• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: madrasah, otonomi daerah Pendahuluan - View of POTRET MADRASAH DALAM KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kata kunci: madrasah, otonomi daerah Pendahuluan - View of POTRET MADRASAH DALAM KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

POTRET MADRASAH DALAM KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

Syamsul Arifin

Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Indonesia E-mail: syaif18@gmail.com

Abstrak

Madrasah merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam yang merupakan salah satu unsur dalam sistem pendidikan masyarakat, yang berhubungan secara timbal balik dan saling tergantug dengan unsur-unsur lainnya. Pendidikan Islam member kontribusi terhadap berbagai masalah dalam masyarakat, baik dalam bentuk gagasan konsepsional maupun dalam bentuk aksi kemasyarakatan. Adanya kemitraan antara pendidikan Islam dengan masyarakat, mempunyai kedudukan sejajar dan saling menghormati. Wawasan demikian dapat menimbulkan pandangan dan sikap egaliter serta terbuka dalam masyarakat. Pendidikan Islam peduli terhadap pemeliharaan dan pengembangan masyarakat daerah, yang dapat diwujudkan dengan menyebarluaskan dan memanfaatkan beberapa keunggulan yang dimiliki. Adapun pihak masyarakat dibantu mengenai pengembangan potensi yang telah ada dalam masyarakat dan menggali potensi yang belum ada. Pengkajian tentang hubungan antara pendidikan Islam dengan masyarakat telah lama dilakukan, namun pembicaraan itu tetap relevan, dalam rangka perkembangan potensi masyarakat di era otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah sedikit banyak akan berpengaruh terhadap perkembangan madrasah.

Kata kunci: madrasah, otonomi daerah

Pendahuluan

Islam bukanlah sekedar sistem teologi semata, tetapi juga sebagai peradaban

yang lengkap, salah satunya adalah mengandung aspek pendidikan. Pengalaman

pembangunan di negara-negara maju, khususnya negara-negara di dunia barat,

membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Secara

umum telah diakui bahwa pendidikan merupakan penggerak utama (prima mover)

bagi pembangunan.1 Lahirnya pendidikan karena adanya masyarakat, jadi pendidikan

pada mulanya berfungsi sebagai sarana mensosialisasikan nilai dan tradisi yang dianut

oleh masyarakat, sehingga wajar ketika keduanya saling mempunyai keterkaitan.

Pendidikan dalam pembahasan ini adalah pendidikan Islam yang merupakan salah

satu unsur dalam sistem pendidikan masyarakat, yang berhubungan secara timbal

balik dan saling tergantung dengan unsur-unsur lainnya. Pendidikan Islam memberi

(2)

129 |Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam

kontribusi terhadap berbagai masalah dalam masyarakat, baik dalam bentuk gagasan

konsepsional maupun dalam bentuk aksi kemasyarakatan.2

Adanya kemitraan antara pendidikan Islam dengan masyarakat, mempunyai

kedudukan sejajar dan saling menghormati. Wawasan demikian dapat menumbuhkan

pandangan dan sikap egaliter serta terbuka dalam masyarakat. Pendidikan Islam

peduli terhadap pemeliharaan dan pengembangan masyarakat daerah, yang dapat

diwujudkan dengan menyebarluaskan dan memanfaatkan beberapa keunggulan yang

dimiliki. Adapun pihak masyarakat dibantu mengenai pengembangan potensi yang

telah ada dalam masyarakat dan menggali potensi yang belum ada. Pengkajian

tentang hubungan antara pendidikan Islam dengan masyarakat telah lama dilakukan,

namun pembicaraan itu tetap relevan, dalam rangka perkembangan potensi

masyarakat di era otonomi daerah. Pertanyaan ini penting oleh karena dewasa ini

muncul gagasan tentang keterkaitan dan kesepadanan pendidikan dengan

masyarakat daerah, tercermin pemilihan kurikulum menjadi dua macam yaitu

kurikulum inti berlaku secara nasional dan kurikulum lokal dengan pertimbangan

daerah, keseluruhan kedua kurikulum itu disebut kurikulum utuh. Kurikulum lokal

dirumuskan oleh pengelola pendidikan dengan mempertimbangkan keterkaitan dan

kesepadanan dengan potensi yang tersedia, dan tuntutan ekosistem (alam dan sosial)

dalam masyarakat di daerah.3

Sejak disahkannya Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999, prinsip

pembangunan nasional mengalami pergeseran orientasi. Daerah sebagai bagian

integral dari pembangunan nasional pada masa otonomi diberi kewenangan dan

tanggungjawab penyelenggaraan kepentingan daerahnya sendiri. Dalam

undang-undang no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah mengisyaratkan

kepada kita semua mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu

wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih

demokratis. Termasuk pula di dalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan

pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut

2 Mahfud Djunaedi, Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 133.

(3)

Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 130 menuntut adanya perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik

kepada yang lebih bersifat desentralistik.4 Dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem

pendidikan Nasional, namun pelaksanaan pendidikan agama di daerah masih saja

mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah daerah. Pendidikan dan

agama pada Undang-Undang tersebut banyak memunculkan penafsiran secara

parsial bahwa yang menjadi kewewenangan pemeritah daerah adalah pendidikan

yang berada di bawah naungan Kementerian Agama yang berbentuk Madrasah dan

sekolah agama lainnya belum banyak diterima sebagai bagian dari pendidikan.

Maka dari itu pendidikan pada UU No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah

secara ekplisit pelaksaannnya tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat

tetapi sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Dengan kata lain

implementasi pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah baik dalam

konteks bimbingan dalam konteks subsidi pendanaan biaya pendidikan.5 Hal ini

tentunya memerlukan pembahasan, diskusi, dan sumbangan pemikiran dari berbagai

pakar pendidikan secara serius agar perpindahan tidak memiliki dampak negatif bagi

kelangsungan madrasah dan umat Islam sebagai pilar utamanya.

Dari beberapa faktor tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang

Kebijakan tentang madrasah setelah keluarnya Undang-Undang tentang otonomi

daerah.

Pengertian Kebijakan Tentang Madrasah Dalam Otonomi Daerah

Kata madrasah dalam bahasa Arab adalah bentuk kata keterangan tempat

(zharaf makan) dari akar kata darasa. Secara harfiah madrasah diartikan sebagai tempat belajar para pelajar, atau tempat untuk memberikan pelajaran. Dari akar kata

darasa juga bisa diturunkan kata midras yang mempunyai arti buku yang dipelajari atau tempat belajar. Kata al-midras juga diartikan sebagai rumah untuk mempelajari

kitab Taurat. Kata madrasah juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari

akar kata yang sama yaitu darasa, yang berarti membaca dan belajar atau tempat

4 Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. III, 2007), 1-2.

(4)

131 |Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam

duduk untuk belajar. Dari kedua bahasa tersebut, kata madrasah mempunyai arti

yang sama yaitu tempat belajar. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata

madrasah memiliki arti sekolah kendati pada mulanya kata sekolah itu sendiri bukan

berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.6

Dengan keterangan tersebut dapat dipahami bahwa madrasah tersebut

adalah penekanannya sebagai suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.

Perkataan madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum,

akan tetapi di Indonesia ditujukan untuk sekolah-sekolah yang mempelajari

ajaran-ajaran Islam.

Pada saat sekarang ini sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan di

madrasah memadukan antara sistem pada pondok pesantren dengan sistem

pendidikan yang berlaku pada sekolah-sekolah modern. Hal ini dikarenakan pengaruh

dari ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan nasional

bangsa Indonesia, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum

madrasah, bahkan kemudian lahirlah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem

perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah modern seperti Madarash Ibtidaiyah sama

dengan SD, Madrasah Tsanawiyah sama dengan SMP, dan Madrasah Aliyah sama

dengan SMA. Perkembangan selanjutnya, pengadaptasian tersebut demikian

terpadunya sehingga boleh dikatakan hampir kabur perbedaannya, kecuali pada

kurikulum dan nama madrasah yang diembeli dengan Islam.7

Tampaknya kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam

setidaknya mempunyai latar belakang, di antaranya:

1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.

2. Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah sistem pendidikan

yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama

dengan sekolah umum. Misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan

memperoleh ijazah.

6 Abd. Mujib Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Penerbit Trigenda Karya, 1993), 305.

(5)

Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 132 3. Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri

yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka.

4. Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang

dilakuakan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.8

Otonomi Daerah

Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri, sedangkan

dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Otonomi daerah dengan

demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan

pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah

mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya

untuk melakukan apa saja secara mandiri.9

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

Salah satu dampak positif dari reformasi bidang pemerintahan adalah

terjadinya pergeseran paradigma politik pemerintahan dari sentralistis kepada

desentralistik, yang diwujudkan dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang

Otonomi Daerah dan kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah. Lahirnya produk hukum tentang otonomi daerah

tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kemandirian daerah di dalam kerangka

negara kesatuan RI, karena otonomi tersebut tidak dapat diartikan sebagai suatu

kebebasan absolut tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara

keseluruhan.10

Dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 disebutkan bahwa otonomi daerah

adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Dalam undang-undang ini diuraikan juga beberapa

hal yaitu penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberi

8 Ibid., 305 .

9 A. Ubaedillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah), 170.

(6)

133 |Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam

kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara

proporsional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian, dan pemanfaatan

sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan

daerah. Diuraikan juga bahwa pelaksanaan otonomi daerah itu dilaksanakan dengan

prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta

memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Disini sangat dituntut adanya

upaya untuk memperdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas

peran masyarakat.

Selama ini perhatian pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan

pendidikan agama banyak disebabkan oleh pemahaman, interpretasi, dan

implementasi yang tidak komprehensif mengenai keberadaan UU No. 32 tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah sebagaimana pasal 10 ayat 3 poin (f) yang didalamnya

memuat tentang sentralisasi masalah agama oleh Pemerintah (pusat). Dalam pasal

tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan urusan agama, misalnya

menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan

pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam

penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan

pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah. Khusus

di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh pemerintah

kepada daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan dalam menumbuh

kembangkan kehidupan keagamaan.

Atas dasar pasal tersebut, banyak pemerintah daerah yang memahami bahwa

penyelenggaraan pendidikan agama dianggap menjadi tanggung jawab pemerintah

pusat cq. Kementerian Agama Republik Indonesia. Padahal jika merujuk pada pasal 14

ayat (1) yang dikaitkan poin (f) dalam pasal tersebut adalah penyelenggaraan

pendidikan. Karena keterbatasan kemampuan Pemerintah Pusat dan adanya

anggapan bahwa pendidikan agama bukan wewenang Pemerintah Daerah,

menyebabkan pendidikan agama menjadi terabaikan, dan cenderung tidak

diperhatikan, baik dalam konteks pembinaan tenaga guru, tenaga kependidikan,

(7)

Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 134 Dengan demikian masalah pendidikan agama dan keagamaan yang dikelola

Kementerian Agama menjadi posisi yang remang-remang sehingga dapat merugikan

berbagai pihak, terutama para penyelenggara dan peserta didik di lingkungan

Kementerian Agama.

Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan adanya diskrimansi pemerintah

pusat terhadap satuan pendidikan madrasah, atau kebijakan diskriminasi pemerintah

daerah terhadap madrasah yang didiamkan oleh pemerintah pusat, memang tidak

direspon secara demonstratif-negatif oleh pengelola madrasah, karena lebih 95%

penyelenggaraan madrasah adalah swasta, dan mayoritas madrasah swasta adalah

dirintis dan didirikan oleh para ulama’/kiai pengasuh pondok pesantren.11 Tidak

mungkin seorang kiai meskipun didzalimi akan menuntut hak dengan cara

melakukakan demonstrasi memperjuangkan keadilan bagi anak bangsa yang sedang

belajar di madrasah. Saya sangat khawatir, diamnya para kiai memang pertanda

sebuah perlawanan dengan cara diam membisu, karena sudah dilemahkan, sudah

kehabisan kata-kata karena secara terus menerus menyaksikan para pemimpin yang

dipilihnya melakukan diskriminasi terhadap pendidikan madrasah. Akhirnya mereka

hanya mengadu dan berdoa’a kepada Allah SWT. Asal dan akhir segala sesuatu, agar

pengabdian yang penuh dengan keterbatasan terhadap anak-anak bangsa yang studi

di madrasah, agar selalu diberi kekuatan lahir batin.

Hubungan Madrasah Dengan Otonomi Daerah

Pendidikan adalah salah satu bidang yang diotonomkan dari sekian banyak

bidang lainnya. Gelombang demokratisasi dalam pendidikan menuntut adanya

desentralisasi pengelolaan pendidikan, beberapa dampak dari sentralisasi pendidikan

telah muncul di Indonesia uniformitas. Uniformitas ini mematikan inisiatif dan

kreativisme serta inovasi perorangan maupun masyarakat. Di tengah-tengah

masyarakat yang majemuk seperti Indonesia sangat perlu dihargai adanya sisi

perbedaan yang tidak mesti seragam, karena keberadaan masyarakat mejemuk itu

(8)

135 |Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam

menuntut untuk adanya berbagai perbedaan yang merangsang untuk tumbuhnya

kreativitas dan inovasi.

Dengan dilaksanakannya otonomi daerah di bidang pendidikan ini, bisa

dicapai tiga tujuan, seperti yang dikutip oleh Imam Prihadiyoko ketika menjelaskan

tentang sekolah dan masyarakat, yaitu:

1. Untuk mendorong melakukan pemberdayaan masyarakat.

2. Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas.

3. Peningkatan peran serta masyarakat serta mengembangkan peran dan fungsi

DPRD.12

Selain itu otonomi daerah juga memberikan peluang kepada pengelola

pendidikan untuk mengembangkan lembaga pendidikan. Setidaknya dalam hal-hal

sebagai berikut:

1. Pengelola pendidikan memiliki peluang untuk merumuskan tujuan institusi

masing-masing mengacu pada tujuan nasional.

2. Pengelola pendidikan memiliki otonomi untuk merumuskan dan mengembangkan

kurikulum sesuai dengan tujuan dan kebutuhan masyarakat suatu daerah.

3. Pengelola pendidikan memiliki peluang untuk menciptakan situasi belajar dan

mengajar yang mendukung pelaksanaan dan pengembangan kurikulum yang

telah ditetapkan.

4. Pengelola pendidikan memiliki otonomi untuk mengembangkan sistem evaluasi

yang dipandang tepat dan akurat, baik terhadap prestasi belajar siswa maupun

terhadap keseluruhan penyelenggaraan pendidikan.

Adapun strategi pengembangan otonomi daerah dalam dunia pendidikan

hendaknya pembuat kebijakan pengembangan kurikulum mengacu pada filosofi

daerah setempat dan memperhatikan asas masyarakat, ilmu pengetahuan dan

psikologis.13

Keberadaanmadrasah pasca Undang-Undang Otonomi Daerah

12

Imam Priyahadiyoko, Kompas, 2000, 10-17. 13

(9)

Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 136 Sejalan dengan perkembangan Indonesia, madrasah sebagai lembaga

pendidikan Islam juga terus berkembang namun perkembangan itu cukup eksklusif,

di mana aksentuasi (penekanan) pada pengetahuan keagamaan (Islam) lebih diutamakan. Hal ini juga yang menyebabkan perkembangan madrasah hanya pada

kantong-kantong masyarakat Islam. Ekspansi yang dilakukan pun hanya berkisar di

daerah pedesaan sedangkan untuk di perkotaan sangat jarang. Dan hal ini juga yang

memicu lambannya perkembangan madrasah, madrasah seakan jauh dari atmosfer

pembaruan sistem pendidikan, baik secara kelembagaan maupun sistem dari proses

pembelajaran itu sendiri.14

Kebijakan pengelolaan pendidikan Islam, sejatinya tidak bisa dipisahkan

dengan kebijakan pelaksanaan pendidikan secara umum, karena sesuai dengan UU

No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Namun demikian, pelaksanaan pendidikan Islam di derah

masih saja mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah daerah. Hal ini

banyak disebabkan masih belum komprehensifnya pemahaman pemerintah daerah

pada terminologi pendidikan dan agama yang termuat dalam kedua Undang-Undang

tersebut, sehingga banyak memunculkan penafsiran secara parsial bahwa yang

menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah pendidikan yang berada di bawah

naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara, pendidikan yang

berada di bawah naungan Kementerian Agama yang berbentuk madrasah dan

sekolah agama lainnya belum banyak diterima sebagai bagian dari pendidikan.

Dengan diberlakukannya UU otonomi daerah, maka secara eksplisit pelaksanaan

pendidikan tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi juga

sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, baik dalam konteks bimbingan

maupun dalam konteks subsidi pendanaan pendidikan.

Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, pendidikan memerlukan pola

pembiayaan yang tidak diskriminatif dan harus mencerminkan keadilan. Hal ini dapat

ditempuh dengan cara melakukan subsidi silang, imbal swadaya, block grant, dan menerapkan formula subsidi kontekstual. Subsidi silang harus dilakukan pemerintah

(10)

137 |Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam

pusat untuk menghindari timbulnya kesenjangan antara sekolah (madrasah) daerah

miskin dan daerah kaya. Imbal swadaya dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat

maupun oleh pemerintah daerah untuk mendorong berkembang dan meningkatnya

program-program yang menjadi unggulan pussat dan daerah. Block grant dapat diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan kualitas program

yang memiliki prospek untuk berkembang lebih lanjut dengan cara berkompetisi.

Pelaksanaan otonomi pendidikan ini sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah

berdasarkan pada UU no. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah terutama

terkait dengan pendanaan dan pembiyaan pendidikan. Berdasar UU tersebut, maka

kebijakan pengelolaan pendidikan dasar dan menengah menjadi tanggung jawab

pemerintah daerah, yang sebelumnya hanya pendidikan dasar (SD/MI, SMP/MTs)

yang berada di bawah naungan pemerintah daerah dalam hal ini Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan.

Bertolak dari arah baru paradigma pendidikan, maka perlu pemberdayaan

madrasah yang dapat dilaksanakan lewat:15

1. Pemberdayan manajemen, meliputi pemberdayaan SDM, manusia pengelola

pendidikan, Kepala Sekolah, Guru, Tenaga Administrasi dan lain sebagainya

sehingga siap memasuki era management berbasis sekolah.

2. Pemberdayaan sistemnya dari sistem top down ke sistem bottom up atau sentralisasi ke desentralisasi.

3. Pemberdayaan kebijakan, dari kebijakan yang memarjinalkan madrasah kepada

kebijakan yang membawa madrasah ke center.

4. Pemberdayaan masyarakat, di mana melibatkan unsur-unsur masyarakat untuk

ikut serta di dalam pemberdayaan madrasah, yaitu dengan cara meningkatkan

peran serta stakeholder dan akuntabilitas.

Ada beberapa pendapat tentang kedudukan madrasah di era otonomi daerah

ini, di antaranya:

1. Madrasah tetap di bawah naungan Kementerian Agama. Semangat ini didasari

atas idealisasi yang tinggi. Selain dari itu bahwa Kementerian Agama adalah

(11)

Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 138 kementerian yang tidak diotonomikan, maka termasuk jugalah di dalamnya

pendidikan agama.

2. Madrasah di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan/Pemerintah Daerah. Argumennya adalah karena masalah pendidikan

sudah diotonomikan, maka dikhawatirkan pendidikan di lingkungan madrasah

yang selama ini sudah tertinggal dibanding dengan sekolah umum akan semakin

tertinggal. Oleh karena itu, madrasah sebaiknya berada dalam lingkungan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan/Pemerintah Daerah agar memperoleh

fasilitas dan perhatian Pemerintah Daerah sama seperti yang diberlakukan

Pemerintah Daerah terhadap sekolah.

3. Adanya pembagian wewenang antara Kementerian Agama dan pemerintah

Daerah, yang teknis-teknisnya akan diatur tersendiri.

Pemberdayaan Madrasah

Madrasah biasanya tumbuh berdasarkan potensi yang ada dari suatu

kelompok masyarakat, atau pihak tertentu yang memiliki kepedulian yang tinggi

terhadap penyelenggaraan pendidikan. Demikian pula pengembangan selanjutnya

sangat ditentukan oleh sejauh mana pihak penyelenggara mampu secara terus

menerus menggali potensi tersebut, serta melipat gandakan kekuatan-kekuatan yang

sudah ada di madrasah.

Sikap ketergantungan kepada bantuan, serta pemberian bantuan yang tidak

tepat sasaran selama ini, justru sangat merugikan perkembangan madrasah. Oleh

karena itu pola bantuan yang mulai diterapkan sejak tahun 1997/1998, lebih diarahkan

kepada tumbuhnya upaya strategis yang mendorong seluruh jajaran Pembina dan

penyelenggara madrasah, agar meningkatkan kemampuannya menggali potensi dan

kekurangan yang ada pada madarasah.

Arah baru paradigma pendidikan mengalami perubahan. Dari sentralistik ke

desentralisasi, kebijakan yang top down ke arah kebijakan bottom up. Orientasi pengembangan parsial pendidikan ke orientasi pengembangan holostik, pendidikan

untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya.

(12)

139 |Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam

kualitatif dan kuantitatif. Lemahnya peran institusi nonsekolah ke pemberdayaan

institusi masyarakat, keluarga, LSM, pesantren, dan dunia usaha.

Bertolak dari arah baru ini maka pemberdayaan madrasah dilaksanakan lewat

pemberdayaan manajemen, meliputi pemberdayaan SDM, manusia pengelola

pendidikan, kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, pengawas, dan lain sebagainya

dan siap memasuki era manajemen berbasis sekolah. Orientasi Pembinaan kepada

Peningkatan Mutu Pendidikan.

Pemberdayaan melalui bantuan Pembinaan secara terpadu. Pemberdayaan

masyarakat, melibatkan unsur-unsur masyarakat untuk ikut serta di dalam

pemberdayaan madrasah, dengan cara meningkatkan peran serta stakeholder dan

akuntabilitas.

Kebijakan Pembinaan Madrasah

Reposisi terhadap madrasah sebagaimana dijelaskan sekaligus merespon dan

mengantisipasi adanya perubahan sistem pemerintah RI dari sentralisasi kepada

otonomi, dekonsentrasi, desentralisasi. Rasionalisasi pemikiran tentang madrasah ini

berkaitan lansung dengan sistem pemerintah kedepan sesuai dengan UU No.22

Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 perlu ditetapkan kebijakan bahwa

:

1. Penyelenggarahan madrasah tetap dilakukan masyarakat, beberapa hal

mengenai penyelengarahan menjadi tanggung jawab pemerinahan daerah,

terutama pada aspek pembiayaan, kelembagaan dan manajerial sesuai dengan

kewenangan yang dimiliki. Sedangkan penyiapan dan pengembangan materi

pembelajaran yang bersifat substansi keagamaan dan ciri kekhususan keislaman

tetap dikelola oleh Kementerian Agama.

2. Pengelolaan dan penyelengaraan madrasah dilakukan oleh pemerintah Daerah

dalam satu atap pengelolaannya, yaitu dengan membentuk Kementerian

Pendidikan dan kebudayaan sedangkan Kementerian Agama kabupaten/kota

berfungsi sebagai tugas pengendalian dan tugas-tugas agama.

3. Melalui perubahan ini maka madrasah berada pada arena persaingan yang

berorientasi kepada kualitas produknya. Berdasarkan kalkulasi sosial budaya

(13)

Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 140 mendapat dukungan dari masyarakatnya. Di sisi lain, segala dinamika yang terjadi

dalam umat Islam akan dengan mudah diserap oleh madrasah terutama dinamika

di bidang ilmu pengetahuan, sebab madrasah mendapat kontrol langsung dari

masyarakat pendukungnya.

Sebagai institusi pendidikan agama, maka madrasah harus bergerak dalam

mekanisme organisasi yang profesional, dalam formulasi pengorganisasian dan

penyelenggaraan sebagai berikut:

1. Pengorganisasian dan pengelolaan madrasah dalam arti penataan dan

pengaturan seluruh komponen pendidikan yang memungkinkan tercapainya

tujuan institusional, secara bertahap dilimpahkan kepada pihak madrasah (school

based management) dan didukung oleh masyarakat (community based education) 2. Organisasi pengorganisasian dan pengeloaan madrasah diarahkan kepada

terciptanya hubungan imbal balik antara madrasah dan masyarakat dalam

rangka memperkuat posisi madrasah sebagai lembaga pendidikan.

3. Struktur pengoranisasian dan pengelolaan madrasah bersifat fleksibel sesuai

dengan tuntutan kebutuhan madrasah.

4. Pengelolaan madrasah dikembangkan melalui pendekatan profesional yang

memungkinkan tumbuh dan berkembangnya segenap potensi madrasah,

sehingga mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip school Based management yang secara historis telah ada pada kultur madrasah.

5. Pengelolaan madrasah bersifat terbuka dan demokratis. Pengelola diberi

kesempatan untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai demokratis dan hak asasi

manusia (HAM) dalam membina tata hubungan kerja di madrasah.

6. Manajemen madrasah diberi peluang yang memungkinkan terciptanya kerja

sama dengan unsur dan unit kerja lain dalam rangka peningkatan kualitas

pendidikan.

7. Pengeloaan madrasah perlu pengembangan konsep keterpaduan yang

mencakup keterpatuan lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan

(14)

141 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam

8. Pengawasan atau kontrol pengorganisasian dan pengelolaan madrasah

dilakukan oleh suatu badan sekolah yang memiliki kompetensi sebagai

pendamping pengelola madrasah.

9. Perlu dipersiapkan perangkat atau tindakan hukum bagi mereka yang melanggar

atau menyimpang dari prosedur dan etika pengelola dan pengorganisasian

madrasah.

10.

Diperlukan adanya upaya bersama untuk mengembalikan image madrasah

sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan khas Agama Islam.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa madrasah, sebagai bagian

dari pendidikan keagamaan yang lahir dari bagian masyarakat menjadi sebuah dilema

manakala keberadaannya tidak diperhatikan. Walaupun banyak persoalan

menyangkut keberadaan madrasah, baik menyangkut kesiapan SDM, manajemen,

pembiayaan dan sebagainya, namun semua itu dapat diatasi ketika semua pihak

bersatu padu memberikan kontribusi positif demi sebuah kemajuan bersama. Ide

pengembangan tersebut tidak saja diperlukan dari masyarakat setempat, namun dari

semua lapisan masyarakat di penjuru Indonesia, lembaga swadaya masyarakat, orang

tua siswa, dan terlebih lagi sikap pemerintah dalam membuat kebijakan tidak lagi

diskriminatif, karena bagaimanapun juga madrasah adalah bagian integratif dari

pendidikan nasional.

Referensi

Djunaedi, Mahfud. Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Muhaimin, Abd. Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Penerbit Trigenda Karya, 1993.

Mansur. Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004.

Putra Daulay, Haidar. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2009.

(15)

Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 142 Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008.

Sam M. Chan, Tuti T. Sam. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Referensi

Dokumen terkait

penduduk terhadap harga tanah di Kecamatan Jati Agung... Pokok bahasan skripsi ini sesuai dengan program studi penulis

208 DIMAS – Volume 19, Nomor 2, Nopember 2019 Penelitian ini diharapkan sebagai metode integrasi pendampingan yang konkret dalam rangka mengupayakan tranformasi

model pembe-lajaran langsung, (2) manakah yang menghasilkan pemahaman konsep dan keterampilan komputasi matematika yang lebih baik, siswa dengan kemam-puan

Upaya Meningkatkan Output Pembelajaran Bahasa Inggris Anak Usia Dini,” Jurnal Penelitian Pendidikan 15, no.. Pada pertemuan ketiga guru menceritakan kisah Alkitab tentang Yesus

Setelah mendapatkan Raw Score nilai DISC yang dipilih oleh subjek pada setiap keseluruhan item alat ukur, maka skor tersebut dikonversi lagi dengan menggunakan

(1) Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e merupakan unsur pelaksana akademik yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Institut di bidang

Pada hakekatnya Public Relations ini merupakan metode komunikasi yang meliputi berbagai teknik komunikasi. Dimana didalam kegiatannya terdapat suatu usaha untuk

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengidentifikasi lebih lanjut tentang pemasalahan yang timbul oleh penggunaan Gadget oleh siswa kelas VIII