KEPENTINGAN NEGARA: PEMISAHAN
POLITIK DARI MORALITAS
(Sebuah Pemikiran Politik Nicollo Machiavelli)
Oleh: Raimondus Arwalembun
PENGANTAR
Tak dapat dipungkiri bahwa istilah Machiavellian(isme) seringkali diidentikkan dengan mereka yang licik, kejam dan tidak
mengindahkan nilai-nilai moralitas dalam dunia perpolitikan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah benar Niccolo Machiavelli yang lahir di Florence, Italia pada 3 mei 1469[1] ini telah
membuka jalan bagi siapa saja (khususnya para penguasa) untuk dapat melegalkan segala cara demi mempertahankan
kekuasaannya?
Menurut hemat penulis, jawaban atas pertanyaan di atas dapat kita temukan dalam bukunya (The Prince), buku yang kemudian dijadikan pegangan bagi para tiran dan diktator dalam
mempertahankan dan menyebarluaskan kekuasaan. Namun, harus diingat bahwa buku (The Prince) kemudian disalahtafsirkan oleh para penguasa dan digunakan untuk mempertahankan
kepentingan pribadi mereka semata. Inilah celah yang kemudian membuat nama Machiavelli dicerca dan dikutuk oleh banyak kalangan karena dengan teorinya tentang kekuasaan, ia telah membuka ruang bagi penyelenggaraan kekuasaan yang
sewenang-wenang.
Tetapi apakah itu yang dimaksud oleh Machiavelli? Sebagaimana dikutip oleh Dr. J. H. Rapar “ia (Machiavelli) mencintai negaranya melebihi cintanya terhadap jiwanya sendiri,...”[2] Dengan
demikian penulis buku The Prince ini harus dipahami berdasarkan ungkapan di atas. Artinya, segala cara dapat ditempuh untuk menggapai tujuan yang mulia yaitu kesatuan, keutuhan dan kejayaan negara demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Inilah yang disebut Kepentingan Negara.
tentang hubungan negara dan kekuasaan serta pemikirannya tentang politik dan moralitas.
Hubungan Negara dan Kekuasaan
Sejak zaman Yunani dan abad pertengahan, para filsuf (seperti Plato, Aristoteles, Agustinis, Aquinas) telah membicarakan bentuk-bentuk negara dan hubungannya dengan kekuasaan. Tema ini pun dibahas oleh Machiavelli tetapi baginya hanya ada dua bentuk negara yaitu republik dan monarki.[3]Menurutnya, dari kedua bentuk negara di atas, monarki dengan kekuasaan mutlak yang paling baik karena negara dapat melakukan apa saja tanpa dibatasi oleh pertimbangan apapun. Sedangkan republik dengan hukumnya hanya cocok bagi negara yang sedang
berjalan normal. Machiavelli lebih memilih bentuk negara monarki karena kondisi politik Florence pada saat hanya dapat distabilkan lewat pemerintahan monarki sehingga negara tetap eksis.
Agar bentuk negara monarki dapat menciptakan kesejahteraan maka dibutuhkan penguasa yang cerdik, penguasa yang wajib mempertahankan dan memperkuat kekuasaannya (dengan segala cara). Disinilah letak hubungan antara negara dan kekuasaan. Artinya, kekuasaan bukanlah alat yang harus mengabdi pada kebajikan, keadilan, kebebasan dan Tuhan melainkan alat yang harus mengabdi pada kepentingan negara itu sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan mendapat legitimasinya dari negara karena negara ada demi dirinya sendiri. Disini jelaslah bahwa negara membutuhkan kekuasaan mutlak untuk mempertahankan
eksistensinya yang pada akhirnya membawa kemakmuran atau kebaikan umum bagi warga negaranya.
Politik dan Moralitas
Implikasi dari bentuk pemerintahan monarki dengan kekuasaan mutlak yang ditawarkan Machiavelli adalah bahwa dalam urusan politik, tidak ada tempat untuk membicarakan moral, hanya ada satu hal yang penting yaitu bagaimana merahi sukses dengan memegang kekuasaan. Artinya, tujuan politik jauh lebih nyata dari tujuan moral. Bagi Machiavelli, dalam perpolitikan, penguasa tidak perlu memiliki semua sifat baik (murah hati, dapat
pernyataannya bahwa, pengalaman menunjukkan kalau para penguasa yang berhasil melakukan hal-hal besar adalah mereka yang menganggap gampang atas janji-janji mereka, mereka tahu bagaimana memperdayakan orang dengan kelihaiannya, dan yang akhirnya menang terhadap mereka yang memegang teguh prinsip-prinsip kejujuran.[5]
Jika kita menyimak baik-baik pernyataan di atas, maka kita akan menemukan sebuah teori politik yang baru, teori politik yang otonom (politik an sich). Artinya, Machiavelli keluar dari
‘kepompong’ teori-teori politik sebelumnya, baginya segala cara (tindakan dan perbuatan) yang bersifat licik, kriminal, jahat, kejam, amoral dapat dibenarkan sejauh itu dilakukan demi eksisnya sebuah negara. Satu-satunya tujuan disini adalah mengamankan negara.
Dengan menghalalkan segala cara, tujuan yang baik dapat dicapai dengan cara-cara yang baik maupun yang tidak baik maka, dengan sendirinya Machiavelli meruntuhkan cara pandang lama di mana tujuan yang baik harus diupayakan dengan cara yang baik (ada unsur moralitas). Lalu dimanakah hubungan atau tempat moralitas dalam filsafat politik Machiavelli? Adalah sebuah kesalahan jika mengatakan bahwa Machiavelli sama sekali
menolak peran moralitas dalam dunia perpolitikan. Baginya, moralitas itu perlu. Artinya moralitas merupakan alat untuk
mendukung kekuasaan, moralitas harus tunduk pada kekuasaan. Hal ini dapat ditemukan dalam pernyataannya sebagai berikut baik bagi penguasa yang mempunyai sifat baik (suka
mengampuni, jujur, iklhas, alim) tetapi sewaktu-waktu jika
dibutuhkan (dalam keadaan darurat) ia juga harus dapat berbuat yang sebaliknya.[6]
Berangkat dari pemaparan di atas maka pembahasan tentang politik dan moralitas dalam filsafat politik Machiavelli harus dilihat dalam dua wilayah yang berbeda, berbeda dalam arti bahwa politik harus dibebaskan dari cengkeraman moralitas. Ini bukan berarti bahwa filsafat politik Machiavelli tidak bermoral (imoral) karena kalau imoral maka tidak ada tempat bagi moralitas, filsafat politiknya harus dimengerti secara amoral (tanpa moral) karena moralitas dapat dipakai sejauh itu mendukung kekuasaan.
Negara-negara yang tertata baik dan pangeran-pangeran yang cerdik berupaya dengan segala kekuasaannya untuk
mempertahankan kemuliaannya dan memuaskan rakyatnya, karena inilah salah satu dari tugas-tugas terpenting seorang penguasa.[7] Implikasi dari pernyataan di atas adalah bahwa bentuk pemerintahan monarki (negara) dikatakan tertata dengan baik apabila terdapat penguasa yang cerdik demi satu tujuan yaitu kepentingan negara (menciptakan kemakmuran bagi warganya).
Dalam memperjuangkan kepentingan negara, moralitas, nilai-nilai agama harus mengabdi kepada kekuasaan guna menciptakan kemakmuran. Dalam hal ini, kekuasaan mendapat legitimasinya dari kepentingan negara sehingga implikasinya jelas, penguasa harus cerdik, penguasa yang cerdik tahu menggunakan cara-cara binatang dan cara-cara manusia, penguasa yang cerdik tidak boleh takut sedikitpun menghadapi tuduhan kejahatan, kalau kejahatan itu perlu dilakukan demi keselamatan negara[8]
Akhirnya, dengan menaruh kepentingan negara di atas segala-galanya, maka sekali lagi Machiavelli menegaskan kepada kita bahwa dalam urusan politik tidak ada tempat bagi moralitas. Dengan kata lain, kepentingan negara dapat diusahakan dengan menghalalkan segala cara. Politik harus dibebaskan dari
moralitas, inilah teori ilmu politik modern yang dikumandangkan oleh bapak politik modern ini. Dengan demikian, teori
“kepentingan negara” yang menyatakan bahwa seluruh tindakan dan perbuatan yang bersifat kriminal, amoral, licik, jahat dan kejam yang dilakukan oleh para penguasa, dapat
dibenarkan[9] menandaskan adanya pembebasan politik dari ranah moralitas.
Catatan:
[1] Untuk Riwayat hidupnya dapat dibaca dalam buku: Machiavelli, Niccolo., Sang Penguasa, ter. Sastrapratedja, M & Parera, Frans M, Jakarta: PT. Gramedia 1987, hal. xvii-xxvi. Lihat juga, Schmandt, Henry J., Filsafat Politik (Terjemahan dari Judul Asli A Histori of Political Philosophy), Pustaka Pelajar: Yogyakarta 2002
[2] Rapar, J. H., Filsafat Politik (Plato, Aristoteles, Machiavelli), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 400
[4] Ibid, bab XVIII, hal. 59 [5] Ibid, hal. 58
[6] Ibid.
[7] Budi Hardiman, F., Diktat Kuliah Filsafat Politik (Machiavelli), STF Driyarkara: Jakarta 2001, hal. 6
[8] Op.cit, The Prince, bab XV, hal. 52