introduction to International Relations”, New York: Oxford University Inc., hal. 44.

(3)

perang, perdamaian, dan ekonomi yang telah menggerakkan keilmuan HI

di abad keduapuluh.5

Terdapat tiga perdebatan besar dalam HI sejak pembentukannya di akhir Perang Dunia I dan sekarang berada dalam tahap keempat; bahkan kelima. Perdebatan besar pertama antara liberalisme dan realisme; kedua antara pendekatan tradisional dan behavioralisme; ketiga antara neorealisme, neoliberalisme dan neomarxisme; keempat antara paradigma yang telah mapan dan paradigma alternatif pasca positivisme. Namun seperti yang telah ditekankan di atas, bahwa tulisan ini hanya berfokus pada liberalisme pasca Perang Dunia I dan kritik realisme atas liberalisme.

Perang Dunia I, Kelahiran HI, dan Liberalisme Sebagai Paradigma Awal HI

Dorongan awal dari pembentukan studi HI disebabkan oleh munculnya Perang Dunia I (1914-1918). Tujuan utama HI adalah

mencegah perang dunia (war to end all wars) terulang kembali, mengingat

bahwa pada Perang Dunia I jutaan manusia telah menjadi korban. Cita-cita untuk tidak mengulang kesalahan tersebut memerlukan usaha dalam

mengatasi masalah peperangan total (total war) antara pasukan dan

penggunaan senjata modern yang dapat mengakibatkan kehancuran total. Pembenaran atau justifikasi bagi semua kematian dan kehancuran itu menjadi semakin kurang jelas seiring meningkatnya jumlah korban dan

gagalnya menyingkap sisi rasional dalam perang.6 Bahkan Gillbert

menyebut bahwa pada situasi Perang Dunia I, “Jutaan orang dibunuh.

Eropa sudah gila. Dunia sudah gila.”7 Kutipan disamping menjadi

gambaran sejarah kelamnya situasi Eropa pada era Perang Dunia I.

Teori HI pasca Perang Dunia I bertujuan untuk menjawab pertanyaan utama yaitu “mengapa perang?” Setiap paradigma di dalam HI memiliki jawaban yang berbeda dalam menjawab pertanyaan tersebut.

                                                                                                               

5 Robert Jackson & Georg Sorensen, Ibid., hal. 45. 6 Robert Jackson & Georg Sorensen, Ibid., hal. 46.

(4)

Menurut paradigma liberal, Perang Dunia I merupakan akibat dari perhitungan yang salah, egois, dan tanpa pikir panjang dari pemimpin otokrasi misalnya Prusia (sekarang Jerman) dan Austria. Perang Dunia I membuat pemikir liberal berkesimpulan bahwa perdamaian bukan

merupakan kondisi natural, melainkan harus dikonstruksi.8

Kaum liberal melihat bahwa pemimpin yang tidak demokratis cenderung mengambil keputusan yang fatal, sehingga menyeret negara ke dalam kondisi perang. Selain itu, Prancis dan Inggris merespon situasi tersebut dengan terjun ke dalam konflik melalui sistem aliansi yang berkaitan satu dengan yang lain. Terjadi sebuah paradoks di dalam sistem aliansi ini, dimana yang pada awalnya dimaksudkan untuk menjaga perdamaian justru mendorong negara-negara di Eropa ke dalam perang. Ketika Austria dan Jerman menghadapi Serbia dengan kekuatan bersenjata, Rusia memiliki rasa tanggung jawab untuk membantu Serbia, sehingga Inggris dan Prancis memiliki tanggung jawab yang sama dimana kedua negara tersebut terikat aliansi dengan Rusia. Pada situasi itu, kaum

liberal melihat bahwa sistem balance of power telah usang dan harus diganti

sehingga bencana perang tidak akan perang terjadi lagi.9

Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah mengapa awal studi HI identik dengan liberalisme? Terdapat beberapa pernyataan terkait dengan pertanyaan tersebut. Pada periode Perang Dunia I, pada tahun 1917 Amerika Serikat akhirnya terlibat perang. Keterlibatan AS sangat menentukan hasil perang, dimana intervensi militernya telah menjamin kemenangan pihak sekutu (Prancis, Inggris, Italia, Rusia) dan kekalahan bagi Jerman, Austria, dan Turki.

Ketika itu, AS yang dipimpin oleh Presiden Woodrow Wilson memiliki misi utama yaitu membawa nilai-nilai demokratis liberal ke

Eropa dan seluruh dunia.10 Wilson melihat dengan membawa nilai-nilai

demokrasi, perang dapat dicegah, sehingga cara berpikir liberal memiliki                                                                                                                

8 Tim Dunne, “Liberalism”, dalam John Baylis & Steve Smith, (2001), “The

Globalization of World Politics: An introduction to International Relations”, New York: Oxford University Press, hal, 191.

(5)

dukungan kuat dalam sistem internasional pasca Perang Dunia I. Pada perkembangannya para pemikir liberal memiliki gagasan bagaimana menghindari bencana perang melalui reformasi sistem internasional dan reformasi dari politik domestik negara yang sebelumnya menganut sistem otokrasi.

Presiden Wilson memiliki visi atas dunia yang aman bagi demokrasi. Hal tersebut dirumuskan dalam program yang disampaikan

pada pidato Kongres AS pada tahun 1918. Wilson menyatakan bahwa, “A

general association of nations must be formed.”11Gagasan Wilson tersebut

mempengaruhi Konferensi Perdamaian Paris yang mengakhiri permusuhan dan membangun tatanan internasional baru yaitu internasionalisme liberal. Adapun program utama Wilson menghendaki adanya pengakhiran dari diplomasi rahasia, dimana

kesepakatan-kesepakatan yang ada harus diketahui publik.12 Pernyataan lainnya

seperti kebebasan navigasi di laut, pembebasan hambatan-hambatan di

bidang ekonomi, pengurangan senjata (arms control) hingga ke titik

rendah, serta penyelesaian klaim kolonial.13 Program-program di atas

menjadi dasar terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa tahun 1919 sebagai wadah untuk mencapai tujuan Wilson yaitu menjaga perdamaian.

Terdapat dua pernyataan Wilson terkait dalam menjaga perdamaian. Pertama, pernyataan mengenai demokrasi dan hak dalam menentukan nasib sendiri (berdaulat). Asumsi dalam pernyataan ini adalah negara yang menganut sistem demokrasi tidak akan berperang

dengan negara yang menganut sistem yang sama (demokrasi).14 Logika

Wilson bahwa pertumbuhan demokrasi liberal di Eropa akan mengakhiri pemerintahan otokratis yang gemar berperang. Pernyataan kedua Wilson berkaitan dengan pembentukan suatu organisasi internasional yang mewadahi hubungan antar negara pada suatu landasan institusi, dimana

                                                                                                               

11  John Baylis & Steve Smith, Loc. Cit., hal. 191.   12 Robert Jackson & Georg Sorensen, Op. Cit., hal. 49.

(6)

interaksi tiap negara diatur dalam hukum internasional. Jelas bahwa kaum liberal melihat suatu institusi internasional dapat memajukan kerjasama yang damai antar negara.

Ide kaum liberal dapat dirangkum sebagai berikut. Kaum liberal meyakini bahwa organisasi internasional dapat mengakhiri perang dan mencapai perdamaian. Hal tersebut bukan berarti menghilangkan elemen politik domestik suatu negara seperti kementerian luar negeri, angkatan bersenjata, dll. Melainkan melalui organisasi internasional setidaknya sifat negara dapat “dijinakkan”.

Kaum liberal melihat dalam lingkungan internasional dimana tidak ada otoritas yang mengatur setiap negara dalam berinteraksi dianalogikan

sebagai “hutan”, sehingga untuk tetap survive, makhluk-makhluk (negara)

dapat melakukan tindakan apapun untuk mencapai tujuan. Sementara dengan pembentukan LBB, makhluk-makhluk tersebut dimasukkan dalam kandang dengan pengendalian organisasi internasional. Dapat dikatakan bahwa pembentukan organisasi internasional untuk mencapai perdamaian, berdasarkan pada pemikiran Immanuel Kant di dalam

karyanya yang berjudul “Perpectual Peace”.

Optimisme kaum liberal atas dunia yang lebih damai merupakan kekuatan dari paradigma liberal. Akan tetapi paradigma tersebut justru diserang oleh paradigma lain yaitu realisme. Bahkan proyeksi dari kaum liberal hanya dikatakan sebagai omong kosong belaka. Menjadi pertanyaan besar bahwa mengapa pandangan yang memiliki visi ideal seperti liberalisme dalam mencegah perang dengan berupaya untuk meningkatkan kerjasama antar negara dan pembentukan suatu organisasi

internasional justru diserang habis-habisan oleh para pengkritiknya? “The

(7)

‘The Twenty Year’s Crisis’: Kritik E. H. Carr atas Liberalisme

Setelah gagalnya pemikiran kaum liberal di tahun 1930an dalam mencegah perang, akademisi HI mulai merujuk pemikiran kaum realis klasik. Pemikir realis klasik antara lain Thucydides, Machiavelli, dan

Hobbes memiliki inti kata di dalam karya mereka yaitu power. Melalui

pemikir-pemikir klasik tersebut, para pemikir HI mulai membangun logikanya dalam melihat dunia.

The Twenty Year’s Crisis (1939) merupakan karya E. H. Carr yang bertujuan untuk mengkritik kebijakan negara pemenang Perang Dunia I (Perjanjian Versailles dan pembentukan Liga Bangsa-Bangsa). Buku ini merupakan kritikan terhadap paradigma liberal mengenai gagasan keamanan kolektif melalui Liga Bangsa-Bangsa. Carr berpendapat bahwa para pemikir liberal HI telah salah menilai fakta dan salah memahami

sifat dasar dari hubungan internasional.15 Kaum liberal salah memahami

bahwa hubungan semacam itu dapat didasarkan pada persamaan kepentingan antara negara-negara. Carr justru melihat sebaliknya –

terdapat konflik antara negara, sehingga untuk mencapai

kepentingannya, negara berupaya untuk mempertahankan dan

memelihara posisi khususnya (status quo). Secara garis besar, hubungan

internasional adalah mengenai perjuangan negara untuk mencapai kepentingan yang saling bertentangan satu dengan yang lain. Dari argumen yang ada, Carr menamakan paradigma liberal sebagai ‘utopia’

sebagai lawan dari posisinya yang dia namakan sebagai ‘realis’.16

Carr melihat bahwa realisme merupakan sebuah koreksi yang

diperlukan atas maraknya utopianisme yang telah mengabaikan power

dalam politik internasional.17 Akar penyebab konflik dan perang tidak

akan pernah dapat dipahami apabila analisa tidak berdasarkan distribusi kekuasaan di dalam sistem internasional. Carr menilai kaum liberal terlalu

                                                                                                               

15 Robert Jackson & Georg Sorensen, Op. Cit., hal. 54. 16 Robert Jackson & Georg Sorensen, Ibid., hal. 54.

17Carr, E. H., & Cox, M. (1964). The twenty years' crisis, 1919-1939: an introduction

(8)

memaksa untuk berupaya menghapuskan perang, sehingga mereka

(kaum liberal) mengabaikan apa alasan-alasan yang mendasarinya.18

Kesalahan fatal kaum liberal terlihat ketika mereka memasukkan kepentingan umum ke dalam kepentingan negara. Kaum liberal memiliki ide bahwa setiap negara memiliki kepentingan yang sama terkait perdamaian, dan negara yang bersikap agresif dianggap tidak bermoral

dan rasional.19 Carr melihat argumen dari kaum liberal tersebut tidak

lebih dari sebuah ekspresi dari negara pemenang perang dengan menjaga

kepentingan pribadi demi mempertahankan status quo.

Sistem pasca perang (Perjanjian Versailles dan Liga Bangsa-Bangsa) diciptakan aktor pemenang perang (AS, Prancis, Inggris) yang digunakan untuk memperoleh keuntungan dengan mengesampingkan kekuatan

negara revisionis20. Carr berpendapat utopia (liberal) membentuk sistem

sebagai sarana mencapai kepentingan pribadi dan diselewengkan ke

dalam status quo – suatu selubung kepentingan pribadi mereka yang

memiliki hak istimewa.21 Situasi tersebut tentu tidak dapat diterima oleh

negara kalah perang seperti Jerman yang dirugikan akibat Perjanjian Versailles pada tahun 1918.

Selain itu, Carr juga menyangkal ide kaum liberal bahwa perdamaian internasional dapat dicapai dengan menerapkan pandangan mereka di lingkungan internasional. Penolakan Carr terhadap ide ini disebabkan karena prinsip yang bersifat universal seperti perdamaian, keselarasan kepentingan, keamanan kolektif, perdagangan bebas bukan suatu prinsip, melainkan hanya berupa refleksi atas kepentingan nasional

di waktu tertentu.22 Sehingga prinsip yang terlihat universal yang

merupakan ide utama kaum liberal, tidak lebih dari kepentingan pribadi dan elit penguasa dari negara pemenang perang.

                                                                                                               

18 Scott Burchill & Andrew Linklater, (1996), “Theories of International Relations”, New York: ST Martin’s Press Inc., hal. 92.

19Carr, E. H., & Cox, M,

(9)

Carr memberikan contoh ekonomi laissez-faire untuk membuktikan gagasan universal tidak lain hanya gagasan sebagian pihak yang

diuntungkan. Laissez-faire merupakan ide para elit penguasa di dalam

negara yang memiliki kapabilitas kuat dalam bidang ekonomi, yang mengklaim bahwa apa yang baik bagi mereka terbukti menguntungkan bagi semua. Di abad ke-19, para pengusaha Inggris menemukan bahwa laissez-faire yang meningkatkan kemakmuran mereka, juga dapat

meningkatkan kemakmuran Inggris secara keseluruhan.23

Kemudian, negawaran Inggris mendapati bahwa laissez-faire

meningkatkan kemakmuran Inggris, meyakini dengan menerapkan laissez-faire, juga dapat meningkatkan dunia secara keseluruhan.24 Carr menilai bahwa perdagangan bebas merupakan kebijakan tepat bagi Inggris yang secara industri memang dominan, namun tidak untuk

negara-negara yang justru kemampuan industrinya lemah. Laissez-faire

dalam hubungan internasional merupakan “surga” bagi negara-negara yang memiliki kemampuan kompetisi ekonomi kuat. Negara yang lemah secara ekonomi, membentuk undang-undang proteksi dan bea cukai untuk mengimbangi kekuatan dari negara yang memiliki perekonomian yang lebih dominan. Dari penjelasan di atas, terlihat tidak ada keselarasan mendasar antara kepentingan negara-negara, yang ada justru kekuatan bersifat asimetris.

Disamping ide mengenai kepentingan bersama, kaum liberal turut

menghilangkan power sebagai pertimbangan negara di dalam sistem

internasional. Di sisi lain, para kaum realis dimana Carr salah satunya,

percaya bahwa pencarian power merupakan dorongan alami yang

memiliki resiko kegagalan apabila diabaikan oleh negara. Argumen Carr

adalah negara yang menjauhkan diri dari pencarian pursuit of power

sebagai pegangan prinsip pada dasarnya justru membahayakan

keamanan mereka (negara) sendiri.25

                                                                                                               

23Carr, E. H., & Cox, M, Op. Cit., hal. 103.

(10)

Mengapa negara yang menjauhkan diri dalam pengejaran power justru membahayakan keamanan mereka? Carr melihat pada lingkungan internasional, dimana intesitas hubungan antar negara yang kompleks, benturan-benturan kepentingan nasional tidak dapat dihindarkan. Apa tawaran Carr di dalam kondisi tersebut? menurutnya, satu-satunya cara untuk meminimalkan benturan-benturan tersebut yang terkadang berakibat perang, adalah memastikan bahwa terdapat keseimbangan kekuatan antar negara yang nyata dalam sistem internasional. Dengan kata lain, pencegahan perang terbaik menurut kaum realis adalah

mencegah satu negara memiliki kekuatan yang lebih besar (balance of

power). Berbeda dengan kaum liberal bahwa pencegahan perang terbaik adalah melalui sistem keamanan kolektif. Namun pandangan tersebut menurut kaum realis tidak lebih hanya merupakan pandangan bagi negara-negara pemenang perang, yang kemudian akan melembagakan status quo.

Kesimpulan

Studi dan teori HI muncul karena kebutuhan; yaitu mencegah perang. Pada perkembangannya terdapat paradigma utama dalam awal terbentuk HI yaitu liberal dan diikuti oleh realis. Meskipun kedua paradigma tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu mencegah perang, namun terdapat logika yang berbeda terkait dalam mencapai tujuannya itu. Liberal melihat penyebab perang merupakan hasil dari pemerintahan otokrasi yang haus perang, sehingga dalam pencegahan perang adalah menanamkan nilai-nilai demokrasi tehadap seluruh negara di dunia dan juga pembentukan keamanan kolektif.

Pandangan liberalisme berbeda dengan realisme yang menyatakan bahwa perang merupakan produk ‘alami’ hasil interaksi negara di dalam lingkungan internasional. Tawaran yang diberikan oleh realisme adalah

perang dapat dicegah apabila terdapat perimbangan kekuasaan (balance of

(11)

Daftar Pustaka

Baylis, John & Smith, Steve. (2001). “The Globalization of World Politics: An

introduction to International Relations”. New York: Oxford University Press.

Brown, S. (1994). “The Causes and Prevention of War”. New York: St.

Martin’s Press.

Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). “Theories of International

Relations”. New York: ST Martin’s Press Inc.

Carr, E. H., & Cox, M. (1964). The twenty years' crisis, 1919-1939: an

introduction to the study of international relations (Vol. 1122). New York: Harper & Row.

Erskine Ely, Robert. (1907). “Proceedings of the National Arbitration and Peace

Congress New York, April 14th to 17th”. New York: The National

Arbitration and Peace Congress.

Gillbert Kennan, Gillbert. (1954). “Realities of American Foreign Policy”.

Princeton: Princeton University Press.

Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). “Introduction to International

Relations”. New York: Oxford University Inc.

K. Booth & S. Smith. (1995). “International Relations Theory Today”.

Cambridge: Polity Press.

Renatus, F. V. (1996). Vegetius: Epitome of military science (Vol. 16).

Liverpool: University Press.

Steans, J., & Pettiford, L. (2001). International relations: Perspectives and

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun upaya mem-branding UMKM di Kecamatan Sumpiuh sudah dilaksanakan dengan seringnya pemberitaan lewat media massa, beroperasinya stasiun radio Komunitas Peduli Sumpiuh

tersebut secara terperinci. 35 Dengan ketekunan pengamatan ini, peneliti dapat melakukan kembali apakah data yang telah ditemukan. itu salah atau tidak, dan peneliti juga

Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa suhu 37 o C merupakan suhu fermentasi yang optimal bagi Lactobacillus plantarum dalam menurunkan kandungan saponin

Apabila dalam buku besar terdapat rekening-rekening yang berpengaruh terhadap pembelian, seperti Biaya Angkut Pembelian, Retur dan Potongan Pembelian, dan Potongan

Sehubungan dengan rencanfiqnggunaanlkoreksi') Dana ULaMI'4 Subang pada tangg{l 17 f4aret 2015, rnaka bersama nama debitur - debitur seba\LatUerikut :. Cadangan Angsuran

Pre-kultur 5 hari yang diikuti dengan pe- rendaman pada suspensi bakteri selama 20 menit menghasilkan 91 kalus yang terseleksi higromisin dari total 114 eksplan yang

Penelitian lapang dilakukan di Kabupaten Subang, Jawa Barat, khususnya usaha perkebunan nenas rakyat dan usaha agroindustri kecil dodol nenas di Kecamatan Jalancagak, serta