• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PUTUSANPERKARA NO. 35/PID.SUS/2015/PN.KBU TENTANG TINDAK PIDANA PERUSAKAN SUMBER DAYA AIR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NO. 85/PUU-XI/2013 TENTANG PENGUJIAN UU NO. 7 TH 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PUTUSANPERKARA NO. 35/PID.SUS/2015/PN.KBU TENTANG TINDAK PIDANA PERUSAKAN SUMBER DAYA AIR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NO. 85/PUU-XI/2013 TENTANG PENGUJIAN UU NO. 7 TH 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PUTUSANPERKARA NO. 35/PID.SUS/2015/PN.KBU TENTANG TINDAK PIDANA PERUSAKAN SUMBER DAYA

AIR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NO. 85/PUU-XI/2013 TENTANG PENGUJIAN UU NO.

7 TH 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR

Oleh

Abdurrachman, Sunarto, Rini Fathonah E-mail : abdurrachman90@yahoo.com

Tindak pidana dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber daya air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan atau mengakibatkan pencemaran air merupakan fenomena kehidupan masyarakat. Berdasarkan uraian diatas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang telah dicabut Undang-undang oleh Mahkamah Kontitusi dalam perkara Tindak Pidana Perusakan Sumber Daya Air dan (2) Apakah akibat hukum terhadap putusan hakim Nomor Register 35/Pid.Sus/2015/PN.Kbu pasca putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 85/PUU-XI/2013. Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses editing, sistematis, dan klarifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif dan menarik kesimpulan secara induktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Kotabumi dalam enjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana perusakan sumber daya air sebagaimana yang dimaksud dalam perkara Nomor: 35/Pid.Sus/2015/PN.KBU. yaitu bahwa Melakukan Kegiatan yang Mengakibatkan Rusaknya Sumber Daya Air dan Prasananya, Menggangu Upaya Pengawetan Air dan atau Mengakibatkan Pencemaran Air di Waduk Way Rarem Kotabumi. Saran dalam Penelitian ini adalah diharapkan Para Penegak Hukum agar lebih terkini mengenai perubahan Undang-undang yang ada supaya tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum terhadap Asas Legalitas dan lebih meningkatkan rasa Keadilan Peraturan Hukum di Indonesia.

(2)

ABSTRACT

ANALYSIS OF DECISION NO. 35/PID.SUS/2015/PN.KBU REGARDING CRIMINAL ACTS OF DAMAGING WATER RESOURCES POST DECISION OF THE CONSTITUTIONAL COURT NO. 85/PUU-XI/2013

CONCERNING TESTING OF THE LAW NO. 7/2004 CONCERNING WATER RESOURCES

By

Abdurrachman, Sunarto, Rini Fathonah E-mail : abdurrachman90@yahoo.com

Criminal acts of intentionally conducting illegal activities that causing damage to water resources and its infrastructures, disrupting water preservation, and or causing water pollution are some phenomena in community life. Based on the descriptions above, the problems in this research are formulated as follows: (1) How is the judge consideration in deciding the case which has been revoked by the Constitutional Court in the case of Damaging Water Resources? and (2) What is the legal effect to the judge's decision Number 35/Pid.Sus/2015/PN.Kbu after the verdict of the Constitutional Court No. 85/PUU-XI/2013? The approaches used in this research were normative and empirical approaches. The data collection method was obtained through literature study and interviews. While the data presentation method was done through the process of edition, systematization, and clarification. The data analysis method was carried out using qualitative analysis and being concluded inductively. Based on the results of the discussion, it showed that the basic consideration of the judges of Kotabumi District Court in deciding the case against the perpetrators of water resources damage as mentioned in the case Number 35/Pid.Sus/2015/PN.KBU. were included activities which caused Damage to Water Resources and its Infrastructures, Interfering Efforts of Preserving Water and or Resulting Water Pollution in Kotabumi Way Rarem Reservoir. It is suggested that the law enforcement should be more strict and aware about the change of the existing constitutions to avoid another legal uncertainty towards Legality Principle and in order to improve the sense of Justice of Law in Indonesia.

(3)

I. PENDAHULUAN

Sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang.Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang ini menyatakan bahwa sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat secara adil.Atas penguasaan sumber daya air oleh negara dimaksud, negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan melakukan pengaturan hak atas air.

Pengaturan hak atas air diwujudkan melalui penetapan hak guna air, yaitu hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Hak guna air dengan pengertian tersebut bukan merupakan hak pemilikan atas air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan sejumlah (kuota) air sesuai dengan alokasi yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pengguna air, baik untuk yang wajib memperoleh izin maupun yang tidak wajib izin. Hak guna air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian rakyat, dan kegiatan bukan usaha disebut dengan hak guna pakai air, sedangkan hak guna air untuk memenuhi kebutuhan usaha, baik penggunaan air untuk bahan baku produksi, pemanfaatan potensinya, media usaha, maupun penggunaan air untuk bahan

pembantu produksi, disebut dengan hak guna usaha air.1

Pengusahaan sumber daya air pada tempat tertentu dapat diberikan kepada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah bukan pengelola sumber daya air, badan usaha swasta dan/atau perseorangan berdasarkan rencana pengusahaan yang telah disusun melalui konsultasi public dan izin pengusahaan sumber daya air dari pemerintah. Pengaturan mengenai pengusahaan sumber daya air dimaksudkan untuk mengatur dan member alokasi air baku bagi kegiatan usaha tertentu.

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, maka air dipandang sebagai komoditas untuk komersialisasi. Dengan dibukanya pihak swasta untuk dapat berperan seluas-luasnya dalam pengelolaan air, akan terjadi prinsip opportunity cost dimana pihak yang berani membayar lebih akan lebih dimenangkan. Alhasil, Peraturan Daerah (Perda)yang terkait privatisasi air kian menjamur.Betapa tidak, beberapa pasal dalam peraturan tersebut memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. Akibatnya, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia.

1

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Menuju Kepada Tiada

(4)

Seiring pertumbuhan penduduk, berbagai persoalan yang terkait dengan air atau sumber daya air telah dan terus berlangsung. Ketersediaan air cenderung menurun namun di lain pihak kebutuhan air semakin meningkat. Dengan kata lain, karena air di suatu tempat dan disuatu waktu bisa berubah secara kuantitas dan kualitas sehingga menimbulkan berbagai masalah maka air harus di kelola dengan baik.

Tindak pidana dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber daya air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan atau mengakibatkan pencemaran air merupakan fenomena kehidupan masyarakat, tindak pidana ini tidak akan dapat hilang dengan sendirinya tanpa adanya penegakkan hukum yang baik. Hal ini dapat terjadi dimana dan kapan saja dalam lingkungan hidup masyarakat.Naik turunnya angka kejahatan tersebut tergantung pada keadaan masyarakat, keadaan politik ekonomi, budaya dan sebagaiNya.

Seperti yang dilakukan terdakwa Karyanto Bin Miran pada hari kamis tanggal 15 Januari 2015 terdakwa diminta oleh saksi Mardani dirumah kediaman terdakwa untuk menebangi tunggul karet iruang terbuka hijau pada kawasan sekitar Waduk Way Rarem Lampung Utara, dimana atas pekerjaan terdakwa akan diberikan upah oleh saksi mardani dengan upah sebesar 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Atas perbuatan terdakwa tesebut maka Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya agar menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan dikurangi selama terdakwa

ditahan dan denda sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan, namun hakim yang menyidangkan perkara ini menjatuhkan pidana penjara 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan. Sedangkan berdasarkan sanksi pidana dalam Undang-undang Sumber Daya Air, perbuatan terdakwa diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000 (satu miliar rupiah)

Sedangkan berdasarkan sanksi pidana dalam Undang-undang Sumber Daya Air, perbuatan terdakwa diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000 (satu miliar rupiah) dan telah tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) pada Tanggal 18 Februari 2015.2

Berdasarkan uraian di atas, mendorong keingin tahuan penulis untuk mengkaji lebih lanjut tentang “Analisis Putusan Perkara Nomor 35/Pid.Sus/2015/PN.Kbu tentang Tindak Pidana Perusakan Sumber Daya Air Pasca Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 85 /PUU-XI/2013 tentang Tindak Pidana Perusakan Sumber Daya Air”.

Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan tersebut diatas

maka penulis mencoba

mengindentifikasi permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memutus perkara

2

(5)

yang telah dicabut Undang-undang oleh Mahkamah Kontitusi?

2. Apakah akibat hukum terhadap putusan hakim Nomor Register 35/Pid.Sus/2015/PN.Kbu pasca putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian UU No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air?

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah secara yuridis normative dan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normative dilakukan dengan mempelajari dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan seperti ini digunakan untuk menemukan sumber data yang bersifat teori yang digunakan untuk memecahkan masalah di dalam penelitan melalui studi kepustakaan yang meliputi berbagai macam literatur, peraturan perundang-undangan, sertadokumen resmi yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti seperti Putusan Pengadilan Negeri Kotabumi Nomor: 35/PID.SUS/2015/PN.KBU.

Sedangkan pendekatan secara yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan dengan mengadakan penelitian lapangan berupa wawancara dengan para responden.

II. PEMBAHASAN

A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Perkara Nomor 35/Pid.Sus/2015/PN.Kbu

Putusan Pengadilan harus disertai dengan Alasan-alasan atau argumentasi yang menjadi dasar untuk mengadili. Alasan tersebut

dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban pengadilan atas putusan terhadap masyarakat, sehingga mempunyai nilai objektif.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, yang menjadi dasar pertimbangan hakim atau argumentasi hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap

perkara Nomor

35/Pid.Sus/2015/PN.Kbu adalah : 1. “Dengan Sengaja Melakukan

Kegiatan Yang Mengakibatkan Rusaknya Sumber Daya Air

dan Prasarananya,

Mengganggu Upaya

Pengawetan Air dan Atau Mengakibatkan Pencemaran Air Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 24”:

Dengan sengaja adalah suatu sikap batin yang dipenuhi dengan kesadaran dan pengetahuan si pelaku untuk mewujudkan akibat dari perbuatannya tersebut atau tidak melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang, sengaja juga boleh diartikan dengan diketahui, dikehendaki ataupun menjadi tujuannya;

Bahwa pengertian dan penerapan

Sub unsure “Melakukan Kegiatan yang Mengakibatkan Rusaknya Sumber Daya Air dan Prasananya, Menggangu Upaya Pengawetan Air dan atau Mengakibatkan Pencemaran Air Sebagaimana yang Dimaksud

Dalam Pasal 24”, dalam hal ini

bersifat alternative atau pilihan, yang ditunjukkan dengan adanya kata

penghubung “atau” dalam rumusan

(6)

salah satu frase saja dalam rumusan unsure tersebut untuk menyatakan unsur tersebut terpenuhi;

Berdasarkan fakta hukum diatas didapatlah fakta bahwa pada hari kamis tanggal 22 Januari 2015, sekira pukul 12.00 Wib dilokasi lahan yang berada di Pinggir Waduk Way Rarem Di Desa Pekurun Kec.Abung Pekurun Lampung Utara, terdakwa Karyanto Bin Miran bersama-sama dengan saksi Sugiman Bin Maksum, saksi Jasiman Bin Herman, saksi Jamaludin Bin Sanang dan Saksi Gimin Bin Misman, telah ditangkap oleh petugas kepolisian Polres Lampung Utara dikarenakan diduga telah melakukan tindak pidana penebangan pohon;

Akibat dari penebangan pohon karet yang berada dilokasi greenbelt tersebut dapat mengurangi daya resep air, mengurangi sumber daya air, merusak prasarananya dan pengawetan air serta, sehingga dapat merusak sumber air, prasaraana, pengawetan air dan pencemaran air waduk way rarem yang merupakan milik Pemerintah dibawah pengawasan Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung yang masuk wilayah Desa Pekurun Kecamatan Abung Pekurun Kabupaten Lampung Utara.

Pembelaan/ pledooinya, terdakwa/ penasihat hukum terdakwa berpendapat bahwa perbuatan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Penuntut Umum akan tetapi terdakwa melakukannya dikarenakan disuruh oleh saksi Mardani dimana terdakwa tidaklah dapat dimintakan

pertanggung jawabannya dikarenakan yang seharusnya bertanggung jawab atas perbuatan terdakwa adalah saksi Mardani, sehingga Penasihat Hukum terdakwa beranggapan jika terdakwa adalah perantara atau alat yang digunakan oleh saksi Mardani untuk melaksanakan niatnya sehingga terdakwa seharusnya lepas dari tuntutan hukum.

Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas maka perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur dari pasal yang didakwakan dalam dakwaan kesatu Penuntut Umum, sehingga dakwaan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi.

Pembelaan/ pleidooi-nya, terdakwa/Penasihat Hukum terdakwa berpendapat bahwa Mahkamah Kontitusi (MK) dalam hal ini telah memutuskan pembatalan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang menjadi dasar dakwaan Jaksa penuntut umum tsb, melalui putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 pada sidang Pleno MK pada Hari Rabu tanggal 18 Februari 2015, yang menyatakan Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Kontitusi dan sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pertimbangan keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa menurut Majelis Hakim adalah sebagai berikut:

Hal-hal yang memberatkan:

(7)

mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air di Waduk Way Rarem Abung Pekurun Lampung Utara;

2) Terdakwa berbelit-belit dalam persidangan;

Hal-hal yang meringankan:

1) Bahwa terdakwa bersikap sopan dalam persidangan;

2) Terdakwa belum pernah dihukum;

2. Menggunakan Teori

Pendekatan Keilmuan Dalam Menjatuhkan Pidana

Pemikiran bahwa proses penjatuhan

pidana harus dilakukan secara

sistematik dan penuh

kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau

Instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

Menimbang, bahwa pemindanaan bukanlah bertujuan sebagai bentuk balas dendam melainkan bertujuan untuk membangun kembali pola pengendalian diri bagi terdakwa sehingga diharapkan terdakwa dapat kembali hidup dengan wajar di tengah-tengah masyarakat, oleh karenanya maka terhadap pidana yang akan dijatuhkan pada diri terdakwa sepatutnya dipandang tepat dan adil.

Berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner yang penulis lakukan baik kepada akademisi maupun kepada praktisi hukum diperoleh sebagai berikut; Atas pertanyaan yang penulis ajukan yaituBagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang telah dicabut Undang-undang oleh Mahkamah Kontitusi dalam perkara Tindak Pidana Perusakan Sumber Daya Air dengan

Nomor Register

35/Pid.Sus/2015/PN.Kbu?

Menurut Suhadi Putra, Penyidikan di kepolisian masih menggunakan Undang-undang yang lama yaitu Undang-undang No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Dilihat dari proses Hukum si Terdakwa pada Tahun 2015, yaitu:3

- Penyidik sejak tanggal 22 Januari 2015 sampai dengan tanggal 10 Februari 2015

- Perpanjangan Penuntut Umum sejak tanggal 11 Februari 2015 sampai dengan tanggal 22 Maret 2015

- Penuntut umum sejak tanggal 19 Maret 2015 sampai dengan tanggal 07 April 2015

- Hakim pengadilan Negeri Kotabumi sejak tanggal 1 April 2015 sampai dengan 30 April 2015

- Perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 1 Mei 2015 sampai dengan 29 Juni 2015

Undang-undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dinyatakan tidak Berlaku kembali oleh Mahkamah Kontitusi pada tanggal 18 Februari 2015 dan terjadi

3

(8)

kekosongan hukum yang tetap diberlakukan yaitu tetap menggunakan Undang-undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Dan penetapan putusan hakim atau yurisprudensi berbeda-beda dalam pemikiran Hakim yang sudah menimbulkan kepastian Hukum. Karena hakim yang memutus pada Tahun 2015 yaitu Sri Senaningsih.S.H.M.H, Aria Veronica.S.H.M.H, dan Indra Lesmana S.H.M.H yang sekarang mereka sudah pindah.

Pada indikator utama yang dijadikan tolak ukur untuk menguji apakah suatu putusan hakim adil atau tidak yakni disparitas pidana, maka yang diartikan disini adalah penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap tindak pidana yang sama (the same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas. Selanjutnya disparitas pidana juga dapat terjadi pada pemindanaan terhadap mereka yang melakukan bersama suatu tindak pidana. Terpidana yang lebih memperbandingkan pidananya dengan terpidana yang lain dan merasakan ada disparitas maka dia akan memandang dirinya sebagai korban Judicial. Selanjutnya yang bersangkutan akan sulit dimasyarakatkan dan bahkan akan tidak menghargai hukum. Padahal penghargaan tersebut merupakan salah satu target dalam penjatuhan pidana. Disini ada persoalan yang sangat serius, sebab akan merupakan suatu indicator dan manifestasi kegagalan suatu system untuk mencapai persamaan keadilan didalam Negara hukum dan sekaligus akan melemahkan

kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana.

Dalam batas-batas maksimal dan minimal hakim mempunyai kebebasan bergerak untuk mendapatkan pidana yang tepat. Yang menjadi masalah disini adalah kriterianya apa? KUHP tidak memuat pedoman pemberian pidana yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh perundang-undangan yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana.Yang ada hanya aturan pemindanaan.

Penelitian diatas maka penulis berpendapat bahwa Perbuatan sih Terdakwa bisa menimbulkan dampak yang besar bagi Masyarakat karena bisa merusak Sumber Daya Air di Wilayah Waduk Way Rarem dengan cara memotong 5 batang pohon karet di wilayah waduk Way Rarem Kotabumi pada tanggal kejadian perkara 21 Januari 2015.

Selanjutnya Penasehat Hukum terdakwa dalam pembelaannya mengemukakan bahwa pembatalan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang menjadi dasar dakwaan Jaksa penuntut umum tsb, melalui putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 pada sidang Pleno MK pada Hari Rabu tanggal 18 Februari 2015, yang menyatakan Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Kontitusi dan sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.

(9)

melihat perkara ini hanya sebatas pada pemahaman-pemahaman procedural dan formalitas yang melihat hukum itu hanya sebatas pada peraturan tertulis belaka sehingga jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat.

B. Dasar Hukum Hakim Dalam Memutuskan Perkara

Menurut pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.Kemudian kata

“mengadili” sebagai rangakain

tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. Hakim bertanggung jawab untuk memngembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia.

Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbang-kan implikasi hukum dan dampak nya yang terjadi dalam masyarakat. Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Didalam memutus sebuah perkara dan mempertimbang-kan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim

dan tidak hanya berdasarkan bukti – bukti yang ada.

Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan.Hal itu tersandang dari

namanya “pengadilan” dan dari

beberapa putusan Hakim yang menjadi gawangnya. Menurut dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak

bekerja “demi hukum” atau “demi

undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”.Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi

simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak

di “pengadilan terakhir” ia harus

mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.

(10)

mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat.

Namun, kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggung jawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan Hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan. Tidak semua Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya.

Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara.Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil. Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:

1. Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya didalam persidangan.

2. Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi indepensi Hakim yang bersangkutan.

3. Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat.

4. Hakim malas untuk

meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas putusan.

Menurut Penulis, Secara ideal, semua kemungkinan yang disebutkan di atas tidak boleh terjadi dalam lembaga peradilan. Jika hal itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga peradilan yang seharusnya menjadi gerbang keadilan, justru menjadi tempat terjadinya ketidakadilan.Tidak terkecuali Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi di negeri ini.Hakim-hakim Agung yang seharusnya menjadi penjaga gawang keadilan terakhir, boleh jadi justru menjadi pihak yang menciptakan ketidakadilan.

(11)

tersebut untuk menilai apakah terdakwa dapat dipersalahkan atas suatu peristiwa yang terungkap di persidangan untuk memperoleh keyakinan apakah terdakwa patut dipersalahkan, patut dihukum atas perbuatannya sebagaimana yang terungkap dipersidangan.singkatnya, suatu putusan harus didasarkan pada fakta persidangan dan dibarengi dengan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian terhadap seluruh pembahasan pada materi skripsi ini mengenai analisis putusan No.35/Pid.Sus/2015/PN.KBU Pasca Putusan Mahkamah Kontitusi No. 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian UU No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dasar pertimbangan hakim

Pengadilan Negeri Kotabumi dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana perusakan sumber daya air sebagaimana yang dimaksud dalam perkara nomor: 35/Pid.Sus/2015/PN.KBU. Yaitu bahwa pengertian dan penerapan

Sub unsur “ Melakukan Kegiatan

yang Mengakibatkan Rusaknya Sumber Daya Air dan Prasananya, Menggangu Upaya Pengawetan Air dan atau Mengakibatkan Pencemaran Air Sebagaimana yang Dimaksud

Dalam Pasal 24”, dalam hal ini

bersifat alternative atau pilihan, yang ditunjukkan dengan adanya

kata penghubung “atau” dalam

rumusan sub unsure pasal tersebut yang telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa maka

perbuatan terdakwa tersebut dikatakan telah memenuhi satu unsur secara keseluruhan atau dengan kata lain Majelis cukup membuktikan salah satu frase saja dalam rumusan unsure tersebut untuk menyatakan unsur tersebut terpenuhi;

2. Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dinyatakan tidak Berlaku kembali oleh Mahkamah Kontitusi pada tanggal 18 Februari 2015 dan terjadi kekosongan hukum yang tetap diberlakukan yaitu tetap menggunakan Undang-undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Yang seharusnya dalam makna asas legalitas dalam teori dan praktek hukum pidana yang salah satu nya melarang pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan

“ tiada suatu perbuatan dapat

dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Asas legalitas itu mengandung tiga pengertian : 1). Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang, 2). Untuk menemukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, 3). Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(12)

Undang-undang yang ada supaya tidak terjadi lagi ketidak pastian hukum terhadap Asas Legalitas Peraturan Hukum di Indonesia.

2. Hakim dan jaksa

seharusnyamenggunakan dalil hukum yang benar dan meningkatkan pengetahuan dan wawasannya dalam perubahan Perundang-undangan, karena dapat berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, Muhammad. 2004.

Hukum dan Peneltian Hukum.

Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti.

Erwin, Muhammad. 2008. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup. Bandung: Penerbit PT Refika Aditama.

Huda, Chairul. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan.

Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Prenada Media Group.

Margono. 2004. Pendidikan Pancasila ; Topik Aktual Kenegaraan dan Kebangsaan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Moeljatno. 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: BinaAksara

Payaman Simanjuntak. 1986.

Pengantar Sumber Daya Manusia. Jakarta. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia.

Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013/ Mahkamah Kontitusi

Siahaan. N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ;

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi;

Referensi

Dokumen terkait

Divisi Layanan Telekomunikasi dan Informasi Badan Usaha I mempunyai tugas melakukan penyiapan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi Kewajiban Pelayanan

[r]

Sehubungan dengan hasil evaluasi tersebut di atas, berdasarkan dokumen kualifikasi angka 17.4 yang berbunyi Apabila peserta yang lulus evaluasi kualifikasi kurang dari 3 (tiga) peserta

Untuk mendukung proses integrasi TIK di dalam pembelajaran, maka manajemen sekolah, guru, dan siswa harus memahami 9 (sembilan) prinsip integrasi TIK dalam pembelajaran,

Maka implikasinya, penerapan latihan manipulatif dapat dilakukan oleh guru dalam meningkatkan kemampuan gross motor (motorik kasar) pada peserta didik dengan autisme yang

Bandar-bandar di Malaysia kini sedang mengalami proses perbandaran yang pesat dengan melibatkan pelbagai aktiviti ekonomi, pergerakan barangan dan manusia serta

Dan pada tahun 1966 fungsi dan kedudukan Higene Industri didalam aparatur pemerintahan menjadi lebih jelas lagi yaitu dengan didirikannya Lembaga Higene Perusahaan

Peperangan yang kaya akan strategi menjadi hiburan yang menjanjikan keseruan, sehingga tidak aneh mereka yang memainkan video game ini membutuhkan waktu yang panjang,