• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan karakter Bangsa Ala Sukarno dan Suharto dalam perspektif sejarah pemerintahan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pembentukan karakter Bangsa Ala Sukarno dan Suharto dalam perspektif sejarah pemerintahan di Indonesia"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Vol.

20

No.

1

November

2016

Jurnal Vol. 20 No. 1 Halaman Yogyakarta ISSN

Penelitian 1-102 November 2016 1410-5071

ISSN 1410-5071

W

W

W

W

Written Corrective F

ritten Corrective F

ritten Corrective F

ritten Corrective F

ritten Corrective Feedback in W

eedback in W

eedback in W

eedback in W

eedback in Writing Class:

riting Class:

riting Class:

riting Class:

riting Class:

Students’ P

Students’ P

Students’ P

Students’ P

Students’ Preferences and T

references and T

references and T

references and T

references and Types of Errors

ypes of Errors

ypes of Errors

ypes of Errors

ypes of Errors

Yuseva Ariyani Iswandari

Perantara Peluruhan Proton dalam Model Korespondensi Spinor-Skalar

Perantara Peluruhan Proton dalam Model Korespondensi Spinor-Skalar

Perantara Peluruhan Proton dalam Model Korespondensi Spinor-Skalar

Perantara Peluruhan Proton dalam Model Korespondensi Spinor-Skalar

Perantara Peluruhan Proton dalam Model Korespondensi Spinor-Skalar

Albertus Hariwangsa Panuluh & Mirza Satriawan

Hubungan antara Kompetensi Kerja Tim dan Efektivitas Tim Proyek

Hubungan antara Kompetensi Kerja Tim dan Efektivitas Tim Proyek

Hubungan antara Kompetensi Kerja Tim dan Efektivitas Tim Proyek

Hubungan antara Kompetensi Kerja Tim dan Efektivitas Tim Proyek

Hubungan antara Kompetensi Kerja Tim dan Efektivitas Tim Proyek

pada Kerja Kelompok Mahasiswa Psikologi USD

pada Kerja Kelompok Mahasiswa Psikologi USD

pada Kerja Kelompok Mahasiswa Psikologi USD

pada Kerja Kelompok Mahasiswa Psikologi USD

pada Kerja Kelompok Mahasiswa Psikologi USD

R. Landung Eko Prihatmoko

Pembentukan Karakter Bangsa Ala Sukarno dan Suharto

Pembentukan Karakter Bangsa Ala Sukarno dan Suharto

Pembentukan Karakter Bangsa Ala Sukarno dan Suharto

Pembentukan Karakter Bangsa Ala Sukarno dan Suharto

Pembentukan Karakter Bangsa Ala Sukarno dan Suharto

dalam Perspektif Sejarah Pemerintahan di Indonesia

dalam Perspektif Sejarah Pemerintahan di Indonesia

dalam Perspektif Sejarah Pemerintahan di Indonesia

dalam Perspektif Sejarah Pemerintahan di Indonesia

dalam Perspektif Sejarah Pemerintahan di Indonesia

Yulius Dwi Cahyono

Pergerakkan Darat Ikan Amfibi:

Pergerakkan Darat Ikan Amfibi:

Pergerakkan Darat Ikan Amfibi:

Pergerakkan Darat Ikan Amfibi:

Pergerakkan Darat Ikan Amfibi: Periophthalmus Gracilis Eggert

Periophthalmus Gracilis Eggert

Periophthalmus Gracilis Eggert

Periophthalmus Gracilis Eggert

Periophthalmus Gracilis Eggert

Gatot Nugroho Susanto

Improving Learning Outcomes

Improving Learning Outcomes

Improving Learning Outcomes

Improving Learning Outcomes

Improving Learning Outcomes

of Catholic Religious Education Method by Make a Mach

of Catholic Religious Education Method by Make a Mach

of Catholic Religious Education Method by Make a Mach

of Catholic Religious Education Method by Make a Mach

of Catholic Religious Education Method by Make a Mach

FX. Sumarna

Seputar Modul Auto Invarian

Seputar Modul Auto Invarian

Seputar Modul Auto Invarian

Seputar Modul Auto Invarian

Seputar Modul Auto Invarian

Dewa Putu Wiadnyana Putra

Implementasi Gaya Kepemimpinan T

Implementasi Gaya Kepemimpinan T

Implementasi Gaya Kepemimpinan T

Implementasi Gaya Kepemimpinan T

Implementasi Gaya Kepemimpinan Transformasional-Heroik

ransformasional-Heroik

ransformasional-Heroik

ransformasional-Heroik

ransformasional-Heroik

dalam Bidang Pendidikan di Indonesia

dalam Bidang Pendidikan di Indonesia

dalam Bidang Pendidikan di Indonesia

dalam Bidang Pendidikan di Indonesia

dalam Bidang Pendidikan di Indonesia

Ignas Suryadi Sw.

Peranan Kepemimpinan Instruksional dalam Pendidikan:

Peranan Kepemimpinan Instruksional dalam Pendidikan:

Peranan Kepemimpinan Instruksional dalam Pendidikan:

Peranan Kepemimpinan Instruksional dalam Pendidikan:

Peranan Kepemimpinan Instruksional dalam Pendidikan:

Konsep dan Aplikasinya dalam Pendidikan di Indonesia

Konsep dan Aplikasinya dalam Pendidikan di Indonesia

Konsep dan Aplikasinya dalam Pendidikan di Indonesia

Konsep dan Aplikasinya dalam Pendidikan di Indonesia

Konsep dan Aplikasinya dalam Pendidikan di Indonesia

Audra Febriandini Logho

Balanced Scorecard:

Balanced Scorecard:

Balanced Scorecard:

Balanced Scorecard:

Balanced Scorecard: Sebuah T

Sebuah T

Sebuah T

Sebuah T

Sebuah Tantangan Baru Dunia P

antangan Baru Dunia P

antangan Baru Dunia Pendidik

antangan Baru Dunia P

antangan Baru Dunia P

endidik

endidik

endidik

endidikan di Indonesia

an di Indonesia

an di Indonesia

an di Indonesia

an di Indonesia

Aleksandrea Tri Amboro

PPPPPenggunaan

enggunaan

enggunaan

enggunaan

enggunaan

Ex

Exelsa Moodle

Ex

Ex

Ex

elsa Moodle

elsa Moodle

elsa Moodle

elsa Moodle sebagai Sumber Belajar Digital

sebagai Sumber Belajar Digital

sebagai Sumber Belajar Digital

sebagai Sumber Belajar Digital

sebagai Sumber Belajar Digital

pada Mata Kuliah Perencanaan Pengajaran

pada Mata Kuliah Perencanaan Pengajaran

pada Mata Kuliah Perencanaan Pengajaran

pada Mata Kuliah Perencanaan Pengajaran

pada Mata Kuliah Perencanaan Pengajaran

(2)

JURNAL PENELITIAN

ISSN 1410-5071

Volume 20, Nomor 1, November 2016, hlm. 1-102

Jurnal Penelitian yang memuat ringkasan laporan hasil penelitian ini diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Sanata Dharma, dua kali setahun: Mei dan November.

D E W A N R E D A K S I

Pemimpin Redaksi Dr. Anton Haryono, M.Hum. Ketua LPPM Universitas Sanata Dharma

Sekretaris Redaksi Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.

Kepala Pusat Penerbitan dan Bookshop Universitas Sanata Dharma

Tim Redaksi Nomor Ini Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.

Prof. Dr. Praptomo Baryadi Isodarus, M.Hum., Dra. Novita Dewi, M.S., M.A. (Hons.), Ph.D.

Alamat Redaksi dan Administras Gedung LPPM Universitas Sanata Dharma, Mrican, Tromol Pos 29, Yogyakarta 55002, Telepon: (0274) 513301, 515352, ext. 1527, Fax: (0274) 562383. Homepage: http:// www.usd.ac.id/lembaga/lppm/. E-mail: lemlit@usd.ac.id

Redaksi menerima naskah ringkasan laporan hasil penelitian baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Inggris. Naskah harus ditulis sesuai dengan format di Jurnal Penelitian seperti tercantum pada halaman belakang bagian “Ketentuan Penulisan Artikel Jurnal Penelitian” dan harus diterima oleh Redaksi paling lambat dua bulan sebelum terbit.

Administrasi & Sirkulasi: Administrasi Keuangan: Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si. Maria Imaculata Rini Hendriningsih, SE.

Gutomo Windu, S.Pd. Agnes Sri Puji Wahyuni, Bsc. Caecilia Venbi Astuti, S.Si.

Administrasi Distribusi: Tata Letak

(3)

JURNAL PENELITIAN

ISSN 1410-5071

Volume 20, Nomor 1, November 2016, hlm. 1-102

DAFTAR ISI

Daftar Isi iii

Kata Pengantar iv

Written Corrective Feedback in Writing Class: Students’ Preferences

and Types of Errors 1~9

Yuseva Ariyani Iswandari

Perantara Peluruhan Proton dalam Model Korespondensi Spinor-Skalar 10~15

Albertus Hariwangsa Panuluh & Mirza Satriawan

Hubungan antara Kompetensi Kerja Tim dan Efektivitas Tim Proyek

pada Kerja Kelompok Mahasiswa Psikologi USD 16~24

R. Landung Eko Prihatmoko

Pembentukan Karakter Bangsa Ala Sukarno dan Suharto dalam Perspektif

Sejarah Pemerintahan di Indonesia 25~35

Yulius Dwi Cahyono

Pergerakkan Darat Ikan Amfibi: Periophthalmus Gracilis Eggert 36~39

Gatot Nugroho Susanto

Improving Learning Outcomes of Catholic Religious Education Method

by Make a Mach 40~48

FX. Sumarna

Seputar Modul Auto Invarian 49~53

Dewa Putu Wiadnyana Putra

Implementasi Gaya Kepemimpinan Transformasional-Heroik

dalam Bidang Pendidikan di Indonesia 54~68

Ignas Suryadi Sw.

Peranan Kepemimpinan Instruksional dalam Pendidikan:

Konsep dan Aplikasinya dalam Pendidikan di Indonesia 69~80

Audra Febriandini Logho

Balanced Scorecard: Sebuah Tantangan Baru Dunia Pendidikan

di Indonesia 81~92

Aleksandrea Tri Amboro

Penggunaan Exelsa Moodle sebagai Sumber Belajar Digital

pada Mata Kuliah Perencanaan Pengajaran 93~101

Cecilia Paulina Sianipar

(4)

KATA PENGANTAR

Sama seperti jurnal penelitian sebelumnya,

persoalan pendidikan dan pengajaran masih menjadi sorotan utama dalam Jurnal Penelitian Universitas Sanata Dharma Vol. 20 No. 1 November 2016 kali ini. Selain karena Sanata Dharma memiliki tradisi yang panjang dan kuat dalam bidang pendidikan dan pengajaran, kini Sanata Dharma memiliki program Magister Manajemen (MM USD) yang salah satu konsentrasinya adalah pendidikan. Intervensi disiplin manajemen terhadap dunia pendidikan merupakan sebuah conditio sine qua non. Keberhasilan dunia pendidikan mencapai tujuannya banyak tergantung pada kemampuan dan keterampilan majemen, baik di tingkat guru, kepala sekolah, pengurus yayasan, sampai pada pemerintah.

Dalam jurnal ini, ada tiga artikel yang ditulis mahasiswa MM USD konsentrasi pendidikan. Artikel pertama berjudul “Implementasi Gaya Kepemimpinan Transformasional-Heroik dalam Bidang Pendidikan di Indonesia” ditulis oleh Ignas Suryadi Sw. Dalam dunia pendidikan, gaya kepemimpinan kepala sekolah dan pemangku kepentingannya sangat berpengaruh terhadap penciptaan budaya sekolah dan kualitas lulusannya. Selain kepemimpinan instruksional yang dominan di dunia pendidikan, kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan heroik dipandang sebagai solusi terhadap persoalan pendidikan di Indonesia. Tulisan ini merangkum dua gaya kepemimpinan sekaligus, yaitu kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan heorik yang ditawarkannya sebagai formula model kepemimpinan baru: kepemimpinan transformasional-heroik. Dengan formula ini para pemimpin, khususnya dalam bidang pendidikan, seharusnya memiliki: (1) Kesadaran diri (self awareness) dan pengaruh ideal (ideal influence); (2) Motivasi inspirasional (inspirational motivation); (3) Stimulasi intelektual (intellectual stimulation) yang didukung dengan kepintaran atau ingenuitas (ingenuity); (4)Pertimbangan individual (individualized consideration) dan kepahlawanan atau heroisme (heroism); dan (5) Cinta kasih (love) dan semangat magis.

Tulisan kedua oleh Audra Febriandini Logho berjudul “Peranan Kepemimpinan Instruksional dalam Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya dalam Pendidikan

di Indonesia” mengemukakan pentingnya gaya kepemimpinan instruksional kepala sekolah dalam memicu iklim akademis di dunia persekolahan. Kepemimpinan instruksional merupakan kepemimpinan yang terfokus pada peningkatan mutu pembelajaran anak didik melalui guru. Gaya kepemimpinan ini sangat bermanfaat bagi banyak pihak mulai dari sekolah itu sendiri, kepala sekolah, anak didik, guru bahkan bagi pengguna lulusan. Seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan instruksional dapat mengimplementasikan model kepemimpinan ini melalui strategi modeling, monitoring dan professional dialog and discussion. (1) Modeling yang artinya keteladanan kepala sekolah menjadi contoh atau model yang ditiru oleh guru di sekolah yang dipimpinnya, (2) monitoring artinya melakukan pemantauan kinerja guru ke kelas saat guru melaksanakan proses pembelajaran di kelas serta memanfaatkan hasil pemantauan tersebut untuk pembinaan lebih lanjut, (3) professional dialog and discussion artinya berarti membicarakan secara aktif, interaktif, efektif, aspiratif, inspiratif, produktif, demokratik dan ilmiah tentang hasil penilaian kinerja dan rencana tindak lanjut peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran siswa.

Tulisan ketiga berujudul “Balanced Scorecard: Sebuah Tantangan Baru Dunia Pendidikan Di Indonesia” ditulis oleh Aleksandrea Tri Amboro. Balanced scorecard yang awalnya merupakan alat manajemen strategis di dunia bisnis, kini telah digunakan dalam mengembangkan dunia pendidikan di berbagai negara maju. Balanced scorecard terbukti dapat membantu lembaga pendidikan menjadi lebih efektif dan akuntabel. Melihat tantangan sekolah swasta di Indonesia yang kian berat, balanced scorecard dapat memberikan jawaban atas kondisi tersebut. Balanced scorecard diyakini dapat membantu sekolah-sekolah swasta di Indonesia untuk berjalan lebih “tegap” menghadapi berbagai tantangan dunia pendidikan di Indonesia.

Selanjutnya, kami menyajikan tulisan-tulisan yang secara teknis berkaitan dengan pembelajaran dalam bidang ilmu yang lebih spesifik. Tulisan Yuseva Ariyani Iswandari “Paragraph Writing Students’ Preferences on Written Corrective Feedback” merupakan penelitiannya mengenai penulisan

(5)

Jurnal Penelitian. Volume 20, No. 1, November 2016 paragraf mahasiwa PBI dan solusi terhadap persoalan

yang dihadapi. Gatot Nugroho Susanto dari Prodi Pendidikan Biologi menyajikan hasil penelitiannya tentang “Pergerakkan Darat Ikan Amfibi: Periophthalmus Gracilis Eggert.” Studi ini tentu bermanfaat bagi kajian di bidang ilmu biologi. Penelitian kerjasama dua dosen Pendidikan Fisika USD dan UGM, Albertus Hariwangsa Panuluh dan Mirza Satriawan menghasiljan studi berjudul “Massa Leptoquark Perantara Peluruhan Proton dalam Model Korespondensi Spinor-Skalar.” Studi ini tentu bermanfaat bagi pengembangan bidang ilmu fisika. Tulisan Dewa Putu Wiadnyana Putra berjudul “Seputar Modul Auto Invarian” berkaitan langsung dengan bidang studi Pendikan Matematika.

Di bidang psikologi dan pendidikan, ada empat hasil penelitian yang sangat bermanfaat dalam bidang character building. Pertama, tulisan Robertus Landung Eko Prihatmoko berjudul “Hubungan Antara Kompetensi Kerja Tim dan Efektivitas Tim Proyek pada Kerja Kelompok Mahasiswa Psikologi USD.” Tulisan ini memberikan perspektif teoretis yang baru tentang team building. Kedua tulisan Yulius Dwi Cahyono berjudul “Pembentukan Karakter Bangsa Ala

Sukarno dan Suharto dalam Perspektif Sejarah Pemerintahan di Indonesia: Demokrasi Terpimpin hingga Masa Transisi Demokrasi 1998-2003.” Artikel ini secara spesifik membandingkan dua model karakter bangsa, model Sukarno dan Suharto, yang dapat dipahami dan diimplementasikan berbasis sejarah. Tulisan FX. Sumarnaberjudul Improving Learning Outcomes of Catholic Religious Education Method By Make A Mach” berguna bagi guru agama dalam mengajarkan materi iman dan martabat manusia.

Tulisan terakhir dari Cecilia Paulina Sianipar berjudul “Penggunaan Exelsa Moodle Sebagai Sumber Belajar Digital pada Mata Kuliah Perencanaan Pengajaran” memberikan wawasan bagi semua pendidik mengenai penggunaan teknologi yang mendukung pembelajaran.

Artikel-artikel di atas merupakan hasil kajian dan temuan ilmiah yang perlu dicermati karena memberikan perspektif akademis dan teoretis dalam menghadapi persoalan-persoalan empiris dalam dunia pendidikan kita. Solusi akademis tentu memiliki kontribusi dan implikasi yang penting bagi penyelesaian masalah empiris yang kita hadapi sehari-hari.

(6)
(7)

PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

ALA SUKARNO DAN SUHARTO

DALAM PERSPEKTIF SEJARAH PEMERINTAHAN

DI INDONESIA

Yulius Dwi Cahyono

Alumni Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Sanata Dharma Alamat korespondensi: Kampus I Mrican, Jl. Afandi, Yogyakarta

E-mail: dwch543@gmail.com

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine: (1) the establishment of a national character by Sukarno. (2) the formation of national character by Suharto. (3) the impact of national character formation pattern between Sukarno and Suharto for Indonesia. This study uses historical research and written descriptive. The results of this study indicate that 1. Education Sukarno character in general is to make the Indonesian nation spirited nationalist and able to appear in the international community in the fight against imperialism, colonialism, neo-colonialism, and capitalism. 2. Establishment of the characters in the Suharto era can be said to be almost non-existent, in the Suharto goverment filled with unhealthy practices in politics which later formed the continuous negative mentality. 3. Impact of character formation pattern Sukarno and Suharto is a break continuity character education during the Sukarno era, because of popaganda Suharto (Orde Baru) to remove Sukarno in public memory and history.

Keyword: Character, Sukarno, Suharto, history of Government, Indonesia.

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Berbicara mengenai perkembangan dan warna sejarah Indonesia modern tidak dapat dilepaskan antara lain dari dua tokoh besar yang pernah berkuasa dalam pemerintahan yaitu, Sukarno dan Suharto. Kedua tokoh ini memiliki pola dan pemikiran yang sangat berbeda dalam membawa dan membentuk karakter bangsa Indonesia. Pemikiran dari ke dua tokoh tersebut tentu sangat berpengaruh besar bagi rakyat Indonesia. Menurut Andi & Iyep (2012: 133) bahwa ada keterkaitan antara pembangunan karakter bangsa dengan keteladanan dari seorang pemimpin bangsa. Hal ini karena seorang pemimpin, terutama Presiden Indonesia, adalah figur panutan dan contoh teladan bagi rakyat Indonesia. Menurut penulis keteladanan seseorang (seseorang menjadi teladan) tentunya tumbuh dari cara berpikir seseorang, yang kemudian mempengaruhi sikap dan tindakannya. Cara berpikir seseorang tentunya tidak dapat dilepaskan dari interaksi dan pengaruh lingkungan di masa mudanya.

Sukarno sebagai founding father bangsa ini telah meletakan ide-ide atau ajaran-ajaran penting

bagi generasi penerus bangsa ini untuk berdaulat. Bagi Sukarno, integrasi bangsa adalah kunci utama dalam membangun bangsa yang berkarakter. Sementara Suharto melihat keamanan nasional adalah kunci utama dalam membangun karakter bangsa.

Suharto dapat dikatakan sebagai salah satu tokoh kontroversi, yang beruntung menjadi penerus kepemimpinan bangsa sebagai presiden kedua Indonesia. Dilihat dari riwayat hidupnya, jika diperbandingkan dengan Sukarno, dia memiliki perbedaan kemampuan yang sangat mencolok dalam hal ilmu kenegaraan. Kedua tokoh dengan perbedaan pola pemerintahannya itu secara tidak langsung membawa pengaruh dalam pembentukan karakter bangsa ini.

Kedua era kepemimpinan ini sangat menarik untuk dikaji dalam penelitian ini, secara khusus untuk melihat perkembangan karakter bangsa dewasa ini. Di era Sukarno sejarah digunakan sebagai sebuah sarana edukasi bangsa. Sementara di era Suharto sejarah “meski awalnya ditarik dari fakta-fakta yang riil dan menampilkan hasil keputusan analisis yang teliti, tetapi pada akhirnya

(8)

Jurnal Penelitian. Volume 20, No. 1, November 2016, hlm. 25-35

sejarah adalah sebuah pencitraan yang lebih berfungsi untuk menginspirasi daripada mengedukasi” (Michael Wood, 2013: 234).

Warisan masa lampau dalam bentuk pemikiran atau cara berpikir dari ke dua tokoh di atas perlu untuk dikritisi dan dianalisis untuk melihat pengaruh dan peran kedua tokoh dalam pembentukan karakter bangsa yang sungguh memprihatinkan dewasa ini. Dalam beberapa kasus dapat dilihat dari banyak kejadian dalam bidang politik dan pemerintahan yang menunjukkan ketidakdewasaan dalam berdemokrasi. Salah satu contoh kasus yang aktual di tahun 2015 adalah kasus POLRI vs KPK dan banyak kasus lainnya. Hal ini menjadi semakin menarik ketika politik balas budi ikut bermain di dalamnya. Melalui warisan masa lampau ini akan diitelisik mengapa dapat terjadi peristiwa semacam ini.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini ditulis secara deskriptif analitis menggunakan metode penelitian sejarah. Melalui metode ini penelitian dilakukan dengan cara menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Louis Gottchalk, 1985:32). Secara rinci metode ini terdiri dari 4 tahap yaitu: Heuristik, Kritik Sumber, Intepretasi dan Historiografi.

Heuristik merupakan pengumpulan sumber sejarah yang relevan atau sesuai dan berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Sumber sejarah dalam penelitian ini diperoleh dari literatur dalam bentuk buku, jurnal dan video dokumenter. Sumber dalam bentuk buku ini terdiri dari sumber primer dan sekunder.

Kritik sumber atau verifikasi data merupakan suatu tahap menyeleksi dan meneliti tingkat otentitas dan tingkat kredibilitas sumber sejarah. Kritik sumber ini terdiri dari kritik ektern dan interen. Kritik eksternal digunakan untuk mengetahui keaslian sumber yang digunakan seperti dokumen. Dalam kritik ini yang diuji adalah keasilan sumber dilihat dari segi: sifat bahan, gaya penulisan, bahasa dan huruf yang dipakai. Sementara dalam kritik interen digunakan untuk menguji suatu sumber dapat dipercaya atau tidak sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kritik interen ini dilakukan dengan membandingkan berbagai sumber untuk menemukan suatu fakta yang dapat dipercaya kebenaranya.

Interpretasi merupakan tahap memaknai suatu peristiwa dengan merangkaikan satu peritiwa dengan peristiwa yang lain. Interpretasi ini digunakan dan diperlukan untuk mengurangi unsur subjektifitas dari penulis sumber data yang digunakan dalam penelitian. Historiografi, merupakan langkah terakhir dalam penelitian sejarah dalam bentuk rekonstruksi imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh.

3. PEMBENTUKAN KARATER MENURUT SUKARNO 3.1 Sukarno Muda

Sukarno, berasal dari keturunan Jawa Timur dan Bali. Ia adalah putra kedua dari pasangan Raden Soekemi Sosrodiharjo dan Idayu Nyoman Rai. Ayahnya berasal dari Tulungagung, Kediri, Jawa Timur. Ibunda Sukarno berasal dari Bali berkasta Brahmana yang tinggal di Banjar Bali Agung, Singaraja. Sukarno nama kecilnya adalah Koesno. Nama lengkapnya Koseno Sosro Sukarno, yang kemudaian dikenal dengan nama Sukarno oleh masyarakat Indonesia.

Raden Soekemi memberi nama Sukarno karena rasa cintanya terhadap kisah pewayangan Pandawa dan Kurawa dalam kisah Mahabarata. Ia mengagumi sosok Karna yang mematahkan kesombongan Arjuna dengan mengatakan “Ketahuliah Ardjuna, bahwa harga dan nilai seseorang itu bukan ditentukan oleh asal-keturunannya ataupun kekayaanya, melainkan ditentukan oleh keluhuran budinya” (Solichin Salam, 1966:35). Kearifan dan kebijakan Karna ini yang kemudian membuat Raden Soekemi terkesan dan memberi nama Koesno dengan nama Sukarno. Harapanya puteranya memiliki jiwa dan watak yang arif dan bijaksana seperti Karna.

Melalui penelusuran masa muda Sukarno ini, dapat kita ketahui karakter Sukarno Muda yang kemudian berpengaruh pada pola kepemimpinannya ketika ia menjadi Presiden RI. Nilai-nilai luhur dalam pewayangan seper ti kerendahan hati turut berpengaruh terhadap pribadi Sukarno, yang sejak kecil gemar menonton wayang bersama ayahnya. Pengaruh dunia pewayangan nampak dari tokoh Bima, yang menjadi tokoh idola Sukarno. Pandangan dan sikap politiknya sangat kuat dipengaruhi oleh sifat-sifat Bima. Sikap nonkooperasi Sukarno

(9)

Yulius Dwi Cahyono, Pembentukan Karakter Bangsa Ala Sukarno dan Suharto dalam Perspektif ....

terhadap musuh-musuhnya (kaum imperalis dan kapitalis) dan kesediaan untuk berkomporomi dengan rekan seperjuangannya meskipun berbeda pandangan dapat dikatakan berasal dari Bima (Peter Kasenda, 2010: 12). Sikap non kooperasi ini ia tunjukkan dengan tidak mau bekerja pada lembaga kolonial Belanda, tetapi ia lebih memilih mendirikan biro teknik bersama teman sekelasnya Ir. Anwari, setelah lulus sebagai sarjana teknik sipil 25 Mei 1928 (Peter Kasenda, 2010: 21). Kemandirian dan jiwa berdikari pemuda Indonesia telah nampak dalam diri Sukarno dan teman-temanya. Semangat ini yang kemudian tertanam dalam pemikiran Sukarno untuk ditularkan dan ditanamkan dalam pikiran dan jiwa rakyat Indonesia pada masanya.

Sikap tokoh Bima ini sungguh melekat dalam diri Sukarno. Sikap kompromi dengan teman seperjuangan sebagai aktualisasi karakter tokoh Bima dalam diri Sukarno, menunjukkan bahwa ia memiliki sikap terbuka dan merangkul semua kalangan sebagai sesama pelaku perjuangan. Sikap ini yang menjadi salah satu penguat dalam diri Sukarno untuk menciptakan persatuan rakyat.

Jiwa pemersatu yang merakyat ini nampak dan berangkat dari perkara kecil yaitu kata panggilan untuk Sukarno dengan sebutan Bung Karno. Sejak aktif dalam perjuangan, Sukarno lebih senang dipanggil Bung Karno. Bung berarti Kakak, kata Bung ini menandakan bahwa Sukarno tidak ingin berjarak dengan sesama dan rakyatnya, ia ingin menyatu dengan rakyat dan menyatukan rakyat. Prinsip ini turut mempengaruhi pola perjuangannya bahwa apa yang ia pikirkan dan lakukan adalah (difokuskan) untuk rakyat dan menyatukan rakyat. Pemikiran ini tertuang jelas dalam pernyataan Sukarno ketika diwawancarai oleh Cindy Adam. Ketika itu Cindy Adam menanyakan kepada Sukarno “Pernahkah terpikir, bila anda sudah tidak ada, bagaimana anda ingin dikuburkan?”

Sukarno menjawab: “di bawah pohon besar, di bawah batu besar, di batu nisan mereka tidak boleh menulis: di sini terbaring yang terhormat, yang teragung Presiden Sukarno. Cukup ditulis di sini terbaring Bung Karno bagian dari rakyat Indonesia” (Video Dokumenter Wawancara Terakhir Presiden Sukarno Sesudah Peristiwa G30S).

Pernyataan ini menggambarkan bahwa Sukarno memposisikan dirinya sama dengan rakyat Indonesia. Sikap kepemimpinan ini tentu tidak lepas dari pengaruh pendidikan Raden Soekemi kepada Sukarno ketika masa kecilnya. Nilai luhur yang terdapat dari kisah pewayangan tentunya melekat dalam diri Raden Soekemi untuk mendidik Sukarno dan membentuk karakternya.

Kedekatan Sukarno dengan rakyat ini menjadi sebuah sarana baginya untuk menyatukan rakyatnya. Hal ini nampak dalam pemikiran politiknya. Sehingga tidaklah keliru jika Sukarno disebut sebagai bapak pemersatu bangsa. Sikap dan karakter Sukarno ini yang kemudian membentuk Sukarno sebagai Presiden yang bersikeras untuk mewujudkan persatuan di dalam masyarakat dan menghilangkan pengkotak-kotakan masyarakat. Nampak jelas melalui konsep NASAKOM yang ia cetuskan dan pendirian PNI (Partai Nasional Indonesia). PNI ini sebagai wujud dari pemikirannya bahwa bersatu adalah suatu keharusan. Pemikiran ini lahir dari pengalamannya melihat perpecahan dalam Sarekat Islam.

Karakter Sukarno yang mendapat pengaruh dari dunia pewayangan (tokoh Bima) juga nampak pada masa ia mulai masuk sekolah kelas 5 ELS (Europeese Lagere Scholl) di Mojokerto. Sukarno di ELS semakin pesat perkembangan akademiknya. Gejala lain di luar kemampuan akademik mulai muncul dalam diri Sukarno. Di ELS Sukarno suka berkelahi dengan sinjo-sinjo Belanda. Setiap berkelahi ia selalu dibantu oleh teman-temanya Tionghoa seperti Oen Bo Hin (Solichin Salam, 1966: 41).

Pengalaman Sukarno melawan sinjo-sinjo Belanda ini tidak dapat dipungkiri menjadi benih dan dasar perjuangan Sukarno. Bentuk perlawanan terhadap kesewenangan orang Belanda telah ia tunjukkan dari peristiwa ini. Keberanian sosok Sukarno muda begitu nampak pada masa itu. Keberanian ini dikemudian hari nampak di mata dunia dan mengguncangkan dunia, terlebih dunia barat.

Kesadaran Sukarno akan adanya diskriminasi sawo matang muncul ketika ia masuk di HBS. Kulit sawo matang menjadi kelompok minoritas, perlakuan yang merendahkan harga diri orang kulit sawo matang kerap kali terjadi. Sukarno sering mendapatkan tamparan dari laki-laki Belanda (Peter Kasenda, 2010:17). Pengalaman pribadi ini telah memotivasinya untuk membebaskan bangsanya dari perlakukan diskriminatif pihak Belanda.

(10)

Jurnal Penelitian. Volume 20, No. 1, November 2016, hlm. 25-35

Di samping pengaruh dunia pewayangan, Karakter Sukarno muda juga terbentuk dan mendapat pengaruh dari orang-orang terdekat, tokoh-tokoh perjuangan pada masa itu dan dari masyarakat kecil. Dari Raden Soekemi, sang ayah, Sukarno mendapat pendidikan yang keras, penuh disiplin, dan untuk mencintai mahkluk tak berdaya. Sementara dari sang ibu, Idayu Nyoman Rai, Sukarno mendapat pengaruh pemikiran mistik Hindu dan sifat lembut serta penuh kasih sayang. Dari pembantunya Sarinah, Sukarno mengatakan ia memperoleh pengaruh sifat kemanusiaan dan sikap emansipatif. Sukarno kagum kepada kebijaksanaan dan budinya yang luhur (Peter Kasenda, 2010: 14). Relasi berikutnya berasal dari kalangan masyarakat miskin, bernama Wagiman. Ia adalah seorang petani miskin dari Mojokerto yang sering bercerita wayang kepada Sukarno. Melalui realitas kehidupan dan persahabatannya dengan Wagiman yang dikelilingi dengan kemiskinan, Sukarno tergerak untuk mulai memfokuskan perhatiannya kepada perjuangan untuk mengentaskan masyarakat kecil dari kemiskinan. Pemikiran ini kemudian yang melahirkan konsep Marhaenisme dan golongan seperti Wagiman ini kemudian dikenal sebagai Marhaen.

Pengalaman berikutnya adalah, pengalaman berrelasi dengan tokoh-tokoh politik pada masa itu. Tokoh pergerakan pertama yang ia kenal adalah H.O.S. Tjokoroaminoto seorang tokoh Sarekat Islam. Ia mengenal tokoh ini ketika ia sebagai siswa HBS (Hogere Burger School) di Surabaya. Selama bersekolah di HBS Sukarno mondok di rumah Tjokroaminoto. Perkenalan dengan tokoh ini memberikan pelajaran dan pengalaman yang luar biasa bagi Sukarno, melalui tokoh ini pula Sukarno belajar menjadi seorang ahli pidato ulung. Tidak hanya itu, selama berrelasi dengan Tjokoaminoto, Sukarno dapat berkenalan dengan beberapa tokoh nasionalis sekuler E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan K.H. Dewantara. Tokoh militan Islam K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Agus Salim. Tokoh sosialis kiri seperti Alimin, Musso dan Dharsono. Di HBS Sukarno juga bertemu dengan tokoh Marxis, seperti H. Sneevliet, Adolf Baars dan C. Hartogh. Sukarno mulai mengenal marxisme Dari tokoh C. Hartogh ini, ia adalah guru bahasa Jerman di HBS, ia juga terdaftar sebagai anggota dari ISDV.

Dari beberapa tokoh di atas dapat digambarkan bahwa Sukarno bertemu dengan tokoh dari berbagai aliran mulai dari aliran sekuler, religius, dan sosialis kiri. Tukar pikiran pun turut mewarnai realisasinya dengan para tokoh di atas. Sukarno mulai tertarik di bidang politik sejak berelasi dengan para tokoh tersebut. Ketertarikan Sukarno di bidang politik ia tunjukkan dengan menuangkan aspirasinya dalam bentuk tulisan di surat kabar Oetoesan Hindia

dengan menggunakan nama samaran Bima. Kata-kata dalam tulisanya tajam seperti “...hancurkan segera kapitalisme yang dibantu oleh budaknya, imperialisme. Dengan kekuatan Islam, Insya Allah itu segera dilaksanakan...” (Peter Kasenda, 2010: 17). Kata-katanya yang profokatif dalam tulisannya ini menandakan bahwa Sukarno telah berpolitik melalui tulisan. Sukarno juga mulai terlibat secara nyata dalam dunia politik dengan masuk menjadi anggota Partai Politik Sarekat Islam sampai berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).

Kisah Sukarno muda di atas menunjukkan bahwa lingkungan dan relasi Sukarno sungguh berpengaruh dalam membentuk pemikiran dan kepribadiannya. Pengaruh-pengaruh pemimpin politik tersebut di atas telah membentuk pandangan politiknya, seperti yang dikatakan oleh Sukarno “bahwa saya ini campuran daripada Keagamaan, Nasionalisme, dan Sosialisme” (Solichin Salam, 1966: 54). Sukarno dalam berpolitik ingin menyatukan masyarakat Indonesia, dalam pandangannya masyarakat Indonesia tidak terpecah karena kedudukan sosialnya melainkan karena aliran dan ideologinya. Menyatukan ketiga ideologi besar di atas adalah suatu keharusan dalam pemikiran sukarno, sebagai kekuatan untuk menumbangkan rezim kolonial. Setelah era kemerdekaan kekuatan tersebut digunakan untuk melawan neo kolonialisme dan neo imperealisme.

Dari pemikirannya ini sangat jelas bahwa karakter Sukarno sebagai pemimpin adalah seorang pemersatu atau berjiwa pemersatu bangsa. Karakater Sukarno lainnya adalah tipe pemimpin yang pemberani dan revolusioner. Karakter ini dapat dilihat dari tulisannya di surat kabar Oetoesan Hindia

dan idenya melahirkan PNI. Sukarno seorang yang berjiwa mandiri, jiwa mandirinya ini yang kemudian melahirkan konsep berdikari (berdiri di kaki sendiri) dalam pemerintahannya

(11)

Yulius Dwi Cahyono, Pembentukan Karakter Bangsa Ala Sukarno dan Suharto dalam Perspektif ....

3.2 Pemikiran Sukarno

dan Pembetukan Karakter Bangsa

3.2.1 Pemikiran Sukarno

Seperti yang telah diungkapkan dalam latar belakang bahwa pemikiran seorang pemimpin akan berpengaruh terhadap sikap dan tindakan pemimpin dalam pemerintahannya. Sikap dan tindakan ini yang kemudian akan membentuk keteladanan bagi warga negaranya, melalui keteladanan ini karakter bangsa terbentuk. Berikut ini adalah pemikiran-pemikiran besar Sukarno yang turut mempengaruhi dalam pembentukan karakter bangsa. Melalui pemikiran-pemikian tersebut, pembentukan karakter bangsa diedukasikan pada masa Demokarasi Terpimpin. Berikut ini adalah pemikiran besar Sukarno. 3.2.1.1 Nasionalisme

Pemikiran Sukarno tentang nasionalisme mulai muncul secara tegas pada masa terjadinya perpecahan dalam tubuh SI. Pada masa itu SI terpecah menjadi dua SI Putih dan SI Merah. Perpecahan ini terjadi ketika SI mendapat pengaruh dari ISDV terkait dengan pemikiran-pemikiran sosialis, tokoh yang mendapatkan pengar uh pemikiran ini adalah Semaun, Dharsono, Musso dan Alimin. Mereka kemudian dikeluarkan dari SI. Peristiwa ini yang membuat hubungan SI dan PKI memanas. PKI menuduh SI mengabdikan diri pada Pan-Islamisme bukan pada penderitaan rakyat Indonesia. Petinggi SI menuduh PKI mendahulukan kepentingan Revolusi Dunia daripada kepentingan Indonesia (Peter Kasenda, 2010: 24).

Berangkat dari pengalamannya melihat perpecahan dalam tubuh SI, Sukarno memiliki ide keharusan untuk bersatu dan mulai merintis ke arah pembentukan suatu organisasi massa yang mencakup keseluruhannya sebagai sarana untuk mengembangkan kekuatan yang mampu menentang kekuasaan penjajah (Peter Kasenda, 2010: 24). PNI menjadi salah satu wujud atau realisasi dari pemikirannya ini.

Bedasarkan pemikiran Sukarno di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa persatuan adalah bangunan dasar dari nasionalisme. Sementara di dalam masyarakat kala itu terlebih dalam bentuk organisasi didominasi oleh pemikiran, bahwa ideologi masing-masing kelompok adalah jalan dan dasar nasionalisme. Sukarno mengkritisi pemikiran ini. Sukarno melihat ketika ideologi masing-masing kelompok sebagai jalan dan dasar dari nasionalisme,

masyarakat tidak mungkin dapat disatukan karena ideologi satu dan yang lainnya akan saling bertentangan. Tidak mengherankan jika Sukarno menilai bahwa masyarakat kita tidak terbagi-bagi dalam kedudukan sosial melainkan terbagi dalam berbagai aliran dan ideologi (Peter Kasenda, 2010: 24). Ide persatuan menjadi solusi untuk meredam perbedaan pandangan di dalam masyarakat untuk diarahkan pada nasionalisme itu sendiri. Sederhananya Sukarno melakukan pembentukan karakter organisasi politik Indonesia melalui proses penyadaran pemikiran masing-masing kelompok akan tujuan bersama sebagai sebuah bangsa, dalam pandangan Sukarno tujuan bersama ini harus mengakar pada masing-masing kelompok.

Ide persatuan Sukarno ini sebenarnya mendapat pengaruh dari pemikiran Ernest Renan tentang bangsa pada tahun 1882, yang mengatakan bahwa:

“bangsa itu...satu nyawa, satu asas-akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukanya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan bangsa itu” (Sukarno, 1964: 3).

Melalui ide persatuannya ini Sukarno mencoba mendamaikan perbedaan di antara tiga golongan yang saling bertentangan yaitu Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Sukarno mengkritisi dan mencari titik persamaan dari masing-masing ideologi tersebut untuk diusung sebagai pemersatu. Sukarno juga menyatakan bahwa perbedaan di antara ketiga idelogi tersebut menjadi sebuah kenyataan yang ada di dalam masyarakat dan menjadi suatu hal yang lumrah. Sukarno berangkat dari kenyataan tersebut, tidak memfokuskan pada perbedaan atau pertentangan tersebut namun mencari potensi pemersatu dari ke tiga idelogi tersebut.

Hal ini nampak jelas dalam pernyataan Sukarno bahwa: “Kaum Islam tidak boleh lupa bahwa kapitalisme, musuh marxisme itu, ialah musuh Islam pula. Sepanjang paham marxisme,

meerwarde pada hakikatnya tidak lain dari pada riba dalam paham Islam. ...karena Islam adalah kaum

(12)

Jurnal Penelitian. Volume 20, No. 1, November 2016, hlm. 25-35

tertindas maka pemeluk Islam mestilah nasionalis... Karena modal di Indonesia adalah modal asing maka kaum Marxis yang berjuang melawan kapitalis haruslah pejuang nasionalis...” (Peter Kasenda, 2010: 25).

Melalui pemikirannya ini nampak bahwa Sukarno bukan semata-mata hanya sebagai seorang presiden akan tetapi ia juga seorang yang sering menghasilkan pemikiran kritis terkait pemerintahan dan kenegaraan. Pemikiran kritis tersebut secara tidak langsung menjadi teladan untuk ditiru generasi berikutnya dalam memandang nasionalisme secara kritis. Sukarno dalam hal ini juga dapat dikatakan melakukan edukasi kepada masyarakat dan atau organisasi politik kala itu, melalui kritik dan koreksi yang ia munculkan dalam bentuk pemikiran-pemikiran baru. Sederhananya Sukarno seorang presiden sekaligus guru bangsa, yang selalu mengarahkan cara pikir bangsanya.

3.2.1.2 Marhenisme

Pemikiran Sukarno berikutnya terkait dengan upaya memperjuangkan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat kecil yang terabaikan sebagai dampak dari imperialisme. Kelompok masyarakat kecil ini beliau sebut Marhaen. Istilah ini mucul ketika Sukarno sedang berbincang dengan seorang petani bernama Marhaen. Sukarno melalui perbincangan tersebut menangkap penderitaan rakyat kecil bahwa kerja keras mereka hanya sekedar mampu untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari keluarganya, tidak ada kelebihan untuk dijual. Sukarno dalam menggambarkan kelompok masyarakat kecil yang terabaikan kesejahteraanya ini menggunakan sebutan Marhaen.

Lahirnya istilah Marhaen ini menunjukkan bahwa Sukarno, telah melakukan analisis sosial atas kondisi riil masyarakat Indonesia menggunakan teori Marx. Melalui analisis ini ia ingin menunjukkan bahwa istilah proletar tidak sesuai dengan kondisi riil masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia pada masa itu belum masyarakat Industrialis seperti di Eropa, dengan demikian istilah Marhaen berbeda dengan konsep proletar. Marhaen tidak hanya terdiri dari satu kelompok saja, tetapi beragam kelompok kecil seperti: petani kecil, pengusaha kecil, buruh kecil, dan nelayan kecil. Kelompok ini sama-sama menanggung beban kekejaman imperialisme (Peter

Kasenda, 2010: 50). Sederhananya Sukarno dalam mempelajari Marxisme tidak ia terima mentah-mentah tetapi ia olah atau analisis dan menyesuaikannya dengan situasi yang ada di Indonesia.

Melalui istilah Marhaen Sukarno lebih mengedepankan arti penting massa rakyat dari pada konsep proletar. Ia menilai bahwa bentuk perlawanan seharusnya menitikberatkan pada perjuangan masyarakat Indonesia sebagai suatu keseluruhan melawan kekuasaan kolonial Belanda. Pemikiranya mengenai Marhaen kemudian ia kembangkan untuk lebih menempatkan perjuangan dalam skala nasional (Peter Kasenda, 2010: 51). Berangkat dari istilah dan pemikiran Marhaen ini kemudain melahirkan konsep “Marhaenisme” yang merupakan suatu paham yang secara praktis meliputi setiap orang Indonesia yang berkehendak untuk mengadakan perubahan hidup kaum Marhaen. Konsep ini lebih mengarah pada kepentingan atau perjuangan nasional. Memperjuangkan kaum Marhaen merupakan perjuangan seluruh rakyat Indonesia untuk seluruh rakyat bukan untuk kelompok tertentu.

Melalui konsep Marhaenisme, Sukarno sebenarnya telah menunjukkan salah satu pembangunan mental bangsa atau dalam ungkapan lain telah melakukan pendidikan karakter bangsa untuk bangga dan mengagungkan kepribadian nasional. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Sukarno bahwa “perkataan Marhaenisme adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional kami” (Cindy Adams, 2014: 75). Konsep Marhaenisme tersebut lahir bukan dari mengimpor ide dari negara lain tetapi murni dari proses interaksi dan olah pikir dengan situasi nyata yang ada di Indonesia

3.2.2 Pembetukan Karakter pada Masa Demokrasi Terpimpin

Pemikiran-pemikiran Sukarno di atas turut mewarnai pembentukan karakter bangsa pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1966. Penelusuran kembali kepemimpinan Sukarno pada era tersebut perlu untuk dilakukan dalam rangka melihat pembentukan karakter bangsa menurut Sukarno. Pendidikan karakter bangsa yang akan dibahas pada subab ini hanya terbatas pada tiga pendidikan karakter Sukarno, mengingat keterbatasan waktu penelitian. Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan sebagai era pemerintahan yang diwarnai dengan berbagai konflik dan pertentangan diantara partai

(13)

Yulius Dwi Cahyono, Pembentukan Karakter Bangsa Ala Sukarno dan Suharto dalam Perspektif ....

politik dan militer dengan partai politik. Konflik ini merupakan dampak dan kelanjutan dari konflik antara empat partai besar pada akhir 1958 yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Sumber utama dari pertikaian ini adalah usaha teguh kaum Muslim untuk mendirikan Negara Islam melalui Konstituante, dimana komunisme dibasmi sampai ke akar-akarnya (Malcolm Caldwell&Ernst Utrecht, 2011: 215).

Wakil umat Muslim di dalam Konstituante mengusahakan suatu undang-undang yang mewajibkan segenap umat Muslim Indoneisa (85% dari populasi) untuk mematuhi peraturan-peraturan dan tradisi-tradisi Muslim dalam kehidupan sehari-hari, sebagai langkah pertama membuka jalan terbentukanya Negara Islam. Upaya ini ditentang oleh partai-partai non Muslim di dalam Konstiutante, yang menginginkan negara Pancasila. Konflik ini pada akhirnya meluas sampai di luar Konstituante diantara partai-partai politik dan militer dipihak lain. Militer bersikap antipati terhadap partai karena pecekcokan yang tidak kunjung berakhir. Partaipun juga harus berhadapan dengan militer untuk menjaga kepentingan ekonomi mereka melawan campur tangan militer yang semakin meningkat di dalam pemerintahan sipil.

Berangkat dari situasi politik ini, Sukarno mulai mengkritisi konflik di antara partai politik yang tidak kunjung reda dan kinerja Konstituante yang melemah akibat konflik antar partai. Arah dari kritik ini adalah Sukano ingin menciptakan situasi politik yang lebih kondusif dan teratur. Sukarno memiliki sebuah konsep sebagai jalan keluar dari masalah ini yaitu konsep “Demokrasi Terpimpin”, suatu struktur politik yang di dalamnya partai-partai politik akan tunduk pada suatu otoritas nasional pusat, yang akan menerima kebijaksanaan cara “musyawarah”, perundingan bersama dengan partai-partai politik sebagai ganti dari konfrontasi dengan partai-partai politik (Malcolm Caldwell&Ernst Utrecht, 2011: 217).

Konsep ini dapat dikatakan wujud pertama pendidikan karakter bangsa ala Sukarno dalam masa berdirinya Demokrasi Terpimpin itu sendiri. Persatuan dan musyawarah menjadi hal yang ingin ditanamkan pertama kali dalam era ini. Sukarno sebagai presiden hendak mendidik bangsa Indonesia terkait dua hal tersebut melalui sikap tegasnya dalam mengatasi pertikaian atau konflik antar partai politik yang tidak kujung usai dalam Konstituante.

Ketegasan penyelesaian dan teladan ini yang kemudian hilang di era reformasi 1998-2003. Sementara pada masa Orde Baru lebih pada otoriter dan ketegasan militer dalam pemerintahan. Sebuah ketegasan pembelengguan bukan ketegasan mendidik.

Unsur persatuan dalam kasus ini diupayakan melalui jalan tengah mengembalikan UUD dari UUDS ke UUD 1945 yang memberikan presiden memiliki kekuasaan lebih untuk mengambil kebijaksanaan politik dalam situasi buntu yang cenderung tidak membangun kedewasaan bangsa sebagai bangsa yang pluralis. Penetapan kembali UUD 1945 ini juga sebagai dasar pemberlakukan konsep Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 22 April 1959 dalam sidang paripurna Presiden Sukarno memohon kepada konstituante untuk kembali melaksanakan UUD 1945 secara murni tanpa amandemen sebagai UUD terakhir. Permohonan resmi ini menunjukkan bahwa Sukarno memberikan teladan dalam upaya mengambil tindakan politik sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku pada massa itu.

Sukarno mengambil tindakan tegas ketika upaya untuk memberlakukan kembali UUDS 1945 ditolak oleh Konstituane, karena perwakilan Muslim bersikeras dengan syarat menjalankan Syariat Islam. Amandemen ini ditolak oleh kelompok non Muslim. Karena kedua kelompok tidak memperoleh suara mayoritas dua pertiga Konstituante gagal kembali. Kegagalan ini memposisikan Sukarno untuk bertindak tegas dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. Sejak saat itu pembetukan karakter per tama dalam masa Demokrasi Terpimpin terlaksanakan.

Sukarno ingin menunjukkan bahwa Persatuan dan Musyarawah menjadi kunci utama dalam sebuah negara. Negara terbentuk bukan semata-mata karena memiliki pengalaman sejarah yang sama tetapi lebih dikarenakan adanya keinginan masyarakat untuk bersatu menjadi sebuah bangsa, terlebih dalam negara yang prulais seperti di Indonesia. Keinginan ini salah satunya tergambarkan dalam bentuk persatuan dan musyawarah sesuai dengan konsep Demokarsi Terpimpin. Konsep persatuan dan musyawarah dalam negara prulal seperti ini digambarkan oleh Sukarno bahwa tidak dapat didasarkan oleh budaya, suku dan agama pada khsususnya, mengingat agama, tetapi persatuan dan

(14)

Jurnal Penelitian. Volume 20, No. 1, November 2016, hlm. 25-35

musyawarah berlaku secara keseluruhan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.

Untuk merealisasikan persatuan ini Sukarno menggiring masyarakat untuk menerima dan menjiawai Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa. Sebuah ideologi yang sejak awal mula ditolak oleh sebagian besar perwakilan Muslim di dalam dan di luar konstituante. Melalui persatuan dalam bingkai Pancasila ini Sukarno memberikan pendidikan karaketer paling kuat bagi bangsa Indonesia. Karakter bangsa ini diharapkan sesuai dengan Pancasila. Sukarno sebagai seorang Muslim yang taat menunjukkan bahwa negara Indonesia tidak dibenarkan di dasarkan oleh salah satu agama yang ada di Indonesia sebagai pengatur dan penentu kehidupan berbangsa dan bernegara. Sukarno melalui Pancasila ini tidak membawa Indonesia ke arah negara Agama maupun negara sekular tetapi ke arah negara Pancasila yang mengakui dan mempercayai adanya Tuhan.

Pendidikan karakter bangsa yang kedua adalah penyadaran akan pentingnya peran dan kerjasama dalam mencapai tujuan bersama sebagai bangsa. Proses penyadaran ini dilakukan dalam bentuk kerjasama dan persatuan di antara partai politik melalui NASAKOM (nasionalisme, agama dan komunisme). Sebuah konsep kerjasama dan penyatuan yang banyak dikatakan berbagai pihak sebagai sesuatu yang dipaksakan. Pendidikan karakter Sukarno dalam bagian ini difokuskan bukan pada partai dan Ideologi yang berbeda satu sama lain tetapi bagaimana masyarakat partai Indonesia pada masa itu dapat lebih kritis untuk melihat potensi persamaan yang mampu mendukung tujuan bersama sebagai sebuah bangsa. Tujuan bersama menjadi semacam pengingat bersama untuk meminimalisir konflik dan pertentangan di antara partai politik. Melalui NASAKOM Sukarno mencoba untuk menampilkan demokrasi model Indonesia, bahwa membangun demokrasi Indonesia tidak hanya sekedar meniru demokrasi Barat. Hal ini juga sesuai dengan gaya pemikiran Sukarno bahwa ia selalu melakukan modifikasi pemikiran baik dari dunia barat maupun timur untuk disesuaikan dengan kepribadian dan situasi riil bangsa Indonesia. Gaya pemikiran Sukarno ini dalam kontek sejarah dapat dikatakan menjadi teladan bagi generasi muda untuk selalu kritis dan tajam dalam menerapkan ilmu pengetahuan untuk memajukan bangsa.

Pendidikan karakter bangsa yang ketiga, membangun jiwa bangsa Indonesia untuk berani tampil di tingkat dunia, sebagai pelopor anti imperialisme, kolonialisme, neo kolonialisme, feodalisme dan kapitalisme. Langkah ini telah dimulai oleh Sukarno jauh sebelum Demokrasi Terpimpin terbentuk dalam Konfresi Asia Afrika (KAA). Dunia telah mencatat dalam sejarah bahwa Sukarno sebagai pelopor lahirnya KAA. Pembentukan KAA ini lahir dari konsepsinya mengenai sosio-internasionalisme Sukrano pada tahun 1928 yang dinamakan sebagai “Indonesianisme dan Pan-Asiatisme”. Konsepsi ini direalisasikan dalam KAA 1 di Bandung 1955, dalam kofrensi ini Sukarno menyapaikan amanatnya yang berjudul “Let New Asia and A New Afica Be Born” (Solichin Salam, 1966: 261).

Peranan Sukarno di dunia Internasional ini mendapatkan pengakuan dunia salah satunya dari Mohammad Salem Ould Addaud, ketua delegasi dari Marutania, yang mengatakan “Bung Karno tidak saja sebagai pahlawan Asia-Afrika, tetapi juga pahlawan Islam”. Sukarno juga mendapat gelar “Champion of Islam and Freedom.” Pada era Demokrasi Terpimpin Indonesia tetep berperan dalam KAA dalam Asian Africa Journalist’s Conference di Jakarta 1963, Asian Africa Minister’s Meeting di Jakarta 1964 dan Asian Africa Islamic Conference di Bandung 1965. Melalui peran Indonesia dalam KAA Sukarno ingin mendidik bangsa Indonesia dalam melihat dunia yang terpecah menjadi dua OLDEFO (Old Established Forces) yang hendak mempertahankan kedudukannya. Oldefo ini adalah dunia dari kaum NEKOLIM (Neo Kolonialisme). Sedangkan NEFO (New Emerging Forces) adalah kekuatan baru yang sedang tumbuh di dunia Asia, Afrika dan Amerika Latin dan di belahan dunia lainya yang sedang berjuang melawan NEKOLIM. Melalui peran Sukarno dan Indonesia dalam KAA ini untuk membangun mental bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia untuk tampil melawan imperialisme, kolonialisme, neo kolonialisme, feodalisme dan kapitalisme.

Pada masa Orde Baru hal ini tidak nampak dan pada masa Reformasi hingga 2003 Indonesia belum nampak pula. Dalam model pendidikan karakter ala Sukarno ini dapat disimpulkan bahwa bingkai utama dari pendidikan karakternya adalah Nasionalisme, yang diwujudkan dalam berbagai ide pendidikan mental bangsa.

(15)

Yulius Dwi Cahyono, Pembentukan Karakter Bangsa Ala Sukarno dan Suharto dalam Perspektif ....

4. PEMBENTUKAN KARAKTER MENURUT SUHARTO

4.1 Suharto Muda

Suharto lahir dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah pada 08 Juni 1921, di desa Kemusuk, Argomulya, Godean, Yogyakarta. Dalam biografi Soeharto dinyatakan bahwa ayah dari Suharto adalah seorang ulu-ulu yang tidak memiliki sawah sejengkal pun (Ramahdhan & Dwipayana, 1989: 7). Saat usia sekolah, Suharto dititipkan orang tuanya kepada pamannya yang bernama Prawirowihardjo seorang mantri tani di Wuryantoro. Kehidupan perekonomian yang lebih baik dari ayah Suharto dipandang sebagai pilihan terbaik untuk memperkembangkan kehidupan Suharto termasuk dalam segi pendidikan.

Suharto kemudian sekolah di daerah tersebut, ia sangat menyukai pelajaran berhitung. Suharto bertemu pertama kali dengan Siti Hartinah (Bu Tien Suharto) di Wuryantoro, ia adalah putri Wedana Wuryantoro. Setamat dari sekolah rendah lima tahun, Suharto melanjutkan ke sekolah lanjut rendah (schakel school) di Wonogiri. Suharto kemudian pindah di daerah Selogiri, 6 km dari Wonogiri. Ia kemudian semakin menekuni pengetahuan di bidang pertanian di Wonogiri. Setelah tamat dari schakel school, Suharto tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya karena masalah keuangan keluarga orang tuanya yang tidak mendukung untuk melanjutkan sekolah. Ia kemudian sempat melamar sebagai pembantu klerek pada sebuah bank desa (Volks-bank). Suharto tidak lama bekerja sebagai pemantu klerek, ia keluar dan mengadu nasib di Solo, di kota ini pun ia tidak mendapatkan pekerjaan dan ia kembali ke Wuryantoro.

Jika dilakukan perbadingan masa muda Suharto dengan Sukarno dalam bidang pendidikan terdapat perbedaan yang sangat mencolok bahwa tingkat pendidikan di antara ke dua mantan presiden ini sungguh sangat signifikan. Secara sederhana kemampuan akademik menjadi berbeda antara kedua tokoh ini. Perbedaan ini tentunya akan berpengaruh dalam pola pemerintahan dari ke dua tokoh ini.

4.2 Pemikiran Suharto

dan Pembentukan Karakter Bangsa

Bericara mengenai pemikiran atau ide-ide besar Suharto, menjadi begitu singkat untuk

diuraikan jika dibandingkan dengan Sukarno muda yang penuh dengan ide-ide sosial politik yang amat egaliter penuh semangat pergerakan. Ia sangat kritis terhadap kolonialisme, imperialisme dan elitisme pada masanya. Sukarno memiliki beberapa konsep politik dan gagasan filosofis. Idenya merupakan pengembangan dari apa yang telah ia pelajari dan ia kritisi sesuai dengan situasi riil di Indonesia, sehingga orisinalitasnya nampak dalam hal ide atau gagasan.

Sementara untuk Suharato, terkait dengan pemikiran dan ide atau gagasan sosial-politik nyaris tidak dikenal sebagai orang yang memiliki filosofis politik yang menonjol (Baskara T Wardaya, 2009: 212). Menurut Baskara (2009: 212) sejak awal pemerintahnya sebagai presiden pendekatan yang ia pakai murni otoritariant, bahkan militeristik. Ia juga cenderung anti-rakyat.

Sekolah dan perjalanan karir Suharto tidak terlalu lancar, hingga ia bergabung dengan KNIL pasukan kolonial untuk melindungi kepentingan Belanda dan menekan potensi perlawanan rakyat Indoneisa. Suharto pada 1943 bergabung dengan PETA bentukan Jepang, setelah Indonesia merdeka ia bergabung dengan TNI. Pada bulan Desember 1956, karirnya mulai naik dengan menjabat sebagai Pangdam Diponegoro. Pada tahun ini ide-ide Sukarno sudah terkenal dan terdengar di dunia Internasional. Catatan hitam menyertai Suharto ketika ia menyalahgunakan kedudukanya untuk korupsi, yang terbukti pada bulan Agustus 1959 oleh tim anti korupsi yang dipimpin oleh Nasution. Jika berbicara mengenai ide atau gagasan Suharto, lebih cenderung ditemukan ide-ide intrik politik untuk melanggengkan kekuasaanya.

Pembentukan karakter bangsa pada masa Suharto hampir dapat dikatakan tidak ada. Hal yang nampak dan berkelanjutan adalah ditirunya model atau memerintah yang cenderung diwarnai dengan mengekang kebebasan rakyat dan pemiskinan karakater bangsa melalui berbagai korupsi dan praktik tidak sehat dalam berpemerintahan mulai sejak Suharto lengser pada tahun 1998 sampai pada masa reformasi tahun 2003, di mana kebebasan menjadi tidak terkendali dan praktik-praktik berpolitik tidak sehat semakin nampak dan terekspos di media massa secara bebas.

Berikut ini adalah salah satu contoh intrik politik tidak sehat dari Suharto mengenai rekayasa

(16)

Jurnal Penelitian. Volume 20, No. 1, November 2016, hlm. 25-35

Suharto untuk menduduki kursi presiden RI. Setelah Suharto melenyapkan dan menghacurkan PKI, ia merekayasa konsensus nasional (PJ Suwarno, 2009: 117). Konsensus pertama terkait dengan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kedua, mengenai cara-cara pelaksanaanya. Proses ini telah dimulai pada tahun 1966 pada bulan November dengan mengajukan tiga RUU kepada DPRGR. Panitia yang ditunjuk setelah melakukan sidang sebanyak 53 kali tetap tidak membuahkan hasil.

Pada bulan Juli 1966 Suharto mengambil inisiatif tanpa melalui DPRGR, dan berhasil mencapai persetujuan dengan para pemimpin partai tentang:

1) Pemilihan akan diadakan dengan menggunakan sistem list.

2) Keanggotaan DPR diperbesar dari 347 menjadi 460 anggota.

3) Pemerintah berhak mengangkat 100 orang anggota DPR (75 mewakili militer dan 25 mewakili sipil non partai) dan 1/3 anggota MPR (PJ. Suwarno, 2009: 117).

T indakan Suhar to ini jelas sebuah pelanggaran atas kewenangan dari DPRGR. Pelanggaran berikutnya untuk mempermudah jalan ia menjadi persiden adalah melalui MPRS. menetapkan 5 Juli 1968 sebagai pelaksanaan pemilu. Dalam penetapan hari pemilu ini, sebenarnya UU mengenai pemilu belum selesai disepakati di dalam sidang DPR. RUU ini justru ditempuh secara militer melalui pendapat atau suara dari staf dan diambil sebuah keputusan. Suharto kemudian berbicara dengan para pemimpin partai politik secara berulang dan diperoleh sebuah keputusan baru kemudian disampaikan kepada fraksinya di DPR. Hal ini mengandung arti bahwa keputusan telah disetujui di luar sidang DPR, baru kemudian dibawa ke dalam sidang dan disetujui dengan hasil yang sama. Hal ini menjadi jelas bahwa di era Suharto dipenuhi dengan manipulasi politik dan manipulasi demokrasi termasuk menjadikan Pancasila sebagai tameng pelanggengan kekuasaan tanpa melaksanakan Pancasila secara utuh. Dalam hal ini menjadi tidak mengherankan jika kemudian Suharto dapat dengan mudah mengantikan Sukarno sebagai Presiden RI ke 2.

5. DAMPAK POLA PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

SUKARNO VS SUHARTO BAGI BANGSA INDONESIA

Berbicara mengenai dampak dari pola pembentukan karakter bangsa bagi masa selanjutnya terlebih masa reformasi ini harus dimulai dari era Sukarno dimana pendidikan karakter yang ia bangun sejak masa ia menjadi presiden dapat dikatakan tidak dihidupi oleh masyarakat Indoneisa. Hal ini terjadi bukan karena ide atau gagasan Sukarno tidak memiliki nilai akan tetapi adanya upaya menghilangkan jejak Sukarno dalam sejarah atau dalam pemikiran masyarakat Indonesia.

Seperti yang dijelaskan dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (2008) pada subbab “Mengapa tahun 1950-an penting bagi kajian Indonesia” yang ditulis oleh Adrian Vickers bahwa pendidikan karakter Sukarno untuk bangsa ini telah terpotong atau terpangkas oleh propaganda Suharto. Sebagai dampaknya, karakter kuat yang telah dibangun oleh Sukarno di mata masyarkat Indonesia dan dunia Internasional tidak lagi diperhitungkan.

Dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia sejak Presiden Sukarno turun dari kursi presiden, pendidikan karakter telah berhenti untuk bangsa Indonesia. Hal ini semakin diperkuat dengan lahirnya Orde Baru di bawah Suharto. Pada masa pemerintahanya masyarakat tidak disuguhi dengan teladan dari sang presiden melainkan disuguhi dengan pemerintahan yang otoriter dan militeristik. Sejak Orde Baru masyarakat banyak menerima Indoktrinasi melalui Industri sejarah mulai dari G30S hingga Serangan Umum 1 Maret. Hal jelas bahwa pemerintah Suharto membentuk masyarakat untuk menuruti kehendak penguasa dan tunduk kepada penguasa. Kekritisan masyarakat Indonesia menjadi tumpul dan andaikata tidak tumpul, kekritisan tersebut hanya ada di dalam benak atau dalam hati para tokoh politis yang bersih dan para akademisi di tingkat perguruan tinggi.

Setelah Orde Baru tumbang, era reformasi 1998-2003 hanya berubah dalam kulit luarnya, sementara karakter yang masih melekat dari para pemimpin dan politisi adalah mental Orde Baru, sehingga dapat dikatakan bahwa era reformasi

(17)

Yulius Dwi Cahyono, Pembentukan Karakter Bangsa Ala Sukarno dan Suharto dalam Perspektif ....

menjadi pelangengan mentalitas Orde Baru yang lebih terlihat terbuka melalui kebebasan perss di era reformasi. Meskipun demikian era keterbukaan di era reformasi belum mampu mengubah mentalitas tersebut. Ketegasan terhadap dunia Internasional seperti pada era Sukarno juga tidak nampak hingga 2003.

Menjadi tidak mengherankan jika di era reformasi ini banyak kasus yang tidak sejalan dengan tujuan awal dari reformasi tersebut. Semisal kasus balas budi politis yang mengakibatkan oknum yang tidak bersih tetap dapat menduduki jabatan politik dalam pemerintahan. Mentalitas Orde Baru yang masih melekat kuat menjadi jawaban dari ketidak berhasilan dari reformasi 1998-2003.

6. PENUTUP

Pembentukan karakter bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dua masa pemerintaah Sukarno dan Suharto. Kedua pemerintahan ini memiliki andil yang sangat besar dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Pendidikan karakter bangsa ini sungguh sangat ditentukan dan tergantung dari sosok presiden

secara pribadi. Segala pemikiran dan tindakan seorang presiden bagi warga negaranya menjadi sebuah ukuran dan panutan dalam membentuk mentalitas atau kesadaran mental bangsa.

Berdasarkan perbandingan dari dua pola pembentukan karakter dari kedua presiden ini justru nampak bahwa telah terjadi satu masa di mana pendidikan karakter bangsa pada masa pemerintahan Sukarno telah terblokir atau terbekukan, melalui propaganda Suharto pada masa pemerintahan Orde Baru. Suhar to mencoba menghilangkan jejak Sukarno melalui banyak jalan mulai dari pendidikan dan sejarah. Sebagai dampaknya masyarakat pada masa Orde Baru dan Reformasi tumbuh menjadi masyarakat yang tidak memiliki karakter yang kuat atau mentalitas bangsa menjadi tidak sesuai dengan harapan para founding father kita. Keprihatinan ini dalam dunia pendidikan kemudian memunculkan ide mengintegrasikan pendidikan karakter kedalam setiap matapelajaran, dari tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi. Menjadi sebuah renungan bersama bahwa bangsa yang berkarakter baik sangat ditentukan oleh pemimpinnya atau teladan sang pemimpin dalam hal ini presiden.

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin Kasdi. 1991. Pengantar Ilmu Sejarah. Surabaya: University Press IKIP Surabaya Andi Suwirta & Iyep Candra Hermawan. 2012. “Masalah Karakter Bangsa dan Figur Kepemimpinan di Indonesia: Perspektif Sejarah”. Atikan Jurnal. Vol 2 (1) Juni 2012. Baskara T Wardaya. 2009. Bung Karno Mengugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal 65 hingga G30S. Yogyakarta: Galang Perss. Cindy Adams. 2014. Bung Karno Penyambung Lidah Indonesia. Jakarta: Yayasan Bung Karno.

Djoko Dwiyanto. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Pancasila Negara pancasila: Agama atau Sekuler, Sosialis atau Kapitalis. Yogyakarta: Ampera Utama. Kochar.S.K. 2008. Teaching of History. Jakarta: PT

Grasindo.

Louis Gottschalk. 1985. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI-Press.

Malcolm Caldwell&Ernst Utrecht. 2011. Sejarah Alternatif Indonesia. Yogyakarta: Djaman Baroe.

Nordholt-Henk Schulte, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari (ed). 2008. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakar ta: Yayasan Obor.

Peter Kasenda. 2010. Sukarno: Biografi Pemikiran 1926-1933. Jakarta: Komunitas Bambu. Ramahdhan & Dwipayana. 1989. Soeharto: Pikiran,

Ucapan dan Tindakan Saya. Jakarta: PT CITRA LAMTORO GUNG PERSADA. Solichin Salam. 1966. Bung Karno Putera Fadjar.

Jakarta: Gunung Agung.

Sukarno. 1964. Di bawah Bendera Revolusi Jilid 1 Cetakan ke 3. Jakarta: Panitiya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.

Suwarno, P.J. 2009. Rajawali Kemusuk Menjelajah Nusantara. Yogyakarta: USD.

“Video Dokumenter Wawancara Terakhir Presiden Sukarno Sesudah Peristiwa G30S”. https:/ / w w w . y o u t u b e . c o m / w a t c h ? v = WFbXtLP_S0Y

Referensi

Dokumen terkait

Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan dengan Pancasila serta

Uraian diatas menggambarkan bahwa pendidikan merupakan agen perubahan yang signifikan dalam pembentukan karakter bangsa, dan pendidikan Islam menjadi bagian yang

Dalam konteks sekolah/madrasah misalnya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan diri dari

Pengertian dari pembentukan karakter yaitu pembentukan yakni membentuk, atau membangun, sedangkan karakter kata lain dari tabiat (sifat dalam diri yang dibentuk oleh individu

bangsa dan negara lndonesia henujn kearah kemakmuEn dan kejayaa., Alih alih kita justru dihadap k3 n pada kenyaraan bahwa babyak penimpin di negeri ini seringkali

Dengan hasil penelitian tentang pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak secara umum kemudian dalam perspkektif pendidikan agama Islam mulai dari

Kedua zaman itu merupakan tonggak sejarah bangsa Indonesia karena bangsa Indonesia masa itu telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu bangsa yang mempunyai negara.. Kedua kerajaan

Pendidikan Kewarganegaraan juga mengajarkan peserta didik untuk terus berperilaku sesuai dengan nilai nilai budaya yang dapat membentuk karakter bangsa, contohnya dalam pendidikan