• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Organoleptik Biskuit Berbasis Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata), Tepung Kacang Koro (Mucuna prurien), dan Tepung Sagu (Metroxilon sago)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Karakteristik Organoleptik Biskuit Berbasis Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata), Tepung Kacang Koro (Mucuna prurien), dan Tepung Sagu (Metroxilon sago)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Indonesian Journal of Human Nutrition

P-ISSN 2442-6636 E-ISSN 2355-3987 www.ijhn.ub.ac.id Artikel Hasil Penelitian

Karakteristik Organoleptik Biskuit Berbasis Tepung Labu Kuning

(Cucurbita moschata), Tepung Kacang Koro (Mucuna prurien), dan

Tepung Sagu (Metroxilon sago)

(The Organoleptic Characteristics of Biscuit Formulation with Curcubita moschata, Mucuna prurien, and Metroxilon sago Based)

Rachmawati1*, Rosi Novita1, Ampera Miko1

1 Dosen Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Aceh

*Alamat Korespondensi, Email: rachma_gz@yahoo.com

Diterima: / Direview: / Dimuat: April 2016/ April 2016/ Juli 2016

ABSTRAK

Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa prevalensi status gizi anak balita di Provinsi Aceh berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB di atas prevalensi nasional, yaitu berturut-turut 25%, 40%, dan 15%. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi masalah gizi adalah pemberian makanan tambahan pada anak balita. Pengembangan produk biskuit dari bahan pangan lokal dapat dijadikan salah satu alternatif makanan tambahan untuk meningkatkan status gizi anak balita. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik organoleptik biskuit berbasis pangan lokal dari tepung labu kuning (Cucurbita moschata), tepung kacang koro (Mucuna prurient) dan tepung sagu (Metroxilon sago). Desain penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu kombinasi penggunaan tepung labu kuning, tepung kacang koro, dan tepung sagu dalam formulasi biskuit. Pengujian sifat organoleptik metode hedonik merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan formulasi biskuit yang paling disukai. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak 30 orang. Hasil analisis sidik ragam ketiga formulasi biskuit terhadap parameter warna dan rasa biskuit menunjukkan hasil berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05), sedangkan untuk parameter aroma dan tekstur tidak memberikan hasil yang berbeda nyata. Berdasarkan karakteristik organoleptik, formulasi biskuit yang lebih disukai oleh panelis adalah biskuit dengan kombinasi tepung labu kuning 20 gram, tepung kacang koro 10 gram, dan tepung sagu 20 gram.

Kata kunci : biskuit, tepung labu kuning, tepung kacang koro, tepung sagu, organoleptik

Abstract

Riskesdas (2013) shows that prevalance of children undernutrition in Aceh province based on index weight for age, height for age, and weight for height are above National prevalency, comprising 25%, 40%, and 15% respectively. One of the efforts conducted to reduce nutrition problem is the adminstration of supplementary food for children. Development of biscuit from local food can be used as supplemetary food to help the unfortunate children.

OPEN ACCESS

(2)

This research was aimed to study the organoleptic characteristic of biscuit formulation based on local food pumpkin flour (Cucurbita moschata), koro bean flour (mucuna prurien) and sago flour (Metroxilon sago). The research design used was one factor complete randomized design, with the combination of pumpkin flour, koro bean and sago in biscuit combination. The quality of the biscuits was assessed organolepticaly using 30 semi trained panelists. The result of the analysis of variance of colours and flavour paramaters showed a significant difference at 95%

confident interval. The analysis of variance resulted in confident interval 95% (α=0,05), while

from the smell and texture parameter it does not show a significantly different result. Based on the characteristic of organoleptics, the preferrred biscuit formulation chosen by panelists is biscuit with the combination of 20 g pumpkin flour, 10 g koro bean flour and 20 g sago flour.

Keywords : biscuit, pumpkin flour, koro bean flour, sago flour, organoleptic

PENDAHULUAN

Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa prevalensi status gizi anak balita di Provinsi Aceh berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB di atas prevalensi nasional, yaitu berturut-turut 25%, 40%, dan 15% [1]. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi masalah gizi adalah pemberian makanan tambahan anak balita berupa biskuit dari bahan pangan lokal.

Hal ini sesuai dengan rekomendasi WHO/UNICEF untuk mencapai tumbuh kembang optimal bagi bayi dan anak yaitu pertama dengan memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayi segera setelah lahir, kedua memberikan ASI tanpa makanan dan minuman lain (ASI ekslusif) sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun, dan keempat tetap meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun atau lebih. Rekomendasi tersebut juga menekan bahwa MPASI sebaiknya dibuat dari bahan pangan lokal dengan pertimbangan lebih murah dan mudah diperoleh di daerah setempat [2].

Biskuit adalah sejenis makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit merupakan jenis kue kering yang mempunyai rasa manis, berbentuk kecil, dan umumnya dibuat menggunakan bahan dasar tepung terigu, margarin, gula halus, dan kuning telur [3]. Biskuit merupakan jenis makanan yang disukai oleh anak–anak maupun orang dewasa.

Labu kuning (waluh), kacang koro, dan sagu merupakan bahan pangan lokal dan mudah diperoleh di Provinsi Aceh. Labu kuning (Cucurbita moschata) mengandung beta karoten yang cukup tinggi yaitu sebesar 1.569µg/100g [4]. Selain itu, protein yang terkandung dalam tepung labu kuning memiliki daya cerna sebesar 99%, sehingga sesuai untuk dikonsumsi bayi [4].

Pemanfaatan labu kuning, kacang koro, dan sagu masih sangat terbatas. Pemanfaatan bahan pangan lokal dalam bentuk biskuit diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif dalam menangani masalah gizi pada anak balita. Bahan pangan yang digunakan, formulasi, dan metode pengolahan selain berpengaruh terhadap kandungan zat gizi juga dapat mempengaruhi sifat fisik serta daya terima dari produk biskuit yang dihasilkan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu kombinasi tepung labu kuning, tepung kacang koro, dan tepung sagu sebagai bahan baku pembuatan biskuit MP-ASI. Penelitian terdiri dari 3 taraf perlakuan (formulasi) dan 3 kali ulangan dengan jumlah unit percobaan adalah 9 unit. Penyusunan formula biskuit dalam penelitian ini berpedoman pada persyaratan biskuit MP-ASI.

(3)

diperoleh dari pasar tradisional Peunayong. Pembuatan biskuit dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Gizi Poltekkes Aceh, sedangkan analisis proksimat tepung labu kuning, tepung kacang koro, dan tepung sagu dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Pengujian karakteristik organoleptik biskuit dilakukan dengan metode hedonik meliputi parameter warna, rasa, aroma dan tekstur biskuit. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih yaitu mahasiswa tingkat akhir Jurusan Gizi Poltekkes Aceh sebanyak 30 orang. Skala hedonik yang digunakan adalah 5 skala, yaitu 5 (sangat suka), 4 (suka), 3 (agak suka), 2 (tidak suka), dan 1 (sangat tidak suka) [5]. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis sidik ragam (Anova) dan jika hasil uji berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) [6].

HASIL PENELITIAN

Biskuit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah biskuit MP-ASI berbahan baku pangan lokal yang ditujukan untuk anak balita usia 12 – 24 bulan dan dapat dijadikan salah satu makanan tambahan alternatif dalam penanganan masalah gizi pada anak balita. Pemilihan pangan lokal sagu, kacang koro dan labu kuning yang digunakan dalam pembuatan biskuit didasarkan atas beberapa pertimbangan yaitu: (1) bahan relatif mudah didapat, (2)

harga terjangkau, (3) lebih dapat diterima oleh masyarakat setempat, dan (5) sesuai dengan kearifan lokal. Pada penelitian ini penggunaan tepung terigu sebagai sumber karbohidrat dalam pembuatan biskuit sepenuhnya digantikan oleh tepung sagu.

Persyaratan nilai gizi biskuit MP-ASI adalah kandungan energi minimal 400 kkal, protein 8-12 gram, dan lemak 10-18 gram dalam 100 gram biskuit [7]. Pembuatan biskuit diawali dengan penyusunan formula biskuit untuk mendapatkan komposisi yang secara perhitungan nilai gizi memenuhi syarat biskuit MP-ASI. Perhitungan kandungan energi, protein, dan lemak pada tahap formulasi biskuit dihitung dari bahan-bahan penyusunnya menggunakan hasil analisis proksimat tepung sagu, tepung kacang koro, dan tepung labu kuning penelitian serta Tabel Komposisi Pangan Indonesia [8].

Analisis kadar protein tepung menggunakan metode Kjeldahl, analisis kadar lemak menggunakan metode Soxhlet, dan analisis kasar karbohidrat menggunakan metode by difference. Besarnya kandungan energi suatu produk pangan tergantung kadar lemak, protein, dan karbohidrat dalam bahan. Kadar lemak memberikan nilai energi sebesar 9 kkal/gram, sedangkan protein dan karbohidrat memberikan energi sebesar 4 kkal. Hasil analisis proksimat tepung sagu, tepung labu, dan tepung kacang koro disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Tepung Sagu, Labu Kuning, dan Kacang Koro (per 100 gram bahan)

Komponen Kandungan Gizi

Sagu Labu Kuning Kacang Koro

Energi (kkal) 360, 26 286,58 319,89

Kadar air (%) 9,90 18,02 13,97

Protein (gram) 0,18 4,84 21,47

Lemak (gram) 0,30 0,76 1,41

Karbohidrat (gram) 89,22 65,11 55,34

Serat kasar (gram) 0,07 5,03 1,07

Abu (gram) 0,34 6,25 6,75

Tepung koro yang dihasilkan dalam penelitian ini berwarna putih kekuningan, mempunyai tekstur halus yang lolos ayakan 60

(4)

mesh, dan mengandung kadar air 18,02% (Tabel 1).

Menurut Gardjito (2006) dalam Gardjito (2013), tepung labu kuning adalah tepung dengan butiran halus, lolos ayakan 60 mesh, berwarna kekuningan, berbau khas labu

kuning, dengan kadar air sekitar 13% [9]. Tepung labu kuning hasil penelitian memiliki butiran halus dan lolos ayakan 60 mesh namun kadar airnya masih terlalu tinggi, hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan jenis labu kuning yang digunakan.

Tabel 2. Formulasi Biskuit

Bahan Formula biskuit

F01 F02 F03

Tepung sagu (g) 30 20 20

Tepung kacang koro (g) 10 10 20

Tepung labu kuning (g) 10 20 10

Tepung susu skim (g) 15 15 15

Gula halus (g) 25 25 25

Margarin (g) 20 20 20

Kuning telur (g) 16 16 16

Vanili (g) 1 1 1

Soda kue (g) 0,5 0,5 0,5

Garam (g) 0,5 0,5 0,5

*Keterangan: F01 = (T.Sagu 30 g : T.Koro 10 g : T.Labu 10g); F02 = (T.Sagu 20 g : T.Koro 10 g : T.Labu 20 g); F02 = (T.Sagu 20 g : T.Koro 20 g: T.Labu 10 g).

Menurut Laksmi (2012) dalam Dewi et al. (2014), uji organoleptik dilakukan pada empat parameter yaitu warna, aroma, rasa, dan tekstur karena suka atau tidaknya konsumen terhadap suatu produk dipengaruhi oleh warna,

bau, rasa, dan rangsangan mulut [10]. Hasil uji

organoleptik menunjukkan bahwa rata–rata panelis memberikan penilaian agak suka terhadap parameter warna, aroma, dan tekstur untuk ketiga formulasi biskuit, selengkapnya yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Uji organoleptik terhadap parameter rasa biskuit menunjukkan bahwa rata-rata panelis

memberikan penilaian suka (4,03) terhadap rasa biskuit F02 dengan kombinasi tepung sagu 20 gram, tepung kacang koro 10 gram, dan tepung labu kuning 20 gram, sedangkan untuk biskuit F01 dengan kombinasi tepung sagu 30 gram, tepung kacang koro 10 gram, dan tepung labu kuning 10 gram serta biskuit F03 dengan kombinasi tepung sagu 20 gram, tepung kacang koro 20 gram, dan tepung labu kuning 10 gram, rata–rata panelis memberikan penilaian agak suka, dimana biskuit F01 (3,16) dan F02 (2,84).

1

2

3

4

5

1

2

3

3,29

2,83

3,71

3,16

4,03

2,84

3,24

3,03

3,09

3,07

(5)

Gambar 1. Hasil Uji Organoleptik Biskuit Hasil analisis sidik ragam (Anova)

biskuit menunjukkan hasil berbeda nyata pada

selang kepercayaan 95% (α=0,05) untuk

parameter warna dan rasa biskuit, sedangkan untuk parameter aroma dan tekstur tidak memberikan hasil yang berbeda nyata. Biskuit F02 yaitu biskuit dengan kombinasi tepung sagu 20 gram, tepung kacang koro 10 gram, dan tepung labu kuning 20 garam lebih disukai dari segi rasa biskuit daripada biskuit F01 dan F02.

PEMBAHASAN

Warna

Warna merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu dan secara visual warna

tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan, sehingga warna dijadikan atribut organoleptik yang penting dalam suatu bahan pangan. Warna dapat menentukan mutu bahan pangan, dapat juga digunakan sebagai indikator kesegaran bahan makanan, baik tidaknya cara pencampuran atau pengolahan. Suatu bahan pangan yang disajikan akan terlebih dahulu dinilai dari segi warna. Meskipun kandungan gizinya baik namun jika warnanya tidak menarik dilihat dan memberikan kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya maka konsumen akan memberikan penilaian yang kurang baik.

Gambar 2. Biskuit Formulasi F01, F02, dan F03

Warna suatu produk pangan dipengaruhi oleh warna dari bahan yang digunakan. Biskuit yang dihasilkan berwarna coklat kekuningan dikarenakan warna yang dihasilkan oleh tepung sagu dan tepung labu kuning. Biskuit F02 (kombinasi tepung sagu 20 gram, tepung koro 10 gram, tepung labu kuning 20 gram) berwarna lebih coklat dibandingkan biskuit F01 (kombinasi tepung sagu 30 gram, tepung koro 10 gram, tepung labu kuning 10 gram) dan F03 (kombinasi kombinasi tepung sagu 20 gram, tepung koro 20 gram, tepung labu kuning 10 gram).

Proporsi tepung labu kuning yang lebih banyak pada biskuit F02 menyebabkan warna biskuit menjadi lebih gelap atau coklat,

dikarenakan warna dari tepung sagu dan tepung labu kuning serta pengaruh protein yang bergabung dengan gula atau pati dalam suasana panas akan menyebabkan warna menjadi gelap. Warna coklat pada biskuit disebabkan oleh pigmen karotenoid yang terdapat pada tepung labu kuning, kuning telur dan margarin yang merupakan bahan dalam pembuatan biskuit. Pigmen karotenoid adalah kelompok pigmen yang berwarna kuning dan larut dalam lemak. Warna coklat juga dipengaruhi oleh reaksi Maillard selama proses pemanggangan.

Rasa

(6)

sifat merangsang syaraf perasa akan menimbulkan perasaan tertentu. Tekstur atau konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi cita rasa yang dtimbulkan oleh bahan tersebut [8]. Cita rasa makanan merupakan salah satu faktor penentu bahan makanan. Makanan yang memiliki rasa yang enak dan menarik akan disukai oleh konsumen.

Secara umum ketiga formula biskuit mempunyai rasa yang manis dan gurih. Hasil uji organoleptik rasa biskuit menunjukkan bahwa rata-rata panelis memberikan penilaian suka terhadap rasa biskuit F02 dan penilaian agak suka terhadap rasa biskuit F01 dan F03. Rasa manis biskuit F02 lebih dominan dikarenakan rasa manis yang berasal dari tepung labu kuning, dimana jumlah penggunaan tepung labu kuning pada biskuit F02 lebih banyak (20 gram) dibandingkan biskuit F01 (10 gram) dan F03 (10 gram). Menurut Kriswidyatni (1990) dalam Gardjito (2013), kandungan gula tepung labu kuning cukup tinggi, yaitu 50,49% dari total karbohidrat sehingga tepung labu dapat berperan dalam memberikan rasa manis pada produk olahannya [9].

Aroma

Aroma makanan banyak menentukan kelezatan makanan tersebut, oleh karena itu aroma merupakan salah satu faktor dalam penentuan mutu. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik, dan hangus. Aroma makanan menentukan kelezatan bahan pangan tersebut. Dalam hal ini aroma lebih banyak sangkut pautnya dengan alat panca indera pencium. Aroma yang khas dan menarik dapat membuat makanan lebih disukai oleh konsumen sehingga perlu diperhatikan dalam pengolahan suatu bahan makanan.

Aroma biskuit dari ketiga formula biskuit adalah aroma biskuit pada umumnya. Aroma biskuit dipengaruhi oleh aroma dari bahan penyusunnya dan juga aroma yang dihasilkan dari proses pemanggangan. Tepung sagu,

kacang koro, dan labu kuning masing–masing memiliki aroma yang khas.

Tekstur

Tekstur pada produk biskuit berhubungan dengan komposisi dan jenis bahan baku yang digunakan. Tepung terigu merupakan komponen utama pada sebagian besar adonan biskuit, sereal, dan kue kering. Memberikan tekstur yang elastis karena kandungan glutennya dan menyediakan tekstur padat setelah dipanggang.

Pati merupakan komponen lain yang penting pada tepung terigu dan tepung lainnya. Air terikat oleh pati ketika terjadi gelatinisasi dan akan hilang pada saat pemanggangan. Hal inilah yang menyebabkan adonan berubah menjadi renyah pada produk panggang. Tekstur suatu bahan pangan merupakan salah satu sifat fisik dari bahan pangan. Menurut Mervina

(2009) dalam Dewi et al. (2014), tekstur

merupakan salah satu atribut organoleptik yang mempengaruhi penerimaan panelis terhadap biskuit [10]. mempunyai kualitas tepung yang baik karena mempunyai sifat gelatinisasi yang baik, dengan demikian dapat membentuk adonan dengan konsistensi, kekenyalan, viskositas maupun elastisitas yang baik [9].

KESIMPULAN

(7)

kacang koro 10 gram, dan tepung labu kuning 20 gram.

DAFTAR RUJUKAN

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI. RISKESDAS 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013. 415 – 425.

2. World Health Organization. Interpretation Guide Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile Indicator. Geneva, Switzerland: WHO Press; 2010. 3. Badan Standarisasi Nasional (BSN).

Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 01-2973-1992 (Internet), 2011 [diakses 5 Oktober 2015].

4. Rustanti N, Noer ER, Nurhidayati. Daya Terima dan Kandungan Zat Gizi Biskuit Bayi sebagai Makanan Pendamping ASI dengan Subtitusi Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata) dan Tepung Ikan Patin (Pangasius spp). Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 2012; 1(3): 1–2.

5. Setyaningsih D, Apriyantono A, Puspita MS. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor: IPB Press; 2010. 7–12.

6. Somali L, Karina SM, Amrihati ET. Formulasi BMC Meningkatkan Kadar Protein Kue Kering dengan Penambahan Tepung Ikan. Jurnal Gizi Indonesia. 2014; 36 (1): 45–56.

7. Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 224/Menkes/SK/II/2007 tentang Spesifikasi Teknis Makanan Pendamping Air Susu Ibu (Internet), 2007 [diakses 7 Juni 2014].

8. PERSAGI. Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI). Jakarta: PT. Gramedia Elex Media Komputindo; 2009. 1–10. 9. Gardjito M. Pangan Nusantara:

Karakteristik dan Prospek untuk Percepatan Diversitifikasi Pangan. Jakarta: Kencana Perdana Media Group; 2013. 320–355.

10. Sari DK, Marliyanti SA, Kustiyah L, Khomsan A, Gantohe TM. Uji

Gambar

Tabel 2. Formulasi Biskuit
Gambar 2. Biskuit Formulasi F01, F02, dan F03

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: Ekstrak daun Kemangi dapat diformulasikan dalam sediaan krim yang baik secara fisik, dan sediaan krim ekstrak daun Kemangi tidak dapat

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Alloh SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

Tujuan perancangan sistem informasi pariwisata berbasis web adalah untuk mempromosikan wisata Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara dan terbentuknya suatu

Namun, bagaimana halnya, jika undang-undang belum mengakomodasi bentuk alat bukti elektronik padahal dalam penerapannya, hubungan keperdataan seperti transaksi jual beli

Kegiatan demonstrasi cara dalam penelitian ini menggunakan alat peraga benda asli, dan masyarakat Desa Kalimas merupakan sasaran dari kegiatan ini, wanita tani

Bisa jadi kelinci Anda akan menjilati lagi tubuhnya, hal ini juga bertujuan untuk meluruskan.4. bulunya Kelinci termasuk jenis binatang lucu,unik dan menarik bahkan sangat

Significantly different (P>0.05) levels of calcium in duck nuggets probiotic caused by the content of calcium from oyster mushroom and carrots into

Angket respon peserta didik menunjukkan hasil bahwa peserta didik memberikan respon yang positif terhadap proses pembelajaran inkuiri dipadu STM dalam hal pembelajaran