Ekonomi Inklusif dan Berkelanjutan
di Era Pengetahuan Terbuka
Jakarta, Oktober 2014
Tim Penyusun:
Prof. Dr. Djisman Simandjuntak Dr. Gregorius Irwan Suryanto Harry Gustara Pambudi, SE, MBA
Ginna Ayu Puteri, SE
Desain dan Tata Letak : Pandu Mas Saputra
Editor : Rani Anggraini Pratiwi
Diterbitkan Oleh : Komite Ekonomi Nasional
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI
Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Lantai III
Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat
021-34832582 / 34832586
ISBN : 978-602-71465-4-9
Hak Cipta dilindiungi Undang - Undang
Indonesia telah mencacatkan diri sebagai salah satu negara yang berhasil tumbuh disaat gejolak ekonomi global yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Walau tidak sepenuhnya stabil, prestasi pertumbuhan ekonomi yang selalu diatas 6% dipandang oleh masyarakat dunia sebagai potensi besar yang dimiliki negara ini. Guna mengurangangi kemiskinan dan menjaga pertumbuhan, tumbuh secara berkesinambungan saja tidak cukup, dibutuhkan akseleratif pertumbuhan yang ditopang oleh proteksi dan sistem jaminan sosial yang baik sebagai landasan tumbuhnya ekonomi Indonesia.
Dalam kaitannya dengan pertumbuhan yang berkesinambungan dan tantangan atas ekonomi global, sistem ekonomi yang komprehensif harus disiapkan agar sektor-sektor yang dianggap penting serta memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi fokus pemerintah dalam pemilikan sektor atau industri unggulan sebagai penopang ekonomi Indonesia. Selain dari pada pemilihan sektor unggulan, beberapa hal yang penting yang harus menjadi fokus pertumbuhan adalah yang pertama, salah satu syarat negara tetap tumbuh adalah pengembangan teknologi. Baik dalam melakukan difusi maupun akusisi teknologi harus dilakukan guna penciptaan barang ataupun jasa yang baru untuk tetap bersaing di persaingan global.
Kedua perbaikan literasi dan modal manusia. Tidak dapat dipungkiri masyarakat Indonesia masih tertinggal jauh dari masyarakat dunia terutama dalam hal pemerataan pengetahuan masyarakat. Hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang sudah siap menghadapi persaingan global. Indonesia bagian timur diluar Sulawesi masih merupakan bagian Indonesia yang sangat jauh tertinggal. Ketiga, alokasi sumber daya yang didukung oleh infrastruktur pasar yang mumpuni menjadikan efisiensi pasar terjadi. Paket regulasi yang mendukung pertumbuhan serta menjaga UMKM tetap tumbuh adalah sarat penting selanjutnya. Yang terakhir adanya korelasi positif antara dunia usaha, dunia penelitian dan pemerintah harus diciptakan agar terciptanya suatu kondisi yang produktif dan mendorong tumbuhnya sektor-sektor yang dianggap penting. Dengan desain perekonomian yang disusun secara menyeluruh, lengkap dan terstruktur dengan baik transformasi Indonesia memasuki status pendapatan tengah akan dapat terwujud dengan lebih cepat.
Terakhir, kami ucapkan terima kasih kepada seluruh anggota Komite Ekonomi Nasional terutama kepada Prof. Djisman Simandjuntak beserta tim kajian yang telah berupaya memberikan kontribusi terbaik dalam melakukan kajian dan memberikan rekomendasi pembangunan nasional bagi kemajuan Indonesia yang kita cintai.
Jakarta, Oktober 2014
Ketua Komite Ekonomi Nasional
Indonesia sedang memasuki tahap graduasi ke status pendapatan tengah tinggi dan dari situ ke status pendapatan tinggi. Dalam peralihan ini kecepatan lepas harus dihimpun dan dipelihara. Sumber pertumbuhan yang selama ini bertumpu atas faktor modal dan tenaga kerja terdidik dan terlatih rendah dan sedang harus bergeser ke perbaikan produktivitas yang dihela oleh difusi luas dari teknologi lokal dan impor yang sudah ada dan dipacu oleh teknologi hasil akuisisi melalui pembelajaran melalui produksi, peniruan kreatif dan komersialisasi hasil penelitian dan pengembangan (P&P) yang berasal dari kerja sama trilateral R&D perusahaan, pusat R&D universitas dan pusat R&D pemerintah.
Untuk memaksimasi peluang sukses graduasi itu diperlukan efisiensi statik dan dinamik yang sebaik-baiknya dalam alokasi sumber-sumber, kenaikan kuat yang berkelanjutan dalam modal human sebagai komposit perbaikan kesehatan, perbaikan literasi secara umum dan literasi sains dan teknologi secara khusus, perbaikan dalam keahlian keras dan lunak dan kewirausahaan, terutama yang terkait dengan usaha kecil dan menengah (UKM), dan perbaikan proteksi dan jaminan sosial.
Perbaikan efisiensi alokasi sumber memerlukan perbaikan infrastruktur fisik, institusi dan konektivitas antar manusia, konsentrasi pasar yang sedang atau tidak oligopolistik ataupun atomistik, keterbukaan regional dan internasional yang dipupuk incremental dalam kesatuan dengan pemupukan kapasitas (capacity building) dan fasilitasi, dan stabilitas kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi alokasi sumber seperti daftar negatif penanaman modal, tata ruang dan wilayah, hak-hak atas tanah, undang-undang ketenagakerjaan dan upah, minimasi penyalahgunaan kekuasaan pasar (market power), standar industri, standar saniter dan phytosaniter, atau singkatnya kepastian
hukum yang tidak pandang bulu. Meknisme pasar terbuka yang diregulasi dengan baik akan membantu Indonesia memaksimasi efisiensi statik dan dinamik alokasi sumber sebagai penyumbang perbaikan produktivitas.
Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia mengalami kenaikan progresif dalam sumber-sumber yang dicurahkan pada pemupukan modal human, yaitu komposit kesehatan, literasi umum dan sains, keahlian keras dan lunak dan kewirausahaan. Kenaikan progresif ini akan masih berlanjut karena demografi dan kebijakan keuangan
Negara. Namun demikian, beberapa catatan perlu dibuat. Pertama, indeks perkembangan human (IPH) Indonesia, kematian maternal, bayi dan balita, capaian sains dan matematik dalam PISA (Program for International Student Assessment), dan indeks kemajuan sosial masih kurang dari unggul. Kedua, dunia usaha sebagai salah satu pengguna utama modal human masih sangat lemah dalam innovasi. Pengeluaran R&D sebagai persentase PDB dan angkatan kerja R&D masih sangat kecil dan didominasi oleh pemerintah yang negara-negara lain termasuk RR Tiongkok didominasi oleh dunia usaha. Akselerasi yang cepat masih sangat diperlukan dalam pemupukan modal human ini. Negara masih harus memperbesar belanja pemupukan modal sosial dengan pengekonomian yang semakin baik, menggerakkan (leverage) pengeluaran rumah tangga dan dunia usaha dengan belanja pemerintah itu, di samping tentunya memperbesar belanja infrastrukturnya. Negara Indonesia perlu menggeser pengeluarannya ke arah pengeluaran sosial dan semakin mengandalka dunia usaha dalam infrastruktur ekonomi atau menjadi negara sosial singkatnya.
Di beberapa negara seperti Jerman proteksi dan jaminan sosial adalah elemen yang inheren dari sistem ekonomi, bukan appendix. Melalui proteksi dan jaminan itu keadilan sosial diproduksi secara konkrit dan kerukunan sosial, termasuk kerukunan industrial antara pengusaha dan pekerja, dipelihara dengan lebih baik. Dengan sistem sosial yang sistemik tabungan jangka panjang juga dimobilisasi yang dapat dipakai memperkuat pendanaan infrastruktur dan perumahan rakyat. Kepemimpinan pemerintah memenangkan hati pengusaha dan buruh untuk mengikat pakta sosial yang inklusif dan berkelanjutan sangat diperlukan dengan selalu menjaga bahwa sistem sosial itu berkembang secara bertahap sesuai dengan kemampuan ekonomi.
Mekanisme pasar terbuka yang diregulasi dengan baik dan dipadu dengan pemupukan kapasitas dan fasilitasi, negara sosial yang kuat dalam penyediaan infrastruktur dan pemupukan modal human, termasuk penggerakan pemupukan modal human rumah tangga dan dunia usaha, dan sistem sosial berisi proteksi dan jaminan sosial yang realistik dan dikembangkan secara bertahap membentuk arsitektur segitiga yang sistemik dan dikenal di kalangan yang meluas sebagai ekonomi pasar sosial. Dengan desain seperti itu dan kepemimpinan transformasional Indonesia akan berhasil memasuki status pendapatan tengah atas dalam waktu yang tidak lama.
Tim Kajian
Prof. Dr. Djisman Simandjuntak
DAFTAR ISI
Gambar 1.1 FDI Inflows Tahun 2000 – 2013 (juta US$).......2
Gambar 1.2 FDI Stocks Tahun 1990, 2000, 2010 dan 2013 (juta US$)......2
Gambar 1.3 Pendapatan per Kepala Beberapa Negara Dalam Dolar (PPP) Tahun 2013.......4
Gambar 1.4 Proporsi Produk Domestik Bruto, Pengeluaran, Harga Konstan 2000.......9
Gambar 2.1 Perkembangan Jumlah Usaha, Indonesia-Jerman, 2011-2012 (persentase PDB)...15
Gambar 2.2 Perkembangan Skor PISA, Indonesia-Jerman, 2003-2012.....18
Gambar 2.3 Pengeluaran Pemerintah Berdasarkan Fungsi.....19
Gambar 2.4 Pengeluaran Pemerintah Berdasarkan Manfaat yang Diberikan......20
Gambar 2.5 Pengeluaran Pemerintah, Indonesia-Jerman, 2002-2011 (persentase PDB)...20
Gambar 3.1 Statistik Tingkat Pengangguran di Indonesia Tahun 2000 – 2011......27
Gambar 3.2 Statistik Tenaga Kerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Febuari 2013......28
Gambar 3.3 Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah (2005-2011)......31
Gambar 3.4aOPEC Reference Basket Price ($/bn).....32
Gambar 3.4b Perkembangan Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP) Tahun 1993-2011.......32
Gambar 3.5 Penerimaan Minyak Bumi dan Subsidi BBM di Indonesia Tahun 2000-2011......33
Gambar 4.1 Peta Konsumsi Listrik Dunia....43
Gambar 4.2 Konsumsi Listrik di Berbagai Dunia.....44
Gambar 5.1 Sumber Keuangan Lembaga Penelitian di Jerman, 2011 (persen) .......53
Gambar 5.2 Jenis Penelitian Terapan dan Inovasi Fraunhofer.....54
Gambar 5.3 Klaster Inovasi Fraunhofer ...54
Gambar 5.4 Persentase R&D terhadap PDB, 2010 (persen) .....55
Gambar 5.5 Pengajuan Proposal Paten yang Diterima Oleh DPMA......60
Gambar 5.6 Klasifikasi Pengajuan Proposal Paten....61
Gambar 5.7 Aplikasi Paten Berdasarkan Regional...61
Gambar 5.8 Pengurusan Paten Dibawah Pengawasan DPMA....62
Gambar 5.9 Perbandingan Tingat Pengangguran di Jerman dan Beberapa Negara......74
Gambar 5.10 Perkembangan Anggaran Sosial yang Dikeluarkan Jerman.....75
Gambar 5.11 Angka Pengangguran Di Beberapa Negara Uni Eropa......76
Gambar 5.12 Bagan Sistem Pendidikan di Republik Federal Jerman......80
Gambar 5.13 Bagan Sistem Pendidikan Tinggi di Negara-negara EU......81
Gambar 5.14 Ilustrasi Dual Sistem Pendidikan di Jerman......82
Gambar 5.15 Ilustrasi antara Vocational School dan Perusahaan......83
Gambar 5.16 Skema Pelaksanaan Ujian Teori dan Praktek......84
Gambar 5.17 Proses Rekrutmen Siswa/i Vocational Training, Daimler......86
Gambar 5.18 Jumlah Peserta Rekrutmen dan Siswa/i yang Diterima......87
Gambar 5.19 Struktur Pengajaran di Vocational Training Daimler ...88
Tabel 1.1 Pertumbuhan PDB per Regional Tahun 2005-2012 (persen) ...1
Tabel 1.2 Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri Tahun 2000 – 2012 (milyar rupiah)....3
Tabel 1.3 Biaya Logistik Sebagai Persentase PDB ...5
Tabel 1.4 Pertumbuhan Pendapatan per Kepala Tahun 1980 s/d 2010...6
Tabel 1.5 Distribusi Produk Domestik Bruto, Berdasarkan Lapangan Usaha, Harga Konstan Tahun 2000, Tahun 2000 dan 2013 (persen)...8
Tabel 2.1 Daratan Indonesia per Kepala; Lautan Indonesia per Kepala; dan Arable Land per Kepala Tahun 2000 – 2013...11
Tabel 2.2 Potensi Sektor Perikanan Indonesia, 2000 – 2010...11
Tabel 2.3 Hutan dan Lahan Indonesia, 1990 – 2010...11
Tabel 2.4 Pengajuan HAKI berdasar Kantor dan Kelompok Pendapatan...12
Tabel 2.5 Kepemilikan Formal Perusahaan Industri Manufaktur (persen)...14
Tabel 2.6 Life Expectancy dan Healthy Life Expectancy (HALE), Saat Kelahiran, Indonesia- Jerman, 1990 dan 2010, (95% Uncertainty Intervals) ...17
Tabel 2.7 Indeks GERD, Indonesia-Jerman, 2002-2007...22
Tabel 3.1 Statistik Koefisien Gini Tahun 2005...27
Tabel 3.2 Price Formation Mapping...36
Tabel 3.3a Jumlah Kepesertaan Jaminan Kesehatan, 2012...38
Tabel 3.3b Jumlah Kepesertaan Jaminan Kesehatan per 30 Juni 2014...38
Tabel 4.1 Statistik Lingkungan...41
Tabel 4.2 Indikator Inovasi di Jerman...46
Tabel 4.3 Indikator Inovasi di Indonesia...49
Kotak 1.1 Perangkap Pendapatan Sedang ...7
Kotak 2.1 Pemupukan modal manusia melalui Vocational Training...21
Kotak 3.1 Hubungan Industrial...29
DAFTAR TABEL
Indonesia sedang bergerak dari pendapatan tengah bawah menuju pendapatan
tengah atas. Peluang sukses bagi pergerakan ini tampak baik secara keseluruhan.
Pengalaman dengan pertumbuhan yang cukup baik dalam 10 tahun terakhir dalam politik
demokratik dan desentral memberi pelajaran-pelajaran berharga sebagai kekuatan
menghadapi masa depan dekat dan sedang. Tidak saja Indonesia melewati krisis ekonomi
dunia tahun 2008–2009, lebih cepat daripada negara lain, di dalam negeri juga terjadi
pergeseran spasial yang menggembirakan berupa pertumbuhan yang progresif di Sulawesi
dan bagian lain Indonesia Timur. Dinamika pertumbuhan ini dapat dipelajari dari Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Pertumbuhan PDB per Regional Tahun2005
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Masuknya Indonesia dalam kelompok sedikit negara yang berhasil memelihara
kinerja baik sesudah krisis dunia tahun 2008 ditanggapi dengan baik dan secara luas oleh
pemimpin-pemimpin politik dan bisnis dunia. Tahun 2010-an ditandai antara lain oleh
penggambaran Indonesia sebagai ekonomi yang berpeluang baik menjadi salah satu
ekonomi besar dunia sebelum akhir 2020-an. Dalam lanskap perdagangan dan investasi
dunia, Indonesia sudah tampil kembali sebagai titik terang. Persepsi yang sangat positif itu
disusul oleh arus masuk investasi langsung dan investasi portofolio asing dalam jumlah
yang sangat besar.
Wilayah 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Sumatera 3,57 5,26 4,96 4,98 3,50 5,58 6,19 5,82
Jawa 5,75 5,77 7,20 6,02 4,81 6,33 6,65 6,57
Bali & Nusa
Tenggara 3,82 4,41 7,40 4,74 7,23 5,88 3,17 4,01
Kalimantan 3,93 3,80 3,36 5,35 3,47 5,38 4,97 4,83
Sulawesi 6,28 6,83 7,23 8,43 6,92 8,24 8,10 8,67
Kep. Maluku
dan Papua 24,66
-9,88 5,10 1,61 17,19 4,88 4,60 6,56
Nasional 5,38 5,18 6,34 5,74 4,77 6,14 6,35 6,30
Gambar 1.1 FDI Inflows Tahun 2000 – 2013 (juta US$)
Sumber: World Investment Report, 2004, 2006, 2011, dan 2014
Gambar 1.2 FDI Stocks Tahun 1990, 2000, 2010 dan 2013 (juta US$)
Sumber: World Investment Report, 2004, 2006, 2011, dan 2014
Optimisme serupa pun menghinggapi pelaku-pelaku kebijakan dan bisnis dalam
negeri, seperti tercermin dalam pertumbuhan investasi swasta dan pemerintah. Dalam
masa 10 tahun terakhir, Indonesia sudah kembali ke profil baku negara sedang
berkembang Asia Timur sepanjang menyangkut investasi sebagai persentase PDB yang
Tabel 1.2 Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri Tahun 2000 – 2012 (miliar rupiah)
Perbaikan kinerja ekonomi sesudah reformasi juga tampak dalam
indikator-indikator lain. Jumlah pengangguran terbuka turun menjadi 6 persen pada tahun 2014,
walaupun di pihak lain penduduk yang bekerja di sektor informal masih sangat besar.
Secara bersama-sama penduduk yang bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain, pekerja
keluarga, dan pekerja musiman di sektor pertanian masih mewakili sekitar 60 persen dari
penduduk yang bekerja. Struktur penyerapan tenaga kerja ini memberi di satu pihak,
peluang yang besar bagi pertumbuhan, tetapi juga mewakili tantangan yang berat untuk
diatasi di masa depan. Dari perspektif pemerataan, kemajuan Indonesia juga tercermin
dalam indikator-indikator yang lebih struktural dan komprehensif sebagaimana dapat
dipelajari dari Tabel A.1, Tabel A.2 dan Gambar A.1 hingga Gambar A.3 dalam Appendix.
Indeks Pembangunan Manusia membaik dari 0,609 dalam tahun 2000 menjadi
0,684 dalam tahun 2013. Indeks Pendidikan bahkan jauh lebih tinggi pada 0,79,
mencerminkan penguatan besar-besaran dari pendidikan dalam 10 tahun terakhir.
Harapan hidup memanjang terus, membuat investasi dalam modal human semakin
menarik dan penting. Kematian pada usia dini juga menurun, walaupun melandai sejak
tahun 2002, tetapi perjalanan Indonesia masih panjang menuju masyarakat sejahtera.
Beberapa kelemahan yang berakibat panjang masih menyusahkan, “stunting” misalnya
masih sangat tinggi di beberapa daerah Indonesia Timur. Dalam Indeks Kemajuan Sosial
2014, Indonesia dilemahkan oleh keterbatsan peluang emansipasi, air dan sanitasi,
keamanan personal, akses informasi dan komunikasi, hak-hak personal, toleransi dan
inklusi yang sangat rendah serta akses ke pendidikan tinggi. Kekurangan-kekurangan
struktural ini mempengaruhi daya saing warga sepanjang hidup. Penurunan
Tahun Realisasi Investasi PMDN Tahun Realisasi Investasi PMDN
2000 92.410,40 2007 34.878,70
2001 58.816,00 2008 20.363,40
2002 25.307,60 2009 37.799,90
2003 48.484,80 2010 60.626,30
2004 37.140,40 2011 76.000,70
2005 50.577,40 2012 92.182,00
2006 20.788,40
ketimpangan yang tercermin antara lain dalam kenaikan koefisien gini ke 0,41
memerlukan upaya-upaya yang terfokus, walaupun dibantu oleh upaya-upaya ekonomi
secara umum. Tantangan terletak misalnya dalam konversi sumber-sumber besar yang
dikeluarkan untuk pendidikan menjadi kemajuan dalam kecerdasan sains dan matematik,
penguasaan keahlian keras, dan lunak serta kewirausahaan.
Graduasi ke kelompok pendapatan tengah tinggi dan dari situ kelak ke kelompok
pendapatan tinggi adalah cita-cita setiap bangsa, tetapi yang berhasil melaluinya dalam
sejarah panjang masih tetap merupakan minoritas kecil. Sebagian besar seperti
negara-negara Afrika di Selatan Sahara masih bergumul dalam perangkap pendapatan rendah.
Sebagian lain, seperti banyak negara Amerika Latin berhasil naik ke kelompok pendapatan
sedang, tetapi terperangkap di situ atau “berkembang dalam keterbelakangan” dalam
kamus Mazhab Dependensia yang pernah mendominasi perdebatan pembangunan di
benua ini. Sebagian kecil di Eropa Barat dan negara-negara “turunannya” (off-shot) di
Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru, dan sedikit di Asia Timur, yaitu Jepang, Korea
Selatan, Singapura dan Hong Kong SAR naik ke kelompok pendapatan tinggidan masih
bertahan di situ. Beberapa di antara mereka, seperti Spanyol dan Italia sedang dilanda
krisis berat yang tercermin dalam pertumbuhan negatif, pengangguran yang sangat tinggi,
dan defisit fiskal yang sangat besar. Beberapa diantaranegara-negara maju ini tampaknya
sudah tiba ke “steady state” yang ditandai oleh siklus pertumbuhan positif yang silih
berganti dengan siklus pertumbuhan negatif atau tumbuh dengan kecepatan yang
rendah.
Gambar 1.3 Pendapatan per Kepala Beberapa Negara DalamDolar (PPP) Tahun 2013
Masih ada kelompok lain dari negara-negara yang dikaruniai dengan sumber alam
yang melimpah, seperti Brunei Darussalam di Asia Tenggara, Saudia Arabia dan Kuwait di
Asia Barat Daya yang menikmati pendapatan yang sangat tinggi yang berasal dari rente
sumber alam, terutama sumber alam energi yang tergolong langka dibanding permintaan
dalam peradaban yang semakin padat motorisasi dan mobilitas tinggi dewasa ini. Dalam
sejarah purba ada juga peradaban yang pernah menikmati jaman keemasan, seperti
Sumeria, Mesir Purba, peradaban Harapan yang runtuh dan lenyap karena penguasaan
sumber yang tidak terkendali seperti didiskusikan oleh Jared Diamond. Secara global
lanskap pertumbuhan ekonomi adalah mirip dengan kurva logistik yang dihuni sangat
padat di bagian kiri bawah, tetapi tipis di bagian kanan atas.Negara-negara sedang
berlomba merebut tempat yang semakin tinggi di kanan atas kurva itu.
Transformasi ekonomi adalah proses yang sangat kompleks, probabilistik, dan masih
penuh teka-teki. Geografi fisikal seperti kedudukan lintang, keragaman genetik
(heterocigo city) dan kondisi awal tahun 1000 BC dibilang oleh banyak peneliti sebagai
faktor-faktor struktural yang mempengaruhi pertumbuhan jangka panjang. Bagi
Indonesia sebagai negara dengan penduduk keempat terbesar di dunia dari berbagai
etnisitas yang bermigrasi dalam beberapa gelombang yang terpisah jauh dalam waktu,
geografi fisikal berupa sabuk khatulistiwa yang terdiri dari air dengan puluhan ribu pulau
kecil dan sedikit pulau besar atau arsipel raya dan keragaman kultural yang tergolong
tinggi, telah menyebabkan kompleksitas transformasi ekonomi itu menjadi semakin tinggi
lagi. Salah satu pengaruh langsung dapat dilihat dalam biaya logistik Indonesia yang relatif
sangat tinggi dibanding negara-negara yang kontinental.
Tabel 1.3 Biaya Logistik Sebagai Persentase PDB
Sudah beberapa kali Indonesia dalam era baru tiba ke “gerbang kemajuan”, seperti
pada pertengahan 1990-an, tetapi urung maju karena dipukul oleh kejutan eksternal.
Tabel 1.4 Pertumbuhan Pendapatan per Kepala Tahun 1980 s/d 2010
Sumber: World Development Indicator, 2014
Memasuki usia ke-70 sekali lagi Indonesia tiba di “gerbang kemajuan itu”.
Menangkap dan memanfaatkan kesempatan ini dengan baik kiranya adalah panggilan
nasional bagi rakyat Indonesia. Dalam berbuat demikian muncul berbagai tantangan berat
yang menyangkut keberlanjutan dan keinklusifan pertumbuhan ekonomi. Untuk
menghindari perangkap pendapatan sedang (middle income trap) diperlukan
prakarsa-prakarsa sistemik dalam pemilikan alat produksi dan kewajaran persaingan, reposisi
pemerintah ke peran utamanya sebagai penyedia infrastruktur, pelopor akselerasi dan
pemupukan modal human, perlindungan dan jaminan sosial, pembangunan
berkelanjutan dan pemupukan kemampuan sains dan teknologi. Peninggian kompleksitas
ekonomi dalam arti semakin terdiversifikasi menurut sektor, ruang dan sumber
pertumbuhanyang bergeser ke keahlian sedang dan tinggi adalah inheren dalam
penyeberangan melewati perangkap pendapatan sedang.
Tahun
GDP/kepala
(US$)
Tahun
GDP/kepala
(US$)
2004
1160.61
2008
2178.27
2005
1273.47
2009
2272.04
2006
1601.03
2010
2946.66
Kotak 1.1 Perangkap Pendapatan Sedang
Pembangunan yang cepat telah membawa Indonesia ke jalur pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang menjanjikan. Gambaran tentang lintasan jangka panjang ekonomi Indonesia
sudah pernah dikembangkan oleh Yayasan Indonesia Forum (2007) dan McKinsey Global Institute
(2012). Sejauh ini proses pembangunan ekonomi dalam jangka panjang telah membawa Indonesia
masuk dalam kelompok negara berpendapatan sedang (Middle Income Country). Namun demikian, ada kekhawatiran apakah Indonesia akan mampu melepaskan diri dari perangkap pendapatan
sedang-Middle Income Trap (MIT), untuk kemudian bergabung dengan kelompok negara
berpenghasilan tinggi di dunia.
MIT adalah kondisi dimana suatu negara (terlepas dari karunia yang dimilikinya) akan
terjebak pada tingkat penghasilan tertentu untuk periode waktu yang relatif lama (The Economist
2011). Menurut Asian Development Bank (ADB2012), negara yang terjebak pada tingkat pendapatan sedang biasanya memiliki karakteristik sebagai berikut (i) rasio investasi rendah, (ii)
pertumbuhan manufaktur yang lambat, (iii) diversifikasi kegiatan industri terbatas, dan (iv) kondisi
pasar kerja domestik yang buruk.
Fenomena yang sering ditemui ketika suatu negara masuk dalam MIT adalah produk-produk kegiatan industri pengolahan negara tersebut menjadi tidak kompetitif di pasar
internasional, mengingat biaya tenaga kerja yang tinggi. Oleh karena itu, suatu negara perlu
menemukan alternatif pertumbuhan dan menemukan pasar baru dalam mempertahankan pertumbuhan ekspornya (ADB2011). Meningkatkan permintaan domestik menjadi sangat penting.
Saat ini Indonesia didominasi oleh penduduk dengan tingkat pendapatan per kapita yang terus
meningkat. Jumlah penduduk pada kelompok berpendapatan menengah yang semakin banyak dapat memanfaatkan tingginya daya beli mereka dalam mengkonsumsi barang-barang berkualitas
maupun produk-produk berteknologi tinggi, yang pada gilirannya dapat berguna sebagai lokomotif
pertumbuhan ekonomi. Sisi penawaran (proses produksi) juga sangat penting. Indonesia harus
bergerak dari pertumbuhan yang berbasiskan sumberdaya (misal tenaga kerja murah), menjadi pertumbuhan yang bertumpu pada produktivitas, kreativitas dan inovasi yang tinggi.
Untuk memulainya, diperlukan investasi di bidang infrastruktur dan modal human,
termasuk pendidikan. Pendidikan tidak hanya bisa diperoleh di bangku sekolah, tetapi pendidikan harus dilakukan sepanjang waktu. Pendidikan juga harus dimaknai sebagai
perubahan cara pikir dan cara pandang. Republik Korea misalnya, membangun sistem
pendidikan berkualitas tinggi yang mendorong kreatifitas dan mendukung berbagai terobosan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini tidak dapat tercapai hanya jika
mengandalkan pendidikan sekolah semata. Jawabannya adalah perlu pembangunan ekonomi
berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Pada sisi lain, studi World Bank Institute
(2004) menunjukkan jika pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan sangat memerlukan (i) kinerja ekonomi secara keseluruhan, (ii) insentif ekonomi dan rezim kelembagaan, (iii)
Dengan segala kekurangannya, Produk Domestik Bruto (PDB) dan strukturnya
merupakan salah satu pencerminan kemajuan ekonomi suatu negara, begitu juga bagi
Indonesia. Sementara itu, potensi ekonomi pada suatu negara dapat diukur dari kontribusi
masing-masing sektor terhadap nilai PDB-nya. PDB tanpa migas Indonesia atas dasar
harga konstan 2000 mencapai angka Rp2,480,955.80 miliar pada tahun 2012, atau
meningkat sebesar Rp875,697 miliar dalam 7 tahun terakhir, dengan kontribusi terbesar
diberikan oleh sektor industri pengolahan 27,01 persen dan disusul oleh sektor
perdagangan, restoran dan hotel, yaitu sebesar 19,05 persen (Tabel 1.5).
Tabel 1.5 Distribusi Produk Domestik Bruto, Berdasarkan Lapangan Usaha, Harga Konstan Tahun 2000, Tahun 2000 dan 2013 (persen)
Jika diamati dari sisi pengeluaran, ternyata porsi konsumsi rumah tangga
mendominasi pendapatan nasional Indonesia. Pada tahun 2012 proporsi konsumsi rumah
tangga sebesar 66,21 persen atau menurun 1,03 persen dari tahun 2011 (Gambar 1.4). Di
pihak lain, turunnya kontribusi ekspor barang dan jasa Indonesia tahun 2012 sebesar
16,71 persen dari 40,98 persen pada tahun 2000.
Gambar 1.4 Proporsi Produk Domestik Bruto, Pengeluaran, Harga Konstan 2000 (persen)
Sumber: BPS, berbagai tahun (diolah)
Gambaran makro ekonomi Indonesia yang menggembirakan mendongkrak
ketertarikan negara-negara di dunia untuk menanamkan modalnya di Indonesia. World
Development Indicators 2013 (World Bank2013), menyebutkan adanya peningkatan FDI
arus masuk bersih ke Indonesia dari USD19,2 miliar pada tahun 2011 menjadi USD19,9
miliar pada tahun 2012. Besarnya arus masuk investasi langsung ini diperkirakan terjadi
karena sampai dengan akhir tahun 2012, Indonesia masih mengalami pertumbuhan
ekonomi positif setinggi 6,23 persen per tahun, atau naik 1,31 persenpoin,dibandingkan
2.1. Modal Ekonomi
Secara samar-samar modal sering didefisinikan sebagai “nilai kini” (present value)
dari pendapatan yang mengalir dari penggunaan aset atau harta. Pendekatan itu dipakai
oleh Bank Dunia dalam studi tentang kekayaan bangsa-bangsa. Dalam rumusan ini hanya
harta yang menghasilkan adalah bagian dari modal. Sebaliknya harta yang tidak
menghasilkan bukanlah bagian dari modal. Sayangnya pendekatan ini adalah “sirkuler”
sampai batas tertentu. Ia cenderung menilailebihi aset yang sedang dominan dalam
neraca, tetapi menilairendahi aset yang masih diam menunggu saat yang baik ketika
perubahan teknologi memampukannya menggeser aset yang sedang mendominasi
neraca. Namun demikian, pengiraan modal bangsa-bangsa adalah upaya yang dapat
membantu perencanaan pembangunan.
Modal dapat berupa sumber alam, tetapi modal jenis ini per definisi adalah terbatas
dan semakin terbatas. Walaupun keterbatasan itu dapat dilonggarkan oleh kemajuan
teknologi yang terjadi sebagai perubahan yang “punctuated” seperti revolusi ICT tahun
1990-an. Ruang yang tersedia bagi manusia cenderung menyempit karena pertambahan
penduduk dan kerusakan yang timbul karena pencemaran buatan manusia.
Tabel 2.1 Daratan Indonesia per Kepala; Lautan Indonesia per Kepala; dan Arable Land per Kepala
Tahun 2000 – 2013
Sumber: World Development Indicator, 2014 dan Wikipedia, 2014 (data diolah)
BAB 2
Elemen-elemen yang tersedia di alam adalah terbatas dalam jenis, massa dan
kemungkinannya untuk dipakai oleh manusia. Air tawar yang bersih, energi fosil, mineral
logam dan non-logam dan elemen-elemen lain adalah terbatas, demikian juga
persenyawaan mereka. Beberapa di antara persenyawaan itu terpusat di sedikit tempat
saja. Spesies tanaman dan hewan yang dapat dimanfaatkan manusia juga cenderung
berkurang jumlahnya karena kepunahan yang untuk sebagian disebabkan oleh manusia.
Tabel 2.2 Potensi Sektor Perikanan Indonesia 2000 – 2010
Sumber: FAO Statistical Year Book 2013
Tabel 2.3 Hutan dan Lahan Indonesia, 1990 – 2010
Dengan berkurangnya modal alam itu, pertumbuhan ekonomi dihadapkan pada
keharusan untuk mengembangkan sumber-sumber alternatif dan keharusan meminimasi
intensitas bahan (material intensity) dari output. Statistik tentang sumber alam memang
tersebar dimana-mana, seperti US Geological Survey. Tetapi kuantifikasi modal alam
adalah upaya baru seperti yang dicoba oleh Bank Dunia. Berlawanan dengan kesan umum
tentang kelimpahan kekayaan alam Indonesia, studi Bank Dunia menunjukkan justru
keterbatasannya dibanding beberapa negara lain, apalagi kalau ditaksir per penduduk dan
diproyeksi ke masa depan ketika pendapatan per kepala berada jauh di atas tingkatnya
yang sekarang.
Kelompok kedua dari modal adalah modal buatan (produced capital) yang dapat
berupa jalan raya, pelabuhan, rumah tinggal, kantor, bangunan sekolah, teater, dan
mesin-mesin. Stok modal ini sangat tergantung dari pengeluaran modal pemerintah dan
pengeluaran modal perusahaan. Menurut statistik perkiraan nasional, Indonesia
mengeluarkan dewasa ini sekitar 30-32 persen dari PDB untuk pembentukan modal tetap
bruto. Dengan demikian, investasi dalam modal buatan tampakanya jauh lebih besar
daripada konsumsi modal atau penghapusan modal, dan stok total dan per kepala modal
buatan Indonesia naik pada kecepatan yang cukup tinggi.
Kelompok ketiga dari modal disebut modal nirwujud (intangible capital). Ia dapat
berupa Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang dikelompokkan ke dalam Hak Kekayaan
Industrial seperti desain industri, paten dan Merek Dagang, Hak Cipta, Desain Integrated
Tabel 2.4 Pengajuan HAKI berdasar Kantor dan Kelompok Pendapatan
Sumber: WIPO Statistical Database, Oktober 2013
Di luar HAKI tentu banyak unsur lain dari modal nirwujud, termasuk literasi, keahlian
keras, seperti kemahiran tukang bubut dan tukang las, keahlian lunak seperti keikhlasan
dalam bekerja, keteguhan, daya tahan, kepatuhan terhadap hukum, dan kecondongan
untuk bersaing dan bekerjasama. Modal nirwujud ini dipupuk melalui pembelajaran
melalui perbuatan, pembelajaran di sekolah, penelitian dan pengembangan pemerintah,
universitas, organisasi non-pemerintah dan organisasi korporat dengan atau tanpa
kolaborasi internasional, pembelajaran di perkumpulan-perkumpulan, dan sarana-sarana
lain.
Peran masing-masing modal di atas berubah seiring dengan perjalanan suatu
ekonomi sepanjang kurva logistik menuju steady state. Pada tingkat pendapatan terendah
suatu ekonomi bertumpu sangat kuat pada modal alam. Pada tingkat pendapatan tengah
bawah hingga tengah atas, seperti Indonesia dan RR Tiongkok dewasa ini, tumpuan utama
adalah modal buatan yang berkembang sekitar industri pengolahan fabrikasi. Pada tingkat
pendapatan tinggi yang dominan adalah modal nirwujud yang tersebar dalam segala
macam jasa, termasuk segala macam jasa yang diperlukan dalam industri pengolahan.
Studi tentang nilai yang dicipta dalam kegiatan ekonomi menemukan bahwa bagian
terbesar nilai dicipta dalam ruas-ruas sebelum pengolahan, seperti desain dan ruas-ruas
Pusat utama dari penggunaan modal dalam peradaban abad ke-21 adalah
perusahaan. Pertumbuhan inklusif yang berkelanjutan sangat memerlukan populasi
perusahaan yang tidak terlalu terpusat sehingga menjadi oligopolistik, tetapi juga tidak
terlalu terpecah-pecah sehingga menjadi atomistik. Ada sejenis tingkat konsentrasi yang
kondusif bagi pergerakan perusahaan menuju efisiensi terbaik dalam artian statik berupa
produksi pada biaya terendah meniru hukum energi terendah dalam alam, maupun dalam
artian dinamik berupa diversifikasi teknologi meniru hukum spesiasi dalam alam.
Bertambah dan semakin beragamnya perusahaan-perusahaan dalam
perekonomian Indonesia menimbulkan dengan sendirinya persoalan-persoalan baru
yang menyangkut persaingan. Menggunakan data Sensus Ekonomi 1986 dan 2006,
keragaman jenis usaha ditelaah dengan melihat dinamika pergeseran kepemilikan modal
atas alat/faktor produksi sektor industri manufaktur di Indonesia (Tabel 2.5).
Tabel 2.5 Kepemilikan Formal Perusahaan Industri Manufaktur (persen)
Secara umum dapat disimpulkan bahwa sumber perusahaan sektor industri manufaktur dalam 20 tahun terakhir telah mengalami perubahan yang sangat signifikan.
Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya total kepemilikan asing (dari 2,15% pada tahun 1986 menjadi 6,23% pada tahun 2006) di berbagai jenis badan usaha sektor industri manufaktur di Indonesia, yang diiringi dengan turunnya kepemilikan pemerintah pusat dan daerah (dari masing-masing 2,74% dan 1,32% pada 1986 menjadi 1,32% dan 1,27%
pada 2006).
Gambar 2.1 Perkembangan Jumlah Usaha, Indonesia-Jerman, 2011-2012 (persentase PDB)
Sumber: European Commision dan Kementerian KUKM, 2012
Menurut skala usaha, Indonesia berhadapan dengan piramida yang lemah. Bagian yang terbesar dari perusahaan Indonesia adalah perusahaan mikro yang berjumlah 55,9 juta dalam tahun 2012, naik dengan lebih dari 1 juta dibanding 2011. Perusahaan-perusahaan ini pada umumnya adalah Perusahaan-perusahaan sintas (survival business) dengan
peluang yang kecil menjadi perusahaan akumulasi. Diatas perusahaan-perusahaan mikro ini, bergumul perusahaan-perusahaan kecil yang berjumlah 629 ribu atau naik dengan hanya 4,5 persen dibanding 2011 atau lebih lambat daripada PDB. Perlu dicatat juga bahwa perusahaan kecil Indonesia berjumlah 5,6 per seribu penduduk yang bekerja dalam
2012 dibanding 7,2 untuk Jerman.
Dalam kaitan dengan UKM, informasi sangat dibutuhkan tentang perusahaan-perusahaan yang baru berdiri, yang dapat bertahan selama satu tahun, yang tumbuh sesudah tiga tahun dan yang naik kelas ke kelas yang lebih besar. Faktor-faktor dibelakang sukses atau kegagalan perlu dievaluasi dengan seksama untuk dipakai dalam kebijakan
yang berdasarkan bukti. Pengetahuan umum tentang faktor-faktor penghambat perkembangan UMKM tidak cukup bagi perbaikan kebijakan.
2011 2012 2011 2012
Jerman Indonesia
Perusahaan Mikro (unit) 1,559,595 1,745,398 54,559,969 55,856,176
Perusahaan Kecil (unit) 258,391 286,970 602,195 629,418
Perusahaan Menengah (unit) 44,490 54,300 44,280 48,997
Perusahaan Besar (unit) 9,217 9,647 4,952 4,968
dibelakang sukses atau kegagalan perlu dievaluasi dengan seksama untuk dipakai dalam
kebijakan yang berdasarkan bukti. Pengetahuan umum tentang faktor-faktor penghambat
perkembangan UMKM tidak cukup bagi perbaikan kebijakan.
Sertifikasi perusahaan kecil dan menengah akan sangat membantu pemupukan
modal nirwujud (intangible capital) mereka, misalnya dengan menyebut perusahaan yang
baik sebagai perusahaan terpercaya (trusted company). Sertifikasi didasarkan atas
tatakelola perusahaan, manajemen perusahaan, kepatuhan pada standar teknikal dan
catatan pengusahanya sebagai warga UKM.
2.2. Modal Human
Bagian terbesar dari modal nirwujud (intangible capital) adalah modal human.
Sukses transformasi ekonomi pada dasarnya adalah sukses pemupukan modal human
sebagai faktor kunci bagi kemajuan teknologi. Sebanyak-banyaknya sumber alam, ia hanya
berperan sebagai uang sekolah bagi bangsa yang menguasainya. Kesalahan dalam
pengurusannya bahkan membuat sumber alam menjadi tulah di banyak negara sejak
zaman purba hingga sekarang.
Didepan sudah didiskusikan beberapa persoalan struktural yang berkaitan dengan
skala dan kecepatan pemupukan modal human Indonesia. Secara umum prospek
keberhasilan Indonesia dalam pemupukan modal human adalah baik. Bangsa Indonesia
mewarisi keragaman genetik human (heterozigocity) yang sedang, tidak terlalu rendah,
tidak terlalu tinggi. Antara kemajuan ekonomi dan keragaman genetik human yang
sedang, ditemukan hubungan statistikal positif yang tinggi.
Indonesia juga mewarisi nilai-nilai kultural yang beragam. Walaupun gerakan
anti-keragaman terjadi sekali-sekali, kultural anti-keragaman kiranya sudah berakar dalam di
Indonesia. Yang diperlukan adalah sentuhan-sentuhan kepemimpinan dan manajerial
sebagai penggerak percepatan sehingga kenaikan modal human itu bermuara dalam
difusi dan akuisisi teknologi besar-besaran yang pada gilirannya menggerakan graduasi
Indonesia ke status perkembangan yang lebih tinggi.
Prakarsa-prakarsa kebijakan sangat berperan dalam penggunaan modal human
pemerintah sebagai katalis kenaikan yang lebih besar lagi dalam upaya-upaya rumah
tangga untuk maksud yang sama. Koneksi antara pendidikan dan dunia kerja perlu
penelitian dan dunia usaha untuk memaksimasi produktivitas pendidikan dan penelitian.
Anggaran besar yang dipatok untuk pendidikan perlu direalokasi sedemikian sehingga
menghasilkan tidak saja jumlah lulusan yang semakin besar, tetapi juga “outcome” nyata
dalam jumlah produk dan jasa yang diluncurkan dengan sukses melalui peniruan kreatif
dan inovasi.
Tabel 2.6 Life Expectancy dan Healthy Life Expectancy (HALE), Saat Kelahiran, Indonesia-Jerman, 1990 dan 2010, (95% Uncertainty Intervals)
Sumber: Salomon et.al., 2012
Gambar 2.2 Perkembangan Skor PISA, Indonesia-Jerman, 2003-2012
360
Life expectancy 63.5 (62.7–64.3) 71.9 (71.8–72.0) Healthy life 55.1 (53.2–56.8) 62.8 (61.0–64.4) Female
population
Life expectancy 66.5 (65.7–67.2) 78.4 (78.4–78.5) Healthy life 57.3 (55.3–59.1) 67.5 (65.3–69.4)
2010
Male population
Life expectancy 67.7 (66.0–69.2) 77.5 (77.3–77.7) Healthy life 59.3 (57.1–61.3) 67.1 (65.0–69.0) Female
population
Sumber: OECD, 2012
Dalam kaitan ini Indonesia masih harus melipatgandakan upaya-upayanya dalam
pemupukan modal humanuntuk dapat memelihara keberlanjutan pertumbuhan yang
semakin inklusif. Upaya-upaya itu perlu digalang bersama-sama antara rumah tangga
dalam bentuk pengeluaran pendidikan yang semakin besar sebagai persentase
pengeluaran rumah tangga, pengeluaran pendidikan dan pelatihan yang semakin besar
dalam pengeluaran sumber daya manusia perusahaan, pengeluaran pendidikan dan
pelatihan yang semakin besar dari masyarakat kewargaan (civil societies) dan pengeluaran
pendidikan dan pelatihan pemerintah pusat dan daerah yang disamping naik juga
diperbesar untuk pemupukan kemampuan sains dan teknologi dan kemampuan lain yang
berkaitan dengan pertumbuhan berkelanjutan yang semakin inklusif.
Memanfaatkan publikasi rinci tentang data pendapatan, biaya, transaksi dalam aset
dan kewajiban, serta saham aktiva dan kewajiban pemerintahan umum dan subsektor dari
seluruh negara di dunia, yang terangkum dalam publikasi Government
Finance Statistics (GFS) Yearbook dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF),
berikut ditelaah peran negara/pemerintah dalam ekonomi, dengan membandingkan
pengeluaran pemerintah Indonesia dengan beberapa negara terpilih, berdasarkan fungsi
dan manfaat yang diterimanya.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa semakin condong suatu ekonomi ke sistem
pasar, maka semakin tinggi pendapatan per kepala di negara tersebut. Dalam
ekonomi-ekonomi seperti itu, pengeluaran negara cenderung dipusatkan ke tipe sosial ketimbang
pengeluaran ekonomi. Adalah suatu paradoks bahwa ekonomi-ekonomi kapitalis seperti
Jerman, Jepang atau Korea Selatan memberi prioritas yang sangat tinggi pada urusan
pemupukan modal sosial, sementara ekonomi-ekonomi yang non-kapitalis seperti
Indonesia justru mengutamakan pengeluaran ekonomi dalam APBN.
Gambar 2.3 Pengeluaran Pemerintah Berdasarkan Fungsi
Catatan:
• Social expenditure terdiri dari (i) environmental protection, (ii) housing & community amenities, (iii) health, (iv) recreation, culture & religion, (v) education, dan (vi) social protection
• Other expenditure terdiri dari (i) general public services, (ii) defense, dan (iii) public order and safety
Sumber: Government Financial Statistic Yearbook, IMF, 2001-2011
Gambar 2.3 menunjukkan bahwa AS sebagai representasi kelompok negara
yang menganut sistem ekonomi kapitalispun menempatkan 61,14 persen pengeluaran
untuk tipe sosial dibandingkan 9,64 persen untuk pengeluaran tipe ekonomi. Demikian
pula halnya Jerman, dimana pengeluaran sosial mewakili 71 persen dari pengeluaran
negara. Berbeda halnya dengan India dan Indonesia, yang dikategorikan sebagai negara
negara ini adalah sebesar 12,41 persen dan 12,43 persen, lebih kecil dibandingkan
pengeluaran tipe ekonomi maupun pengeluaran lainnya.
Telaah lebih lanjut dilakukan dengan melihat manfaat dari pengeluaran pemerintah
tersebut. Gambar 2.4 menunjukkan bahwa bantuan sosial (social benefit) di negara yang
menganut sistem kapitalis ternyata jauh lebih besar dibandingkan dengan negara-negara
yang menganut sistem eknomi campuran (India dan Indonesia). Pengeluaran pemerintah
untuk bantuan sosial Brazil, Jerman, dan AS, masing-masing adalah sebesar 8,16 persen,
25,58 persen, dan 15,55 persen dari total GDP-nya dibandingkan India dan Indonesia, yaitu
hanya sebesar 0 persen dan 0,07 persen dari GDP-nya.
Gambar 2.4 Pengeluaran Pemerintah Berdasarkan Manfaat yang Diberikan
Sumber: Government Financial Statistic Yearbook, IMF, 2011
Statistik diatas mengindikasikan keputusan untuk menggeser pengeluaran negara
Indonesia dari tipe ekonomi ke tipe sosial. Dalam pengeluaran sosial ini, prioritas pertama
diletakkan pada pemupukan modal manusia, berupa kesehatan, literasi pengetahuan,
keahlian dan kewirausahaan, disamping infrastruktur fisik yang mempunyai disternalitas
besar.
Brazil China PR Germany India Indonesia
(budgetary)
Compensation of employees Subsidies Social benefits Use of goods and services
Gambar 2.5 Pengeluaran Pemerintah, Indonesia-Jerman, 2002-2011 (persentase PDB)
Sumber: World Bank, 2013 (diolah)
Telaah lebih jauh dilakukan dengan membandingkan data pengeluaran pemerintah,
khususnya untuk sektor kesehatan dan pendidikan pada tahun 2000 dan 2011 (Gambar 2.5).
Secara umum data tersebut ingin menegaskan bahwa pemerintah Indonesia masih perlu
meningkatkan kepedulian pemupukan modal human, yang nampak dari rendahnya
persentase pengeluaran untuk sektor kesehatan dan pendidikan, dibandingkan dengan
negara Jerman. Jaminan kesehatan dan kepastian memperoleh pendidikan yang layak
merupakan kebutuhan jangka panjang bagi manusia Indonesia dalam usahanya mengejar
ketertinggalan. Akselerasi pemupukan modal sosial ini adalah syarat graduasi ke status
pendapatan tengah atas dan tinggi.
Kotak 2.1 Pemupukan modal manusia melalui Vocational Training
Vocational school berkembang dengan sangat pesat di Eropa, terutama di Jerman yang menganut Dual Education System (sistem pendidikan ganda). Sekolah ini menciptakan lulusan-lulusan yang siap memasuki dunia kerja dengan daya saing yang tidak kalah hebat dengan lulusan sekolah umum.
Sistem pendidikan dalam vocational school didesain oleh Federal Ministry of Education and Research yang kemudian juga mendapatkan arahan dari Institusi Pendidikan dan Pekerjaan di Jerman. Lembaga ini memiliki tujuan untuk pemupukan pengetahuan dan pemupukan keterampilan. Pengetahuan dipelajari di sekolah kejuruan dan pemupukan keterampilan diberikan dengan praktek di perusahaan.
Hal terpenting dalam menjalankan vocational school adalah bagaimana membangun kemitraan antara sekolah dan perusahaan. Kedua institusi ini memiliki tanggung jawab bersama dalam memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para siswa.
Mekanisme pembelajaran yang diterapkan dalam vocational school di Jerman sangatlah komprehensif. Siswa tidak hanya mempelajari teori dan keterampilan di sekolah, melainkan terjun langsung di perusahaan selama 3,5 hari dalam seminggu, kemudian sisanya adalah mempelajari teori di sekolah. Dalam hal ini dibutuhkan peran aktif sekolah untuk membangun kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang ada di Jerman. Sarana dan prasarana belajar yang dimiliki sekolah juga sangat mendukung untuk mencapai kualitas pembelajaran yang diinginkan.
Berkali-kali harus digarisbawahi bahwa graduasi ke status pendapatan tengah tinggi
dan ke pendapatan tinggi yang inklusif dan berkelanjutan sangat tergantung dari difusi dan
akuisisi teknologi. Sistem inovasi nasional sangat diperlukan untuk menjalin koneksi
efektif antara pendidikan, penelitian dasar yang dimotori oleh lembaga-lembaga riset
pemerintah, penelitian aplikatif yang dimotori oleh lembaga riset semi-publik, dan riset
komersial yang dimotori oleh dunia usaha, termasuk UKM. Jerman menjadi ekonomi
maju yang tergolong inklusif dan berkelanjutan antara lain adalah sumbangan sistem
inovasi nasional yang unggul dengan pelaku-pelaku yang terkemuka dibidangnya
masing-masing, seperti Max Planck Gesellschaft dalam penelitian aplikatif, dan riset korporat
usaha besar dan UKM. Dalam sistem inovasi nasional ini, pemerintah federal dan negara
bagian bekerjasama dengan erat, terutama melalui skema pendanaan kolaboratif.
Dalam kasus Indonesia, perubahan teknologi masih sangat terbatas yang berasal dari
program akuisisi nasional. Ketergantungan atas difusi teknologi impor masih sangat tinggi.
ndikator-indikator yang mencerminkan akuisisi teknologi masih sangat lemah dibanding
negara yang bersaing dengan Indonesia dalam graduasi, apalagi dibanding
negara-negara yang hendak dilomba. Pengeluaran total Indonesia untuk riset dan pengembangan
(R&D) masih sangat kecil, demikian juga angkatan kerja R&D. Program R&D yang kecil itu
sangat tergantung pada pemerintah dalam perencanaan pelaksanaan dan pendanaan.
Revolusi R&D diperlukan sebagai bagian dari upaya penciptaan kondisi yang kondusif bagi
graduasi Indonesia dalam tangga perkembangan bangsa-bangsa.
Tabel 2.7 Indeks GERD, Indonesia-Jerman, 2002-2007
Sumber: UNESCO, 2012
Keteragan Tahun Indonesia Jerman
GERD in PPP$ thousands 2002 249,957-1 56,657,086
2.3. Pemerataan Pemilikan
Daya saing ekonomi berupa keunggulan dalam biaya dan dalam diversifikasi produk
dan layanan, memerlukan persaingan yang wajar dalam arti diatur dengan regulasi yang
baik sehingga bebas dari konsentrasi yang berlebihan dan bebas dari praktek-praktek
penyalahgunaan kekuasaan pasar. Untuk itu diperlukan penurunan konsentrasi pemilikan
dunia usaha. Penurunan konsentrasi ini dapat didorong antara lain lewat
prakarsa-prakarsa pemerataan pemilikan, terutama dalam bentuk upaya-upaya khusus dalam
pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah. Dalam prakarsa ini diperlukan
perbaikan akses ke informasi, teknologi, modal human, pemasok masukan, pembeli
keluaran dan sumber keuangan.
Akses informasi diperbaiki melalui penggambaran oleh asosiasi, industri, APINDO,
KADIN, Kadinda, pemerintah, dan perguruan tinggi. Akses teknologi dapat diperbaiki
melaluipameran-pameran. Sumber daya manusia dapat dimotivasi melalui kepesertaan
dalam pameran lowongan kerja. Akses ke pasar masukan dan keluaran diperbaiki melalui
kemitraan dengan usaha sedang dan besar. Perbaikan akses keuangan dapat diupayakan
melalui reposisi bank-bank pembangunan daerah menjadi bank pembangunan UMKM
dengan dana tambahan dari APBN dan APBD yang penggunaannya dikaitkan dengan
persyaratan kinerja.
Menggunakan data Sensus Ekonomi 2006 (BPS), ditemukan bahwa konsentrasi
dalam industri pengolahan Indonesia adalah relatif rendah. Dengan menggunakan ukuran
Concentration Ratio 4 perusahaan (CR4) atau pangsa empat perusahaan terbesar dalam
outputuntuk mengukur market power, dari 66 kelompok industri di Indonesia, 87 persen
memiliki tingkat konsentrasi 0-50 persen. Dengan kata lain, hanya sekitar 7 kelompok
industri yang memiliki tingkat konsentrasi diatas 50 persen. Dalam KBLI 3 digit, hanya 3
persen dari seluruh industri yang mempunyai CR4 yang cukup tinggi, yaitu diatas 80
persen. Mereka adalah industri kereta api, bagian-bagian dan perlengkapannya serta
perbaikan kereta api dan industri pesawat terbang dan perlengkapannya serta perbaikan
pesawat terbang. Hal ini mengindikasikan bahwa 2 perusahaan terbesar dapat menguasai
pasar lebih dari 80 persen, walaupun harus dicatat bahwa kedua industri ini menikmati
status sebagai industri strategis yang secara umum ditandai oleh konsentrasi yang tinggi.
3.1. Neksus Ekonomi-Sosial
“Survival of the fittest” adalah istilah yang dikenal oleh paling banyak manusia dari
buku Charles Darwin tentang asal-usul spesies dengan konotasi negatif bahwa dalam
persaingan yang terjadi adalah yang kuat mengalahkan yang lemah. Hampir satu abad
lebih dahulu terbit buku Adam Smith tentang penulusuran alam kekayaan bangsa-bangsa.
“Invisible hand” disebut satu kali dalam buku ini tetapi istilah itulah yang diasosiasikan
sangat luas dengan ekonomi pasar atau kapitalisme. Dalam zaman yang lebih baru,
Richard Dawkins menerbitkan “The Selfish Gene” yang memberi kesan bahwa manusia
adalah makhluk yang sangat keakuan (selfish), walaupun yang hendak dikatakan adalah
bahwa satuan evolusi adalah gene yang berusaha mengabadikan keberadaannya,
sedangkan selebihnya adalah sarana pengabadian bagi gene. Baik Adam Smith, Charles
Darwin maupun Richard Dawkins tidak mengatakan bahwa manusia adalah semata-mata
mesin persaingan. Dalam tahun 2000-an ini, sosialitas manusia bahkan mendapat
perhatian yang semakin kuat dalam anthropologistik dan sosial maupun ilmu ekonomi.
Dengan berkembangnya studi genetik semakin tampak jelas bahwa kerjasama
adalah mekanisme yang lebih tua daripada persaingan dalam kehidupan, termasuk
kehidupan manusia. Eukaryot adalah fusi dari dua prokaryot yang bekerjasama. Simbiosis
mutualistik adalah proses yang sangat lumrah di alam. Seks adalah mekanisme kerjasama
untuk rekombinasi genetik untuk melahirkan keturunan yang lebih tahan (fit) menghadapi
perubahan lingkungan. Singkatnya, sosialitas adalah sesuatu yang sangat mendasar dari
dalam kehidupan, meskipun ia berlangsung bersama-sama dengan persaingan.
Kehidupan, termasuk kehidupan manusia adalah ko-evolusi kerjasama dan persaingan.
Ada kalanya persaingan menonjol, tetapi dikala lain kerjasama yang menonjol.
Sayangnya, persaingan sering lebih ditonjolkan dalam kehidupan ekonomi modern
daripada kerjasama sebagai ungkapan dari sosialitas. Persaingan dalam penguasaan
modal alam sering bermuara dalam konsentrasi pemilikan yang sangat tajam. Persaingan
dalam memperebutkan pasar pembeli sering ditarung dengan harga
BAB 3
terendah yang dihulunya dapat berarti upah subsisten bagi buruh di satu pihak, tetapi gaji
sangat tinggi bagi direktur. Persaingan yang sama sering ditarung oleh perusahaan
dengan mengabaikan kewajiban terhadap petaruh (stakeholders) yang lebih luas,
termasuk alam.
Era baru tampaknya terbit bagi kerjasama dengan “open system”. The Royal Society
pernah melaporkan bahwa penelitian dasar dewasa ini semakin sering dilakukan dalam
bentuk kerjasama atau kolaborasi internasional. Pesan serupa juga disebarkan oleh World
Science Report dari UNESCO. Bukan saja penelitian semakin jauh dari jangkauan satu
orang atau satu lembaga penelitian, probilitas keberhasilannya semakin tinggi jika
dirancang dan diselenggarakan sebagai penelitian kooperatif. Kultur keragaman dalam
penelitian semakin diakui sebagai kultur yang lebih subur bagi kreativitas dan keinovatifan
daripada kultur homogen.
Dalam tataran kebijakan, salah satu unsur yang sangat mendasar dari kerja sama
adalah perlindungan dan jaminan sosial sebagai padanan bagi kegiatan ekonomi, baik
yang informal maupun yang formal. Pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan
memerlukan pre-komitmen terhadap perlindungan beberapa hak-hak sosial dasar. Hanya
dengan pre-komitmen seperti itu pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi dapat
berdamai dan bersatu mengejar tujuan yang konvergen. Memang perlindungan dan
jaminan sosial pun harus dibangun di atas realism. Mereka tidak boleh menjadi hambatan
yang prohibitif bagi ekspansi kegiatan ekonomi.
Kenaikan upah yang progresif ketika pengangguran masih tinggi adalah hambatan
prohibitif seperti itu. Di lain pihak mereka harus disesuaikan dengan keadaan ekonomi
yang membaik. Upah minimum adalah hambatan produktivitas ketika perusahaan sudah
melewati tahap formatif dalam daur hidupnya. Yang sudah tetapi perlu dipadu adalah
jalan “berakit-rakit ke hulu” yang terbukti menjadi jalan keberhasilan bagi negara-negara
atau ekonomi-ekonomi Asia Timur yang sudah maju lebih dahulu, seperti Jepang, Korea
Selatan, Singapura, Hong Kong SAR, Taiwan, dan barangkali juga RR Tiongkok. Mereka
masing-masing mengejar dengan cepat kesibukan penuh dengan upah yang naik lebih
lambat daripada perbaikan produktivitas untuk kemudian disusul oleh kenaikan upah
yang sangat progresif segera sesudah kesibukan penuh dicapai. Tampaknya realism
seperti itu juga terkandung dalam “kultur Germanik” Eropa yang tercermin dalam daya
Gabungan yang berkelanjutan antara persaingan dan perlindungan dan jaminan
sosial akan sangat diperlukan Indonesia dalam peralihannya menuju kelompok
pendapatan tengah atas. Pada tahap ini andalan sektoral yang realistik adalah industri
pengolahan karena besarnya dan mudanya penduduk.Industri pengolahan Indonesia
kehilangan momentum sesudah RR Tiongkok bangkit secara besar-besaran dalam
pertengahan 1990-an, sebentar sebelum Indonesia ditimpa oleh krisis keuangan yang
sangat parah dalam 1997-1998. Sejak itu, momentum itu belum pernah dipulihkan.
Industri pengolahan Indonesia tumbuh masih lebih lambat daripada PDB total. Saatnya
sudah sangat mendesak untuk memulihkan momentum itu. Lingkungan internasional
sebenarnya akan berubah lebih kondusif karena peralihan RR Tiongkok ke industri-industri
yang semakin padat pengetahuan. Mengantisipasi lingkungan baru itu, upaya
sekeras-kerasnya harus digalang untuk meramu lingkungan industrial yang subur bagi perdamaian
industrial di Indonesia, antara lain dengan memupuk secara gradual perlindungan dan
jaminan sosial yang berkelanjutan.
Keadilan sosial tidak saja sangat penting karena merupakan amanat konstitusional,
melainkan juga karena merupakan conditio-sine-quanon bagi keberlanjutan
pertumbuhan ekonomi. Kegagalan memperbaiki keadialan sosial adalah bagian penting
dari perangkap pendapatan sedang yang terbukti sudah menimpa banyak negara.
Dunia dalam sekitar 35 tahun terakhir memang menyaksikan pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi. Namun demikian, pertumbuhan tinggi itu disertai oleh krisis yang
terjadi pada frekuensi yang meninggi dan keparahan yang memburuk. Pada waktu yang
sama kepincangan memburuk di hampir semua negara, seperti tercermin dalam kenaikan
koefisien gini. Persoalan ini adalah persoalan yang sangat kompleks dan memerlukan
pengkajian yang sangat mendalam. Namun demikian, beberapa hal dapat diajukan untuk
mendorong lahirnya prakarsa-prakarsa baru yang berintikan perbaikan proteksi sosial dan
jaminan sosial.
Tabel 3.1 Statistik Koefisien Gini Tahun 2005
3.2. Penurunan Pengangguran
Salah satu elemen paling dasar dari keadilan ekonomi adalah emploimen
(employment). Semakin tinggi emploimen (semakin rendah pengangguran), semakin
kondusif ekonomi bagi perbaikan keadilan sosial. Dalam keadaan emploimen penuh (full
employment) pertumbuhan berkelanjutan akan terjadi serentak dengan perbaikan
keinklusifan, terutama karena dalam keadaan seperti itu sumber yang terbatas akan
direalokasi ke kegiatan-kegiatan dengan produktivitas yang lebih tinggi dan upah
cenderung naik progresif. Negara-negara Asia Timur yang sudah melewati perangkap
pendapatan sedang, seperti Jepang dan Korea Selatan, maupun negara-negara yang
sedang melewati perangkap itu menekan pengangguran ke tingkat alamiahnya (natural
un-employment) melalui pertumbuhan tinggi yang berkelanjutan seraya menikmati
pertumbuhan upah yang progresif.
Gambar 3.1 Statistik Tingkat Pengangguran di Indonesia Tahun 2000 – 2011
Sumber: CEIC Database, 2012
Indonesia menikmati dalam beberapa tahun terakhir penurunan
pengangguran terbuka ke tingkat yang rendah sekitar 6 persen. Penurunan
pengangguran ini adalah sebagian dari faktor yang menekan kemiskinan di
Indonesia. Namun demikian, bagian besar dari angkatan kerja Indonesia bekerja
dalam kegiatan-kegiatan yang rentan (vulnerable employment), yaitu kurang dari 20
persen angkatan kerja Indonesia masuk dalam kategori kegiatan dengan kerentanan
yang sangat tinggi (very high vulnerability). Penurunan emploimen rentan
merupakan tantangan prioritas bagi pembanguanan ekonomi Indonesia dalam
jangka pendek dan sedang. Untuk itu sangat diperlukan peningkatan pertumbuhan
industri pengolahan yang kadang-kadang disebut sebagai reindustrialisasi.
Gambar 3.2 Statistik Tenaga Kerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Febuari 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Bagi negara yang berpenduduk besar seperti Indonesia, emploimen penuh hanya
dapat dipelihara secara berkelanjutan jika industri pengolahan menyediakan lapangan
kerja yang lebih besar dari yang ada sekarang di Indonesia. Reindustrialisasi seperti itu
memerlukan hubungan industrial yang damai dalam arti bahwa pengusaha dan pekerja
berikut organisasi-organisasinya dapat memelihara hubungan yang saling percaya.
Dibawah hubungan industrial yang seperti itu biaya tenaga kerja satuan (unit labour cost)
dapat dipelihara pada tingkat yang kompetitif secara internasional. Kenaikan upah dapat
dilakukan secara berkelanjutan tanpa merugikan daya saing internasional, yaitu kenaikan
yang tidak lebih tinggi dari kenaikan produktivitas.
Seperti tampak dari Gambar 3.2 diatas, 35 persen angkatan kerja di Indonesia masih
bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan.
Sedangkan yang bekerja di sektor industri hanya 13 persen. Reindustrialisasi dimaksudkan
untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar dan mengurangi tingkat
pengangguran. Namun, industrialisasi yang berkualitas dan berkelanjutan membutuhkan
tenaga kerja yang berkualitas dari segi pendidikan, kesehatan, dan kewirausahaan.
Berdasarkan World Development Indicatorstahun 2012, pendidikan rata-rata angkatan
kerja di Indonesia masih rendah, walaupun berubah cepat. Lulusan sekolah dasar masih
3.3. Pertumbuhan Berkelanjutan
Pertumbuhan berkelanjutan yang semakin inklusif sangat memerlukan pergeseran
dalam pengeluaran negara ke arah pemupukan modal human, perlindungan sosial, dan
jaminan sosial. Dalam kaitan dengan pemupukan modal human Indonesia memang sudah
membuat banyak kemajuan. Tetapi persoalan modal human adalah persoalan yang sangat
struktural dan memerlukan waktu panjang untuk berubah. Oleh karena itu, Indonesia
dewasa ini masih menghadapi ketertinggalan dibanding tetangga-tetangga di Asia Timur.
Untuk memungkinkan pergeseran pengeluaran negara ke bidang-bidang tersebut diatas
diperlukan perubahan struktural berupa pemotongan subsidi-subsidi atas konsumsi
(current consumption subsidies) dan kenaikan pengeluaran untuk modal human, berupa
kesehatan dasar pendidikan dan pelatihan, layanan publik seperti angkutan umum dasar
dan telekomunikasi dasar dan kewirausahaan. Rasionalisasi juga diperlukan dalam
pengeluaran-pengeluaran yang berkaitan dengan proteksi sosial (BLT, Raskin, dan BOS)
dengan maksud untuk memaksimasi dampak sosialnya dalam arti bahwa proteksi
dirancang berbanding terbalik dengan tingkat pendapatan penduduk (semakin rendah
pendapatan, semakin tinggi proteksi sosial). Kotak 3.1 Hubungan Industrial
Dalam menciptakan hubungan industial yang damai yang perlu bagi perbaikan daya saing dibutuhkan hubungan positif semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas keseluruhan proses yang ada di dalam industri. Walau dalam beberapa bahasan hubungan industrial sering lebih banyak dikaitkan dengan hubungan antar perusahaan dengan karyawan atau buruh, ia juga menyangkut aspek-aspek lain yang luas, termasuk campur tangan pemerintah.
Jerman merupakan negara yang berhasil menciptakan hubungan industrial yang damai, yang melibatkan tiga lembaga, pengusaha, buruh dan juga pemerintah yakni Deutscher Gewerkschaftbund (DGB – federasi serikat pekerja), Confederation of German Employer Organisations (BDA), dan Ministry of Labour and Social Affairs.
3.4. Stabilitas Harga
Harga adalah signal yang sangat penting dalam ekonomi. Tingkat dan perubahannya
mempengaruhi lalu lintas sumber, seperti modal dan distribusi sosial. Indonesia sudah
mengalami berkali-kali betapa beratnya konsekuensi sosial politik yang dapat timbul kalau
harga berfluktuasi liar, seperti tahun 1965 – 1996 dan 1997 – 1998. Namun demikian,
kenaikan harga adalah bagian yang lumrah dari ekonomi yang tumbuh. Sampai batas
tertentu, kegairahan ekonomi, seperti produksi dipengaruhi juga oleh kenaikan harga.
Inflasi sudah menjadi bagian permanen dari ekspektasi rakyat dalam kedudukan sebagai
konsumen maupun sebagai produsen. Yang harus diupayakan adalah kedekatan
perubahan harga dengan ekspektasi yang terbentuk karena pengalaman dan penargetan
oleh pemerintah melalui bank sentral.
Pengalaman Indonesia dengan penargetan inflasi adalah pengalaman positif. Tingkat
inflasi aktual pada umumnya sudah dapat dijaga dalam kisaran yang sempit sekitar target
inflasi, walaupun masih jauh diatas tetangga-tetangga di Asia Timur. Apakah inflasi
“sedang” yang berlaku di Indonesia dalam masa 2000-an turut bekerja dibelakang tingkat
pertumbuhan moderat perlu diteliti. Dengan kondisi ketenagakerjaan Indonesia sekarang
yang ditandai oleh ketergantungan masif pada kegiatan informal yang berproduktivitas
rendah, studi tentang hubungan negatif antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran
adalah tugas yang mendesak.
Gambar 3.3 Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah (2005-2011)
Sumber: BPS, 2012, data diolah
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Pertanyaan sistemik yang menyangkut harga berkaitan dengan pilihan kebijakan
tentang harga bebas yang terbentuk melalui interaksi mekanisme permintaan dan
penawaran, harga tetap yang ditetapkan pemerintah melalui keputusan politik dan harga
fleksibel yang batas atas dan bawahnya ditentukan oleh pemerintah. Bagian terbesar dari
harga-harga barang dan jasa di Indonesia adalah harga bebas. Sebagian kecil dikendalikan
oleh pemerintah melalui harga fleksibel atau harga tetap.
Dalam bahan bakar minyak (BBM), Indonesia menganut harga yang berbeda untuk
pertamax dan bensin serta solar dilain pihak. Harga premium ditetapkan rendah dibawah
harga keekonomian, selisihnya ditombok melalui APBN. Kebijakan ini turut berperan
dalam munculnya defisit ganda di Indonesia; defisit APBN dan defisit transaksi berjalan.
Sudah jadi rahasia umum bahwa APBN Indonesia menjadi tawanan subsidi BBM dalam arti
bahwa pengeluaran modal yang sangat kecil, terutama untuk infrastruktur, harus diterima
sebagai pil pahit sebagai konsekuensi penyubsidian BBM. Sudah jadi rahasia umum juga
bahwa konsumsi dan impor BBM Indonesia tumbuh progresif atau lebih cepat daripada
PDB. Karena itu adalah suatu “quandary” atau teka-teki buruk bahwa kebijakan harga
BBM dipertahankan, walaupun perubahannya sudah disuarakan secara luas.
Gambar 3.4a OPEC Reference Basket Price ($/bn)
Gambar 3.4b Perkembangan Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP)
Tahun 1993-2011