• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT BUD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT BUD"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan masalah klasik dalam kehidupan manusia. Pengertian kemiskinan sendiri adalah suatu konsep ilmiah yang lahir sebagai dampak dari pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau manusiawi. Oleh karena itu dalam setiap pembahasan tentang pembangunan, maka pembahasan kemiskinan mendapatkan tempat yangcukup penting. Kemiskinan dipandang sebagai bagian dari masalah dalam pembangunan, yang keberadaannya ditandai oleh adanya pengangguran, keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan.

Fenomena kemiskinan di Indonesia baru muncul setelah terbit buku Masri Singarimbun dan David H. Penny berjudul Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa pada tahun 1976. Setelah terbit buku tersebut barulah pembahasan berani dilakukan secara terbuka.Selanjutnya, berbagai riset oleh banyak pakar, serta ukuran-ukuran menyangkut garis kemiskinan menjadi topic yang menarik (Syafri Sairin,1997:65)

Masalah kemiskinan di Indonesia sesungguhnya telah menjadi topik pembicaraan dan fokus kebijakan sejak pemerintahan kolonial Belanda,melalui kebijakan “politik etis” (Gunawan Sumodiningrat dkk, 1999:43).Masalah kemiskinan dan ketimpangan tetap ada dan hidup bersama bangsa ini. Walaupun perkembangan ekonomi bangsa ini secara agregat dari tahun ketahun, menunjukkan gambaran yang baik serta mendatangkan sejumlah pujian dari banyak kalangan, namun di dalam struktur ekonomi Indonesia sendiri segmen masyarakat yang relatif tertinggal dan berkembang sangat stagnan, kurang berdaya, dan secara relatif tidak memperoleh manfaat maksimal dari hasil-hasil pembangunan. Mereka ini adalah golongan miskin. Lapisan ini merupakan bagian terbawah dari masyarakat dengan jumlah yang cukup besar yakni 27 juta jiwa atau 11% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2014 (sumber : data BPS Maret 2014).

(2)

masyarakat India, tidak bisa disebut berkebudayaan miskin karena kebudayaan mereka terorganisasi dalam panchayat dan mereka memiliki sistem kekerabatan unilateral/klan. Begitu pula komunitas Yahudi, tidak bisa disebut berkebudayaan miskin karena mereka memiliki tradisi sastra yang tinggi.Masyarakat yang menganut sosialisme tidak bisa disebut berkebudayaan miskin karena dalam diri mereka tidak ditemukan perasaan putus asa, apatis dan pasrah.

Gagasan yang radikal dan revolusioner tentang kemiskinan adalah konsep Oscar Lewis.Kemiskinan menurut Oscar Lewis (1959), merupakan bagian dari kebudayaan kapitalisme dimana sistem sosial dan ekonominya hanya menyalurkan kekayaan ke tangan yang secara relatif merupakan sekelompok kecil masyarakat sehingga jelas ada tekanan-tekanan yang dilancarkan masyarakat yang lebih luas terhadap warga masyarakat dan strukturnya sendiri. Hal yang penting diingat dari tulisan Lewis adalah “Lebih mudah menghapuskan kemiskinan daripada kebudayaan kemiskinan.”

Tentang profil kemiskinan Gunawan Sumodiningrat dkk (1999:47-49) mengungkapkan bahwa masalah kemiskinan bukan saja masalah welfare, akan tetapi mengandung berbagai alasan, sebagai berikut :Pertama, masalah kemiskinan adalah masalah kerentanan (vulnerability). Misalnya jika pembangunan struktur ekonomi dan pertanian dapat saja meningkatkan pendapatan petani dalam besaran yang memadai, akan tetapi jika terjadi kekeringan musim dua tahun berturut-turut, maka akan dapat menurunkan tingkat hidupnya sampai pada titik yang terendah.

Kedua, kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja, karena hubungan produksi di dalam masyarakat tidak memberi peluang bagi mereka untuk berpartisipasi dalam produksi, atau mereka terperangkap dalam hubungan produksi yang eksploitatif, yang menuntut kerja keras dalam jam kerja yang panjang dengan imbalan yang rendah.

Ketiga, kemiskinan adalah masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial menghadapi elit desa dan para birokrat dalam menentukan keputusan yang menyangkut dirinya tanpa memberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan ketidakberdayaan menghadapi penyakit, kematian, kekumuhan, dan kekotoran.

(3)

produktifitas dan etos kerja mereka rendah pula. Di samping itu juga akan menghasilkan ketahanan fisik yang juga rendah.

Kelima, kemiskinan juga ditandai oleh tingginya rasio ketergantungan, karena besarnya keluarga dan beberapa diantaranya masih balita. Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya konsumsi yang akan mengganggu tingkat kecerdasan mereka, sehingga dalam kompetisi merebut peluang dan kesempatan di masyarakat, anak-anak kaum miskin akan berada pada pihak yang lemah.

Keenam, kemiskinan juga terefleksikan dalam budaya kemiskinan, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penghapusan physical poverty tidak secara otomatis akan menghapuskan culture of poverty. Budaya kemiskinan yang secara turun temurun antar generasi ini cenderung menghambat motivasi untuk melakukan mobilitas ke atas. Itu berarti menghambat kemajuan dan harapan-harapan mereka di masa depan.

Di Indonesia, orang yang pertama mengusulkan garis kemiskinan adalah Profesor Sayogyo dari IPB. Garis kemiskinan yang digunakan Biro Pusat Statistik (BPS) merupakan modifikasi dari ukuran yang dianjurkan Prof. Sayogyo. Bagi BPS, seseorang akan dikatakan miskin apabila dia tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan minimum 2100 kalori per hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum lain seperti perumahan, bahan bakar, sandang, pendidikan, kesehatan, dan transpor (BPS 1992). Hal yang perlu diingat dari ukuran ini adalah bahwa garis kemiskinan ini sangat relatif dan dinamis, tergantung pada perkembangan ekonomi, kondisi sosial, dan pandangan kultural suatu masyarakat. Garis kemiskinan di Indonesia berbeda bila dibandingkan dengan Malaysia, atau USA. Demikian pula apabila kondisi ekonomi masyarakat Indonesia makin maju, maka batas garis kemiskinan dapat dinaikkan.

(4)

1976 menjadi $ 600 per tahun dalam tahun 1990.Angka ini terus naik seiring waktu dan kesejahteraan warganya.

Susilo Bambang Yudhoyono (2004:26) dalam disertasinya, menyebutkan bahwa jumlah pengangguran semakin meningkat dari tahun 1998 sampai 2003, jumlahnya diperkirakan 10,1 juta jiwa juga semakin menambah kompleknya per-masalahan bangsa. Angka kemiskinan pada tahun 1998 semakin membengkak menjadi 49,5 juta jiwa atau 24,20% dari total penduduk Indonesia, walaupun selanjutnya menunjukkan penurunan sampai pada tahun 2003.

Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sepuluh tahun pemerintahannya (2004 – 2014), telah mencanangkan program pembangunan yang dikenal dengan triple pack, yang terdiri dari : pro poor, pro growth dan pro employment. Yaitu suatu program pembangunan yang mengarah pada pengemtasan kemiskinan, peningkatan pertumbuhan di bidang ekonomi serta perluasan lapangan kerja.

II. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa substansi kemiskinan..?

2. Bagaimana peran globalisasi membentuk kemiskinan dan ketimpangan..?

3. Apa saja pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep penenggulangan kemiskinan di Indonesia..?

(5)

BAB II

FILSAFAT KEBUDAYAAN, BUDAYA KEMISKINAN DAN KONSEP KEMISKINAN

I. Filsafat Kebudayaan

Filsafat muncul dalam sejarah, mula mula sebagai sanggahan terhadap ajaran tentang ketentuan hidup yang dianut sebagai mitologi. Hal itu menunjukan bahwa kegiatan filsafat selalu mempersoalkan dan menguji kembali keadaan-keadaan yang sudah diyakini benar adanya. Istilah “filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (arab), philosophy (Inggris), philosophia (Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia. Istilah Yunaniphilein berarti “mencintai” sedangkan philos berarti “teman”. Selanjutnya istilah sophos berarti “bijaksana” sedangkan sophia berarti “kebijaksanaan”.

Pada dasarnya filsafat mempelajari arti-arti dan menentukan hubungan-hubungan diantara konsep-konsep dasar yang dipakai setiap ilmu, berbeda sudut pandangan yang khusus sebagaimana dilakukan oleh seorang ilmuwan. Para filsuf memakai pandangan yang menyeluruh terhadap kehidupan sebagai suatu totalitas (Tim Dosen Filsafat ilmu UGM, 2001:20-21). Kaitannya dengan kebudayaan, menurut Abdullah (2006: 9), harus dimulai dengan mendefinisikan ulang kebudayaan itu sendiri, bukan sebagai kebudayaan generik yang merupakan pedoman yang diturun-kan, tetapi sebagai kebudayaan diferensial yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial.

(6)

Perubahan dalam kebudayaan diartikan sebagai perkembangan dalam runtut-an waktu druntut-an ruruntut-ang, kebudayaruntut-an berproses yruntut-ang disesuaikruntut-an dengruntut-an perkembruntut-angruntut-an dari masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri. Kata budaya yang kemudian diberi awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi kebudayaan, memberikan konsep “budaya” sebagai sebuah hasil. “Kebudayaan” sekarang mungkin memang sudah semakin umum dipakai oleh cukup banyak orang.

Kebudayaan adalah perwujudan proses pertumbuhan dan perkembangan manusia dalam suatu masyarakat,sehingga kebudayaan bukan kata benda melainkan sebagai kata kerja (Sutrisno, 1983:25). Kebudayaan sebagai kata benda merujuk bahwa kebudayaan adalah sebuah hasil produk yang telah ditinggalkan. Kebudayaan sebagai kata kerja merujuk bahwa kebudayaan adalah sebuah identitas, dan identitas itu sedang berproses mencari jati diri.Manusia menggeser teori ke praktik kebudayaan, tidak hanya sekedar memberi konsep, namun lebih dari pada itu, manusia mempraktek-kan teori ke dalam situasi konkret.

Akhirnya kebudayaan merujuk pada: Pertama, kebudayaan merupakan cara seorang manusia mengekspresikan diri serta cara manusia mencari relasi-relasi yang tepat untuk menghadapi dunia sekitarnya. Kedua, kebudayaan pada khususnya merupa-kan strategi untuk menyalurmerupa-kan relasirelasi itu secara optimal. Ketiga, kebudayaan nampak sebagai suatu proses belajar raksasa yang sedang dijalankan oleh umat manusia (Prasetyo, 2009:44-50). Keempat, kebudayaan dimaknai sebagai tatanan ide atau gagasan yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk perilaku/tindakan; Kelima, kebudayaan suatu masyarakat dalam bentuk benda hasil budaya yang bisa dilihat/dirasa disebut sebagai artefak (Kusumohamidjojo, 2009 : 185).

(7)

Menurut Bakker, sebagaimana dikutip Kusumohamidjojo (2000:66) faktor yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan kebudayaan yakni; 1) Kondisi alam, yang meliputi habitat (alam fisik) dan biome (alam lingkungan organis manusia), 2) Evolusi dan degenerasi, 3) Lingkungan social, 4) Dialektik perubahan. Harsojo dalam Kusumohamidjojo (2000:67) mengemukakan factor perubahan sebagai: 1) Kemampuan manusia untuk merespons terhadapalam,2)Kemampuan manusia untuk mengembang-kan intelegensinya yang kompleks, antara lain dengan berpikir simbolis, berbahasa dan berbicara, 3)Kemampuan manusia melakukan inovasi, menerapkannya dan menyebar-kannya ke lingkungan masyarakat lain. Kebudayaan sebagai ketegangan antara imanensi dan transendensi dapat dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan manusia seluruhnya. Manusia menilai dan mengevaluasi alam sekitarnya tetapi juga mengevaluasi alamnya sendiri.

Kebudayaan menunjukan suatu pengertian yang luas dan kompleks. Di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terjadi dalam dan dialami oleh manusia secara personal dan secara kolektif, maupun bentuk bentuk yang dimanifestasikan sebagai ungkapan pribadi seperti yang dapat disaksikan di dalam sejarah kehidupannya. Baik hasil hasil pencapaian yang ditemukan oleh umat manusia dandiwariskan secara turun temurun, maupun proses perubahan serta perkembangan yang sedang dilalui dari masa ke masa (Poespowardojo dalam Sutrisno,1986:28).

Terpesona akan positivisme, Koentjaraningrat (2000:203) membagi kebudayaan kedalam tujuh unsur, yang kemudian ditambahkan menjadi sembilan oleh Ahimsa-Putra (2009: 2) yakni : 1) Sistem religi dan upacara keagamaan, 2) Sistem dan organisasi keagamaan, 3) Sistem pengetahuan, 4) Bahasa, 5) Kesenian, 6) Sistem mata pencaharian hidup, 7) Sistem teknologi dan peralatan,8) Sistem transportasi, dan 9) Sistem pelestarian.

(8)

golongan-dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya sebagai manusia (Suparlan,2004:5). Singkatnya kebudayaan berperspektif filsafat adalah rangkaian proses hidup yang terus-menerus bersesuaian dengan kegiatan jiwa dan sekaligus terlihat pula sebagai kehidupan.

II. Budaya Kemiskinan

Dalam perspektif kebudayaan, masalah kemiskinan bukan sekadar menyangkut kelangkaan sumber daya ekonomi, ketidakadilan distribusi aset produktif, atau dominasi sumber-sumber finansial oleh golongan tertentu. Dalam kajian antropologi pembangun-an, ada sebuah ungkapan terkenal: "poverty is a state of willingness rather than scarcity." Di luar kendala struktural, masalah kemiskinan menyangkut sikap mental, pola perilaku, dan predisposisi yang berpangkal pada state of mind yang tak bersenyawa dengan spirit perubahan, kemajuan, dan peningkatan status serta kualitas kehidupan.

Sedangkan definisi budaya kemiskinan adalah suatu adaptasi atau penyesuaian diri dan sekaligus merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam masyarakat yang berstrata kelas, individualis dan berciri kapitalis. Kebudayaan tersebut mencerminkan satu upaya mengatasi putus asa dan tanpa harapan yang merupakan perwujudan dari kesadaran bahwa mereka merasa mustahil dapat meraih sukses dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat luas.

Menurut Oscar Lewis (1959) pemahaman tentang profil kemiskinan (poverty profile) merupakan prasyarat bagi ketepatan strategi pengentasan kemiskinan. Kemiskinan bukanlah merupakan sesuatau yang tidak berbentuk (amorphous), tetapi merupakan fenomena yang bersifat kompleks dan multidimensional. Culture of poverty adalah adaptasi dan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dimana kebudayaan tersebut cenderung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi. Kebudayaan tersebut mencerminkan upaya mengatasi keputusasaan dari angan sukses di dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas. Kebudayaan ini terdapat padaMereka yang berasal dari strata sosial paling rendah, sedang mengalami perubahan pesat dan yang telah terasing dari masyarakat tersebut. Adapun ciri-ciri kebudayaan ini adalah:

(9)

nilai-nilai yang ada pada kelas menengah ada pada diri mereka. Mereka sangat sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status namun tidak memiliki kesadaran kelas.

2. Di tingkat komunitas, dapat ditemui rumah-rumah bobrok, penuh sesak, bergerombol dan rendahnya tingkat organisasi di luar keluarga inti.

3. Di tingkat keluarga, ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, hidup bersama/kawin bersyarat, tingginya jumlah perpisahan antara ibu dan anaknya, cenderung matrilineal dan otoritarianisme, kurangnya hak-hak pribadi, solidaritas semu.

4. Di tingkat individu, ditandai dengan kuatnya perasaan tak berharga, tak berdaya, ketergantungan dan rendah diri (fatalisme).

Berkaitan dengan kemiskinan, kebudayaan merupakan adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka didalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistik, dan berciri kapitalis. Teori kemiskinan kebudayaan merupakan :

1. Penolakan terhadap kapitalisme; Budaya kemiskinan sebagai bentuk ketidak-berdayaan menghadapi kekuatan ekonomi kapitalisme yang telah mengeksploitasi kehidupan sekelompok orang.

2. Sebagai proses adaptasi; Kemiskinan sebagai proses adaptasi keluarga miskin karena perubahan sistem ekonomi dari tradisional kepada kapitalisme dalam memenuhi kebutuhannya.

3. Sebagai sub budaya sendiri; Kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor dari dalam diri individu sendiri dan kelompok miskin, misalnya ; malas, fatalisme, rendah diri, ketergantungan dan lainnya.

(10)

melahirkan ketimpangan ekonomi atau regulasi pemerintah yang tak adil, sehingga membuahkan marginalisasi sosial.

Menurut Lewis (1959) karakteristik kebudayaan kemiskinan antara lain : 1) Rendahnya semangat dan dorongan untuk meraih kemajuan, 2) Lemahnya daya juang (fighting spirit) untuk mengubah kehidupan, 3) Rendahnya motivasi bekerja keras, 4) Tingginya tingkat kepasrahan pada nasib-nrimo ing pandum, 5) Respons yang pasif dalam menghadapi kesulitan ekonomi, 6) Lemahnya aspirasi untuk membangun kehidupan yang lebih baik, 7) Cenderung mencari kepuasan sesaat (immediate gratification) dan berorientasi masa sekarang (present-time orientation), 8) Tidak berminat pada pendidikan formal yang berdimensi masa depan.

Lebih lanjut, Oscar Lewis (1959) memaknai kemiskinan sebagai ketidak sanggupan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat memenuhi dan memuaskan keperluan-keperluan dasar materialnya. Dalam konteks pengertian Lewis, kemiskinan adalah ketidak cukupan seseorang untuk bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang, dan papan untuk kelangsungan hidup dan meningkatkan posisi sosial-ekonominya.Sumber-sumber daya material yang dimiliki atau dikuasainya betul-betul sangat terbatas, sekadar mampu digunakan untuk mempertahankan kehidupan fisiknya, tidak memungkinkan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kemiskinan ini selalu merupakan lingkaran setan, umpamanya karena pendapatan kecil, maka akan mengalami kekurangan pangan, tidak dapat berpakaian yang layak, dan kondisi papannya pun jauh dari memenuhi syarat sebagai tempat "berteduh". Keadaan itu mengakibatkan tingginya kepekaan atau beresiko besar untuk terserang penyakit, tingkat produktivitas kerja yang rendah, tingkat pendidikan yang juga rendah, dan akibat lanjutannya adalah dengan sendirinya pendapatan yang diterimanya pun akan sangat rendah pula. Berarti di sini kemiskinan merupakan penyebab dan sekaligus dampak.

(11)

menjerat mereka untuk tetap berada dalam lingkaran kemiskinan. Dengan kata lain, budaya kemiskinan dan institusi sosial yang muncul dari kemiskinan cenderung akan memperkuat dan memapankan kemiskinan itu sendiri, bukannya menemukan jalan dan atau ruang bagi para pendukungnya untuk bisa naik status sosial-ekonominya.

Lewis (1959) menjelaskan bahwa kemiskinan adalah suatu sub-kebudayaan yang diwarisi dari generasi ke generasi.Ia membawakan pandangan lain bahwa kemiskinan bukan hanya masalah kelumpuhan ekonomi, disorganisasi atau kelangkaan sumber daya. Kemiskinan dalam beberapa hal bersifat positif karena memberikan jalan keluar bagi kaum miskin untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. Culture of poverty, lanjutnya, mewujud dalam masyarakat yang memiliki kondisi seperti:

 Sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan.  Tingkat pengangguran dan setengah pengangguran tinggi.

 Upah buruh rendah.

 Tak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah.

 Sistem keluarga bilateral lebih menonjol.

 Kuatnya seperangkat nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal dan sikap hemat, serta ada anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi/memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.

Karakteristik kebudayaan kemiskinan ini bertolak belakang dengan ciri-ciri manusia modern sebagaimana gambaran Alex Inkeles dan David Smith dalam Becoming Modern (1974), yang mengutamakan kerja keras, dorongan untuk maju, pencapaian prestasi, dan berorientasi masa depan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor internal yakni mentalitas orang miskin turut memberi sumbangan pada problem kemiskinan, dan bukan semata faktor eksternal atau masalah struktural.

III. Konsep Kemiskinan

(12)

A. Kemiskinan Subsistence

Berkenaan dengan kecukupan akan kebutuhan makanan minimum yang diperlu-kan seseorang untuk menjaga agar dia tetap dapat hidup sehat dan bekerja. Pada masa kini, konsep ini disebut dengan istilah “kemiskinan absolut,” dan digunakan secara luas oleh banyak negara di dunia. Pendekatan yang paling umum dalam mengukurnya adalah dengan cara menetapkan “garis kemiskinan”. Setelah garis itu ditetapkan maka dapatlah ditentukan siapa yang penghasilan berada di bawah garis kemiskinan dan siapa yang di atas garis kemiskinan. Untuk membuat garis kemiskinan, sebuah negara memerlukan indikator. Indikator ini dapat bersifat tunggal seperti nilai gizi (kalori) dari bahan makanan pokok, tapi juga dapat bersifat ganda dengan cara menambahkan indikator bahan makanan dengan indikator non-makanan.

B. Kemiskinan Inequality

Konsep kemiskinan dari sudut-pandang “inequality,” atau “kesenjangan”, adalah berkenan dengan posisi kemakmuran seseorang individu (atau suatu kelompok) bila dibandingkan dengan individu (kelompok) lain dalam masyarakat yang sama. Pada masa kini konsep ini lebih dikenal dengan istilah “kemiskinan relatif,” atau “pemerataan pendapatan”.

Situasi kesenjangan dalam distribusi pendapatan biasanya diukur dengan metode “kurva Lorenz” yang menghasilkan angka “Koefisien Gini”. Dalam metode ini, seluruh penduduk sebuah negara (daerah) dibagi kedalam 3 kelompok, yang masing-masing terdiri atas 20% penduduk berpenghasilan tinggi, 40% berpenghasilan menengah, dan 40% berpenghasilan rendah. Menurut Prof. Emil Salim, dalam pidato pengukuhan beliau tahun 1976 mengatakan bahwa apabila 40% kelompok berpenghasilan rendah memperoleh 17% atau lebih dari total pendapatan nasional, maka tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dalam negeri itu adalah rendah (baik). Tapi apabila yang diterima oleh kelompok 40% berpenghasilan rendah itu adalah dibawah 12%, maka tingkat ketimpangan ekonominya adalah tinggi (buruk).

(13)

perbandingan distribusi itu dibuat antar propinsi, dan antara desa dan kota, maka hasilnya lebih buruk (lebih senjang).

C. Kemiskinan Externality

Konsep ini lebih menyangkut soal-soal “konsekwensi sosial dari kemiskinan terhadap kelompok yang tidak miskin”. Bagaimanapun konsep “externality” ini perlu dipertimbangkan dalam penelitian dan dalam upaya pengentasan kemiskinan, khususnya dalam menjaga dampak dari kecemburuan sosial orang miskin terhadap orang kaya. Menurut Martin Rein, “Orang jangan dibiarkan menjadi begitu miskin, sedemikian rupa, sehingga mereka membuat gangguan terhadap masyarakat umum”. Bukanlah kesengsaraan dan kemelaratan orang miskin, tapi keonaran dan biaya yang ditimbulkan oleh perilaku mereka terhadap masyarakatlah yang menjadi titik penting dalam konsep kemiskinan ini”.

(14)

BAB III

KEMISKINAN GLOBAL

I. Fakta Keterkaitan Globalisasi Ekonomi dan Kemiskinan

Para pemimpin-pemimpin lembaga-lembaga Bretton Woods (seperti Bank Dunia, IMF, WTO dan lain lain), menyatakan bahwa tujuan utama mereka mendesakkan globalisasi ekonomi adalah untuk membantu kaum miskin di dunia. Mereka berpendirian bahwa gagasan terbaik menuju pertumbuhan adalah dengan menghilangkan sejumlah hambatan terhadap perdagangan perusahaan besar dan berbagai investasi keuangan.Dengan pertumbuhan ekonomi adalah jalan terbaik untuk keluar dari kemiskinan (Jerri Mander dkk, dalam A. Widyamartaya, 2003:3).

Kebijakan anti kemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting dari lembaga-lembaga tersebut.Tahun 1990, Bank Dunia lewat laporannya World Developent Report on Proverty mendeklarasikan suatu peperangan yang berhasil melawan kemiskinansecara serentak pada tiga front :

1) Pertumbuhan ekonomi yang luas dan padat karya yang menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelompok miskin.

2) Pengembangan SDM (pendidikan, kesehatan, dan gizi), yang memberi mereka kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi.

3) Membuat suatu jaringan pengaman sosial untuk mereka yang diantara penduduk miskin yang sama sekali tidak mampu untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan perkembangan SDM akibat ketidakmampuan fisik dan mental, bencana alam, konflik sosial, dan terisolasi secara fisik.

Namun fakta-fakta dari tahun 1970 hingga 2000 dimana ini adalah masa pengaruh tercepat dari globalisasi ekonomi, justru menunjukkan kondisi sebaliknya. UNDP dalam laporannya tahun 1999, menemukan bukti bahwa ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin di dalam Negara maupun antar Negara dengan sangat cepat justru meluas. Penyebab utamanya, menurut laporan UNDP tersebut adalah system perdagangan dan system keuangan global.

(15)

orang. Mereka ini tidak lagi memiliki akses lagi terhadap pelayanan publik yang paling pokok seperti kesehatan dan perawatan medis, pendidikan, sanitasi, air bersih, angkutan umum, pelatihan kerja dan sebagainya.

IMF dan Bank Dunia sangat gencar berusaha mengubah system secara total dari orientasi local ke dalam system produksi berbasis ekspor, hal ini mengakibatkan negara-negara client-nya seperti Indonesia untuk mengekspor sebagian besar produksi pangan dan Sumber Daya Alam (SDA) mereka keluar negeri. Padahal rakyat dalam negerinya mengalami kelaparan dan membutuhkan SDA. Dibidang pertanian, dampak paling traumatis adalah penciptaan kemiskinan dengan penghancuran lingkungan hidup dalam wujud perekonomian local yang sangat dipaksakan, yaitu perubahan dari model pertanian yang terdiversifikasi dalam skala kecil menuju model ekspor industrial. Perubahan itu digerakkan oleh korporasi-korporasi global.

Sistem-sistem kemandirian lokal merupakan “barang haram” bagi korporasi dan birokrasi yang melayaninya. Dalam system perekonomian global, keuntungan-keuntungan korporasi global sepeti Monsanto, Cargill dan Archer Daniels Midland dan lain-lain berasal dari besarnya peningkatan aktivitas pengolahan dan perdagangan global. Mereka rela mengeluarkan berpuluh-puluh juta dolar untuk public relation dan proganda iklan, untuk mengkampanyekan bahwa “petani-petani kecil tidak cukup produktif untuk memberi makan pada dunia yang dirundung kelaparan”. Sehingga korporasi-korporai global tersebut masuk dengan system pertanian monokultur untuk menggantikan system pertanian local yang memiliki diversifikasi tanaman yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Model agrobisnis seperti ini tentu saja tidak menekankan pengembangan tanaman pangan bagi konsumsi penduduk local, tetapi lebih pada komoditas internasional dengan tingkat harga dan keuntungan yang sangat tinggi, seperti kopi, teh, kelapa sawit, kapas, udang, sapi dan berbagai sayuran eksotik yang dikirim ke negara-negara yang sudah memiliki kelimpahan persediaan bahan pangan.

(16)

berkompetisi mati-matian berebut peluang kerja yang sangat terbatas di pabrik-pabrik yang juga dijalankan oleh korporasi-korporasi gobal juga.

II. Structural Adjusment Program

Perdagangan bebas mensyaratkan semua negara menggunakan model perekonomian yang sama. Sehingga hilanglah segala variasi yang memperlambat laju gerak operasi global dari perusahaan-perusahaan besar dalam mencari sumber-sumber daya baru, pasar dan tenaga kerja yang murah. Bagi perusahaan global tidaklah efisien apabila setiap bangsa di dunia dibiarkan mengungkapkan sendiri-sendiri apa yang paling baik bagi rakyatnya melalui undang-undangnya sendiri yang demokratis. Undang-undang yang disusun untuk melindungi sumber-sumber daya dan lingkungan hidup, atau pelayanan-pelayanan social bagi kaum miskin, hak-hak para pekerja setempat, membantu bisnis-bisnis kecil untuk terus hidup, mensyaratkan para investor asing untuk menyertakan rekan-rekan dalam negeri.Undang-undang semacam ini diangap sebagai rintangan yang sangat mengganggu kebebasan perusahaan besar, sehingga harus diubah dan bila perlu dilenyapkan.

Structural Adjusment Programs (SAP) adalah instrument dari IMF yang sangat kuasa dan berbahaya. Berbagai kebijakan dirancang untuk membentuk kembali secara langsung seluruh perekonomian nasional sehingga tepat, sesuai dengan semua negara lainnya dan ideology pasar bebas. Penyesuaian-penyesuaian ini ditentukan secara rutin, sebelum Bank Dunia dan IMF menyetujui pinjaman bahkan kepada Negara-negara teramat miskin sekalipun (Jerri Mander dkk, dalam A. Widyamartaya, 2003:9-12). Contoh beberapa persyaratan SAP adalah sebagai berikut :

1) Penghapusan tarif-tarif yang membantu industry-industri kecil local agar tetap mampu bertahan hidup berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar global. 2) Penghapusan berbagai peraturan dalam negeri yang mungkin dapat menghambat

atau terlalu banyak mengatur masuknya investasi luar negeri. Sehingga mempermudah para modal dan korporasi global untuk bebas masuk dan menguasai bisnis-bisnis di tingkat local.

(17)

4) Pengurangan secara drastis berbagai pelayanan social dan badan-badan yang menjalankannya. Berbagai layanan tersebut diprivatisasi sehingga bantuan yang sebelumnya gratis bagi rakyat, kini menjadi berbiaya yang ujung-ujungnya harus dibayarkan kepada korporasi-korporasi global.

5) Pengahancuran secara agresif atas program-program rakyat untuk mencapai kemandirian dalam hal kebutuhan pokok seperti pangan, angkutan, industry dasar dan sumber-sumber daya dasar.

6) Perubahan yang dipaksakan secara cepat atas perekonomian dalam negeri untuk menekankan produksi berorientasi ekspor.

Dibawah program penyesuaian structural (SAP) ini, banyak negara berkembang mengekspor berbagai produk pertanian dan tambang yang serupa, bahkan kerapkali sama kenegara-negara industri. Kebijakan devaluasi mata uang nasional, maka impor-impor (biasanya mesin dan suku cadang) menjadi lebih mahal. Begitu pula dengan industri-industri domestic yang tergantung pada bahan impor kian terhimpit, efeknya banyak pekerja di PHK. Kebijakan menaikkan suku bunga oleh IMF telah menghalangi usaha kecil dalam mendapatkan modal, baik untuk mempertahankan maupun mengembangkan usahanya. Dampak buruk kebijakan SAP ini juga berdampak pada bidang kesehatan, pendidikan dan ketahanan pangan karena resep IMF adalah sama, yaitu privatisasi.

Dibidang pangan, upaya pemberantasan kelaparan dan mengangkat kedaulatan ekonomi para petani kecil melalui liberalisasi pertanian justu menciptakan suatu sistem pangan global yang terstruktur. Sistem ini melayani berbagai kepentingan negara-negara kaya semata, namun menindas petani-petani miskin di seluruh dunia.

III. Ketidaksambungan Program Bank Dunia dan Budaya Korupsi

Dalam buku Mortaging the Earth, Bruce rich (1994) menyebutkan bahwa dalam semangatnya, Bank Dunia berusaha mengurangi kemiskinan dalam satu paket dengan pelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Namun ketika memasuki usia dasawarsa keenam, dalam usahanya memajukan pembangunan ternyata kaum miskin di sebagian besar negara peminjam justru lebih buruk. Pendapatan 70 dari 100 negara rata-rata merosot, terutama di negara-negara bekas Uni Sovyet.

(18)

proyek-proyek yang berlanjut hanya sekitar 30% tiap tahunnya. Demikian juga untuk pinjaman hutang bagi bidang kependudukan, kesehatan dan gizi peluang untuk proses berkelanjutannya terus merosot.

Dibawah kepemimpinan Presiden James D. Wolfensohn, prestasi Bank Dunia terus memburuk.Terutama di sektor-sektor sosial dan lingkungan hidup.Secara khusus ini berarti jika suatu proyek tidak menghasilkan sejumlah manfaat lebih atau berkesinambungan.Maka peningkatan beban hutang hasil pinjaman dari Bank Dunia itu tidak lebih dari sekedar sebuah upaya penghisapan perekonomian terhadap negara-negara miskin semata.Sehingga banyak ketidaksambungan antara tujuan-tujuan yang dinyatakan dengan catatan-catatan prestasinya.

Persoalan besar lain di Bank Dunia adalah menyangkut mekanisme kerja, yang mendorong terjadinya penyelewengan dana dan korupsi secara sistematis di sejumlah Negara peminjam utama Bank Dunia. Di bawah kepemimpinan Wolfensohn tidak berdaya memerangi dan mencari akar persoalan korupsi. Padahal akar persoalannya adalah tekanan internal Bank Dunia sendiri ntuk terus meminjamkan uang, kendati teramat kecil kesesuaian dengan pemenuhannya.,

Contoh kasus di Indonesia, dalam konferensi pers di Jakarta Juli 1997 Prof. Jefrey Winter mengatakan bahwa bobroknya pengelolaan yang dilakukan Bank Dunia telah memungkinkan para pejabat Indonesia yang korup melakukan pencurian sebanyak 30% dari dana-dana pinjaman Bank Dunia selama lebih dari 30 tahun. Namun anehnya Bank Dunia di tahun fiscal 1998, tetap mengeluarkan lebih dari 1,3 milyar dollar kepada Indonesia tanpa disertai langkah-langkah yang efektif untuk mencegah terjadinya kebocoran lebih lanjut.

IV.Konsep Negera Berkesejahteraan (Welfare State)

(19)

merupakan objek daripada ilmu kesejahteraan sosial tersebut, atau berdasarkan studi tersebut mereka yang mengalami disfungsi sosial disebut dengan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Mereka yang termasuk dalam penyandang masalah kesejahteraan sosial ini dikatakan tidak mampu dalam memenuhi beberapa kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari:

1. Kebutuhan biologis dan fisiologis (Sandang, Pangan, Papan) 2. Kebutuhan akan rasa aman.

3. Kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. 4. Kebutuhan akan harga diri dan aktualisasi diri.

Konsep welfare state sendiri merupakan suatu bentuk formulasi pembangunan yang lahir melalui ideologi marxis, sosialis, dan sosialis demokratik (Spicker, 1995), namun dalam perkembangannya, konsep ini justru banyak diterapkan di negara-negara yang berideologi liberalis dan kapitalis.Disisi lain, Konsepsi Welfare State ini malahan dianggap sebagai “penawar dosa” yang dihasilkan dari sistem kapitalis, dengan kata lain, konsepsi welfare state ini sering disebut sebagai wujud dari “Kapitalis Baik Hati”. Di Eropa, Berkembangnya Welfare state ini berawal dari suatu sistem yang berawal di Inggris sebagai bentuk alternatif perbaikan kondisi sosial masyarakat yang selama ini berbentuk the poor law yang dianggap kurang efektif dalam menyelesaikan permasalahan sosial, dimana the poor law ini secara praksis menyediakan 3 aturan pokok yang harus dilakukan negara terhadap rakyatnya, yaitu:

1. Bagi orang tua (Lansia) harus dirawat di panti dan seluruh pelayanannya ditanggung oleh negara.

2. Bagi anak-anak harus dititipkan di panti anak atau dijadikan anak asuh oleh keluarga tertentu untuk diberikan pendidikan yang layak.

3. Bagi orang dewasa yang secara fisik masih sehat, diwajibkan untuk bekerja (apapun itu) dan lapangan pekerjaannya akan disediakan oleh negara, apabila menolak maka warga tersebut akan di bina di lembaga permasyarakatan.

(20)

(1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens.

(21)

BAB IV

ANALISA KEMISKINAN DI INDONESIA

I. Kemiskinan Konteks Indonesia

DeTik edisi 12-18 Mei 1993, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kemiskinan di Indonesia adalah 4 macam kondisi kehidupan. Pertama adalah kondisi kehidupan seperti yang dialami “masyarakat pemburu-peramu-nomaden” (foraging group), kedua adalah kondisi kehidupan seperti yang dialami “masyarakat berpenghasilan rendah sekali,” ketiga adalah kondisi “kesenjangan”, dan keempat adalah “kemiskinan di tengah kemakmuran”.

Bagi Amri Marzali (1993) cara pendefinisikan dan pengklasifikasian kemiskinan seperti di atas terasa agak janggal menurut pendapat umum. Pertama, dalam contoh “masyarakat pemburu-peramu-nomaden”, yang di Indonesia digolongkan orang sebagai “suku terasing”, misalnya Orang Kubu di Jambi dan Orang Tugutil di Maluku. Apakah kondisi kehidupan mereka dapat disebut miskin? Orang-orang antropologi malah mengira bahwa justru merekalah yang sebenarnya “the most affluent society”, karena mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan cara yang paling mudah, yaitu sekedar memungut apa yang disediakan alam. Tambahan lagi, mereka mempunyai waktu lowong (leisure time) yang begitu banyak.

Kejanggalan kedua bagi Amri Marzali, bahwa apa yang dimaksud dengan “kondisi kesenjangan” sebenarnya adalah setali tiga uang dengan “kemiskinan di tengah kemakmuran”, yang oleh para peneliti kemiskinan disebut dengan istilah “kemiskinan relatif”, atau kesenjangan dalam distribusi pendapatan.

(22)

Kemiskinan sebagai akibat negatif investasi yang tidak dikelola dengan baik dan benar dapat saja muncul sebagai dampak negatif globalisasi perdagangan dunia harus diantisipasi dan dicari alternatif penyelesainnya. Mantan Sekretaris Jendral PBB, Koffi Anand, menyatakan bahwa 10 (Sepuluh) tahun mendatang dunia akan mengalami bahaya bersama berupa “Bahaya Kemiskinan” sebagai bagian dari “Bahaya Peradaban”,berupa: 1)Kemiskinan (Freedom from Prosperity); 2) Ketakutan (Freedom from Fear); 3) Kejahatan Transnasional, Terrorisme, Bahaya Nuklir dan Kimia (Mass Weapon Destructions) dan; 4) Tantangan untuk menciptakan To Live in Dignity, dengan mengembangkan 3 (tiga) pilar utama, yaitu pembangunan, keamanan dan penegakan HAM.

Bahaya peradaban berbeda dengan bahaya pada umumnya, karena memiliki karakteristik: 1) Dihadapi semua bangsa; 2) Akan dihadapi pada masa 10 (sepuluh) tahun yang akan datang dan; 3) Tidak akan dapat dipecahkan oleh negara secara perseorangan, karena terdapat faktor-faktor yang bersifat interdependent dan linkage, oleh karena itu bahaya kemiskinan hanya dapat ditanggulangi atas dasar prinsip tanggung jawab bersama (Shared Responsibility).

Keharusan adanya tanggung jawab bersama untuk memerangi bahaya kemiskinan timbul karenabahaya yang akan dihadapi masing-masing negara berbeda dan kemampuan negara-negara untuk beradaptasi menghadapi bahaya peradaban yang menuntut adanya keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif masing-masing negara juga tidak sama. Pada situasi dan kondisi demikian, investasi yang dikelola dengan baik dan benar oleh negara/pemerintah, termasuk investasi bidang perkebunan berpengaruh signifikan dalam pemberantasan kemiskinan.

Bagi negara miskin dan berkembang, pemberantasan kemiskinan merupakan kewajiban utama negara/pemerintah dalam penegakan Hak Asasi Manusia di bidang ekonomi, sosial dan kultural serta koreksi politik terhadap negara maju yang menerapkan : 1) Ketidakadilan, 2) Standart Ganda, 3) Kebijaksanaan yang tidak adil terhadap negara miskin dan berkembang.

(23)

aktif untuk merealisasikannya (Positive Rights).HAM ini banyak diperjuangkan oleh negara-negara sedang berkembang (Developing Countries) dan sering dinamakan “Utopian Aspiration, Non-Legal And Non-Justiciable”. Kategori HAM Generasi III diberikan kepada hak-hak kolektif atas dasar solidaritas antar umat manusia berdasarkan rasa persaudaraan dan solidaritas yang sangat dibutuhkan. HAM ini meliputi antara lain: “The right to development; right to peace and right to healthy and balanced environment(Muladi, 2004:9-10).

Berdasarkan pendapat Muladi, penegakan hak-hak rakyat untuk membangun kesejahteraan hidupnya melalui penegakan Hak Asasi Manusia di bidang ekonomi merupakan bagian tak dapat terpisahkan dari Hak Asasi Manusia secara keseluruhan yang dijamin Hukum Internasional. Khusus untuk penegakan HAM Generasi II yang meliputi HAM Ekonomi, Sosial dan Kultural negara/pemerintah wajib untuk mengambil langkah aktif merealisasikannya, karena HAM Ekonomi, Sosial dan Kultural berkedudukan sebagai positive rights.

Bagi Indonesia, sebagai negara berkembang dengan kondisi masyarakatnya yang umumnya lemah secara ekonomi, rendah pendidikan, dan majemuk (plural), dan sangat membutuhkan investasi untuk menggerakkan pembangunan ekonominya, penegakkan Hak Asasi Manusia di bidang ekonomi, sosial dan kultural berdasarkan asas, norma, prinsip hukum dan standar internasional yang selanjutnya ditranformasikan ke sistem hukum (peraturan) nasional mulai dari “soft law” sampai menjadi “hard law” sering menjadi persoalan dilematis, sensitif dan kompleks.

Kesulitan yang dialami pemerintah Indonesia dalam membentuk peraturan HAM Ekonomi, Sosial dan melaksanakan penegakannya, muncul karena masih adanya perbedaan penafsiran antara rejim hukum internasional dan rejim hukum nasional terhadap substansi dan standar HAM, kemajemukan kultur masyarakat dan hukum di Indonesia yang menjadi sumber nilai dan asas pembentukan peraturan di Indonesia.

(24)

Apabila mengkaji profil dari masyarakat, maka kemiskinan sebenarnya bukan masalah kesejahteraan, melainkan mengandung berbagai isian. Pertama, masalah kemiskinan adalah masalah kerentanan. Kedua, masalah tertutupnya akses ke berbagai peluang sumber daya produktif, termasuk modal, sumberdaya alam, bahkan kesempatan kerja. Ketiga, kemiskinan adalah maslah ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial dalam mengahadapi kekuasaan dalam hal-hal yang menyangkut pembuatan keputusan yang berhubungan dengan dirinya. Keempat, kemiskinan juga berarti rendahnya ketahanan fisik dan intelektual karena keterbatasan kandungan konsumsi fisik dan non-fisik.Kelima, kemiskinan berbentuk ketergantungan, baik secara fisik, sosial, maupun ekonomi pada pihak lain. Keenam, kemiskinan berarti adanya sebuah sistem nilai “kemiskinan” yang diwariskan dari suatu generasi- kemudian disebut kemiskinan cultural (Gunawan Sumodiningrat, 2005 : 78).

Masalah-Masalah Kemiskinan, secara tidak langsung menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural dengan kemiskinan kultural, terlebih jika dikaitkan dengan kemiskinan yang terjadi di Indonesia, selain sebagai negara sedang berkembang, Indonesia mengalami proses sejarah penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun, dalam tahap itu pemerintah kolonial belanda menanamkan komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan lahan baru dan membuka jalan raya, yang justru dampaknya adalah merosotnya kesejahteraan petani, memperkaya mereka yang memiliki modal besar yaitu elit-elit ekonomi desa.

Pasca kolonialisme pemerintah orde lama, lebih fokus pada pembangunan aspek politik, yakni proses pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada fase ini kondisi perekonomian negara jauh dari stabil dan, penanganan masalah kemiskinan belum menjadi prioritas.Dalam kondisi ini masyarakat Indonesia tidak beranjak dari situasi miskin karena secara struktural tidak terprioritaskan. Kondisi ini secara alami memperburuk sikap mental kemiskinan kultural sebagaimana faham jabariyah, yaitu munculnya justifikasi jika miskin adalah takdir, orang miskin masuk surga dan tumbuhnya fatalisme kronis dalam masyarakat.

(25)

eksploitasi pertambangan, penebangan hutan, pembangunan pertanian tanaman industri dan sebagainya, yang pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin akut.

Oleh karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan diatas, dalam konteks keindonesiaan, Kemiskinan kultural merupakan buah dari kemiskinan struktural, masyarakat terbentuk menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap miskin sebagai nasib dan garis hidup, selain juga sering diperkual dalam mimbar-mimbar agama, mengenai pemahaman keliru mengenai nasib untuk selalu bersabar dan bersyukur.

III. UU dan Peraturan dibidang Kesejahteraan Sosial

Adapun Undang-Undang dan peraturan lainnya sebagai payung hukum penanggulangan kemiskinan dan upaya-upaya pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar R.I. tahun 1945 Pasal 27, Pasal 28 dan pasal 34.

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 22 huruf b dan huruf h yang mewajibkan pemerintah daerah menyelenggarakan Jaminan Sosial dalam rangka melaksanakan Otonomi Daerah. 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Tahun 1974 nomor 53; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039) khususnya Pasal 1, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), Pasal 52 Bab Ketentuan Peralihan.

6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun1997 tentang Penyandang CACAT. 7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Lanjut Usia.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Kabupaten sebagai Daerah Otonomi.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1981 tentang Pelayanan Sosial bagi Fakir Miskin.

(26)

11. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia.

12. Keputusan Menteri Sosial R.I. Nomor 49/HUK/2001 tentang Program Jaminan Sosial bagi Masyarakat Rentan dan Tidak Mampu Melalui Asuransi Kesejahteraan Sosial dan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen.

13. Keputusan Menteri sosial R.I. Nomor 44/HUK/2004 tentang Pelaksanaan Jaminan Sosial bagi Masyarakat Tidak Mampu melalui Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen.

14. Keputusan Direktur Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial, Departemen Sosial R.I. Nomor 09B/BIS/2002 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Program Bantuan dan Jaminan Sosial.

15. Keputusan Direktur Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial Nomor 26/B/BJS/V/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jaminan Kesejahteraan Sosial bagi Masyarakat Tidak Mampu melalui Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen

16. Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

17. Undang Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

18. Undang Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. 19. Undang Undang Nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.

Menurut Gunawan Sumodiningrat(1999) bahwa secara menyeluruh dan bertahap pemerintah berupaya untuk meningkatkan kemajuan, kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan sosial melalui pembangunan bidang kesejahteraan sosial yang bertujuan untuk : 1). Menikmati Pelayanan Pembangunan; 2). Mendayagunakan kesempatan hasil pembangunan bagi peningkatan kualitas hidup dan taraf kesejahteraan sosialnya; dan 3). Meningkatkan peran sertanya dalam proses pelaksanaan pembangunan. Gambaran di atas mengandung makna bahwa, pembangunan bidang kesejahteraan sosial dalam konteks pelaksanaan pembangunan nasional yang berfungsi sebagai salah satu gerak dasar pembangunan nasional, karena peranannya sebagai salah satu upaya Bangsa dalam mempersiapkan manusia pembangunan.

III. Kesejahteraan Masyarakat

(27)

kebebasan (freedom). Ketiga hal inilah yang merupakan tujuan pokok yang harus dicapai oleh setiap orang dan masyarakat dalam proses pembangunan. Ketiganya berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang mendasar, yang terwujud dalam berbagai macam manifestasi (bentuk) di hampir semua masyarakat dan budaya sepanjang zaman Todaro (1998).

Badan Pusat Statistik (2000) menyatakan bahwa komponen kesejahteraan yang dapat dipakai sebagai indikator kesejahteraan masyarakat adalah kependudukan, tingkat kesehatan dan gizi masyarakat, pendapatan masyarakat, tingkat pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi masyarakat, keadaan perumahan dan lingkungan, dan keadaan sosial budaya.

Komponen lain yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat misalnya luas kepemilikan lahan (Djohar, 1999). Hal ini dimungkinkan karena dilihat dari segi ekonomi, lahan/tanah merupakan earning asset yang dapat digunakan untuk menghasilkan pendapatan, sedangkan dilihat dari segi sosial, lahan/tanah dapat menentukan status sosial seseorang terutama di daerah pedesaan. Menyadari bahwa pembangunan selalu membawa dampak, baik positif maupun negatif, maka diperlukan indikator-indikator untuk mengukur kinerja pembangunan. Selama ini tingkat pendapatan perkapita banyak digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan, terutama pembangunan perekonomian suatu negara, namun hal itu tidak cukup memberikan gambaran yang nyata tentang tingkat kesejahteraan masyarakat.

(28)

BAB V

KEMISKINANMASYARAKAT DESA

I. Kemiskinan Masyarakat Desa

Dalam konsepsi Clifford Geertz (1963), khususnya tentang kemiskinan yang menimpa masyarakat Jawa, bahwa "Mereka itu miskin, bukannnya karena malas.Tetapi mereka malas, karena miskin!".Apa pun yang dimiliki dan dikuasai orang-orang miskin, apakah itu harta benda, sumber daya ekonomi, institusi sosial, dan cara-cara hidup tertentu selalu berputar dalam mekanisme yang involutif. Artinya, apa pun yang ada pada masyarakat miskin itu, bahkan bentuk-bentuk pola kerja sama dan solidaritas yang tumbuh di antara mereka, selalu berputar-putar di dalam dan menjebak mereka sendiri untuk tetap hidup dalam batas-batas subsistensi ekonomi, bukan suatu pergerakan yang evolutif, yang berkembang.

Menurut Chambers (dalam Abdul Wahab, 2005:45) bahwa karakter masyarakat miskin dalam hidupnya akan dipicu oleh tuntutan dan desakan untuk dapat bertahan hidup, artinya ada yang untuk dimakan dan tidak jatuh sakit atau tertimpa kekecewaan. Kebanyakan masyarakat di desa, baik pria maupun wanita harus melakukan pekerjaan apa saja untuk dapat mempertahankan hidupnya. Pada dasarnya, kemiskinan selalu dikaitkan dengan ekonomi, akan tetapi kemiskinan menyangkut berbagai aspek, yakni material, sosial, kultural, dan institusional.

(29)

hidup, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan layak untuk anak-anaknya. Kondisi serba kekurangan dari masyarakat miskin tersebut menyebabkan mereka tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya. Selain itu, kultur kemiskinan yang masih kental dalam masyarakat dengan budaya tolong-menolong, pada satu sisi dapat bersifat positif, namun di sisi yang lain juga dapat mengaburkan arti kemiskinan yang sebenarnya. Orang yang sebenarnya sangat miskin, merasa tidak terlalu miskin karena bantuan sosial di sekelilingnya. Kondisi kemiskinan juga menjadi diperparah karena kewajiban sosial yang ditanggung keluarga miskin, seperti kewajiban menyumbang. Situasi yang seperti ini menyebabkan berbagai program penanggulangan kemiskinan dan pembangunan pedesaan menghadapi hambatan dalam pelaksanaannya (Listyaningsih, 2004).

II. Kasus Transmigrasi

Dari tahun 1976 hingga 1986, Bank Dunia telah meminjamkan sedikitnya 630 juta dollar untuk proyek Transmigrasi pada pemerintahan Suharto (Victoria Taupi Corpus, dalam A Widyamartaya, 2003:154). Transmigrasi adalah program pemindahan jutaan penduduk miskin dari Jawa, Bali, Madura dan Lombok ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Pemindahan ini mempunyai 2 (dua) tujuan, yaitu :Pertama, mengurangi tekanan terhadap laju pertambahan penduduk dan pengangguran yang semakin tinggi di pulau-pulau yang padat penduduknya. Kedua, menggunakan tenaga jutaan penduduk tersebut untuk mengembangkan berbagai tanaman komoditas pertanian khususnya kelapa sawit, kopi dan coklat.

Proyek Transmigrasi inilah yang dianggap sebagai akar konflik di berbagai daerah di Indonesia. Sekarang ini, pulau-pulau itu hanya memiliki 10% saja hutan tropis dan itulah yang tersisa didunia. Proyek Transmigrasi pada akhirnya mengakibatkan terjadinya penggundulan hutan secara besar-besaran dan membabi buta, dengan palaku utama para transmigran dan pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Penggundulan hutan ini untuk pembukaan lahan baru bagi tanaman komoditas tinggi. Juga masuknya proyek-proyek pertambangan seperti Freeport McMorran, Caltex, PetroChina dan lain-lain.

(30)

Dunia, ODA (Overseas Development Assistance) dari Jerman, Belanda dan Amerika Serikat. Tidak ketinggalan pula dari ADB (Asian Development Bank), UNDP (United Nation Development Program), dan WFP (Worl Food Program). Pihak-pihak inilah yang semestinya ikut bertanggung jawab.

Dalam tinjauannya sendiri, Bank Dunia pada tahun 1986 memperlihatkan bahwa 50% keluarga-keluarga transmigran hidup di bawah garis kemiskinan, dan 20% lainnya hidup di bawaah tingkat sub-sistem (Bank Dunia, 1986:157). Masalah lainnya adalah konflik social dan kerusakan lingkungan.

III. Tinjauan Kritis Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia

Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama ini menunjukkan keseriusan dalam penanggulangan kemiskinan. Mulai dari program yang ditujukan untuk petani, melalui berbagai skim kredit dan subsidi, sampai pada berbagai program pemberdayaan untuk keluarga miskin, seperti pemberian dana bergulir, program ekonomi produktif, pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Namun berbagai program tersebut belum secara signifikan mampu menurunkan jumlah penduduk miskin, sehingga memunculkan pertanyaan mengapa banyak program penanggulangan kemiskinan tidak efektif atau bagaimana bentuk program penangulangan kemiskinan yang efektif.

Kelemahan berbagai program penanggulangan kemiskinan, adalah sebagai berikut.

a. Program yang dilaksanakan berpedoman pada perguliran dana bantuan. Karena konsepnya adalah bergulir, logikanya yang mampu mengikuti program tersebut adalah mereka yang memiliki usaha produktif, dan kecil kemungkinan masyarakat yang benar-benar miskin dapat mengikuti program dana bergulir.

b. Kecilnya peluang rumah tangga miskin ikut dalam pola pergliran disebabkan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, sehingga sangat beresiko terhadap keberhasilan program.

c. Adanya gejala ketidaktepatan pendataan penduduk miskin, yang terutama dilakukan petugas desa (banjar) yang cenderung pilih kasih, sehingga data penduduk miskin untuk penanggulangan kemiskinan menjadi tidak tepat sasaran. d. Kecenderungan adanya pemilihan daerah sasaran program dengan harapan tingkat

(31)

e. Sikap mental penduduk miskin yang cenderung pasrah, menerima apa adanya, merasa miskin adalah nasib, takdir dan lainnya adalah sikap mental yang menghambat program kemiskinan.

(32)

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada banyak tokoh yang berbicara tentangkemiskinan secara individual atau secara berkelompok. Pembicaraan tentang teori kemiskinan khususnya tentang kebudayaan kemiskinan, Kemiskinan dan kebudayaan kemiskinan terbentuk dari suatu situasi, yang mengelompokkan masyarakat dalam dua kategori, yaitu miskin dan tidak miskin.

Selain itu, kebudayaan kemiskinan membuat sebuah kategorisasi dengan ciri-ciri khusus, dan juga dampak yang ditimbulkannya pada kelompok miskin tersebut. Kebudayaan kemiskinan merupakanadaptasi dan penyesuaian oleh sekelompok orang pada kondisi marginal mereka, tetapi bukan untuk eksistensinya karena sejumlah sifat dan sikap mereka lebih banyak terbatas pada orientasi kekinian dominannya sikap rendah diri, apatis,dan sempitnya pada perancanaan masa depan.

Globalisasi, terutama globalisasi ekonomi sangat berpengaruh pada tingkat kemiskinan di Negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Lembaga-lembaga Bretton Woods (Bank Dunia, IMF, WTO dan lain-lain) menjadi agen Negara-negara maju berkontribusi besar dalam masalah kemiskinan dunia.

Kemiskinan juga menjadi masalah di Indonesia. Sejak era colonial, Orde baru hingga reformasi sudah banyak program penanggulangan kemiskinan.Namun prosentasi dan angka kemiskinan di Indonesia tetap tinggi.Sehingga pentng mendesak untuk mengubah paradigm penanggulangan kemiskinan.

B. Saran.

(33)

Daftar Pustaka

Alfian, Mely G. Tan dan Selo Soemardjan, 1980, Kemiskinan Struktural, Suatu Bungarampai, Jakarta : Yayasan Ilmu-ilmu social.

Bakker, J.W.M., 2005, Filsafat Kebudayaan, cetakan ke-15, Yogyakarta :Kanisius. Doyle, Paul Johnson, 1986,Teori Sosiologi, Klasik dan Modern (terjemahan : Robert

MZ Lawang), Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Edi Suharto, 2008, Kebijakan Sosial sebagai kebijakan Publik, Bandung : Alfabeta Fakih, Mansour, 2002, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar & Insist Press.

Geertz, Clifford, 1963, Agricultural Involution, Berkeley: University of California Press. Gunawan Sumodiningrat, Budi Santoso, Mohammad Maiwan, 1999, Kemiskinan:

Teori, Fakta dan Kebijakan, Jakarta: IMPAC.

Gunawan Sumodiningrat- Riant Nugroho D., 2005, Membangun Indonesia Emas,Jakarta: Elax Media Komputindo,

Hauser, Phillip, 1985, Penduduk dan Masa Depan Perkotaan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Herlianto, 1997, Urbanisasi, Pembangunan, dan Kerusuhan Kota, Bandung : Penerbit Alumni Bandung.

Kartasamita, Ginandjar, 1995, Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjauan Administrasi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Administrasi, Malang: Universitas Brawijaya.

Koentjaraningrat, 1990, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta :Jambatan.

Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun, 1986,Kemiskinan diIndonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Lewis, Oscar, 1988, Kisah Lima Keluarga, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Manning Chrisdan Tadjuddin Noer Effendi, 1983, Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Yogyakarta : Penerbit PPSK-Univ Gajah Mada. Marzali, Amri, 1993, Dimensi Pembangunan dan Konsep Kemiskinan", artikel opini

dalam Media Indonesia 12 Juli 1993.

Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove, 1984, Nelayan dan Kemiskinan, Studi Ekonomi Antropologi di Dua DesaPantai, Jakarta: Penerbit Rajawali. Muladi, 2004, Menggali Kembali Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum

di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia”, Semarang: IAIN Walisongo dan Ikatan Alumni PDIH UNDIP.

(34)

Poespowardojo, Soerjanto dalam Slamet Sutrisno ed, 1986, Tugas Filsafat Dalam Perkembangan Budaya, Yogyakarta : Liberty.

Ramli, Rusli, 1992, Sektor Informal PerkotaanPedagang kaki Lima,Jakarta: Penerbit Ind-Hill-Co.

Rich, Bruce, 1991, Mortaging the Earth, Makalah pada Seminar Perkumpulan Wartawan Indonesia di Jakarta, dimuat dalam Warta Ekonomi edisi 2 Desember 1991.

Sairin, Syafri, 2002 Perubahan SosialMasyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi, Yogyakarta : PenerbitPustaka Pelajar.

Sudarwati, Ninik, 2009, Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Mengurangi Kegagalan Penanggulangan Kemiskinan, Malang: Intimedia.

Sunarto, Kamanto, 1993,Pengantar Sosiologi.Jakarta:Lembaga Penerbit, FakultasEkonomi Universitas Indonesia.Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010

Suparlan, Parsudi (penyunting), 1984, KemiskinanDi Perkotaan, Bacaan UntukAntropologi Perkotaan, Jakarta : Penerbit Sinar Harapan dan YayasanObor Indonesia.

______________, 2008Dari Masyarakat MajemukMenuju Masyarakat Multikultural (buku kumpulan tulisan Prof. ParsudiSuparlan, Ph.D. In Memorium, editor :Chrysnanda. DL dan Yulizar Syafri), Jakarta : Penerbit JPKIK.

Syarif Muhidin, 2008, Masalah-masalah Sosial, Bandung : Andika.

Widyamataya, A., 2003, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan / Laporan Khusus oleh International Forum on Globalization, Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.

Referensi

Dokumen terkait

Konsep Ajjoareng-Joa’ yang menjadi perilaku politik masyarakat Bugis sejak masa La Galigo hingga pada masa demokrasi sekarang ini membuktikan bahwa nilai-nilai lokal

Pada kasus-kasus khusus dari satu argumentasi yang lebih umum menyatakan bahwa: (1) kebudayaan yag berbeda mempunyai kode-kode moral yang berbeda; dan (2) oleh

Berdasarkan perbandingan dari dua pola pembentukan karakter dari kedua presiden ini justru nampak bahwa telah terjadi satu masa di mana pendidikan karakter bangsa pada masa

Bait al-Ḥikmah memiliki daya dorong, baik langsung maupun tidak langsung, yang cukup besar dan luas terhadap kemajuan kebudayaan dan peradaban pada masa Abbasiyah

Berdasarkan makna di atas maka perspektif resiliensi dalam ajaran Islam jelas memiliki pengertian yang berbeda dengan pengertian yang pada umumnya dianut

Orang yang membuat ajaran agama menjadi sistem rasional akan terjebak pada ajaran panteisme yang, melihat Tuhan identik dengan alam, bahwa semua serba Tuhan,

Perjanjian Lama, namun lebih luas lagi yakni merujuk pada tiap orang dari segala bangsa (Gal 3:8-9 bnd 26-29). Orang-orang Kristen pada masa kini bukan merupakan keturunan

PROBLEMA PENGEMBANGAN MORAL REMAJA Kita bangsa Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya perlu bersyukur bahwa arah tujuan pendidikan Nasional telah digariskan dalam