• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menata Ulang Pariwisata Berkelanjutan Un

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menata Ulang Pariwisata Berkelanjutan Un"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Menata Ulang Pariwisata Berkelanjutan Untuk Indonesia 

Oleh : Erda Rindrasih |    

Artikel ini diterbitkan pada http://www.kabarindonesia.com/   Tanggal 15‐Nov‐2016, 09:31:30 WIB  

   

Kini,  Pariwisata  dianggap  sektor  yang  menjanjikan  untuk  pengembangan  ekonomi 

sebuah  kawasan,  baik  dalam  konteks  daerah  maupun  negara.  Tidaklah  heran,  berbagai  konsep  ideal  tentang  bagaimana  pariwisata  harus  dijalankan  muncul  ke  permukaan. Sejak  beberapa  dekade  lalu  konsep  “sustainable  tourism” atau  pariwisata  berkelanjutan  hadir  memberikan  semacam  pencerahan  dan  arah  tujuan  dari  pengembangan  pariwisata.  Tak  hanya  Indonesia,  negara  lain  pun  disibukkan  dengan  bagaimana  sebisa  mungkin  mencapai 

apa yang dicita citakan yaitu Pariwisata Berkelanjutan. 

Apa  itu  pariwisata  berkelanjutan?  Selama  ini,  kita  memahami  bahwa  pariwisata  berkelanjutan  artinya  kegiatan  pariwisata  yang  mampu  menyeimbangkan  antara  aspek  sosial‐budaya,  ekonomi  dan  lingkungan. Aspek  sosial‐budaya  artinya  kegiatan  pariwisata  harus  bisa  mengedepankan  kepentingan  budaya  dan  sosial  setempat,  atau  dalam  hal  ini  adalah  budaya  tuan  rumah.   Lalu,  ada  aspek  ekonomi,  dimana  harus  ada  keuntungan  yg 

diperoleh  dari  kegiatan  pariwisata.  Keuntungan  ini  dapat  saja  diartikan  untuk  tuan  rumah  maupun pengunjung. Diharapkan kegiatan pariwisata tidak merugikan pihak pihak lain yang  mungkin  saja  tersingkirkan  dan  termarjinalkan  oleh  kegiatan  pariwisata. Sedangkan  keseimbangan lingkungan, dimaksudkan bahwa kegiatan pariwisata haruslah tidak merusak  lingkungan, menjaganya agar tetap lestari, dan memastikan lingkungan tertata sebagaimana 

sebelum ada kegiatan pariwisata. Sebuah konsep yang begitu ideal. 

Pertanyaannya,  apakah  mungkin  Pariwisata  Berkelanjutan  itu  dapat  terwujud  di  satu  destinasi?  Kalau  iya,  saya  bertanya  kepada  Anda,  destinasi  mana  yang  mampu  mewujudkannya?  Sebutkan  satu  saja!  Satu  saja  destinasi  wisata  yang  masyarakatnya  bahagia secara sosial dan budaya, sejahtera dan kecukupan secara ekonomi, tidak ada pihak  pihak yang tersingkir atau termarjinalisasi dan lingkungan terjaga dengan baik. 

Kalau  di  Indonesia,  anda  sebut  Bali  misalnya,  jangan  salah  bahwa  ada  ketimpangan  yg  terjadi  di  Bali  Utara  dan  Selatan,  ada  migrasi  halus  penduduk  yg  memiliki  lahan  di  pinggir  jalan  pindah  ke  lahan  yang  lebih  murah.  Di  Jogja,  ada  isu  kekurangan  air  tanah  karena  meningkatnya  jumlah  hotel  yang  dibangun,  dimana  hotel  hotel  tersebut  mengambil  air  tanah dangkal bukan air tanah dalam sehingga menganggu sirkulasi air tanah dangkal untuk 

(2)

Peneliti  pariwisata  seperti  Stephen  F.McCool,  Keith  Bosak,  Richard  Sharpley  dll, 

disibukkan  dengan  menentukan  indikator  indikator  turunan  dari  sustainable  tourism.  Demikian juga saya, yg sedang pusing membayangkan ratusan indikator yang ketika dibaca 

seperti  hendak  membangun  surga  di  bumi.  Konsep  konsep  ideal  yang  seperti  angan  angan  semata.  Hubungan  antara  pembangunan  berkelanjutan  dan  pariwisata  berkelanjutan  telah  menunjukkan ambiguitas dan tidak jelas. 

Konsep  Pariwisata  berkelanjutan  malah  terlihat  sepeprti  slogan,  alat  pemasaran  dan  perangkat  promosi.  Pariwisata  berkelanjutan  terlalu  bagus  untuk  menjadi  kenyataan. 

Pariwisata  berkelanjutan  memberikan  banyak  kriteria  yang  sulit  untuk  dicapai  bagi  satu  tujuan wisata. Apalagi untuk pariwisata Indonesia yang dikelola oleh masyarakat. Siapa yang  mengelola  pasti  akan  mempengaruhi  kecenderungan  di  sisi  mana  pariwisata  akan  dibawa.    

Misalnya  desa  wisata,  aspek  sosial  budaya  biasanya  akan  lebih  unggul  dalam  kriteria  pengambilan  keputusan,  dibandingkan  dengan  wisata  buatan.  Kalau  ada  kasus  saya  yakin,  mereka  mengedepankan  musyawarah,  dengan  prinsip “rugi  ning  bondo  untung  ning  konco” –  seolah  ingin  bilang,  gak  masalah  ketika  tidak  terlalu  banyak  keuntungan  dari  kegiatan desa wisata, yang penting kita semua rukun dan damai. 

Lain halnya dengan pengelolaan pariwisata seperti wáter boom misalnya. Management  akan  di  tekan  untuk  mendapatkan  sebanyak  banyaknya  keuntungan.  Biarlah  staf  yang 

lambat  dan  bermasalah  diberhentikan,  marah  dan  kecewa,  asalkan  tidak  menganggu  arus  uang  yang  masuk.  Nah,  lalu  apakah  ada  konsep  yang  bisa  menjadi  alternatif  selain  sustainable  tourism?  Sepertinya  sulit  menjawab  pertanyaan  itu,  apalagi  jika  kita  berfikir  bahwa  destinasi  wisata  harus  ideal.  Mari  saya  ajak  anda  untuk  mengubah  cara  pandang. 

Destinasi  wisata  itu  tidak  mungkin  akan  ideal.  Akan  selalu  ada  persoalan  dan  ketidak  seimbangan.  Kenapa?  Karena  pariwisata  itu  sector  yang  sangat  tergantung  dengan  sector  lainnya. Bisa tergantung dalam arti positif maupun negative. 

Jenner  &  Smith  (1992)  mengatakan  bahwa  bisa  jadi  kegiatan  ekonomi  lainnya  adalah  “penganggu”  pariwisata.  Yang  ingin  saya  sampaikan  adalah  kita  tidak  bisa  menggunakan 

indikator sustainable  tourism untuk  melakukan  penilaian  terhadap  destinasi  yang  berbeda,  karakter  sosial  budayanya,  tujuan  pendiriannya  (ekonomi  atau  lingkungan)  dan  karakter 

ekosistemnya. Kita harus menemukan indikator yg sifatnya lokal, tidak perlu bersifat  global  dan memuaskan semua pihak, karena hal itu tidak akan terjadi. 

Bukankah  kegiatan  pariwisata  itu  adalah  antara  tuan  rumah,  tamu  dan  tetangga.  Kita  bisa  tentukan  apa  yang  diinginkan  tuan  rumah  dan  apa  yang  diinginkan  oleh  tamu.  Selain 

mereka  berdua,  kita  juga  perlu  memahami  apa  yang  diiginkan  oleh  tetangga.  Karena  bagaimanapun proses mobilitas manusia akan secara luas mempengaruhi tetangga. 

Pariwisata  bukan  alat  mencari  devisa,  ia  sebatas  fenomena.  Mungkin  benar  jika  kegiatan pariwisata akan memberikan nilai lebih pada perputaran uang dan ekonomi. Ia juga  memberikan  kesempatan  berusaha  dan  membuka  lapangan  pekerjaan.  Namun  demikian, 

(3)

dilalukan.  Cukupkan  pada  bahagia  yang  merekah  dari  hubungan  baik  antara  tamu‐

pengunjung  dan  tetangga.  Karena  menurut  saya  pariwisata  itu  adalah  phenomena  sosial  yang  terbentuk  dari  mobilitas  sementara  manusia  dari  satu  wilayah  ke  wilayah  yang  baru, 

dengan tujuan mereka masing masing. 

Pariwisata  harus  terintegrasi  dengan  sektor  lainnya.  Jika  Indonesia  ingin  menjadikan  pariwisata  sebagai  sektor  pendulang  devisa,  maka  kita  harus  punya  indikator  sendiri  yang  sesuai  dengan  budaya,  sosial  dan  lingkungan  Indonesia.  Saya  tetap  setuju  menggunakan  sustainable tourism, tetapi harus ditambahkan dengan konsep ketahanan dan kebahagiaan. 

Ia haruslah mampu mengakomododasi prinsip, pariwisata yg tumbuh murni dari keikhlasan  tuan  rumah  dan  keinginan  dari  pengunjung  untuk  menikmati  pengalaman  baru  dengan  tanpa  menganggu  tetangga. Mari  kita  tata  ulang  pariwisata  berkelanjutan  untuk  Indonesia. *) 

    

Blog:http://www.pewarta‐kabarindonesia.blogspot.com/  Alamat ratron (surat elektronik):redaksi@kabarindonesia.com  Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera: 

http://www.kabarindonesia.com// 

 

 

Erda Rindrasih: Pendiri Indonesia Tourism Watch (ITW), PhD candidate International  Development Studies, Utrecht University 

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu judul yang akan diajukan oleh peneliti adalah “Perbedaan Hasil Belajar Mata Diklat Elektronika Analog Dan Digital Antara Siswa Yang Diajar Dengan Model

Pembagian dividen tunai dengan rasio dividen tunai adalah setiap 1 (satu) saham akan memperoleh

Setelah masa tanam jagung, C organik dan N total tertinggi tejadi pada tanah tanpa mikoriza dengan tambahan bahan organik 40 ton/ha, sedang untuk P dan K

Cipta, 2014), h.. membuat siswa bisa lebih terfokus pada kegiatan belajar mengajar di kelasnya, sehingga curah perhatiannya akan lebih tinggi. Tingginya tingkat curah

Oleh karena itu, berdasarkan fenomena dan latar belakang serta data hasil kunjungan wisatawan yang telah penulis dapatkan, juga dengan potensi yang dimiliki

Pembuatan, karakterisasi, dan uji aktivitas antimikroba serta antioksidan asap cair dari cangkang sawit (Elaeis gueneensis jack), dilakukan dengan tujuan utama

Studi tentang Raskin juga dilakukan oleh Lembaga Demografi UI yang menemukan bahwa Kuantitas beras yang dibeli oleh KK Penerima Manfaat bervariasi antara 3,5 - 20 kg/KK,

Disebut common cold atau selesma bila gejala di hidung lebih menonjol, sementara “influenza” dimaksudkan untuk kelainan yang disertai faringitis dengan tanda demam dan lesu