Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Tinjauan Atas Pemikiran Syed M. Naquib alAttas dan Ismail R. al
Faruqi)
admin May 31st, 2011, 1:32 am No comment
2181 views
Breaking News
Posisi Adat Budaya dalam Hukum Islam
1.
Home
2.
Pendidikan Islam
3. Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Tinjauan Atas Pemikiran Syed M. Naquib alAttas dan Ismail R. alFaruqi)
★★★★★
Pendahuluan
Islamisasi merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview)[2] yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep
ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.[3]
Secara historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah
pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjanasarjana dari 40 negara, dan
merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang
direkomendasikan adalah menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib alAttas dalam makalahnya yang berjudul
“ Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of Education, dan Ismail Raji al Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing social science.”[4]
Dari kedua makalah ini kemudian gagasan tentang islamisasi ilmu pengetahuan menjadi tersebar luas ke masyarakat muslim dunia. Pihak pro maupun kontrapun
bermunculan. Diantara tokoh yang mendukung “pro” terhadap proyek islamisasi tersebut antara lain adalah Seyyed Hossein Nasr (1933), Ziauddin Sardar (1951) dan
beberapa tokoh lain yang menolak adanya westernisasi ilmu.[5] Sedangkan pihak yang menentang “kontra” terhadap gagasan islamisasi ini yaitu beberapa pemikir muslim
kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak akan tetapi juga mengkritik gagasan
islamisasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana Fazlur Rahman, misalnya, dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam
ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas. Dia kemudian mencontohkan seperti halnya
“senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hatihati dan bertanggungjawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.[6]
Melihat dari pro kontra inilah kemudian diskursus mengenai islamisasi menjadi sesuatu hal yang menarik. Dan makalah ini setidaknya akan menjadi sebuah ‘‘bentuk penilaian’’ bagi para pembaca khususnya para akademisi muslim yang terlibat di dunia pemikiran, dalam melihat ide atau gagasan islamisasi ini. Karena dengan memahami
tentang konsep yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib alAttas dan dipopulerkan oleh Ismail Raji al Faruqi tentang islamisasi yang ditulis dalam makalah ini, maka
diharapkan para pembaca akan dapat mengambil gambaran secara umum tentang konsep islamisasi yang dibawa oleh kedua tokoh tersebut dan dapat memberikan penilaian
sendiri terhadapnya.
Sekilas Biografi Tokoh
Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin bin Muhammad alAttas lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Silsilah resmi
keluarga Naquib alAttas yang terdapat dalam koleksi pribadinya menunjukkan bahwa beliau merupakan keturunan ke 37 dari Nabi Muhammad SAW.[7]
Secara umum, pendidikan alAttas bermula di Sukabumi (Indonesia) dan Johor Baru (Malaysia). Setamat dari situ alAttas masuk militer di Inggris, kemudian kuliah di Universitas Malaya (UM) di Singapura. Untuk selanjutnya alAttas melanjutkan studinya hingga memperoleh gelar M.A dan Ph.D, masingmasing dari McGill University,
Montreal di Canada dan University of London di Inggris, dengan fokus kajian pada teologi dan metafisika alam. Ketika masih mengambil program S1 di Universitas Malaya, al
Attas telah menulis dua buah buku. Buku pertama adalah “Rangkaian Rubaiyat.” Buku ini termasuk di antara karya sastra pertama yang dicetak oleh Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kuala Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku kedua yang sekarang menjadi karya klasik adalah “Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced among
the Malays”, yang diterbitkan oleh lembaga penelitian sosiologi Malaysia pada tahun 1963. Sedemikian berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada melalui “Canada Counsel Fellowship” memberinya beasiswa untuk belajar di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal yang didirikan oleh Wilfred Cantwell Smith. Di universitas
inilah alAttas berkenalan dengan beberapa orang sarjana ternama seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Sayyed
Hossein Nashr (Iran).[8]
(19631965) atas bimbingan Prof. Martin Lings, alAttas menyelesaikan perkuliahan dan meraih gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dalam bidang filsafat Islam dan kesusastraan
Melayu Islam dengan mempertahankan disertasi yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan predikat cumlaude. Disertasi tersebut telah dibukukan dengan judul
“Mysticism of Hamzah Fansuri”.[9]
Dalam perjalanan karir akademiknya, alAttas mengawali karirnya dengan menjadi seorang dosen. Dia banyak membina perguruan tinggi dan ikut berpartisipasi
dalam pendirian universitas di Malaysia, baik sebagai ketua jurusan, dekan, direktur dan rektor. Pada tahun 19681970 alAttas menjabat sebagai ketua Departemen
Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu. alAttas merancang dasar bahasa Malaysia pada tahun 1970. Dan pada tahun 19701973 alAttas menjabat Dekan pada Fakultas
Sastra di universitas tersebut. Akhirnya pada tanggal 24 januari 1972 dia diangkat menjadi Profesor Bahasa dan Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya dia membacakan pidato ilmiah yang berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.[10]
AlAttas telah menulis sekitar 26 buku dan monograf dalam bahasa Inggris dan Melayu, banyak dari buku dan monograf itu yang telah diterjemahkan ke bahasa lain
seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malayalam, Indonesia, Perancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan Albania. Berikut adalah karyakaryanya yang telah
diterbitkan diantaranya yaitu: Rangkaian Rubaiyat, Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced Among the Malays, Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh,
The Mysticism of Hamzah Fansuri, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Islam and Secularism, The Concept of Education in Islam, A Commentary on the Hujjat al Siddiq of Nur al
Din al Raniri, Islam and the Philosophy of Science, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, dan lainnya.[11]
Adapun Ismail R. alFaruqi lahir di Yaifa (Palestina) pada tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986.[12] Pendidikan dasarnya dilalui di
College Des Frese, Libanon sejak 1926 sampai 1936. Kemudian dia memperoleh gelar BAnya pada tahun 1941 di The American University, Beirut.[13] Sedangkan gelar
masternya diraih di Indiana dan pada tahun 1952 dia mencapai gelar doktoral (Phd.) dari Universitas Indiana, Harvard. Meskipun alFaruqi berhasil menyelesaikan gelar
doktoral dalam filsafat Barat, dikarenakan langkanya kesempatan kerja dan juga dorongan batin, membawanya kembali ke akar dan warisan kecendekiawanan islamnya. Dia
meninggalkan Amerika menuju Kairo.
Ismail R. alFaruqi memulai karir profesionalnya sebagai guru besar sudi Islam pada Institut Pusat Riset Islam di Karachi dari tahun 1961 sampai 1963. Selama setahun berikutnya setelah dia kembali ke Amerika, alFaruqi menjadi guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di Universitas Chicago. Pada tahun 1964, alFaruqi
memperoleh posisi permanen penuh pertamanya sebagai guru besar luar biasa di Jurusan Agama pada Universitas Syracuse. Dia akhirnya pindah ke Universitas Temple pada
tahun 1968 untuk menjadi guru besar studi Islam dan sejarah agama. Ini adalah posisi yang didudukinya sampai dia wafat pada tahun 1986.[14] Selain mengajar, alFaruqi
juga mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada 1980 di Amerika Serikat, sebagai bentuk nyata gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Kini lembaga
Social Scientist. Kedua lembaga yang didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmuilmu sosial Islam.
Selama hidupnya, alFaruqi telah menulis banyak tulisan, baik di majalah ilmiah maupun populer, dan juga buku. Lebih dari dua puluh buku dalam berbagai bahasa
telah ditulisnya, dan tidak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan. Seluruh tulisannya pada dasarnya adalah gagasan gagasan cerah dan teorinya untuk
memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang dikemas dalam bingkai besar islamisasi ilmu pengetahuan. Beberapa karyanya adalah sebagai berikut: Christian Ethics: A
Systematic and Historical Analysis of Its Dominant Ideas, The Great Asian Religions, Historical Atlas of the Religions of the World, Sources of slamic Thought: Three Epistles
on Tawhid by Muhammad ibn ‘Abd al Wahhab, Islam and Culture, Islamic Thought and Culture, Islamization of Knowledge, Tawhid: Its Implications For Thought And Life dan
lainnya. Beberapa karya penting Ismail Raji alFaruqi sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pemikiranpemikirannya dapat diamati dari karyakaryanya tersebut. Pemikiranpemikirannya tentang Islam dianggap mempunyai nilai penting, karena selain perhatiannya atas dunia dan umat Islam juga yang terpenting adalah pembelaan atas
umat Islam sungguh luar biasa. Sehingga sepintas tergolong tokohtokoh yang berhaluan keras dalam menanggapi pemikiranpemikiran berbeda mengenai Islam.[15]
Untuk lebih jelas mengenai pemikiran kedua tokoh ini tentang islamisasi ilmu pengetahuan, penulis di sini akan membagi konsep islamisasi dalam pandangan Syed
Naquib alAttas dan Ismail R. alFaruqi melalui tiga garis besar yaitu: latar belakang munculnya gagasan islamisasi, mafhum islamisasi dan langkahlangkah yang ditempuh
dalam islamisasi.
A. Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Gagasan alAttas tentang islamisasi ilmu pengetahuan muncul karena tidak adanya landasan pengatahuan yang bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri
bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (valuefree) akan tetapi syarat nilai (value laden).[16] Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak
dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real)
sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakanakan menerima pengetahuan yang sejati. Karena itu, alAttas memandang bahwa peradaban Barat tidak
layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu.[17]
Menurut alAttas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism). Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam
keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang keraguraguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar kebenaran. Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.[18]
Padahal sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta
muslim di masa klasik, warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan, pengetahuanpengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia,
setelah dilakukan usahausaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan. Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam. Pengetahuan dan
semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu
dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilainilai kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut alAttas, dualisme tidak mungkin diselaraskan karena terbentuk
dari ideide, nilainilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.[19]
Kebenaran dan realitas dalam pandangan Barat tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya didukung dengan
premispremis filosofis yang didasarkan pada spekulasi atau perenunganperenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia (antropomorfisme), sebagai makhluk fisik dan sekaligus sebagai makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana yang diperoleh
dari pengetahuan wahyu yang dipahami dan dipraktikkan dalam Islam. Karena itu, pengetahuan dan nilainilai yang mendasari pandangan hidup (worldview) dan
mengarahkan kepada kehidupan Barat menjadi tergantung pada peninjauan (review) dan perubahan (change) yang tetap.[20]
Sedangkan pandangan hidup dalam Islam, menurut alAttas, adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and turth). Realitas dan kebenaran
dalam Islam bukanlah sematamata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat
sekuler mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Akan tetapi realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan
kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tauhid). Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama
seperti keimanan dan pengalamannya, ibadahnya, doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.[21]
Dengan demikian, sangat jauh berbeda antara pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Barat dari nilainilai keislaman (alqiyam alislamiyah). Karena Barat
mendasarkan segala sesuatunya dengan kecenderungan pada dikotomisme[22] sedangkan Islam pada konsep tauhid. Dari situlah kemudian alAttas mencoba untuk
menggagas sebuah konsep islamisasi yang diharapkan dari konsep ini akan mengcounter peradaban Barat yang sekuler.[23]
Sedangkan alasan yang melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan alFaruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum
muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau
menyerahkan diri kepada pemimpinpemimpin atau tokohtokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan.
[24] Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsabangsa terbawah.[25] Dalam kondisi
berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran al
Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter.[26]
Persoalan westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik. Banyak generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat
westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun kaum muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat. Baik kaum muslimin di lingkungan
universitas maupun cendekiawan, tidak mampu menghasilkan sesuatu yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan karena dunia Islam tidak
memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam.[27] Gejala tersebut dirasakan alFaruqi sebagai apa yang disebut dengan “the lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil.[28]
Walaupun dalam aspekaspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun alFaruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan
dengan peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama. Dari fenomena ini, alFaruqi melihat
kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil
sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilainilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam.
Bahkan sudah mencapai tingkat serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”. Menurut alFaruqi, sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam sebagai bangsabangsa di anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat. Proses westernisasi pasca
penjajahan Barat, terjadi di hampir seluruh negara muslim. Dan bisa dikatakan hal itu telah menghancurkan umat Islam dari ajaran al Qur’an dan Hadits. Dengan adanya
westernisasi, berbagai pandangan hidup Barat diterima umat Islam tanpa filter. Akibatnya umat Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut
menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek pemikiran maupun perbuatan.[29]
Dari situlah kemudian alFaruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme”
yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.[30]
Jika melihat kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi menurut kedua tokoh ini, maka akan terlihat adanya kesamaan pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid.
Hanya saja perbedaan kedua tokoh tersebut terlihat dalam segi “analisa”. Jika alAttas melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah
pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan alFaruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
Secara umum, istilah Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam[31] atau membuatnya dan menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak
bersifat universal, tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari nilainilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran
universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam. Untuk
itu, pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk dalam wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai Islamisasi.
Bagi alAttas, pendefinisian Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara mum. Yaitu Islamisasi, menurut alAttas secara umum adalah pembebasan
manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasionalkultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). [32]
AlAttas juga memaknai Islamisasi sebagai suatu proses. Meskipun manusia mempunyai komponen jasmani dan rohani sekaligus, namun pembebasan itu lebih
menunjuk pada rohaninya, sebab manusia yang demikianlah manusia yang sejati yang semua tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. AlAttas mensifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaniyahnya dan proses ini
menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya (original nature).[33]
Dari uraian di atas, maka, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiranpenafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari maknamakna serta
ungkapan manusiamanusia sekuler.[34] Dan dalam pandangan alAttas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua
Islamisasi pikiran dari dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasionalkultural
(national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam dirinya
yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah
(original nature).[35]
Sedangkan menurut Ismail R. alFaruqi, dalam pendefinisian atau pengertian tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi
ilmu yaitu sebagai usaha untuk memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang
berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.[36]
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut
pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia. Menurut aIFaruqi, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sainssains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan tujuantujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan
dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.[37]
Dari mafhum islamisasi ilmu pengetahuan menurut alAttas dan alFaruqi di atas, maka terlihat bahwa jika alAttas mendefinisikan ilmu lebih ke arah subjeknya yaitu
pada pembenahan umat Islam sendiri yakni pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasionalkultural (national cultural
tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan alFaruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan cara
mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran,
membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan dalam rangka memperkaya visi dan perjuangan Islam.
C. LangkahLangkah Dalam Islamisasi
Dalam pandangan alAttas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini
ditunjukkan oleh alQur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran.[38] Islamisasi bahasa Arab yang termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah kedudukan bahasa Arab, di
antara bahasabahasa manusia, menjadi satusatunya bahasa yang hidup yang diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan tersempurnakan sampai tingkat
perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak tergantung pada perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial seperti halnya
semua bahasa lainnya yang berasal dari kebudayaan dan tradisi. Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab suci alQur’an kepada manusia
menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa perubahan, tetap hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur. Oleh karena itu, arti istilahistilah yang bertalian dengan Islam, tidak ada perubahan sosial, sehingga untuk segala zaman dan setiap generasi pengetahuan lengkap tentang Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan
tersebut termasuk normanormanya merupakan suatu hal yang telah terbangun mapan, dan bukan termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya dengan manusia dan
sejarah yang dikatakan berkembang.[39]
Lebih lanjut menurut alAttas, istilahistilah Islam merupakan pemersatu bangsabangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan agama semata, melainkan karena
istilahistilah itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun secara memuaskan. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka istilahistilah itu menjadi kehilangan
makna ruhaniyahnya. Karena itu, istilah Islam tidak dapat diterjemahkan dan dipahami dengan pengertian lain, meski istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabinabi sebelum Muhammad saw. Adapun makna Q.S. alMaidah ayat 3 yang menyebutkan “hari penyempurnaan agama Islam”, di pahami alAttas sebagai pernyataan wahyu bahwa
sejak saat itu Islam telah merupakan sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan.[40]
Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan oleh alAttas mempunyai beberapa langkah yaitu:
a. Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b. Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism which involved of reality and truth).
c. Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular worldview).
d. Membela doktrin humanism (the doctrine of humanism).
e. Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsurunsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.[42]
Unsurunsur tersebut harus dihilangkan dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu
ilmu alam, fisika, dan aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu, ilmuilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu
modern, beserta aspekaspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya
berkaitan dengan dunia, rasionalitas prosesproses ilmiah, teori tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan ilmuilmu lainnya serta
hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
2. Memasukkan unsurunsur Islam beserta konsepkonsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan.[43] AlAttas menyarankan, agar
unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsurunsur dan konsepkonsep asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a. Konsep Agama (addin)
b. Konsep Manusia (alinsan)
c. Konsep Pengetahuan (al‘ilm dan alma’rifah)
d. Konsep kearifan (alhikmah)
e. Konsep keadilan (al‘adl)
f. Konsep perbuatan yang benar (al‘amal)
Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu
bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah.
Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.[45] Adapun yang menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran tapi
adalah yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang. Dan pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang
telah terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition).[46] Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau
oleh metode emprisrasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan
pandangan filsafat Yunani, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Jadi menurut alAttas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsurunsur dan
konsepkonsep penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan unsurunsur dan konsepkonsep utama Islam ke dalamnya.[47] Dan untuk memulai kedua proses
diatas, alAttas menegaskan bahwa islamisasi diawali dengan islamisasi bahasa dan ini dibuktikan oleh alQur’an.[48] Sebab alasannya, “bahasa, pemikiran dan rasionalitas
berkaitan erat dan saling bergantung dalam memproyeksikan pandangan dunia (worldview) atau visi hakikat kepada manusia. Pengaruh islamisasi bahasa menghasilkan
islamisasi pemikiran dan penalaran,” karena dalam bahasa terdapat istilah dan dalam setiap istilah mengandung konsep yang harus dipahami oleh akal pikiran. Di sinilah
pentingnya pengaruh islamisasi dalam bahasa, karena islamisasi bahasa akan menghasilkan islamisasi pemikiran dan penalaran.[49]
Sedangkan dalam pandangan alFaruqi berkenaan dengan langkahlangkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya.[50] AlFaruqi menggariskan beberapa prinsip dalam
pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsipprinsip tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam semesta.
c. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan. [51]
Menurut alFaruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak bertentangan tetapi saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun,
kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian dari Allah yang diciptakan untuk mencari
firman dari Allah yang pasti cocok dengan realitas. Kedua, kesatuan kebenaran yang dirumuskan, antara wahyu dan kebenaran tidak boleh ada pertentangan, prinsip ini
bersifat mutlak. Dan ketiga, kesatuan kebenaran sifatnya tidak terbatas dan tidak ada akhir. Karena pola dari Allah tidak terhingga, oleh karena itu diperlukan sifat yang
terbuka terhadap segala sesuatu yang baru.[52]
d. Kesatuan hidup[53]
e. Kesatuan umat manusia.
Islam menganjurkan kebebasan dalam hubungannya dengan kemanusiaan tanpa batasbatas yang senantiasa menghampiri mereka. Dalam konteks ilmu
pengetahuan, nampak bahwa keinginan alFaruqi, ilmuwan beserta penemuannya, hendaknya memberi kesejahteraan kepada umat manusia tanpa memandang etnis.
Ketaqwaan yang dipergunakan oleh Islam yang membebaskan dari belenggu himpitan dunia hendaknya menjadi landasan bagi para ilmuan.[54]
AlFaruqi juga menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang menyeluruh untuk program islamisasi ilmu pengrtahuannya yang merupakan hasil dari usahanya
selama bertahuntahun melaksanakan perdebatanperdebatan dan diskusidiskusi melalui sejumlah seminar internasional yang diselenggarakan.[55] Rencana kerja alFaruqi untuk program islamisasi mempunyai lima sasaran yaitu: pertama, menguasai disiplindisiplin modern. Kedua, menguasai khazanah Islam. Ketiga, menentukan relevansi Islam
yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat. mencari caracara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan
modern. Dan kelima, mengarahkan pemikiran Islam ke lintasanlintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.[56]
Menurut alFaruqi, sasaran di atas bisa dicapai melalui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu: pertama,
penguasaan terhadap disiplindisiplin modern. Kedua, peninjauan disiplin ilmu modern. Ketiga, penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa antologi.[57] Keempat,
penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa analisis. Kelima, penentuan relevansi Islam yang spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi ini, kata alFaruqi, dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan yaitu: a). Apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari alQur’an hingga pemikiranpemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan
masalah yang telah dicakup oleh disiplindisiplin modern; b). Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasilhasil yang telah diperoleh oleh disiplindisiplin
tersebut; c) Apabila ada bidangbidang masalah yang sedikit diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak diabaikan oleh ilmu warisan Islam, kearah mana kaum muslim harus
mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalahmasalah, dan memperluas visi disiplin tersebut. Kemudian yang keenam, penilaian kritis
terhadap disiplin modern. Ketujuh, penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Kedelapan, survei mengenai problemproblem terbesar umat Islam. Kesembilan, survei mengenai problemproblem umat manusia. Kesepuluh, analisa dan sintesis kreatif. Kesebelas, merumuskan kembali disiplindisiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Dan
kedua belas, penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain langkah tersebut, alatalat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah
yang menguasai antar disiplin. Para ahli yang terlibat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus
menjajaki persoalan metode yang diperlukan.[58]
Demikian langkah sistematis yang ditawarkan oleh alAttas dan alFaruqi dalam rangka islamisasi ilmu pengetahuan. Walaupun keduanya memiliki sedikit perbedaan
di dalamnya, namun pada intinya, keduanya memiliki visi yang sama. Dari kesemua langkah yang diajukan oleh kedua tokoh ini, tentunya dalam aplikasinya, membutuhkan
energi ekstra dan kerja sama berbagai belah pihak. Karena, islamisasi merupakan proyek besar jangka panjang yang membutuhkan analisa tajam dan akurat, maka
dibutuhkan usaha besar pula dalam mengintegrasikan setiap disiplin keilmuan yang digeluti oleh seluruh cendekiawan muslim.
Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara Syed Naquib al Attas dan Ismail Raji alFaruqi dalam kaitannya dengan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Yaitu, pertama, jika alAttas lebih mengutamakan subyek islamisasi ilmu maka al Faruqi lebih mengutamakan
obyeknya. Kedua, jika alAttas hanya membatasi pada ilmu kontemporer untuk program islamisasi ilmunya maka alFaruqi meyakini bahwa semua ilmu harus diislamisasikan.
Dan ketiga, jika alAttas mengawali dengan melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang
datang dari Barat sedangkan alFaruqi mengawalinya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan di atas, sejatinya ada beberapa kesamaan antara pemikiran alAttas dan alFaruqi mengenai ide islamisasi ini. Di antara persamaan
pemikiran kedua tokoh tersebut yaitu kesamaan pemikiran tentang ilmu. Menurut mereka ilmu itu tidak bebas nilai (valuefree) akan tetapi syarat nilai (value laden). Keduanya
juga meyakini bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam ajaran Islam yaitu tauhid. Konsep ilmu menurut mereka harus berlandaskan pada metode ketauhidan yang diajarkan oleh alQur’an. Mereka juga meyakini bahwa
sumber dari semua masalah umat adalah sistem pendidikan terutama dalam problematika ilmu yang berkembang saat ini. Dan mereka yakin bahwa islamisasi ilmu
pengetahuan merupakan satu solusi untuk mengatasi problematika umat tersebut.