• Tidak ada hasil yang ditemukan

Worldview Sebagai Perspektif Dalam Studi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Worldview Sebagai Perspektif Dalam Studi"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Worldview Sebagai Perspektif Dalam Studi Sains Dan Agama1

A. Pendahuluan

Kajian mengenai worldview masih menjadi hal yang menarik. Bukan saja karena segala aktivitas selalu didasari dengan asumsi dasar, namun juga bahkan fenomena sains dan agama juga dapat diberi penjelasan yang sekiranya bisa dikatakan mencerahkan. Maka dari itu, urgensi akan studi yang menggunakan worldview sebagai kacamata dan pisau analisa tidaklah berlebihan.

Studi sains dan agama memiliki ragam yang banyak. Jika melihat produk dari sains, kita dapat menyimpulkan bahwa – meskipun terdapat banyak barang hasil ciptaan sains – tapi kesemuanya memiliki standar, baik yang baku maupun tidak baku. Sebagaimana kita mengukur panjang suatu benda, tentu kita membutuhkan standar yang baku. Penciptaan produk sains juga demikian, tentunya ia memiliki standar yang baku. Perkembangan sains tak lepas dari perkembangan pemikiran manusia itu sendiri. Artinya, sains dan aktivitas saintis juga terkait dengan pemikiran yang berupa asumsi dasar dari pelaku sains tersebut.

Hal tersebut juga terdapat dalam fenomena para peneliti yang melakukan studi agama. Tentunya, memposisikan agama sebagai objek studi bukan merupakan hal yang mudah. Karena agama memiliki banyak variabel yang terkait seperti pemeluk agama, konsep kebenaran, bahkan juga pemikiran filosofisnya. Namun bukan berarti, menemukan kesimpulan – yang diharap mendekati obyektif – dari studi sains maupun agama menjadi tidak mungkin. Hanya saja, harus dilakukan proses elaborasi yang tidak sederhana. Makalah ini berusaha melakukan sedikit studi tentang worldview dan pengertiannya, serta juga pengertian agama dan sains. Selanjutnya akan membahas tentang worldview sebagai pisau analisa terhadap beberapa studi sains dan agama pada zaman kontemporer ini.

(2)

B. Pembahasan

1. Pengertian Worldview

Istilah worldview sudah ada sejak abad ke-18. Istilah aslinya yaitu

weltasnschauung dari bahasa Jerman yang pertama kali digunakan oleh Immanuel

Kant (1724-1804) kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai worldview. Aliran Idealisme dan Romantisisme Jerman menggunakan istilah tersebut untuk menyatakan sebuah perangkat kepercayaan yang menjadi dasar dan membentuk pikiran dan perbuatan manusia.2 Mengingat banyaknya jumlahnya, pengertian

worldview kita batasi menjadi: pengertian Barat Sekuler dan Islam.

Sebelum mengambil kesimpulan dari definisi worldview menurut Barat sekuler, kami akan memaparkan beberapa tokoh yang berbicara mengenai pengertian worldview. Beberapa tokoh yang menggunakan istilah worldview yaitu: James H Olthuis,3 Wilhelm Dilthey,4 dan Nietzsche.5 Sedangkan Ludwig Wittgensteins lebih

biasa menggunakan istilah world picture dalam menyebut worldview.6 Michel

2 James W. Sire, Naming the Elephant : Worldview as a Concept, (Downer Grove : InterVarsity Press Academic, 2009) hlm. 24

3 James menyatakan bahwa worldview adalah suatu kerangka berfikir, atau keyakinan-keyakinan mendasar tentang visi kita terhadap dunia dan visi terhadap bayangan atau ungkapan kita di masa depan nanti. Hal tersebut terintegrasi dalam fikiran seseorang kemudian membangun standar dalam menyikapi realitas dan berinteraksi terhadapnya, dan hal ini telah lama menjadi dasar pemikiran dan perbuatan kita sehari-hari. lihat: “On Worldviews” dalam Stained Glass : Worldviews and Social Science. Pengertian ini dikutip dari buku James W. Sire, The Universe Next Door, (Downer Grove : InterVarsity Press Academic, 2009) hlm. 18

4 Wilhelm Dilthey menyatakan bahwa “worldview adalah seperangkat kategorisasi secara mental yang timbul dari pengalaman yang mendalam yang akan mempengaruhi cara pemahaman manusia, perasaan, dan responnya dalam tindakan mengkompromikan dunia serta realita di dalamnya.” lihat: James W. Sire, Naming the Elephant : Worldview as a Concept, (Downer Grove : InterVarsity Press Academic, 2009), hlm. 27

5 Menurut Nietzsche worldview adalah suatu entitas kultural yang tercipta dalam diri manusia berdasarkan (tunduk terhadap) konteks situasi geografis - historis, dan kepentingannya. Hal tersebut berkemungkinan akan membatasi struktur pemikiran, keyakinan, dan tingkah laku dari manusia tersebut. Kesemuanya adalah merupakan kreasi subyektif dari pengetahuan manusia yang berdasarkan konteks sosial mereka dalam memandang alam. Pengertian ini dikutip dari buku James W. Sire, Naming the Elephant…, hlm. 28

6 ia mendefinisikannya sebagai “a way of thinking about reality that rejects the notion that

(3)

Focaoult menggunakan istilah episteme dan pandangan dunia.7 Namun, kesemua

istilah tersebut mengacu pada sebuah pengertian yang dapat disimpulkan, bahwa Barat Sekuler mengartikan worldview sebagai “pandangan hidup dan sistem keyakinan manusia terhadap dunia, baik historis maupun futuristik dan terpengaruh dari aspek sosio-historis yang mana berperan sebagai dasar dari perbuatan, perkataan dan pikiran manusia tersebut”.

Sedangkan pengertian yang terakhir adalah dari para ilmuan dan ulama muslim. Dalam berbagai bukunya, para cendekiawan Muslim tidak pernah menggunakan istilah “worldview”. Namun telah ada beberapa tokoh yang menyatakan hal yang serupa dengan ‘sifat’ dan karakter worldview, tentunya dengan istilah masing-masing. Diantaranya adalah: Sayyid Quthb8 dan Syed Muhammad

Naquib al-Attas.9 Meski demikian, para cendekiawan muslim tersebut tidak banyak

berbeda pendapat, untuk sekedar menyebut nama seperti Hasan al-Banna (1928-1949, Abul A’la al-Maududi (1903-1979) dan lainnya, selalu menyebut bahwa manusia memiliki dasar berfikir dan bertindak. Pendapat Sayyid Quthb dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai worldview sangat serupa. Keduanya menyepakati bahwa worldview adalah “visi manusia yang komprehensif dalam memandang hakikat sebenarnya dari suatu wujud (eksistensi fisik maupun metafisik) di dunia.

dan memaknainya sebagai “jalan berfikir mengenai realitas yang kemudian menolak bahwa seorang mampu memiliki pengetahuan yang obyektif mengenai realitas kemudian mendapatkan apa yang ia inginkan.”

7 Maknanya yaitu “sebuah potongan historis untuk suatu pengetahuan, yang menekankan kepada suatu norma, alasan umum, dan setiap orang tidak bisa terlepas darinya. Episteme juga dimaknai sebagai seperangkat peraturan, pola menalar, pola berfikir, dan semacam “badan hukum” yang mengatur pola dalam proses mengetahui suatu hal”. dikutip dari buku James W. Sire, Naming the Elephant…, hlm. 30

8 Sayyid Quthb memiliki istilah “Tashawwur Islamiy” sebagai yang disimpulkan sebagai “Penafsiran komprehensif manusia terhadap semua eksistensi (wujud) yang kemudian menjadi dasar yang mendekatkan dia untuk mengetahui hakekat dari hubungan dan keterikatannya dengan hakekat ketuhanan, ibadah, kehidupan, dan hal lain yang terkait dengannya”. dikutip dari buku Sayyid Quthb,

(4)

Pengertian tentang worldview dapat kita simpulkan dari berbagai paparan di atas. Worldview adalah istilah yang berasal dari kata weltanschauung (Jerman) yang berarti pandangan hidup. Semua cendekiawan di atas – meski dengan berbagai perbedaan istilah masing-masing – semua sependapat bahwa adanya sebuah sistem atau kerangka keyakinan dasar manusia dalam berbuat, berbicara bahkan berfikir. Dari situlah kita dapat memaknai worldview sebagai suatu keyakinan tertentu yang mendasari aktivitas kehidupan manusia dan mendasari pandangannya terhadap segala eksistensi yang telah dikenal maupun tidak dikenal olehnya.

2. Pengertian Sains dan Agama

Sains memiliki tinjauan makna yang bersifat umum sekaligus khusus. Sains dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai ilmu atau ilmu pengetahuan.10 Selain dari

itu, sains dapat bermakna khusus sebagai ilmu pengetahuan alam, yaitu pengetahuan alam yang sistematik mengenai botani, zoologi, kimia, geologi, dan lainnya.11 Sains

sebenarnya berasal dari bahasa Inggris, yaitu science yang berarti pengetahuan mengenai struktur dan tingkah laku dari alam dan dunia yang fisik, berdasarkan fakta yang dapat dibuktikan seperti dengan percobaan.12 Makna science pada berbagai

kamus lebih banyak bersifat konseptual yang mengacu seperti hal di atas.

Namun ketika sains atau science diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, ia bermakna ‘ilm atau ilmu yang disetarakan dengan knowledge.13 Sedangkan secara

konseptual, ilm dalam bahasa Arab berarti pengetahuan (idrak) mengenai sesuatu

10 Tim Redaksi Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta, 2008), hlm. 420

11 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa: Jakarta, 2008), hlm. 1244

12 yaitu bermakna “knowledge about the structure and behaviour of the natural and physical

world, based on facts that you can prove, for example by experiments” dalam Albert Sidney Hornby,

Oxford advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford University Press: 2015) cet. 9, hlm. 1384 demikian juga bermakna “(1) [uncountable] (knowledge from) the systematic study od the structure and behavior of the physical world, especially by watching, measuring, and doing experiments, and the development of the theories to describe the results of these activities; (2) [countable] a particular subject that is studied using scientific methods; (3) the study of science, dalam Cambridge Team, Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008) cet. 5, hlm. 1274

(5)

sesuai dengan hakikatnya (kebenarannya) yang meyakinkan.14 Ilmu juga bermakna

pengetahuan terhadap sesuatu secara komprehensif dan sistematis, bukan hanya pengetahuan yang parsial atau sebagian.15

Terlihat dari perbedaan definisi secara linguistik di atas, bahwa pemaknaan sains menurut Barat dan Islam memiliki konsepsi masing-masing. Jika dilacak lebih jauh lagi, sains yang dimaknai sebagai science dalam tradisi keilmuan Barat tidaklah sama dengan sains yang dimaknai sebagai ‘ilm yang ada dalam tradisi keilmuan Islam. Untuk itulah, sebelum mengungkap hubungan antara sains dan Islam, haruslah diperjelas terlebih dahulu macam-macam sains dari dua kutub yang mempergunakan istilah tersebut yaitu Barat dan Islam.

Perlu bagi kita untuk memperjelas makna dari agama. Kita terbiasa menyebut kata “agama” yang berarti sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan yang Maha Kuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang bertalian dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan itu.16

Sebagai contoh: umumnya, Islam dianggap sebagai agama yang kadangkala diterjemahkan menjadi religion atau dalam bahasa Arab berarti din.

Penerjemahan dan pemaknaan ini sebenarnya perlu dikaji lebih mendalam. Perbedaan kata dan bahasa akan sangat mempengaruhi keyakinan dan worldview

manusia dalam memahami konsepsi segala sesuatu.17 Jika Islam dianggap sebagai

agama, maka ia hanya sebatas keterangan di atas. Sedangkan religion juga berarti

14 Louis Ma’luf, al-Munjid fi-al-Lughoh wa-al-A’lam, (Daar al-Masyriq: Beirut, 2002) cet. 39, hlm. 527

15 Al-Ghawiyyu Majdu al-Din Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadiy, Qamus

al-Muhith : tahqiq Maktabu Tahqiq al-Turats fi Muassasah ar-Risalah, (al-Muassasah ar-Risalah: Beirut, 2005) cet-8, hlm. 624

16 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar …, hlm. 18

17 sebagaimana dikutip dari Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa “Struktur berfikir sangat

(6)

kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan yang berimplikasi pada menjalankan ritual untuk menyembahnya dan adanya berbagai ajaran yang berdimensi spiritual.18

Jika Islam dianggap sebagai din, maka maknanya juga akan lain. Kata din merupakan kata bahasa Arab daana-yadiinu yaitu pemberian untuk jangka waktu tertentu,19 memberikan harta untuk tempo tertentu atau memberikan hutang,

sedangkan dayn adalah hutang. Dayn dalam makna din juga dimaknai sebagai keberhutangan kepada dayyan yaitu Allah.20 Kata tersebut juga mengacu pada istilah din berarti ketaatan, berpegang teguh,21 dan keterikatan untuk menjadi hamba.22 Atau

juga diyanah dalam Islam berarti keyakinan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengerjakan rukunnya secara jasmani.23

Menurut Jujun S. Suriasumantri, penerjemahan kata sciene menjadi ilmu atau ilmu pengetahuan memiliki masalah yang pokok. Selanjutnya, ia mengusulkan kata padaan untuk ilmu adalah knowledge, sedangkan science adalah ilmu pengetahuan.24

Demikian pula, Syed Naquib al-Attas juga memberikan catatan khusus mengenai penyebutan sains sebagai ilmu tersebut dikarenakan ilmu merupakan istilah dari bahasa Arab yaitu ‘ilm. Sedangkan makna ‘ilm dalam bahasa Arab mencakup

18 sebagaimana dikutip bahwa religion memiliki tiga makna: “(1) [ uncountable ] the belief

in the existence of a god or gods, and the activities that are connected with the worship of them; (2) [ countable ] one of the systems of faith that are based on the belief in the existence of a particular god or gods (3) [ singular ] a particular interest or influence that is very important in your life.” dalam

Albert Sidney Hornby, Oxford…, hlm. 1304, selain itu dimaknai juga sebagai “an activity which someone is extremely enthusiasthic about and does regularly” dalam Cambridge Team, Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008) cet. 5, hlm. 1202

19 Al-Ghawiyyu Majdu al-Din Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadiy, Qamus

al-Muhith : tahqiq Maktabu Tahqiq al-Turats fi Muassasah ar-Risalah, (al-Muassasah ar-Risalah: Beirut, 2005) cet-8, hlm. 1198

20 Jumhûriyyah Al-‘Arobiyyah Misra, al-Mu’jam al-Wasith, (Maktabah as-Syurûq ad-Dauliyyah: Mesir, 1425 H 2004 M), hlm. 307

21 Louis Ma’luf, al-Munjid …, hlm. 231

22 Al-Ghawiyyu Majdu al-Din Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadiy, Qamus

al-Muhith …, hlm. 1198

23 Jumhûriyyah Al-‘Arobiyyah Misra, al-Mu’jam al-Wasith…, hlm. 307

24 pengadaan alternatif ini dilihat dari makna ilmu sebagai serapan dari ‘ilm dalam bahasa Arab. Makna semantic knowledge memang lebih tepat diterjemahkan sebagai ilmu, dan sains merupakan semacam spesies dari ilmu, yaitu ilmu pengetahuan yang berdasar pada penginderaan objek sains tersebut. ‘Ilm memiliki dimensi lahiriyah yaitu “tahu” dan dimensi bathiniyah yaitu “kenal”, sedangkan “kenal” berdimensi lebih intens daripada “tahu”. Dikutip dari Jujun S. Suriasumantri,

(7)

ma’rifah (ilmu pengenalan) dan ilmu pengetahuan (sains). Karena keduanya memiliki implikasi masing-masing.25

3. Studi Sains dan Studi Agama dalam Perspektif Worldview

Jika kita perhatikan beberapa uraian di atas tentang makna sains dan agama, kita dapat menemukan beberapa hal yang menarik. Pemaknaan keduanya, jika dikaji lebih dalam sesuai bahasa yang digunakan ternyata sangat sarat akan konsep dan latar belakang tertentu. Dalam hal ini, sebenarnya kita telah melakukan kajian menggunakan worldview sebagai pisau analisa terhadap pengertian dari sains dan agama tersebut. Karena, worldview sebagai hal yang fundamental melazimkan terwujudnya pemikiran manusia mengenai dunia melalui sarana pembentukan fikiran dari fakultas bahasa yang rumit.26

Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa worldview dapat digunakan secara – lebih akurat – dalam melakukan analisa terhadap pola studi dan metodologi sains. Menggunakan worldview sebagai pisau analisis, bukan untuk memperdebatkan kebenaran hal semisal pernyataan bahwa “sains adalah netral dan bebas nilai”, namun

25 menurut Syed Naquib al-Attas, ada dua hal yang menjadi implikasi pernyataan ini.

Pertama, ini menunjukkan klam di atas bahwa sains, karena berurusan dengan objek-objek yang dapat diketahui, yaitu diamati dengan indera, termasuk dalam ilmu pengetahuan, dengan demikian, ada dua pilihan penerjemahan kata science: “sains” yang diadaptasi dari bahasa Inggris, atau “ilmu pengetahuan”. Sebagaimana penggunaan “ilmu pengenalan” sebagai terjemah dari “ma’rifah”. Kedua, menggunakan kata “ilmu” untuk menyebut sains yang hanya berkaitan dengan objek-objek inderawi adalah penyempitan makna ilmu yang sebenarnya; karena dengan ini objek-objek yang tak bisa diketahui, namun bisa dikenal, seperti Tuhan, akan dikeluarkan dari wilayah ilmu. Implikasi lebih jauhnya, sebagaimana tersirat dalam penggunaan kata “ilmiah” (scientific) adalah segala pernyataan yang tidak “ilmiah” atau tidak bersumber dari “ilmu” (dalam hal ini “sains” menurut Barat), dianggap lebih rendah derajatnya. Pada gilirannya ini berarti segala ilmu yang, sebagai contoh, bersumber dari agama, mengenai masalah-masalah moral, yang tidak bisa “dibuktikan” menjadi tidak cukup bernilai. Penyempitan makna ini, secara sadar atau tidak merupakan proses sekularisasi, yaitu penghapusan makna ruhaniah dari segala sesuatu yang sesungguhnya dimulai dari bahasa. Dikutip dari Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Penerbit Mizan: Bandung, 1995) cet. 1, hlm. 23

26 dikutip dari Humboldt yaitu “worldview as the fundamental and necessary processing of

(8)

secara ia berusaha untuk melihat asal usul dan latar belakang dari pernyataan tersebut secara fenomenologis, historis, bahkan juga empatis.

Sebagai contoh tentang studi sains: “berpedoman pada ‘tujuh karakter sains’-nya,27 Gauch menyimpulkan bahwa 1) konten worldview tidak terdapat dalam sains 2)

ia tidak memberikan pandangan penting yang memadai dalam studi kritis sains mengenai alam.”28 Secara sekilas bahwa Gauch tidak setuju adanya worldview di

balik sains. Namun jika melihat pada beberapa pilar dari karakter sains tersebut, bahwa sains merupakan “suatu hal yang terbukti empiris” itu merupakan suatu metodologi yang diimpor dari suatu ideologi yang menuntut pembuktian sesuatu secara empiris. Hal tersebut merupakan karakteristik dari suatu worldview yang menyatakan bahwa “pembuktian empiris merefleksikan sebuah realitas”.29

Gauch juga menyatakan adanya paradoks bahwa sebuah metode yang didasari suatu worldview akan berkesimpulan pada karakter worldview tersebut. Meskipun demikian, ia tetaplah menyatakan bahwa sains adalah netral karena didasari dengan metode ilmiah yang dikuatkan oleh pembuktian dengan sebuah realitas.30 Dari sinilah

terlihat bahwa Gauchch hanya sekedar menganggap sains sebagai interogasi terhadap alam lantas kemudian membuat kesimpulan darinya. Sains hanya terbatas pada hal yang tampak dalam realitas fisik. Secara epistemologi, metode sains tersebut termasuk pada ideologi “realisme” 31 yaitu suatu kepercayaan pada realitas empiris. Tentu, hal

27 Gaus membuat daftar tujuh pilar mengenai karakteristik sains yaitu : (1) Nyata (2) Berdasarkan Hipotesis (3) Terbukti Empiris (4) Logis (5) Memiliki penjelasan yang terbatas (6) Universal, berlaku untuk semua golongan (7) membentuk worldview. dikutip dari tulisan Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, dalam Journal Science & Education, volume 18, no. 6-7, Pringer Science + Bussiness Media B.V 2007, p. 83 lihat juga Gaus HG, Science,

Worldview and Education (2007)

28 Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 81 29Ibid, ... p. 87

30 dikutip dari Gausch “It may seem paradoxical or surprising that a worldview-independent

method could yield worldview distinctive conclusion. But of course, only a method that did not presuppose or favor a particular outcome could yield a conclusion worthly of consideration. A independent method applied to informative evidence can reach worldview-distinctive conclusions. The action is in the evidence. The evidence reflects reality” dalam Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 90

31 diperjelas dalam makalah tersebut bahwa “realism belongs to a group of worldview beliefs

(9)

tersebut termasuk sebuah “perangkat kepercayaan” yang merupakan karakteristik sebuah worldview.32

Contoh lainnya: “Matthew Orr menyatakan bahwa agama dan sains menghasilkan disiplin ilmu yang berbeda dan prosedur operasional yang berbeda. Sebagai contoh bahwa keyakinan mendapat sedikit bagian dalam sains, sedangkan agama tidak hanya terbatas pada hal-hal yang dapat diobservasi secara empiris. Tetapi, sekalipun keduanya tidak dapat disatukan dengan satu disiplin ilmu, namun agama dan sains dapat disatukan di bawah worldview yang sudah tersintesa (tergabung).33 Sintesa dari keduanya akan memfasilitasi proses dalam membimbing

masa depan yang beretika bagi manusia.34 Karena worldview yang mampu

menyatukan sains dan agama haruslah mengandung komponen dari keduanya yang tidak saling bertentangan.”35

Pernyataan di atas juga merupakan sebuah metode bagaimana ‘mengakurkan’ antara studi sains dan agama. Sebagai analisa, ada hal yang penting dalam pernyataan di atas yang patut kita cermati: 1) “bahwa agama dan sains menghasilkan disiplin ilmu yang berbeda dan prosedur operasional yang berbeda” dan 2) “bahwa keyakinan mendapat sedikit bagian dalam sains, sedangkan agama tidak hanya terbatas pada hal-hal yang dapat diobservasi secara empiris. Tetapi, sekalipun keduanya tidak dapat disatukan dengan satu disiplin ilmu, namun agama dan sains dapat disatukan di bawah worldview yang sudah tersintesa” jika dikaji akarnya, pernyataan tersebut sebenarnya dapat dijelaskan dengan analisa worldview.

32 Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 90

33 Orr menyatakan mendefinisikan worldview berdasarkan The American Heritage dictionary tahun 2000 yaitu “(1) The overall perspective from which one sees and interprets the world. (2) A collection of beliefs about life and the universe held by an individual or a group” dalam Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion? dalam Zygon: Journal of Religion and Science, Vol. 41, No. 2, Joint Publication Board of Zygon, Chicago, 2006, hlm. 437

34 sebagaimana dikutip dari Matthew Orr bahwa “Unlike evolutionary genetics, religion and

science constitute entirely different displines with operating procedures. Faith, for instance, has little place in science, and religion need to be limited to what is empirically observable. But even through they cannot be united as a single discipline, religion and science can be united under a single synthetic worldview. Their synthesis will facilitate progress in guiding the ethical future of humankind.” dalam Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... hlm. 437

(10)

Pernyataan di atas dapat dikaji lebih detail lagi dengan memperhatikan beberapa istilah yang ada. Kita dapat memfokuskan pada istilah “agama” dan “sains” pada pernyataan di atas. Pernyataan di atas dikutip dari Matthew Orr yang merupakan orang Barat Sekuler. Makna agama dan sains menurutnya, tentu berbeda dengan makna yang diketahui dalam Islam. Bahwa Barat sekuler cenderung memisahkan antara agama dan sains. Sedangkan Islam tidak mengenal dikotomi antara keduanya. Sebagai penjelasan, bahwa dalam Islam terdapat Ilmu Tafsir al-Qur’an, yang mana – menurut al-Attas – merupakan suatu metode ilmiah dan titik beratnya pada syarat-syarat pengetahuan yang kokoh dari simbol-simbol linguistik yang ada dan pengartiannya sebagaimana ditetapkan oleh konteks semantiknya mendekati sifat-sifat suatu ilmu eksakta.36 Perbedaan worldview dan paradigma itulah yang membuat

perbedaan dalam kesimpulan dari pernyataan tersebut dan yang mendasari pernyataan tersebut.

Selanjutnya, kita akan mengkaji tentang agama dari perspektif worldview. Menurut Ninian Smart, ada beberapa hal menarik yang bisa diambil jika kita menggunakan worldview sebagai pisau analisis dalam studi agama. Ninian membuat kategori enam dimensi dalam mengkaji sebuah agama, yaitu: Doktrin, Mistis, Etika, Ritual, Pengalaman, dan Sosial.37 Bukan hanya hal itu saja, bahkan jika worldview

36 sebagaimana disarikan dari Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa “Sebuah bahasa

bisa saja mengalami perubahan semantik dikarenakan perubahan sejarah, masyarakat, serta penafsiran yang relatif dan subyektik atas simbol linguistik mereka, sehingga tidak dapat menjamin ketepatan ilmiah khususnya dalam makna yang memuat kebenaran mutlak dan obyektif. Namun meski demikian, bahasa Arab tidak sama dengan bahasa tersebut, dikarenakan stuktur semantiknya. Suatu kenyataan bahwa: 1) Struktur linguistiknya dibangun atas suatu sistem “akar-akar” yang tegas. 2) Struktur semantiknya diatur oleh suatu sistem medan semantik tertentu yang menentukan struktur konseptual yang terdapat dalam kosa-katanya. 3) Kata-kata, makna-makna, tata bahasa dan persajakannya telah direkam dan dimantapkan secara ilmiah sedemikian rupa, sehingga bisa memelihara ketetapan semantiknya. Karena sifat ilmilah itulah, sehingga ilmu yang pertama berkembang di kalangan orang Islam adalah ilmu Tafsir yang menjadi mungkin dan terselenggarakan. Jenis tafsirnya tidak persis sama dengan hermeneutika Yunani, Kristen maupun ilmu penafsiran kitab suci agama atau kebudayaan lain manapun. Di dalam Tafsir tidak tempat bagi prangsangkaan maupun dugaan, tidak ada tempat bagi penafsiran yang didasarkan pada tanggapan subyektif atau didasarkan hanya pada relativisme historis.” lihat: Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam ( Bandung: Mizan, 1984) hlm. 19-20

37 Sebagaimana dikutip dari Ninian Smart: “The model of six dimensions of religion is a

(11)

digunakan ideologi di dunia maka akan memungkinkan kita untuk melihat beberapa dimensi tentang agama juga terdapat dalam ideologi, bahkan juga mungkin dalam sains.

Karena itulah, melakukan studi agama tidak boleh dilakukan dengan terburu-buru. Tidak semua metode sains dapat diterapkan untuk melakukan studi terhadap agama. Karena akan sulit mendapatkan hasil yang obyektif sebagaimana yang sebenarnya terjadi dalam agama tersebut. Sebagai contoh, bahwa melakukan studi agama dengan metodologi positivisme akan berakhir pada kesimpulan bahwa agama yang tertinggi adalah humanisme, sedangkan hal-hal yang metafisik yang tidak terbukti secara positif tidaklah dapat diterima.38

Contoh yang juga mutakhir, bahwa melakukan studi terhadap sebuah kitab suci dalam agama tertentu – dengan terburu-buru – seperti kesimpulan Dr. Nashr Hamid Abu Zaid bahwa al-Qur’an merupakan Muntaj Tsaqafiy. Kesimpulan ini didapatkan dengan mempelajari al-Qur’an dengan pendekatan Historisisme. Paham historisisme39 percaya bahwa proses pemahaman yang memadai tentang sifat dasar

‘sesuatu’, dan penilaian paripurna tentang nilai ‘sesuatu’ itu harus dicapai dengan enjoined to observe certain rules and percepts. Thus myth is often conjoined to ritual acts which replay them and so convey their meaning to believers in a concrete way. 4) Ritual. So, typically a religion has a ritual dimension. 5) Experiential. Ritual helps to express feelings – awe and wonder, for instance – and can itself provide a context of dramatic experience, when the believer feels immediately and strikingly the presence of God. Such experiences are part of the experiential dimension of religion. 6) Social. Any tradition needs some kind of organization in order to perpetuate itself. It thus embeds itself in society.” lihat: Ninian Smart, Worldviews Crosscultural Explorations of Human Beliefs (New York: Charles Scribner’s Sons,1983) hlm. 7-8

38 sebagaimana dikutip dari Auguste Comte bahwa “Here, Positivism offers for the definite

(12)

mempertimbangkan dimana ia bertempat, dan apa peranannya dalam proses perkembangannya.40 Oleh karena itu, jika historisisme diaplikasikan dalam studi

al-Qur’an, maka akan berimplikasi pada dekonstruksi posisi al-Qur’an sebagai wahyu menjadi sebatas ‘teks- teks biasa’ karena tidak lepas dari lingkaran sejarah yang mengelililnginya, padahal kaum Muslimin mengimani bahwa pengertian wahyu dalam al-Qur’an mencakup lafadz dan maknanya sekaligus.41 Kemudian ketika kajian

al-Qur’an melepaskan posisinya sebagai “kalamullah” (verbum dei), maka akan diperlakukan hanya sekedar ‘teks bahasa’ (nash lughowi) dan ‘produk budaya’ (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nashr Hamid Abu Zayd, kemudian hermeneutika liberal memungkinkan untuk digunakan dalam penafsiran al-Qur’an.42 Dampak yang paling nyata dari dua konsep di atas adalah sikap skeptis dan

relatif terhadap otentisitas dan sakralitas al-Qur’an.

Pada hakikatnya, hermeneutika merupakan prinsip umum dalam interpretasi Bibel yang bertujuan mengungkap kebenaran dan nilai di dalamnya.43 Bagi umat

Kristen, realitas teks bibel memang membutuhkan hermeneutika untuk sebuah penafsiran.44 Para hermeneut dapat menelaah dengan kritis teks Bibel – yang memang

39 Historisisme adalah suatu pandangan yang berasumsi bahwa segala sesuatu yang terjadi hari ini lahir dari perkembangan sejarah. Lihat Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafi, (Beirut: Dar al-Kutub Libanani, 1982), vol. 1, hlm. 229

40 Teks aslinya: “Historicism in the belief that an adequate understanding of the nature of

anything and an adequate assessment of its value are to be gained by considering it in terms of the place it occupied and the roles it played within a process of development.” Lihat Donald, M Borchert,

Encyclopedia of Philosophy, (USA: Thompson Gale, 2006), hlm. 392

41 Henri Shalahuddin, Kredibilitas Ilmu Tafsir dalam Menegakkan Konsep Wahyu al-Qur’an, Islamia, Vol. VI No. 1 2012. hlm. 25

42 Lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi

Sekular Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), p. 314

43 Encyclopedia of Britannica, (USA, 1998), hlm. 874

(13)

teks manusiawi – mencakup kondisi penulis Bibel, kondisi historis, dan makna literal satu teks Bibel. Perbedaan realitas antara teks Bibel dan al-Qur’an membawa konsekuensi perbedaan metodologi penafsiran. Oleh karena itu, metode historis dan analisis penulis tidak dapat diaplikasikan kepada al-Qur’an yang merupakan teks wahyu atau tanzil dari Allah SWT.45

Menurut Ninian Smart, mengamati dan meneliti sebuah agama membutuhkan beberapa pendekatan sekaligus. Seorang yang melakukan studi agama haruslah mengetahui dengan benar sejarah dari agama tersebut; diantara melalui pemeluk agama dan bukti teks tertulis atau teks keagamaan. Bahkan lebih dari itu, studi agama juga membutuhkan metodologi yang beragam. Jika melihat fenomena sosial keagamaan, ia harus menggunakan pendekatan sosiologis bahkan juga empatis. Belum lagi, banyak variabel yang ada dalam suatu agama seperti konsep kebenaran, nilai-nilai dan kepercayaannya; bahkan juga hingga hal-hal seperti bagaimana agama tersebut menganggapi zaman kontemporer yang mana juga ideologi seperti sekularisme dan lainnya; tentunya agama juga haruslah dilihat secara filosofis. Studi agama tidak boleh menggunakan suatu metode tertentu atau bahkan metode yang dapat mereduksi kesimpulan dari berbagai variabelnya sehingga menjadi tidak valid.

46

C. Kesimpulan

Dari berbagai pemaparan di atas, kita akan menyimpulkan beberapa hal yang terkait dengan worldview dan studi agama. Melihat point-pointnya, kita dapat klasifikasikan sebagai berikut:

a) Bahwa worldview merupakan sebuah sistem atau kerangka keyakinan dasar manusia dalam berbuat, berbicara bahkan berfikir. Dari situlah kita dapat memaknai worldview sebagai suatu keyakinan tertentu yang mendasari aktivitas kehidupan manusia dan mendasari pandangannya terhadap segala eksistensi yang telah dikenal maupun tidak dikenal olehnya.

2008), hlm. 43

(14)

b) Jika kita melihat makna sains dan agama baik secara bahasa maupun filosofis, kita akan menemukan perbedaan bahwa pemaknaan sains sebagai science ataupun ilmu dan juga agama sebagai religion atau din. Perbedaan tersebut berasal dari perbedaan konsep linguistik yang mana merupakan bagian dari worldview.

c) Studi tentang sains : bagaimanapun juga, sains merupakan aktivitas dari saintis yang mana menghasilkan suatu produk sains berupa benda, teknik dan metode, maupun teknologi. Tentunya, aktivitas saintis tersebut tidaklah dapat terlepas dari ideologi yang diyakininya. Dari sinilah, sains bagaimanapun juga adalah penuh nilai, asumsi dasar, dan ideologi sehingga tidak dapat dikatakan netral.

d) Studi tentang agama: melakukan penelitian terhadap suatu agama haruslah menggunakan metode yang beragam dan juga cocok dengan agama tersebut. Oleh karena itu, meneliti sebuah agama tidak boleh menggunakan metode yang salah dan mengakibatkan reduksi terhadap kesimpulannya, sehingga kevalidan hasilnya sangat diragukan.

D. Penutup

Demikianlah kita dapat melacak sebuah permasalahan dengan melakukan pendekatan pada worldviewnya. Bahwa maraknya kesalah-fahaman peneliti dan juga hasil penelitan juga disebabkan karena tidak jelinya peneliti dalam melihat perspektif worldview ini. Bagaimanapun juga, studi dengan perspektif worldview masih bisa diharapkan kevalidannya. Karena setiap hal yang ilmiah maupun berupa keyakinan pastilah didasari dengan adanya asumsi dasar atau pemikiran tertentu. Pada akhirnya, kami tidak juga menafikan, tentunya makalah ini masih banyak kekurangan yang harus dilengkapi. Kami berharap kepada pembaca agar dapat memberikan masukan untuk menjadikan makalah ini lebih detail dan signifikan. Wallahu a’lam bis-shawab.

E. Daftar Pustaka

al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Filsafat Sains, (Penerbit Mizan: Bandung, 1995)

(15)

___________________________, Prolegomena to the Petaphysics of Islam : an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview, (Kuala Lumpur : International of Islamic Thought and Civilization, 2001)

al-Fairuz Abadiy, Al-Ghawiyyu Majdu al-Din Muhammad bin Ya’qub, Qamus al-Muhith : tahqiq Maktabu Tahqiq al-Turats fi Muassasah ar-Risalah, (al-Muassasah ar-Risalah: Beirut, 2005)

Baalbaki, Rohi, al-Mawrid : A Modern Arabic-English Dictionary, (Daar-‘Ilm al-Malayin: Beirut, 1995)

Cambridge Team, Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008)

Comte, Auguste, A General View of Positivism : translated from the French by J. H. Bridges, M. B, (London: George Routledge & Sons Limited, 1908)

Donald, M Borchert, Encyclopedia of Philosophy, (USA: Thompson Gale, 2006)

Gaus HG, Science, Worldview and Education (2007)

Hornby, Albert Sidney, Oxford advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford University Press: 2015)

Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005)

Husaini, Adian, & Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. II, 2008)

Irzik, Gurol and Robert Nola, Worldview and their relation to science, dalam Journal Science & Education, volume 18, no. 6-7, Pringer Science + Bussiness Media B.V 2007

Jumhûriyyah Al-‘Arobiyyah Misra, al-Mu’jam al-Wasith, (Maktabah as-Syurûq ad-Dauliyyah: Mesir, 1425 H 2004 M)

Ma’luf, Louis, al-Munjid fi-al-Lughoh wa-al-A’lam, (Daar al-Masyriq: Beirut, 2002)

Orr, Matthew What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion? dalam Zygon:Journal of Religion and Science, Vol. 41, No. 2, Joint Publication Board of Zygon, Chicago, 2006

Quthb, Sayyid, Khashaish al-Tashawwur al-Islamiy wa Muqawwimatuhu, (Beitur : Daar al-Masyriq, 1983)

(16)

Shaliba, Jamil, al-Mu’jam al-Falsafi, (Beirut: Dar al-Kutub Libanani, 1982)

Smart, Ninian, Worldviews Crosscultural Explorations of Human Beliefs (New York: Charles Scribner’s Sons,1983)

Sugiharto, Ugi, Apakah al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika?, Islamia Tahun I No. 1 Muharram 1425/ Maret 2004, hlm. 48

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984)

Tim Redaksi Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta, 2008)

________________________, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa: Jakarta, 2008)

W. Sire, James, Naming the Elephant : Worldview as a Concept, (Downer Grove : InterVarsity Press Academic, 2009)

_____________, The Universe Next Door, (Downer Grove : InterVarsity Press Academic, 2009)

W. Underhill, James, Humboldt, Worldview and Language, (Edinburgh : Edinburgh University Press, 2009)

Wan Daud, Wan Mohd Nor, Tafsir dan Ta’wil sebagai Metode Ilmiah, Islamia Tahun I No. 1 Muharram 1425/ Maret 2004

Referensi

Dokumen terkait

Jika pada tanggal / waktu tersebut diatas Saudara atau yang mewakili Saudara (yang ditunjukkan dengan Surat Kuasa dari Perusahaan ) tidak dapat hadir dan/atau

Sesuai Perpres 4 Tahun 2015 pasal 109 ayat 7 point e: Pokja 4 Jasa Konsultansi dan Jasa Lainnya Daftar Pendek berjumlah 3 (tiga) sampai 5 (lima) Penyedia Jasa Konsultansi ULP

Pihak lain yang bukan direktur utama/pimpinan perusahan yang namanya tidak tercantum dalam akta pendirian/anggaran dasar, sepanjang pihak lain tersebut adalah

Diberitahukan bahwa setelah diadakan penelitian oleh Pejabat Pengadaan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa di lingkungan Dinas Pekerjaan

Invensi ini menggunakan tepung jagung termodifikasi HMT sebagai pensubstitusi tepung jagung alami sebagai bahan baku mi sehingga mi yang dihasilkan

berbagai pihak yang baik secara langsung maupun tidak telah membantu penulis dalam.. menyelesaikan skripsi

5 Dokumen- dokumen kesehatan dan keselamatan kerja yang berhubungan dengan teknologi informasi diperbaharui dan didiseminasik an Dokumen yang diperbaharui sesuai dengan

Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan