PEMODELAN OSILASI REGANGAN DINDING DADA BERBASIS AUSKULTASI
SEBAGAI PARAMETER FISIOLOGIS SINKRONISASI KARDIORESPIRASI
PRAKUALIFIKASI
Oleh :
NURIDA FINAHARI NIM. 0730703012
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN MINAT TEKNOLOGI KEDOKTERAN
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RINGKASAN
Interaksi antara aktivitas jantung dan paru-paru (interaksi kardiorespirasi) telah mulai dipelajari sejak 2 abad yang lalu dan terus dikembangkan. Salah satu tujuannya adalah untuk memahami mekanisme interaksi patofisiologis. Mengingat sistem kardiorespirasi merupakan osilator biologis, maka pemanfaatan vibrasi yang ditimbulkannya sebagai sinyal data pengukuran fisiologis menawarkan alternatif baru pada bidang pengembangan alat ukur. Vibrasi kardiorespirasi tersebut dapat didekati dalam bentuk osilasi regangan dinding dada. Mengacu pada kajian anatomisnya osilasi regangan dinding dada (y) merupakan fungsi perubahan volume rongga torak akibat gerak jantung (x1), gerak diafragma (x2) dan gerak otot intercostal (x3). Pengembangan model matematis osilasi regangan dinding dada yang mengacu pada dinamika gerak jantung dan paru-paru mengalami kendala yang bersumber pada kompleksitas sistem tinjauan. Di samping itu terdapat deviasi yang sangat lebar antara karakteristik dinamika jantung dan paru sehingga proses kompilasi karakteristik dari dua sistem tersebut bisa mengarah pada pertentangan hasil. Kondisi ini mendorong dilakukannya pemodelan berbasis auskultasi. Pemodelan berbasis auskultasi memberikan peluang kompilasi karakteristik sistem kardiovaskular dan respirasi yang lebih mulus karena mengacu pada parameter yang sama yaitu karakteristik suara berfrekuensi rendah.
DAFTAR ISI
RINGKASAN 2
DAFTAR ISI 3
DAFTAR GAMBAR 4
BAB I PENDAHULUAN 6
1.1. Latar Belakang 6
1.2. Rumusan Masalah 9
1.3. Tujuan Penelitian 9
1.4. Manfaat Penelitian 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11
2.1. Kajian Sinkronisasi Kardiorespirasi 11
2.2.Auskultasi Kardiorespirasi 13
2.2.1. Auskultasi suara jantung 13
2.2.2. Auskultasi suara paru 15
2.3. Rambatan Gelombang Suara di Dalam Tubuh 20
2.4. Pemodelan Osilasi Regangan Dinding Dada 22
2.5. Akurasi Pengukuran Getaran Dinding Dada 24
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL 27
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 28
4.1. Model Penelitian 28
4.2. Tahapan Penelitian 28
4.2.1. Pengembangan model matematis 29
4.2.2. Validasi model matematis 30
4.3. Model Dasar Persamaan Matematis 30
4.3.1. Analogi akustik Lighthill 30
4.3.2. Persamaan untuk aliran inkompresibel 31
4.4. Peralatan Pendukung 31
4.5. Diagram Alir Penelitian 33
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Hubungan fungsional vibrasi kardiorespirasi 6
Gambar 2. Diagram acuan analisis sinkronisasi 12
Gambar 3. Contoh karakteristik suara jantung 15
Gambar 4. Visualisasi karakteristik aliran udara pernafasan 17
Gambar 5. Model analisis ekspansi sumbu waktu 19
Gambar 6. Model dinding dada 23
Gambar 7. Model sistem respirasi dibawah pembebanan aksial 24
Gambar 8. Contoh keluaran data sensor getaran 25
Gambar 9. Hasil analisis akurasi 26
Gambar 10. Kerangka konseptual penelitian 27
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Interaksi antara aktivitas jantung dan paru-paru (interaksi kardiorespirasi) telah
mulai dipelajari sejak 2 abad yang lalu dan terus dikembangkan. Salah satu tujuannya
adalah untuk memahami mekanisme interaksi patofisiologis (Mrowka, et.al; 2003). Upaya
memahami hubungan ketergantungan sistem kardiovaskular dan respirasi didasari fakta
adanya interaksi fisiologis antara kedua sistem tersebut. Karena sistem kardiorespirasi
merupakan osilator biologis utama yang menghasilkan ritme khas dalam menjalankan
fungsinya maka interaksi kardiorespirasi dianalisis berdasarkan ritme khas yang
dihasilkan masing-masing sistem. Interaksi saling mempengaruhi dalam ritme
kardiorespirasi salah satunya disebabkan oleh mekanisme pengaturan syaraf pusat.
Mengingat sistem kardiorespirasi merupakan osilator biologis, maka pemanfaatan
vibrasi yang ditimbulkannya sebagai sinyal data pengukuran fisiologis menawarkan
alternatif baru pada bidang pengembangan alat ukur. Posisi jantung dan paru-paru yang
berdekatan memungkinkan munculnya gelombang interferensi dari gelombang vibrasi
yang dihasilkan keduanya. Karakteristik gelombang interferensi tersebut merupakan
gambaran karakteristik masing-masing gelombang sumbernya. Untuk dapat melakukan
proses perbaikan maupun pengembangan peralatan pengukuran fisiologi sistem
kardiorespirasi berbasis vibrasi, analisis berdasarkan pemodelan matematik perlu
dilakukan sehingga variabel-variabel yang berpengaruh dapat ditentukan. Model
matematik yang divisualisasikan secara terkomputerisasi dapat mengurangi
konsekuensi-konsekuensi negatif proses desain yang tidak diinginkan. Meskipun demikian, proses
penyusunan model matematik untuk vibrasi sistem kardiorespirasi mempersyaratkan
adanya pertimbangan tentang aspek interaksi antar organ-organ penyusunnya. Hal ini
membutuhkan ketelitian dan ketepatan dalam menyusun skema mekanik, menentukan
asumsi-asumsi fisiologis, memilih variabel dan hukum-hukum mekanika yang menjadi
landasan analisis.
Hubungan fungsional antar organ penyebab timbulnya vibrasi kardiorespirasi
dalam bentuk osilasi regangan dinding dada dapat dilihat dari skema pada Gambar 1.
Dari skema tersebut tampak bahwa regangan dinding dada terjadi akibat perubahan
volume rongga torak. Perubahan volume rongga torak terjadi akibat aktivitas periodik dari
sistem pernafasan dan denyut jantung. Dengan demikian regangan dinding dada juga
bersifat periodik. Aktivitas periodik inilah yang disebut sebagai vibrasi. Vibrasi dengan
(a)
(b)
(c)
Gambar 1: Hubungan fungsional vibrasi kardiorespirasi, (diadaptasi dari Weinhaus., 2004), a) arah sumber gerakan (panah merah) dan osilasi pada rongga torak (panah hijau), b) arah gerak otot pernafasan pada kondisi inspirasi dan ekspirasi, c) perubahan volume rongga torak akibat gerak diafragma.
Mengacu pada kajian anatomisnya osilasi regangan dinding dada (y) merupakan fungsi perubahan volume rongga torak akibat gerak jantung (x1), gerak diafragma (x2) dan gerak otot intercostal (x3). Untuk dapat dijadikan sebagai gambaran sinkronisasi kardiorespirasi maka osilasi regangan dinding dada harus dirumuskan sebagai fungsi
waktu. Dengan demikian dinamika jantung, diafragma dan otot interkostal juga harus
dinyatakan sebagai fungsi waktu. Selama ini kinerja jantung memang dianalisis sebagai
fungsi waktu, tetapi gerak diafragma dan otot interkostal sebagai penggerak utama sistem
pernafasan tidak demikian halnya. Analisis peran diafragma dan otot interkostal umumnya
dilakukan dalam kondisi statik (Singh et.al., 2001; Cappelo, De Troyer, 2004). Model
pernafasan yang dijadikan acuan biasanya adalah pernafasan inspirasi maksimum. Hal ini
terjadi karena akses untuk merekam dinamika diafragma dan otot interkostal sulit
dilakukan secara langsung.
Proses pengembangan model matematis secara analitis murni ternyata juga
menemui beberapa kendala. Dinamika gerak jantung bermula dari pembangkitan
potensial aksi sel-sel pacemaker. Dalam hal ini diketahui bahwa terdapat beberapa jenis
sel pacemaker yang memiliki karakteristik anatomi dan fungsi yang berbeda-beda pula.
interaksi saling ketergantungan antara sel-sel pacemaker, sel-sel konduksi dan sel-sel
otot jantung. Beberapa pemodelan yang telah ada disusun berdasarkan kondisi-kondisi
asumsi untuk penyederhanaan (Gutierrez et.al., 2003; Yasutaka et.al., 2002; Roth, 1991).
Hal yang sama terjadi ketika dilakukan pemodelan pada level organ dan jaringan. Hal ini
menunjukkan kompleksitas dan derajat kesulitan yang harus diatasi untuk penyusunan
model matematis secara analitis murni.
Pemodelan sistem respirasi secara integral juga dilakukan dalam kerangka
penyederhanaan dimana sistem ini diasumsikan bersifat linier elastis (Wilson et.al., 1999).
Hal ini juga berpotensi menimbulkan kesalahan-kesalahan khususnya jika mengacu pada
fakta bahwa tulang-tulang rusuk berperan sebagai penghantar gaya yang dibangkitkan
otot-otot interkostal. Dalam hal ini tulang-tulang rusuk tersusun atas tulang keras dan
tulang rawan yang berbeda sifat mekanisnya. Interaksi dinamis antar elemen-elemen
sistem pernafasan tersebut juga melibatkan bentuk anatomis, arah dan urutan gerak yang
berbeda-beda dalam orientasi 3 dimensi (De Troyer et.al., 2005). Kompleksitas kondisi ini
menyebabkan pemodelan sistem respirasi umumnya dilakukan secara parsial.
Pendekatan untuk pemodelan dinamika diafragma didasarkan pada pemanfaatan
gambar-gambar radiografi statis (Olson et.al., 2006). Hal yang sama terjadi pada
pemodelan dinamika otot-otot interkostal.
Alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas
adalah dengan jalan mengkonstruksi model matematis dari grafik-grafik hasil pencatatan
peralatan gold standard secara numerik. Persamaan numerik yang didapat untuk
masing-masing sistem dikompilasikan untuk mendapatkan persamaan baru dengan acuan
metode-metode sinkronisasi. Konsekuensi logis pertama dari cara ini adalah
kesalahan-kesalahan yang timbul dari proses pencatatan data akan terbawa dalam model hasil
kompilasi. Di sisi lain sensitivitas model matematis hasil kompilasi mungkin juga rendah
karena grafik sumbernya menggambarkan parameter yang berbeda karakteristik dan
besarannya. Grafik ECG menggambarkan aktivitas kelistrikan jantung yang berhubungan
dengan tekanan ruang-ruangnya sedangkan grafik respirasi menggambarkan perubahan
volume paru. Frekuensi detak jantung 4 kali lebih tinggi dibandingkan frekuensi siklus
respirasi namun perubahan amplitudonya jauh lebih kecil (Hoffman, Ritman, 1988;
Tortora, 2005). Jantung berdetak rata-rata 72 BPM dengan perubahan volume maksimal
hanya 10% dari volume totalnya sedangkan sistem respirasi menghasilkan siklus sekitar
18 kali dalam satu menit tetapi perubahan volumenya dapat mencapai 600% dari kondisi
tidal (Despopoulos, Silbernagl, 2003). Karena dalam kondisi relaksasi volume total
jantung juga jauh lebih kecil dari volume paru maka tampak bahwa sistem respirasi
Perbedaan besar dari karakteristik frekuensi dan amplitudo jantung dan sistem
respirasi menjadi hal yang esensial untuk pemilihan sensor alat ukur dan desain metode
pengukurannya. Pemilihan elemen dan desain metode pengukuran diperlukan untuk
memverifikasi hasil pemodelan matematis, khususnya untuk melakukan interpretasi
fisioanatomi. Deviasi tinggi pada nilai parameter yang sama untuk kedua sistem tersebut
akan mempengaruhi proses penyaringan noise pada saat pengkalibrasian alat ukur.
Alternatif solusi yang mungkin dilakukan adalah menggunakan multi sensor yang
diletakkan berdekatan namun pemrosesan sinyalnya disatukan. Sebagai gambaran, salah
satu sensor regangan dinding dada yang akan dipilih nantinya harus dapat menangkap
perubahan dibawah 1 mm karena pergerakan dinding dada akibat proses pernafasan
diidentifikasi berkisar pada nilai 1-5 mm (De Groote et.al., 1997). Penempatan sensor
untuk mendeteksi regangan dinding dada yang diakibatkan dinamika jantung disesuaikan
dengan lokasi notch ujung jantung (apex). Pada posisi ini interaksi antara jantung dan
paru dimungkinkan juga lebih mudah teridentifikasi.
Solusi lain untuk memodelkan sinkronisasi kardiorespirasi dapat didasarkan pada
gelombang suara yang ditimbulkan sistem tersebut. Hal ini didasari fakta bahwa suara
pernafasan telah dapat dipetakan dalam bentuk citra gambar energi vibrasinya. Energi
vibrasi tersebut ditangkap sensor berupa perubahan getaran pada kulit (Dellinger et.al.,
2007). Di sisi lain auskultasi suara jantung juga umum dilakukan. Namun demikian telaah
interferensi suara sistem kardiorespirasi belum dilakukan sehingga
kemungkinan-kemungkinan yang timbul dalam proses pemodelan dan verifikasinya belum diketahui.
Auskultasi didefinisikan sebagai aksi mendengarkan suara dari dalam tubuh,
utamanya untuk memastikan kondisi paru-paru, jantung, pleura, abdomen dan organ
tubuh lainnya (Doorland’s, 1981). Teknik auskultasi (menggunakan stetoskop) masih
dipercaya sebagai salah satu teknik pendeteksian kelainan fungsi sistem pernafasan yang
bahkan dianggap lebih efektif dibandingkan dengan radiografi (Loudon, Murphy, 1984).
Hal ini disebabkan oleh faktor ketersediaan dan kemudahan pemakaiannya disamping
kesederhanaan dan metode penggunaan yang tidak invasif. Pemanfaatan teknik
auskultasi pada diagnosa penyakit jantung menunjukkan tingkat efektifitas kegunaan yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemanfaatan pada sistem pernafasan (Murphy,
1981). Kondisi ini didasari fakta bahwa suara-suara yang dihasilkan denyut jantung dan
sistem kardiovaskular lebih seragam sehingga variabilitasnya rendah. Diagnosa yang
dihasilkan menjadi lebih akurat. Dengan demikian pemanfaatan teknik auskultasi pada
diagnosa klinis sistem pernafasan perlu disertai pemahaman yang tinggi terhadap
Crackles (rales, gemeretak) adalah salah satu jenis suara paru yang dijadikan
indikator untuk menentukan penyakit-penyakit kardiorespirasi. Waktu terjadinya suara,
pitch (durasi) dan bentuk gelombang crackles merefleksikan kondisi patofisiologi yang
berbeda-beda (Piirila, Sovijarvi, 1995), seperti pneumonia, bronkiekstasis, asbestosis,
sarcoidosis, fibrosis alveolitis, cistik fibrosis dan penyakit-penyakit pulmonar karena
kegagalan jantung (Yasuda et.al., 1997). Meskipun banyak metode pendeteksian
otomatis telah didesain untuk mengidentifikasi crackles, namun semuanya didasarkan
pada kemampuan pendengaran alami ahli auskultasi untuk mengenali suara crackles
tersebut. Mengacu pada limitasi sistem auditori manusia, telah dibuktikan bahwa terjadi
kesalahan-kesalahan umum pada identifikasi crackles yang dilakukan oleh para ahli
auskultasi tersebut (Kiyokawa et.al., 2001). Para ahli tersebut gagal mengenali crackles
pada kondisi: 1) pasien bernafas dengan intensitas tinggi, 2) crackles yang terjadi bertipe
kasar dan medium dan 3) crackles yang terjadi beramplitudo kecil. Kesalahan hampir
tidak terjadi jika pasien bernafas secara lambat dan dalam. Dengan demikian masih
diperlukan validasi terhadap teknik-teknik auskultasi otomatis pengidentifikasian crackles
jika dimaksudkan sebagai referensi klinis.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Permasalahan pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah model rambatan gelombang interferensi suara jantung dan paru
melalui rongga intra torak hingga ke permukaan kulit dada ?
2. Bagaimanakah model matematis gelombang suara jantung dan paru yang dapat
menghasilkan interferensi ?
3. Bagaimanakah model matematis osilasi regangan dinding dada yang terbentuk oleh
gelombang interferensi tersebut ?
4. Apakah osilasi regangan dinding dada berhubungan dengan kondisi fisiologis
sinkronisasi kardiorespirasi ?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menyusun model rambatan gelombang interferensi suara jantung dan paru melalui
rongga torak hingga ke permukaan kulit dada.
2. Menyusun model matematis interferensi gelombang suara jantung dan paru.
3. Menyusun model matematis osilasi regangan dinding dada dengan gaya pembangkit
bersumber pada gelombang interferensi suara jantung dan paru.
4. Memvalidasi osilasi regangan dinding dada sebagai parameter fisiologis sinkronisasi
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Dari hasil simulasi matematik diketahui bahwa peningkatan volume paru-paru
dapat dimodelkan sebagai peningkatan resistansi pembuluh vaskular pulmonar dan
tekanan alveolar. Peningkatan volume paru menyebabkan perubahan tekanan intratorak.
Perubahan ini berpengaruh pada perfusi paru, aliran vena dan curah jantung (Darowski;
2000). Di sisi lain diketahui bahwa efek paparan polusi dalam jangka panjang
berpengaruh terhadap kesehatan kardiovaskular. Dalam hal ini disebutkan bahwa wanita
yang memiliki nilai FEV1 (
forced expiratory volume
) kurang dari 80% akibat polusi udara,diprediksi meninggal akibat penyakit kardiovaskular dengan rasio resiko RR = 3,79 (95%
CI: 1,64 – 8,74) untuk masa pantauan 5 tahun (Shcikowski, et.al; 2007). Untuk masa
pantauan 12 tahun, nilai RR-nya adalah 1,35 (95% CI: 0,66 – 2,77). RR tersebut
menunjukkan probabilitas seorang wanita akan meninggal akibat penyakit kardiovaskular
jika memiliki FEV1 < 80%, pada rentang CI (confidence interval) tersebut.
Hubungan timbal balik antara sistem kardiovaskular dan repirasi tersebut
menunjukkan fakta adanya sinkronisasi antara keduanya. Dalam hal ini tampak bahwa
kesehatan respirasi merupakan prediktor bagi mortalitas kardiovaskular. Keselarasan
antara detak jantung dan laju respirasi (sinkronisasi kardiorespirasi) merupakan fenomena
nyata meskipun bukan merupakan variabel utama interaksi kardiorespirasi (Toledo, et.al;
2002). Penelitian-penelitian tentang sinkronisasi kardiorespirasi umumnya masih
dilakukan dengan memanfaatkan data-data hasil rekaman terpisah dari alat ukur jantung
dan paru-paru, yang dikuantifikasi menjadi variabel baru (Mrowka, et.al; 2003). Kajian
terhadap alat-alat ukur standar yang umum digunakan pada monitoring dan diagnosa
sistem kardiorespirasi menunjukkan bahwa peralatan-peralatan tersebut secara individual
belum menunjukkan kinerja yang optimum yang memudahkan proses analisis data dan
diagnosa klinis yang bersesuaian. Pengembangan peralatan-peralatan baru sebagai
perbaikan kinerja yang menawarkan akurasi, kepresisian, kepraktisan, biaya murah dan
kenyamanan sangat diperlukan (Mack; 2003). Peralatan-peralatan tersebut sangat
berguna untuk mengevaluasi, memonitor dan mengukur kondisi fisiologis maupun
patofisiologis penderita yang tidak dapat melakukan aktivitas pernafasan terkontrol,
penderita yang kehilangan kesadaran maupun untuk bayi dan anak-anak kecil. Integrasi
peralatan kardiorespirasi juga menawarkan satu langkah pengukuran untuk menganalisis
kondisi fisiologis/patofisiologis kardiorespirasi secara simultan.
Penelitian ini merupakan langkah awal untuk mencapai integrasi peralatan
pengukur, pemonitor dan penganalisis sistem kardiorespirasi dan sinkronisasinya. Hasil
penelitian diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan untuk kondisi patofisiologis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KAJIAN SINKRONISASI KARDIORESPIRASI
Sinkronisasi kardiorespirasi didefinisikan sebagai koordinasi selaras antara urutan
siklus detak jantung dan siklus respirasi yang bersesuaian (Cysarz et.al., 2004). Hal ini
biasanya dilakukan dengan cara menghitung jarak waktu antara onset inspirasi dan
gelombang R yang mendahuluinya. Penelitian tentang koordinasi 2 sistem fisiologis ini
awalnya ditujukan untuk mendapatkan informasi kontinyu berbasis waktu (time series
information) sebagai data analisis patologi dan pelevelan derajat resiko (Makikallio et.al.,
2001). Meski sempat terhenti pada era 1980an karena kurangnya pemahaman terhadap
efek sinkronisasi kardiorespirasi, penelitian pada bidang ini telah dikaji ulang oleh ahli
fisika dan matematika dengan menggunakan model matematik (Rosenblum et.al., 1996).
Pada studi awal terhadap 2 osilator sembarang yang berdekatan ditemukan adanya
sinkronisasi fase meskipun sinkronisasi amplitudonya tetap belum diketahui. Model ini
selanjutnya digunakan sebagai pendekatan kualitatif untuk model interaksi detak jantung
dan respirasi (Schafer et.al., 1999). Pada perkembangannya berbagai metode yang
berbeda-beda telah dilakukan untuk menganalisis sinkronisasi kardiorespirasi. Kemiripan
maupun perbedaan definisi yang digunakan pada metode-metode tersebut tidak
diketahui. Keunggulan untuk masing-masing metode juga belum pernah dibandingkan.
Terdapat 2 metode berbasis analisis bivarian yang menawarkan kemudahan dan akurasi dalam pendeteksian sinkronisasi kardiorespirasi yaitu metode Synchronization
dan Phase Recurrences (Cysarz, et.al., 2004). Kedua metode tersebut dapat mendeteksi
adanya sinkronisasi melalui pencatatan detak jantung (dan siklus pernafasan) selama
kurang dari 20 kali pembentukan gelombang R. Metode-metode yang lain membutuhkan
waktu pencatatan sedikitnya 20 kali pembentukan gelombang R atau 10 siklus
pernafasan (kira-kira ekuivalen dengan 40 kali pembentukan gelombang R). Meskipun
demikian hasil analisis matematis ini tidak dapat digunakan sebagai justifikasi terjadinya
sinkronisasi secara fisik (fisiologis) walau didasarkan pada data pencatatan ECG dan
Metode Synchronization merupakan metode matematis yang digunakan untuk
menganalisis 2 kopel osilator dengan fase 1 dan 2 (Rosenblum et.al., 2001). Fase-fase
osilator ini mungkin secara teratur menunjukkan adanya sinkronisasi 1:1. Jika terjadi
sinkronisasi maka 1 - 2 menghasilkan nilai yang konstan. Pada kenyataannya data fase
1 dan 2 terkontaminasi noise sehingga meskipun terjadi sinkronisasi 1 - 2 tidak konstan
tetapi berfluktuasi di sekitar nilai tertentu. Untuk itu digunakan teknik stroboskopik dimana nilai 2 baru dicatat jika 1 melebihi nilai standar . Secara umum pada kondisi
sinkronisasi m kali ulangan 1 akan menghasilkan n kali data 2. Distribusi 2 inilah yang
dikuantifikasi dengan Fourier mode 1 menjadi parameter sinkronisasi dan dirumuskan
sebagai:
(1)
Jika terjadi sinkronisasi maka nilai = 1 sedangkan de-sinkronisasi bernilai = 0. Untuk
mendapatkan akurasi yang tinggi dapat dihitung pada berbagai nilai kemudian
dirata-rata hasilnya.
(a)
(b)
Metode Phase Recurrence secara sederhana dapat dipahami melalui
pengevaluasian sinkrogram yang mengandung m garis horisontal paralel (Betterman
et.al., 2002). Pada deret ini jarak relatif setiap m gelombang R mendekati sama. Jika tidak
demikian maka garis horisontal tidak akan muncul. ‘Pengulangan fase’ inilah yang
dijadikan parameter sinkronisasi. Metode kuantifikasinya didasarkan pada pengecekan
beda interval antara 2 gelombang R yang berurutan. Jika beda interval tersebut tidak
melebihi nilai toleransi dan terulang setidaknya k kali perhitungan yang berurutan maka
sinkronisasi terjadi. Secara matematis prosedur tersebut dinyatakan sebagai:
(2)
Dalam hal ini NT menyatakan jumlah gelombang R yang dicatat. Nilai k tidak ditentukan
namun untuk menjaga akurasi dianjurkan nilai k ≥ m untuk sinkronisasi m:n, dimana
jumlah gelombang R setidaknya sama dengan 2m.
2.2. AUSKULTASI KARDIORESPIRASI
2.2.1. Auskultasi suara jantung.
Pemantauan suara jantung masih menjadi standar penting dalam diagnosa klinis
penyakit jantung (Tavel, 1996). Secara umum suara jantung dideteksi dengan
menggunakan stetoskop akustik atau stetoskop elektronik. Stetoskop dipandang sebagai
peralatan yang efektif dari segi biaya sehingga tidak dapat digantikan secara total oleh
peralatan hasil teknologi alternatif lainnya. Namun demikian disadari bahwa stetoskop
memiliki keterbatasan-keterbatasan kinerja. Peralatan ini tidak dapat menyimpan dan
memutar ulang suara, tidak dapat menghasilkan tampilan visual dan tidak bisa diproses
secara digital karena berbentuk sinyal akustik (Tavel, 2006). Hal ini menyebabkan teknik
auskultasi sulit diajarkan karena stetoskop tidak dapat menghasilkan suara yang dapat
didengarkan oleh lebih dari satu orang (Mangione et.al., 1993). Stetostop elektronik yang
lebih baik bahkan menghasilkan noise yang cukup mengganggu disamping juga masih
sulit dihubungkan dengan komputer untuk memudahkan penganalisisan.
Kelemahan stetoskop standar mendorong inovasi stetoskop elektronik berbasis
digital (Tavel, 2006). Setidaknya terdapat 5 jenis stetoskop digital yang umum digunakan
yaitu Cardionics Corp (Webster, Tex), Point of Care Corp (Toronto, Canada), 3M Corp
Littman (Minneapolis, Minn), Welch Allyn Corp Meditron (Skaneateles, NY) dan American
Diagnostics Corp (Hauppauge, NY). Selain mereduksi dan meminimasi suara noise,
stetoskop digital ini (jenis Point of Care) dapat disisipkan pada stetostop akustik standar
sehingga bisa dihubungkan ke komputer atau peralatan penganalisis data berbasis
PalmOS atau Windows. Beberapa karakteristik unggulan dari stetoskop tersebut dapat
a. Kualitas suara yang dihasilkan
Peralatan baru ini dapat menangkap semua jenis suara jantung termasuk yang
berfrekuensi rendah. Suara berfrekuensi rendah ini adalah suara denyut jantung
ketiga dan keempat yang lembut, suara aliran pada katup mitral dan katup aortik.
Stetoskop akustik standar tidak dapat menangkap suara jenis ini.
b. Kemampuan menampilkan visualisasi data
Tampilan bentuk gelombang standar (fonokardiografik) dapat ditampilkan dan direkam
secara in time atau diputar ulang pada auskultasi berbasis stetoskop digital.
Penganalisis dapat melihat tampilan visual tadi bersamaan waktu dengan proses
pendengaran. Hal ini memberikan kemudahan untuk mengkategorikan, mengartikan
dan menganalisisnya. Di sisi lain juga mulai disediakan data visual suara dalam
bentuk spektral yaitu tampilan visual data suara dalam bidang 2 sumbu. Sumbu
horisontal menampilkan waktu pencatatan, sumbu vertikal menampilkan frekuensi
suaranya dan warna-warna pada grafik menunjukkan intensitas suaranya (Gambar 3).
Visualisasi dalam bentuk spektral akan memudahkan penidentifikasian kelainan pola
dan kaitannya dengan kondisi fisiologis.
c. Kemampuan memutar ulang rekaman suara
Peralatan digital mampu menampilkan rekaman ulangan dengan kualitas sebagus
suara aslinya tanpa distorsi. Rekaman ulang juga dapat diperlambat tanpa merusak
pola grafik sehingga sangat membantu pada proses penganalisisan jantung yang
berdetak terlalu cepat, membantu mengidentifikasi suara-suara yang terpecah atau
menginterpretasikan suara-suara murmur secara lebih akurat.
d. Ketersediaan database sebagai referensi dan transfer data
Kemampuan peralatan digital untuk merekam dan menyimpan suara tanpa merusak
karakteristik aslinya dapat dijadikan koleksi data yang tersedia langsung. Hal ini
memberikan kemudahan penganalisisan di masa mendatang karena pola-pola suara
tersebut dapat dibanding secara langsung. Database yang tersedia juga dapat
disediakan untuk akses jarak jauh baik dalam lingkup antar ruang, antar bangunan
Gambar 3: Contoh karakteristik suara jantung kedua, normal dan abnormal (Tavel, 2006). Grafik A menunjukkan karakteristik suara jantung kedua normal, dengan komponen aortik (A2) dan pulmonik (P2) dimana frekuensi A2 lebih tinggi dari P2. Grafik B menunjukkan karakteristik suara jantung kedua pada penderita atrial septal defect. Tampak bahwa komponen A2 dan P2 terpecah, frekuensi P2 lebih tinggi dari A2, perubahan pola SM (systolic ejection murmur) dan suara jantung pertama (S1). Grafik dibawah masing-masing gambar spektral adalah grafik bentuk gelombang standar (fonokardiografik).
2.2.2. Auskultasi suara paru.
Suara pernafasan normal didefinisikan sebagai suara gemuruh ringan (slight
murmur) yang mengikuti masuk dan keluarnya udara pernafasan dari sel paru (Laennec,
1935). Pada awalnya suara pernafasan diduga terjadi karena 1) gesekan antara udara
dengan dinding jalan nafas, 2) gerak glottis saat dilewati udara dan 3) gerak udara saat
mengalami perubahan lebar ruang aliran dari sempit menjadi lebih luas. Dugaan ketiga
telah dibuktikan secara eksperimental meskipun tidak disanggah bahwa glottis juga
menghasilkan suara (Bullar, 1884). Selanjutnya diketahui bahwa aliran udara yang
menyebabkan suara pernafasan adalah yang berbentuk turbulen (Forgacs, 1969).
juga bahwa aliran udara yang memasuki paru kiri mengalami perlambatan akibat aliran
udara dari arah berlawanan yang terjadi karena dorongan denyut jantung. Aliran udara
tersebut akan semakin pelan dan menjadi laminar seiring dengan perubahan diameter
bronki sehingga saat memasuki ujung-ujung bronki sudah tidak terdengar adanya suara.
Pendapat ini dapat dipatahkan dengan munculnya bukti bahwa pada ruang intrapulmonar
pun terjadi suara (Kraman, 1980). Suara ini muncul dari aliran udara memasuki rongga
alveoli dan disebut suara vesikular. Secara klinis intensitas suara paru umumnya
dihubungkan dengan volume paru dimana peningkatan intensitas suara paru merupakan
indikasi terjadinya ekspansi paru.
Visualisasi karakteristik aliran udara pernafasan dapat dilihat pada Gambar 4
(Ching-Long, 2007). Gambar tersebut merupakan hasil pemodelan matematis untuk
mempelajari karakteristik deposisi dan transport material pada udara pernafasan.
Karakteristik yang ditinjau meliputi distribusi kecepatan aliran, energi kinetik, energi
turbulensi dan intensitas turbulensi. Pemodelan dilakukan terhadap 2 lingkup sistem
pernafasan. Lingkup pertama melibatkan sistem pernafasan mulai dari saluran nafas atas
hingga percabangan bronkus generasi ke-6 sedangkan lingkup kedua hanya melibatkan
organ-organ intratorak saja. Hasil analisis dari 2 ruang lingkup tersebut dibandingkan
untuk melihat perbedaan karakteristiknya. Karakteristik yang ditunjukkan oleh gambar
adalah perbandingan distribusi energi kinetik kecepatan rata-rata, energi kinetik turbulensi
aliran dan intensitas turbulensi yang terjadi di sekitar percabangan pertama saluran
pernafasan. Dari visualisasi tersebut tampak bahwa aliran turbulen terjadi pada saluran
nafas atas dan bawah khususnya pada daerah-daerah belokan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik suara pernafasan
trakeal dipengaruhi oleh tinggi badan (Sanchez, Pasterkamp, 1993) dan laju aliran udara
(Soufflet et.al., 1990). Amplitudo suara pernafasan normal juga dipengaruhi oleh laju
aliran udara (Gavriely, Cugell, 1996). Hal ini menyebabkan frekuensi suara pernafasan
dibedakan menjadi beberapa rentang spektrum (Pasterkamp et.al., 1997b), yaitu rentang
frekuensi rendah (100-300 Hz), menengah (300-600 Hz) dan tinggi (600-1200 Hz). Pada
rentang frekuensi rendah, terjadi tumpang tindih antara suara jantung dan pergerakan
otot, sehingga jika diinginkan penganalisisan suara pernafasan saja maka frekuensi
rendah ini harus difilter (Charbonneau et.al., 1982). Usia dan jenis kelamin diketahui juga
berpengaruh terhadap karakteristik suara pernafasan. Telah dibuktikan bahwa perubahan
karakteristik suara pernafasan akibat perbedaan usia dan jenis kelamin terlalu kecil untuk
dijadikan acuan dalam analisis klinis sehingga pada teknik auskultasi otomatis kedua
Gambar 4: Visualisasi karakteristik aliran udara pernafasan (Ching-Long, 2007). Case 1 adalah pemodelan mengikuti ruang lingkup 1 sedangkan case 2 mengikuti ruang lingkup 2. Gambar A, D menunjukkan distribusi energi kinetik kecepatan rata-rata, B dan E menunjukkan distribusi energi aliran turbulen; sedangkan C dan F menunjukkan intensitas turbulensi aliran.
Auskultasi terhadap sistem pernafasan umumnya diarahkan untuk mencoba
menemukan adanya tanda-tanda sekresi lendir yang berlebihan atau untuk melihat inflasi
paru yang menunjukkan jalannya aliran udara pernafasan (Jones et.al., 1999). Analisis
suara pernafasan umumnya difokuskan pada amplitudo, frekuensi dan spektrumnya.
Suara pernafasan divisualisasikan sebagai grafik tampilan pada osiloskop dan analisisnya
didasarkan pada bentuk grafik tersebut. Klasifikasi bentuk gelombang suara pernafasan
yang menjadi acuan analisis dapat dilihat pada Tabel 1. Tampak bahwa terdapat
perbedaan istilah untuk satu kondisi suara pernafasan. Hal ini menghasilkan
Tabel 1. Klasifikasi bentuk gelombang suara pernafasan
* ATS : American Thoracic Society (Murphy, 1981)
Mengingat proses terbentuknya suara pernafasan berjalan kontinyu dengan
kecepatan perubahan kondisi yang cukup cepat maka analisis bentuk gelombang suara
berdasarkan hasil gambar ‘real time’ dirasakan kurang cermat (Forgacs, 1967). Hal ini didasarkan pada fakta bahwa suara yang terjadi dari 2 siklus pernafasan yang berurutan
sekalipun dapat berbeda bentuk. Maka analisis bentuk gelombang suara mulai
didasarkan pada grafik hasil rekaman suara pernafasan yang diplotkan pada sumbu
waktu yang diekspansikan (Gambar 5). Model ekspansi sumbu waktu ini dirasakan dapat
mengatasi ketidakpastian pada analisis suara pernafasan meskipun belum banyak
berguna untuk kepentingan klinis.
Kelainan suara pernafasan secara umum dibedakan menjadi 2 macam yaitu suara
gemerisik (crackle) dan suara terengah-engah (wheeze). Mulanya crackles diduga terjadi
akibat adanya cairan pada jalan pernafasan karena runtuhnya lapisan lendir pada dinding
atau karena terjadi gelembung udara (Murphy, 1981). Karena crackles dideteksi terjadi
pada ekspirasi maka kuat diduga bahwa gelembung udara bukanlah faktor penyebab
terjadinya crackles (Forgacs, 1967). Kelainan suara pernafasan ini muncul pada penyakit
Gambar 5: Model analisis ekspansi sumbu waktu. Sumbu horisontal pada grafik rekaman gelombang suara di atas menunjukkan waktu rekaman yang diekspansikan dengan cara memperlambat putaran ulang. Dengan cara ini variabilitas pola gelombang dapat divisualisasikan secara lebih cermat (jika dibandingkan dengan pola pada Tabel 1). Sumbu vertikal menunjukkan intensitas atau amplitudo suara. Gambar A dan B menunjukkan suara vesikular dan trakeal normal. Semakin keras, fase ekspirasi yang lebih panjang dari suara trakeal dapat dikenali sebagai jeda antara inspirasi dan ekspirasi. Ketika suara gemerisik (crack les) muncul maka pada grafik akan terjadi defleksi diskontinyu yang menumpuki pola normal vesikular (titik c pada Gambar C). Gambar D menunjukkan defleksi kontinyu akibat wheeze yang menggantikan pola normal (Forgacs, 1967).
Wheeze adalah suara pernafasan yang umumnya muncul pada periode-periode
akut obstruksi jalan pernafasan. Kelainan ini tampaknya terjadi jika aliran udara
berkecepatan tinggi pada saluran pernafasan sempit mengakibatkan penurunan tekanan
gas pada area perbatasan (Forgacs, 1967). Hal ini menyebabkan dinding jalan nafas
nyaris tertutup. Kondisi setengah terbuka dan tertutup inilah yang diduga menimbulkan
suara wheezing. Diketahui bahwa suara wheeze kemungkinan muncul jika aliran udara
pada saluran nafas utama bagian tengah melebihi kecepatan kritis (King et.al., 1989).
Suara ini bisa juga terdengar pada pernafasan normal jika subyek melakukan manuver
Meskipun perubahan suara pernafasan sudah dihubungkan dengan kondisi
patologi klinis namun tingkat akurasi analisisnya masih menjadi perdebatan dan
mendatangkan banyak pertanyaan (Murphy, 1981). Hal ini diakibatkan kompleksitas dan
variabilitas yang muncul secara random dan tidak terprediksi. Kompleksitas dan
variabilitas tadi tampak pada pengklasifikasian jenis suara pernafasan yang masih sangat
general. Satu jenis suara dapat terdeteksi pada beberapa jenis penyakit yang sangat
berbeda. Kebutuhan saat ini dan di masa yang akan datang untuk analisis suara
pernafasan terletak pada peralatan yang mampu menghasilkan kepresisian analisis,
kemudahan dan konsistensi dalam penginterpretasiannya.
2.3. RAMBATAN GELOMBANG SUARA DI DALAM TUBUH
Teknik auskultasi konvensional, khususnya terhadap suara pernafasan, masih
menggunakan konsepsi-konsepsi dasar bahwa 1) asimetri pada amplitudo suara
pernafasan mengindikasikan adanya penyakit, 2) suara yang didengar pada permukaan
dada adalah versi saringan suara trakeal dan suara leher dan 3) kecepatan aliran udara
tidak banyak berpengaruh pada diagnosa klinis selama kecepatan normalnya terpenuhi
(Pasterkamp et.al., 1997a). Konsepsi-konsepsi konvensional tersebut meskipun berguna
pada diagnosa klinis namun akurasinya masih sangat diragukan. Beberapa perspektif
akustik, seperti karakteristik spektral suara, yang tidak dapat dideteksi menggunakan
teknik auskultasi ternyata justru menyimpan informasi-informasi unik. Perspektif akustik
tersebut baru mendatangkan manfaat jika dianalisis berdasarkan pengetahuan tentang
karakteristik laju aliran udara. Pola pandang baru ini justru bertentangan dengan konsepsi
konvensional. Pemahaman terhadap rambatan suara dalam rongga intratorak
menunjukkan bahwa konsepsi-konsepsi konvensional tersebut memang perlu dikoreksi.
Pola rambatan gelombang suara pada sistem pernafasan berbeda-beda
tergantung pada area yang dilaluinya. Secara global rambatan gelombang pada rongga
torak dibedakan berdasarkan 3 area yang dilaluinya (Pasterkamp et.al., 1997a), yaitu
saluran respirasi atas, jaringan parenkim dan dinding dada. Pola rambatan suara pada
area-area tersebut umumnya dipelajari melalui pemodelan. Saluran respirasi atas terdiri
atas jalur vocal dan jalan nafas subglottal termasuk percabangan-percabangan jalan
nafas besar. Area ini dimodelkan sebagai tube tunggal panjang yang tidak kaku, ujungnya
terbuka ke arah rongga udara yang relatif besar. Karena sifat jaringan yang meliputi area
ini mudah menyerap energi suara, resonansi suara yang muncul berkisar pada frekuensi
dasar 650 Hz pada sistem subglottal atau lebih rendah jika keseluruhan jalur bersih dari
Jaringan parenkim terdiri atas percabangan saluran nafas kecil, rongga alveoli,
saluran kapiler dan jaringan pendukung. Pada frekuensi dibawah 10 kHz dimana panjang
gelombang suara melebihi diameter rongga alveoli, jaringan parenkim dimodelkan
sebagai substansi seperti busa berupa campuran homogen antara udara dan jaringan
fluida seperti air (Rice, 1983). Dalam hal ini diasumsikan tidak terjadi pertukaran gas
akibat adanya rambatan gelombang suara. Pada jaringan ini suara merambat dengan
kecepatan sekitar 50 m/s. Sebagai bendingan rambatan suara pada paru kuda memiliki
rentang kecepatan antara 20-70 m/s, rambatan suara di udara bebas adalah 300 m/s
sedangkan pada jaringan padat sebesar 1500 m/s (Rice, 1980). Model ini menjadi tidak
akurat jika dinamika pertukaran gas pada alveoli diperhitungkan sebagai parameter yang
mempengaruhi kerugian energi selama rambatan terjadi. Model lain untuk jaringan
parenkim berbentuk kumpulan gelembung udara dalam air (D’yachenko, Lyubimov,
1988). Model inipun menunjukkan bahwa kerugian energi tetap terjadi jika panjang
gelombang suara mendekati diameter alveoli. Kedua model di atas sama-sama
menunjukkan bahwa proses rambatan suara sangat dipengaruhi level frekuensi suaranya.
Dinding dada sebagai area terakhir yang harus dilalui gelombang suara sebelum
mencapai permukaan tubuh memiliki karakteristik jaringan yang sangat berbeda.
Meskipun lebih tipis jika dibandingkan dengan jaringan parenkim, dinding dada lebih
padat dan kaku. Adanya tulang, otot, kulit dan jaringan lain pada dinding dada
menyebabkan analisis rambatan suara pada area ini meningkat kompleksitasnya (Kudoh,
1992). Terdapat dugaan bahwa perbedaan impedansi antara jaringan parenkim dan
dinding dada menyebabkan terjadinya penurunan amplitudo yang sangat besar,
perubahan waktu rambatan dan bentuk gelombang suara (Vovk et.al., 1995).
Ketiga area rambatan gelombang suara tersebut pada akhirnya dimodelkan
sebagai satu kesatuan berbentuk tabung silinder besar dengan rongga tube ditengahnya
dan terbuka di ujungnya (Vovk et.al., 1994). Permukaan silinder mewakili dinding dada,
ketebalan silinder sebagai jaringan parenkim sedangkan tube pada rongga mewakili
saluran trakeal. Model tabung silinder ini dapat memberikan gambaran tentang rambatan
gelombang suara pernafasan pada manusia sehat (Wodicka, Shannon, 1990) tetapi tidak
2.4. PEMODELAN OSILASI REGANGAN DINDING DADA
Secara eksperimental, regangan dinding dada telah dijadikan parameter
pengukuran perubahan volume rongga rusuk dengan menggunakan pletismograf
induktansi (Palmer et.al; 2004). Regangan diukur menggunakan sabuk induktansi yang
dililitkan pada lingkar dada. Hasil pengukuran dikalibrasikan terhadap hasil pengukuran
pneumotachograf sebagai alat ukur standar. Meskipun metode pengukuran ini tidak
mengganggu pola pernafasan akibat pemakaian masker sebagaimana pada
pneumotachograf, hasil pengukuran sabuk konduktansi masih dipengaruhi oleh beberapa
jenis tekanan non-gas pernafasan dalam tubuh seperti tekanan darah dan tekanan gas
abdominal. Di sisi lain pengukuran sabuk induktansi hanya dapat mencatat perubahan
pada arah radial (2 dimensi) saja. Jadi pergerakan ke arah lain tidak dapat diukur. Hal
tersebut menimbulkan beberapa kesulitan dalam analisis datanya.
Pemodelan dinding dada secara matematik dilakukan untuk mempelajari aktivitas
paru-paru dan otot perut (Cappelo, De Troyer; 2004). Penelitian ini bertujuan melihat
pengaruh elastansi tulang rusuk terhadap interaksi gerak paru-paru dan otot perut dalam
perubahan volume pada proses pernafasan. Dinding dada digambarkan secara mekanik
sebagai model 2 ruang sebagaimana tampak pada Gambar 6.
Rongga rusuk dan diafragma digambarkan sebagai piston dan pegas pada bagian
atas dan bawah silinder. Paru-paru digambarkan sebagai pegas diantara 2 piston
tersebut. Otot-otot perut digambarkan sebagai gelondong otot (muscle bundles) yang
diikatkan pada piston ketiga menggunakan puli dan tali pada sisi kiri silinder sekaligus
untuk menggambarkan dinding perut. Pada sistem ini gelondong otot menggerakkan
piston abdominal ke kanan jika berkontraksi. Gerak piston abdominal menyebabkan
peningkatan tekanan abdominal (Pab) dan menekan pegas paru-paru. Persamaan
keseimbangan statis sistem pernafasan dalam variabel tekanan pembukaan jalan nafas
(Pao) selanjutnya dinyatakan sebagai :
Pao = KR VR + KL VL (3)
VDi = perubahan volume akibat gerak diafragma KDi = elastansi diafragma
VA = perubahan volume abdominal KA = elastansi dinding abdominal
Jadi perubahan volume paru-paru merupakan jumlah dari perubahan volume rongga
Gambar 6: Model dinding dada (Cappelo, De Troyer; 2004).
Secara eksplisit sistem pernafasan yang mengalami kondisi percepatan aksial,
yaitu kondisi tubuh dalam aktivitas dinamik, seperti misalnya yang terjadi pada saat
berjalan atau berlari, dapat dimodelkan secara matematis (Loring et.al., 2001). Dalam hal
ini sistem pernafasan dimodelkan sebagai dua massa yang bergerak dalam silinder
sebagaimana tampak pada Gambar 3. Gaya netto yang diakibatkan oleh gerak otot-otot
pernafasan dada (Frc) dan abdominal (Fab) dirumuskan sebagai:
)
tekanan rekoil elastis dari paru, A adalah luas penampang lintang bidang kerja gaya, Krcm
adalah koefisien kekakuan otot (Krcm = Arc2/Crc), C adalah compliance paru, R adalah
koefisien peredaman viskos dari otot (nilainya diasumsikan dari kondisi fisiologis), G
adalah koefisien gravitasi ke arah cephalad (z) dan ventrad (y), α dan β adalah sudut
orientasi sebagaimana tampak pada Gambar 7. Pada penelitian ini persamaan
diselesaikan secara numerik menggunakan Program Matlab Simulink 1.3. untuk
mengetahui profil kecepatan dan percepatan reaksi dari sistem pernafasan setelah proses
akselerasi menggunakan papan latihan. Nilai-nilai parameter diperoleh dari berbagai
Kekurangan dari model ini adalah perlunya dilakukan penyesuaian terhadap
nilai-nilai parameter simulasi agar menunjukkan hasil yang sesuai dengan kondisi
fisioanatomis. Sebagai contoh adalah penentuan sudut α dan β tidak bisa dilakukan
secara khas namun diperoleh dari coba-coba. Beberapa parameter yang lain juga
demikian. Hal ini meninggalkan catatan bahwa hasil penelitian masih merupakan
pendekatan yang memerlukan kajian lebih detail. Di sisi lain hasil pemodelan ini dapat
dijadikan dasar pemodelan osilasi regangan dinding dada yang merupakan variabel
x
pada persamaan 7).
Gambar 7: Model sistem respirasi dibawah pembebanan percepatan aksial (Loring et.al., 2001).
2.5. AKURASI PENGUKURAN GETARAN DINDING DADA
Penggunaan sensor getaran sebagai alat ukur banyak dilakukan pada
penelitian-penelitian tentang kualitas tidur. Hal ini didasari fakta bahwa kualitas tidur dapat dipantau
dari karakteristik fisiologis seperti suhu badan, posisi dan gerakan pada saat tidur, detak
jantung serta laju pernafasan (Mack, et.al; 2003). Sensor getaran yang digunakan tidak
bersifat intrusif sehingga dapat ditempatkan pada kursi diagnosa, tempat tidur ICU dan
keperluan pediatrik. Sensor ini dimaksudkan sebagai peralatan alternatif yang lebih murah
dibandingkan dengan peralatan yang telah ada.
Sensor getaran didesain sebagai peralatan yang sensitif terhadap denyut
pembuluh darah dan gerakan badan akibat pernafasan. Sensor tersusun dari transduser
piezoelektrik supersensitif yang memiliki karakteristik respon terhadap frekuensi rendah
yang sangat bagus. Transduser dihubungkan pada bladder berisi udara sebagai
pembangkit sinyal. Teknik pemrosesan sinyalnya meliputi filter frekuensi rendah, amplifier
Uji validitas akurasi data hasil pencatatan sensor getaran dilakukan dengan
menempatkan 2 buah sensor pada tempat tidur obyek, masing-masing untuk mengukur
detak jantung dan gerak pernafasan. Sebagai kalibrator digunakan pulse-oximeter yang
memiliki akurasi ±1% untuk membandingkan data pencatatan detak jantung. Laju
pernafasan dikalibrasi dengan cara mengambil sampel data selama 1 menit dimana
obyek diminta menghitung jumlah pengambilan nafas. Hasil pencatatan sensor
dibandingkan dengan hasil hitungan obyek. Obyek penelitian diambil 22 orang,
pengukuran dilakukan dalam 2 posisi, telentang dan tertelungkup. Hasil pencatatan filter 2
band untuk detak jantung dan gerak pernafasan, tampak pada Gambar 8. Analisis akurasi
sensor ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 8: Contoh keluaran data sensor getaran. Hasil pencatatan filter 2 band, grafik atas menunjukkan data detak jantung, grafik bawah menunjukkan data laju pernafasan (Mack, et.al; 2003).
Hasil analisis akurasi untuk data detak jantung menunjukkan bahwa semua data
terletak dalam rentang akurasi 5% kesalahan dari hasil pencatatan pulse-oximeter,
bahkan 68% data terletak dalam rentang kesalahan 2%. Detak jantung yang terukur
meliputi variasi yang cukup luas yaitu antara 49-84. Meskipun data hasil pencatatan laju
pernafasan tidak ditunjukkan, namun analisis akurasi menunjukkan hasil yang sama
antara hasil pencatatan sensor dan perhitungan obyek. Diakui bahwa jika dilakukan
pengukuran yang lebih teliti akan didapatkan variabilitas namun variabilitas data yang
akan muncul hanya dalam skala kecil saja. Disimpulkan bahwa penggunaan sensor
getaran sebagai alat ukur karakteristik fisiologis jantung dan aktifitas pernafasan dapat
a. Hasil pengukuran detak jantung dengan menggunakan pulse -oximeter dan sensor getaran untuk posisi tertelungkup
b. Hasil pengukuran detak jantung dengan menggunakan pulse -oximeter dan sensor getaran untuk posisi telentang
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
Aktivitas pernafasan pada kondisi tubuh yang berbeda menghasilkan variasi
karakteristik aliran udara ke dalam paru-paru. Hal ini pada akhirnya juga menghasilkan
suara pernafasan yang berbeda-beda. Hal yang sama juga terjadi pada jantung. Denyut
jantung pada kondisi tubuh yang berbeda juga menghasilkan karakteristik aliran darah
yang berbeda pada saat melewati katup-katup. Suara yang ditimbulkan aliran darah
tersebut akhirnya juga berbeda-beda. Sebagaimana dinamika volume paru dan tekanan
ventrikel yang menunjukkan adanya pola sinkronisasi maka suara pernafasan dan suara
jantung semestinya menunjukkan pola sinkronisasi pula dalam bentuk suara interferensi.
Mengacu pada teknik auskultasi, suara di dalam rongga intratorak dapat merambat dalam
bentuk gelombang dan mencapai dinding dada. Gelombang tersebut akan menghasilkan
denyut-denyut yang menyebabkan kulit dada mengalami siklus peregangan. Dalam hal
inilah osilasi regangan dinding dada tersebut dapat dinyatakan mewakili karakteristik
gelombang yang menjadi sumbernya. Maka pada akhirnya osilasi regangan dinding dada
semestinya dapat dijadikan parameter fisiologis sinkronisasi kardiorespirasi. Secara
skematis kerangka konseptual ini dapat dilihat pada Gambar 10.
Aktifitas Pernafasan
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. MODEL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analisis teoritis yang mengeksplorasi dan
mengembangkan model matematis osilasi regangan dinding dada sebagai kandidat
parameter fisiologis sinkronisasi kardiorespirasi. Hasil akhir penelitian akan berbentuk
persamaan matematis yang divisualisasikan dalam bentuk grafik-grafik dan gambar hasil
analisis dan perhitungan berbasis pemrograman komputer. Definisi-definisi operasional
yang digunakan pada penelitian ini adalah:
a. Osilasi regangan dinding dada
Yang dimaksud dengan osilasi regangan dinding dada adalah gerak periodik
peregangan elastis dinding dada yang terjadi (utamanya) akibat aktivitas pernafasan
dan denyut jantung.
b. Suara jantung
Yang dimaksud dengan suara jantung pada penelitian ini adalah suara jantung yang
muncul dari ruang ventrikel kiri akibat aliran darah yang memasuki maupun keluar dari
ruang tersebut.
c. Suara paru
Yang dimaksud dengan suara paru pada penelitian ini adalah suara vesikular pada
area paru yang berdekatan dengan ventrikel kiri jantung. Suara vesikular merupakan
suara paru yang bersumber dari dinamika aliran udara yang memasuki jaringan
parenkim atau rambatan suara trakeal yang sampai di jaringan parenkim.
d. Kondisi fisiologis
Yang dimaksud dengan kondisi fisiologis adalah kondisi tubuh manusia dewasa
normal dan sehat (kondisi basal).
e. Sinkronisasi kardiorespirasi
Definisi sinkronisasi kardiorespirasi yang digunakan pada penelitian ini adalah
sinkronisasi fase grafik ECG dan grafik pernafasan tidal.
4.2. TAHAPAN PENELITIAN
Penelitian dilakukan dalam 2 tahap yaitu:
a. Tahap I Pengembangan Model Matematis
4.2.1. Pengembangan model matematis
Pada tahap ini akan disusun model matematis osilasi regangan dinding dada
berbasis auskultasi melalui urut-urutan langkah sebagai berikut:
a. Pengembangan model pembentukan suara paru
Model matematis pembentukan suara paru didasarkan pada analisis mekanika fluida
berbasis CFD terhadap aliran udara pernafasan yang memasuki paru. Area tinjauan
adalah jaringan parenkim paru di sekitar ruang ventrikel kiri jantung.
b. Pengembangan model pembentukan suara jantung
Model matematis pembentukan suara jantung didasarkan pada analisis mekanika
fluida berbasis CFD terhadap aliran darah yang memasuki atau keluar dari ventrikel
kiri jantung.
c. Pengembangan model interferensi gelombang suara jantung dan paru
Model matematis interferensi gelombang suara paru dan jantung merupakan
gabungan model matematis pembentukan suara paru dan jantung dengan
memperhatikan kaidah-kaidah sinkronisasi kardiorespirasi. Kaidah-kaidah sinkronisasi
tersebut bisa mengacu pada fakta-fakta anatomis, fisiologis atau teori-teori
sinkronisasi yang telah ada.
d. Pengembangan model rambatan gelombang interferensi pada rongga intratorak
Model matematis rambatan gelombang interferensi hanya mengacu pada kondisi
rambatan di jaringan parenkim dan dinding dada saja. Arah rambatan dianggap linier
tegak lurus dari lokasi apex jantung menuju permukaan dada.
e. Pengembangan model osilasi regangan dinding dada
Model matematis osilasi regangan dinding dada didasarkan pada respon material
dinding dada terhadap rambatan gelombang interferensi yang sampai di permukaan.
Lingkup pemodelan adalah 2 dimensi.
Hasil akhir berupa model matematis osilasi regangan dinding dada ini selanjutnya
divisualisasikan dalam bentuk grafik dan gambar dengan menggunakan program-program
komputer yang mendukung pemodelan, misalnya Mathlab atau Ansys. Data-data yang
diperlukan untuk perhitungan numerik diambilkan dari rata-rata parameter-parameter
medis manusia dewasa, normal dan sehat. Data-data yang tidak memungkinkan diambil
4.2.2. Validasi model matematis
Pada tahap ini grafik-grafik maupun gambar visualisasi model matematis yang
telah dihasilkan dibandingkan dengan beberapa acuan standar. Acuan-acuan standar
tersebut meliputi:
a. Grafik kompilasi suara jantung dan paru yang direkam terpisah menggunakan alat
ukur gold standar (fonokardiograf atau stetoskop elektronik digital) kemudian diolah
dengan bantuan program-program komputer pengolah suara, misalnya Ulead atau
Windows Movie Maker.
b. Grafik sinkronisasi kardiorespirasi berbasis fase yang disusun dari hasil pencatatan
ECG dan spyrometri.
c. Grafik hasil pengukuran osilasi regangan dinding dada menggunakan peralatan bantu
berbasis sensor displacement jenis strain gauge atau piezo-elektrik yang dilakukan
terhadap manusia dewasa, normal dan sehat.
Data-data untuk 3 acuan tersebut di atas diupayakan sejauh mungkin untuk diambil
secara bersamaan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran real time
dari masing-masing aktivitas yang diukur, meminimasi bias data dan
kesalahan-kesalahan yang timbul akibat perbedaan kondisi pengukuran. Jika tidak dimungkinkan
maka pengambilan data diupayakan dilakukan terhadap obyek yang sama pada kondisi
pengukuran yang diatur sejauh mungkin sama. Karena proses pengambilan data
melibatkan manusia sebagai obyek maka akan dikonsultasikan dan dimintakan
persetujuan terlebih dahulu pada Komisi Etik.
Sebagai acuan analisis, kedekatan hasil visualisasi model matematis dengan
karakteristik data dari acuan-acuan standar di atas menunjukkan tingkat validitas hasil
pemodelan. Perbandingan dilakukan secara statistik dengan metode pencocokan kurva.
4.3. MODEL DASAR PERSAMAAN MATEMATIS
Model matematis osilasi regangan dinding dada yang dibangkitkan oleh suara
pernafasan dan jantung, disusun dari teori dasar pembentukan suara secara fisik mekanis
yang disesuaikan dengan karakteristik fisioanatomi rongga dada. Model pembentukan
suara dikembangkan dari teori-teori dasar berikut.
4.3.1. Analogi akustik Lighthill.
Suara yang dipancarkan dari area aliran turbulen tertentu didekati dengan Teori
Lighthill melalui analogi akustik. Analogi ini menghasilkan pendekatan umum untuk
menghitung area pembangkitan tekanan akustik dengan menggunakan tensor Lighhill
(9)
Dibawah beberapa asumsi diketahui bahwa hanya suku pertama dari persamaan 9) saja
yang diperlukan. Selanjutnya persamaan gelombang suara dalam variabel densitas udara
dinyatakan sebagai:
(10)
Pada persamaan tersebut, adalah densitas fluida, u adalah kecepatan aliran,
x
adalaharah aliran, p adalah tekanan fluida dan t menyatakan waktu. Penggunaan analogi akustik
dari teori Lighthill dianggap memadai untuk menyusun persamaan gelombang suara
karena rambatan noise pada jarak yang cukup jauh dari sumber akibat efek kompleks dari
interaksi non-linier gelombang bernilai cukup kecil.
4.3.2. Persamaan untuk aliran inkompresibel.
Persamaan untuk aliran inkompresibel yang dijadikan pemodelan aliran
pernafasan dan jantung dikembangkan dari persamaan kontinyuitas dan Navier Stokes
dalam notasi tensor, yaitu:
(11)
(12) Dalam hal ini u, p, dan v menyatakan kecepatan aliran, tekanan, densitas dan viskositas
kinematik. Nilai densitas dan viskositas kinematik udara yang digunakan adalah 1,2 kg/m3
dan 1,7 x 10-5 m2/s (Ching-Long et.al., 2007). Kedua persamaan tersebut dapat
diselesaikan dengan menggunakan metode Galerkin orde-2. Metode komputasi detail jika
diperlukan akan diacu dari paparan Lin et.al. (2005).
4.4. PERALATAN PENDUKUNG
Peralatan pendukung yang digunakan dalam penelitian ini berfungsi untuk
melakukan proses validasi model. Peralatan-peralatan tersebut meliputi:
a. Fonokardiograf atau stetoskop elektronik digital
b. ECG
c. Spyrometri
d. Komputer dan program-program aplikasi yang bersesuaian
Spesifikasi peralatan a-d mengikuti ketentuan standar yang berlaku umum sedangkan
vibratometer didesain dan dibuat khusus untuk keperluan penelitian ini. Dalam hal ini
komponen-komponen penyusun vibratometer direncanakan meliputi:
a. transduser dengan sensor displacement jenis strain gauge atau piezo-elektrik
b. Penguat sinyal
c. Perangkat ADC berbasis mikrokontroler
d. Program interface untuk memvisualisasikan data pada komputer dengan basis
program Mathlab/Simulink.
Kalibrasi terhadap vibratometer ini mengikuti kaidah-kaidah akuisisi data pada umumnya.
ADC
iMac
Komputer Transducer
DAFTAR PUSTAKA
Boersma BJ, 2005, Large eddy simulatoin of the sound field of a round turbulent jet. Theoret. Comput. Fluid Dynamics, 19:161–170
Bullar JF., 1884, Experiments to determine the origin of the respiratory sounds, Proc R Soc London, 37 (41):1-23.
Chappelo M, De Troyer A, 2004, Role of rib cage elastance in the coupling between the abdominal muscles and the lung, J Appl Physiol, 97: 85-90
Charbonneau G, Racineux JL, Sudraud M, Tuchais E, 1982, An accurate recording system and its use in breath sounds spectral analysis, J. Appl. Physiol. 55:1120– 1127.
Ching-Long L, Tawhai MH, McLennan G, Hoffman EA, 2007, Characteristics of the turbulent laryngeal jet and its effect on airflow on the human intra-thoracic airways, Respir Physiol Neurobiol. 157(2-3): 295–309
Ge Groote A, Wantier M, Cheron G, Estenne M, Paiva M, 1997, Chest wall motion during tidal breathing, J Appl Physiol 83:1531-1537
Dellinger RP, Jean S, Cinel I, Tay C, Rajanala S, Glickman YA, Parrillo JE, 2007, Regional distribution of acoustic-based lung vibration as a function of mechanical ventilation mode, Critical Care, 11:R26
Despopoulos A., Silbernagl S., 2003, Color Atlas of Physiology, Fifth Edition, Thieme Stutgart Germany
De Troyer A, Kirkwood PA, Wilson TA, 2005, Respiratory action of the intercostal muscles, Physiol Rev 85:717-756
Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. 26th ed, 1981, Philadelphia, Pa: WB Saunders Co
D’yachenko AI, Lyubimov GA, 1988, Propagation of sound in pulmonary parenchyma, Izv. Akad. Nauk SSSR 5:3–15.
Forgacs P., 1967, Crackles and wheezes, Lancet2:203-5.
Forgacs P, 1969, Lung sounds, Br J Dis Chest63:1-12.
Gavriely N, Cugell DW, 1996, Airflow effects on amplitude and spectral content of normal breath sounds, J. Appl. Physiol. 80:5–13.
Gross V, Dittmar A, Penzel T, Schuttler F, von Wichert P, 2000, The relationship between normal lung sounds, age and gender, Am J Respir Crit Care Med 162: 905–909
Gutierrez F, Saha M, Song YN, Timbie A, Andriacchi T, Fabro M, Wolf-Bloom D, Sszobota S, Taylor C, Elkins C, 2003, Design of a Pre-clinical Fluoroscopic Flow Model For Intravascular Device Testing and Training, Biomedical Device Design and Evaluation II, Mechanical Engineering Department, Stanford University.
Jones A, Jones RD, Kwong K, Burns Y, 1999, Effect of Positioning on Recorded Lung Sound Intensities in Subjects Without Pulmonary Dysfunction, Physical Therapy
79 (7): 682-90
King DK, Thompson T, Johnson DC, 1989, Wheezing on maximal forced exhalation in the diagnosis of atypical asthma, Ann Intern Med 110:451–455
Kiyokawa H, Greenberg M, Shirota K, Pasterkamp H, 2001, Auditory detection of simulated crackles in breath sounds, Chest 119;1886-1892
Kraman SS., 1980, Determination of the site of production of respiratory sounds by subtraction phonopneumography, Am Rev Respir Dis, 122:303-9.
Kudoh S, 1992, Wave form of intrabronchial spark sound on the chest wall and sound transmission in the lung-thoracic system, Nippon Ika Daigaku Zasshi 59:323–334.
Laennec RTH, 1935, A treatise on the diseases of the chest and mediate auscultation. Translated from the French edition by John Forbes. New York: Samuel Wood and Sons.
Lin CL, Lee H, Lee T, Weber LJ., 2005, A level set characteristic Galerkin finite element method for free surface flows, Int J Numer Meth Fluids49(5):521–547.
Loudon, RG, Murphy R, 1984, Lung sounds, Am. Rev. Respir. Dis. 130:663–673.
Mansfield JP, Wodicka GR, 1995, Using acoustic reflectometry to guide breathing tubes. J. Sound Vibr. 188:167–188.
Mangione S, Nieman LZ, Gracely E, Kaye D., 1993, The teaching and practice of cardiac auscultation during internal medicine and cardiology training. Ann Intern Med. 119:47–54.
Meslier N, Charbonneau G, Racineux JL, 1995, Wheezes. Eur Respir J8:1942–1948
Mrowka R, Cimponeriu L, Patzak A, Rosenblum MG., 2003, Directionality of coupling of physiological subsystems: age-related changes of cardiorespiratory interaction during different sleep stages in babies, Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol
285: R1395–R1401
Murphy RL, 1981, Auscultation of the lungs: past lessons, future possibilities, Thorax 36: 99-107
Olson TP, Beck KC, Johnson JB, Johnson BD, 2006, Competition for intrathoracic space reduces lung capacity in patients with chronic heart failure: a radiographic study, Chest, 130: 164-171
Pasterkamp H, Kraman SS, Wodicka GR, 1997a, Respiratory sounds: advances beyond the stethoscope, Am J Respir Crit Care Med 156: 974–987
Pasterkamp H, Patel S, Wodicka GR, 1997b, Asymmetry of respiratory sounds and thoracic transmission, Med. Biol. Eng. Comput 35:103–106.
Rice D., 1980, Sound speed in the parenchyma of excised horse lungs. Presented at the Fifth International Lung Sounds Conference, London, England.
Roth BJ, 1991, Action potential propagation in a thick strand of cardiac muscle, Circ. Res.
68;162-173
Sanchez, I., Pasterkamp H, 1993, Tracheal sound spectra depend on body height, Am. Rev. Respir. Dis. 148:1083–1087.
Singh B, Eastwood PR, Finucane KE, 2001, Volume displaced by diaphragma motion in emphysema, J Appl Physiol, 91: 1913-1923
Soufflet G, Charbonneau G, Poli M, Attal P, Denjean A, Escourrou P, Gaultier C, 1990, Interaction between tracheal sound and flow rate—a comparison of some different flow evaluations from lung sounds, IEEE Trans. Biomed. Eng 37:384–391.
Tavel ME., 1996, Cardiac auscultation: a glorious past—but does it have a future? Circulation. 93:1250 –1253.
Tavel ME., 2006, Cardiac auscultation: a glorious past—and it does have a future! Circulation. 113:1255 –1259.
Tortora GF, 2005, Principles of human anatomy, tenth edition, John Wiley & Sons, Inc, Hoboken NJ 07030, USA.
Vovk IV, Grinchenko VT, Oleinik VN, 1995, Modeling the acoustic properties of the chest and measuring breath sounds, Acoust. Phys. 41:758–768.
Vovk IV, Zalutskii VKE, Krasnyi LG, 1994, Acoustic model of the human respiratory system. Acoust. Phys. 40:762–767.
Wilson TA, Angelillo M, Legrand A, de Troyer A, 1999, Muscle kinematics for minimal work of breathing, J Appl Physiol 87:554-560
Wodicka GR, Shannon DC. 1990. Transfer function of sound transmission in subglottal human respiratory system at low frequencies. J. Appl. Physiol. 69:2126–2130.
Yasuda N, Gotoh K, Yagi Y, et al., 1997, Mechanism of posturally induced crackles as predictor of latent congestive heart failure, Respiration64:336–341