• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN - Tanggung Jawab Yuridis Para Pihak Dalam Pengiriman Tebu dari Kebun ke Pabrik (Studi pada Kebun Sei Semayang PTPN II)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN - Tanggung Jawab Yuridis Para Pihak Dalam Pengiriman Tebu dari Kebun ke Pabrik (Studi pada Kebun Sei Semayang PTPN II)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PENGANGKUTAN

A. Pengertian Umum Perjanjian dan Asas-Asas Perjanjian

A.1 Pengertian Umum Perjanjian

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda)

atau contract (Inggris). Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian

perjanjian, yaitu teori lama dan teori baru.15 Menurut teori lama, perjanjian adalah

perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum,

sedangkan menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, perjanjian

adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.

Perjanjian adalah suatu peristiwa ketika seorang berjanji kepada orang lain

kepada orang lain atau ketika orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal. Dalam perjanjian ini timbul suatu hubungan hukum antara dua orang

tersebut/perikatan. Perjanjian ini sifatnya konkret.16

Dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

pada Pasal 1313 telah diatur definisi perjanjian, yaitu “Suatu perjanjian adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang lain atau lebih.”

15

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 160.

16

(2)

Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut

menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan

dirinya terhadap orang lain. Hal ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban

atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang

(pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan

konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di

mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya

adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak

tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya

ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.17

Hal – hal yang diperjanjikan adalah :

1. Perjanjian memberi atau menyerahkan sesuatu barang (misal : jual beli, tukar, sewa, hibah dan lain-lain)

2. Perjanjian berbuat sesuatu ( misal : perjanjian perburuhan dan lain-lain) 3. Perjanjian tidak berbuat sesuatu (misal: tidak membuat tembok yang

tinggi-tinggi, dan lain sebagainya).18

A.2 Asas-Asas Perjanjian

Berdasarkan rumusan dan pengertian yang telah dijelaskan di atas, semua

hal tersebut menunjukkan bahwa perjanjian dibuat dengan pengetahuan dan

kehendak bersama dari para pihak, dengan tujuan untuk menciptakan atau

melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang membuat

perjanjian tersebut.19

17

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 92.

18

Lukman Santoso, Op. Cit., hlm. 12. 19

(3)

Untuk menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki

oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat

bagi para pihak, oleh KUH Perdata diberikan berbagai asas umum yang

merupakan pedoman atau patokan serta menjadikan batas atau rambu dalam

mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya

menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan

pelaksanaan atau pemenuhannya.20

Hukum perjanjian memuat lima asas penting, yaitu asas kebebasan

berkontrak, asas konsensualisme (kesepakatan), asas pacta sunt servanda

(kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas personalia (kepribadian).

1) Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1)

KUH Perdata yang menentukan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menekankan kata

“semua”, pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat

bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa

saja (tentang apa saja), dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang

membuatnya seperti suatu Undang-undang. Jadi dalam hal perjanjian, para pihak

diperbolehkan membuat Undang-undang bagi para pihak itu sendiri.21

Artinya, pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja, baik yang

sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas

menentukan sendiri isi perjanjian itu. Namun kebebasan tersebut tidak mutlak

20

Ibid.

21

(4)

karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan

Undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.22

2) Asas Konsensualisme (Kesepakatan)

Asas ini memperlihatkan bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang

dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat dan karenanya telah

melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut,

segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus,

meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata. Walau

demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitor (atau yang berkewajiban

untuk memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas, atau

dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu.23

Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat (1) KUH

Perdata, bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan

kedua belah pihak. Adanya kesepakatan oleh para pihak jelas melahirkan hak dan

kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah

bersifat obligatoir yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi

kontrak tersebut.24

Asas konsensualitas adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanjian

konsensuil. Sebagai pengecualian dikenallah perjanjian formil dan perjanjian riil,

oleh karena dalam kedua jenis perjanjian yang disebut ini kesepakatan saja belum

mengikat pada pihak yang berjanji.25 Sehingga mensyaratkan adanya penyerahan

22

Lukman Santoso, Op. Cit., hlm. 10. 23

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hlm. 34. 24

Damang, Asas-Asas Perjanjian, http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asas-perjanjian.html, di akses pada tanggal 30 Maret 2015.

25

(5)

atau memenuhi bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang. Perjanjian

formil adalah perjanjian yang telah ditentukan bentuknya yaitu tertulis atau akta

autentik dan akta di bawah tangan, sedangkan perjanjian riil yaitu perjanjian yang

dibuat dan dilaksanakan secara nyata atau kontan.

3) Asas Pacta Sunt Servanda (Asas Kepastian Hukum)

Asas yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ini menyatakan

bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya”.

Artinya masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut harus

menghormati dan melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan isi perjanjian. Isi perjanjian yang mengikat

tersebut berlaku sebagai Undang-undang (Undang-undang dalam arti konkrit)

bagi mereka yang membuatnya.26

Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka

pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui

mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.

4) Asas Itikad Baik

Ketentuan mengenai asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH

Perdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan

dengan itikad baik”.

Rumusan tersebut memberikan arti bahwa sebagai sesuatu yang disepakati

dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian

26

(6)

harus dihormati sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat

perjanjian ditutup.

5) Asas Personalia (Kepribadian)

Asas ini diatur dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi

“Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau

meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan

tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh

seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya

akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.27

Sekalipun demikian, ketentuan tersebut terdapat pengecualiannya

sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan,

“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu

perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,

mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengonstruksikan bahwa

seseorang dapat mengadakan perjanjian atau kontrak untuk kepentingan pihak

ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan.

Pasal 1315 KUH Perdata menunjuk pada kewenangan bertindak dari

seorang yang membuat atau mengadakan perjanjian. Masalah kewenangan

bertindak seseorang sebagai individu dapat kita bedakan ke dalam :

a) Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingannya sendiri. Dalam hal ini ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata berlaku baginya secara pribadi

b) Sebagai wakil dari pihak tertentu, dapat dibedakan dalam :

1. Yang merupakan suatu badan hukum di mana orang perorangan tersebut bertindak dalam kapasitasnya selaku yang berhak dan berwenang umtuk mengikat badan hukum tersebut dengan pihak ketiga

27

(7)

2. Yang merupakan perwakilan yang ditetapkan oleh hukum, misalnya dalam bentuk kekuasaan orang tua, wali dari anak di bawah umur, dan kewenangan kurator untuk mengurus harta pailit.

c) Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa. Dalam hal ini berlaku ketentuan yang diatur dalam Bab XVI Buku III KUH Perdata, mulai Pasal 1792 hingga Pasal 1819 KUH Perdata.28

B. Jenis-Jenis dan Syarat Terjadinya Perjanjian Menurut Hukum Perdata

B.1 Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian terdiri dari dua macam, yaitu perjanjian yang obligatoir dan

perjanjian yang non-obligatoir.

1) Perjanjian Obligatoir yaitu suatu perjanjian dimana mengharuskan atau

mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu.

Misalnya :

a) Pembeli wajib menyerahkan harga barang

b) Penjual wajib menyerahkan barang

c) Penyewa wajib menyerahkan uang sewa

d) Majikan harus membayar upah.

Menurut Komariah, perjanjian obligatoir ada beberapa macam, yaitu :

1. Dari segi prestasi, perjanjian dapat dibedakan dalam:

a. Perjanjian sepihak, ialah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada satu pihak, dan hanya ada hak pada pihak lain.

Contoh : Perjanjian hibah, perjanjian pinjam pakai.

b. Perjanjian timbal balik, ialah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada pada kedua belah pihak. Jadi pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontra prestasi.

Contoh : Perjanjian pengangkutan

2. Dari segi pembebanan, perjanjian dapat dibedakan dalam:

a. Perjanjian cuma-cuma, ialah perjanjian dalam mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan tiada mendapatkan nikmat daripadanya. Contoh : Perjanjian hibah.

28Ibid.,

(8)

b. Perjanjian atas beban, ialah perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan prestasi (memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu). Contoh : Jual beli, sewa menyewa. 3. Dari segi kesepakatan, perjanjian dapat dibedakan dalam:

a. Perjanjian konsensuil, ialah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan (konsensus) dari kedua belah pihak. Jadi perjanjian lahir sejak detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak.

Contoh : Perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa

b. Perjanjian riil, ialah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan perbuatan/tindakan nyata. Jadi dengan kata sepakat saja, perjanjian tersebut belum mengikat kedua belah pihak.

Contoh : Perjanjian penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai c. Perjanjian formil, ialah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu,

jadi bentuknya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jika bentuk perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan, maka perjanjian tersebut tidak sah.

Contoh : Jual beli tanah harus dengan akte PPAT dan pendirian Perseroan Terbatas harus dengan Akte Notaris.

4. Dari segi penamaan, dapat dibedakan dalam:

a. Perjanjian bernama (nominaat), ialah perjanjian khusus yang diatur dan disebutkan dalam KUH Perdata buku III Bab V s/d Bab XVII dan dalam KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).

Contoh: Perjanjian jual beli, sewa menyewa, penitipan barang, pinjam pakai, asuransi, dan perjanjian pengangkutan.

b. Perjanjian tak bernama (innominaat), ialah perjanjian yang tidak diatur dan tidak disebutkan dalam KUH Perdata maupan KUHD.

Contoh: Perjanjian waralaba (franchise) dan perjanjian sewa guna usaha (leasing).

c. Perjanjian campuran, ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur dari berbagai perjanjian.

Contoh: Perjanjian sewa beli (gabungan dari perjanjian sewa menyewa dan jual beli).29

Selain dilihat dari empat pembagian perjanjian tersebut, perjanjian juga

dapat dibedakan dari segi :

1. Dari segi hasil perjanjian, perjanjian dapat dibedakan dalam:

a. Perjanjian comutatif atau perjanjian membalas (vergeldende

overeenkomst), yaitu perjanjian di mana terdapat keuntungan yang dinikmati oleh yang berhak atau atas nama yang menjanjikan prestasi itu.

b. Perjanjian aleatoir seperti perjanjian asuransi atau perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst), yaitu perjanjian dalam mana terhadap suatu prestasi yang dijanjikan dengan atau tanpa syarat, terdapat hanya

29

(9)

suatu keuntungan dengan syarat, sedangkan dipenuhinya syarat itu tidak bergantung pada pokok-pokok yang bersangkutan, sedangkan perjanjian-perjanjian itu diadakan justru berhubungan dengan kemungkinan dipenuhinya syarat itu.

2. Dari segi pokok kelanjutan, perjanjian dapat dibedakan dalam:

a. Perjanjian principal (dalam perjanjian jual beli, ialah untuk menyerahkan barang perjanjian jual beli).

b. Perjanjian accessoir, yaitu perjanjian untuk menjamin cacat

tersembunyi, perjanjian hipotik, perjanjian gadai, perjanjian

penanggungan (borgtocht); dan penyerahan hak millik atas kepercayaan.

3. Dari urutan utama, perjanjian dapat dibedakan dalam:

a. Perjanjian primair, maksudnya perjanjian utama atau pokok.

b. Perjanjian secundair, maksudnya menggantikan perjanjian yang asli (oorspronkelijk), apabila ini tak dipenuhi, umpama pembayaran ganti kerugian.

4. Dari segi pengaturannya, perjanjian dapat dibedakan dalam: a. Perjanjian yang lahir dari Undang-Undang.

b. Perjanjian yang lahir dari persetujuan.

5. Dari segi luas lingkungan, perjanjian dapat dibedakan dalam :

a. Perjanjian dalam arti sempit, ialah yang terjadi dengan kesepakatan perjanjian.

b. Perjanjian dalam arti luas, ialah termasuk juga yang terjadi dengan tanpa kesepakatan.30

2) Perjanjian Non-obligatoir, yaitu perjanjian yang tidak mengharuskan

seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu.

Perjanjian Non-Obligatoir ada beberapa macam, yaitu:

a. Zakelijk overeenkomst, ialah perjanjian yang menetapkan dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain. Jadi obyek perjanjian adalah hak.

Contoh : Balik nama hak atas tanah.

b. Bevifs overeenkomst atau procesrechtelijk overeenkomst, ialah perjanjian untuk membuktikan sesuatu. Perjanjian ini umumnya ditujukan pada hakim, tak terjadi perselisihan, supaya memakai alat bukti yang menyimpang dari apa yang ditentukan oleh Undang-Undang.

c. Liberatoir overeenkomst, ialah perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.

30

(10)

Contoh: A berhutang kepada B sebanyak Rp 1.000.000,-. B mengadakan perjanjian liberatoir liberatoir yakni mulai sekarang A tidak usah membayar utang Rp 1.000.000,- tersebut.

d. Vaststelling overeenkomst, ialah perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai isi dan luas perhubungan hukum antara kedua belah pihak. Contoh: Dading yaitu perjanjian antara kedua belah pihak untuk mengakhiri perselisihan yang ada di muka pengadilan.31

B.2 Syarat Sah Terjadinya Perjanjian Menurut Hukum Perdata

Sebuah perjanjian yang baik semestinya memberikan rasa aman dan

menguntungkan masing-masing pihak. Agar sebuah perjanjian aman dan

menguntungkan bagi kedua belah pihak, ada beberapa hal yang wajib

diperhatikan sebelum menandatangani sebuah perjanjian, yaitu:

1. Memahami syarat-syarat pokok sahnya sebuah perjanjian;

2. Substansi pasal-pasal yang diatur di dalamnya jelas dan konkrit; 3. Mengikuti prosedur/tahapan dalam menyusun kontrak.32

Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila dipenuhi 4 (empat) syarat seperti

yang ditegaskan oleh Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi :

“Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal.”

Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang

berkembang digolongkan ke dalam :

1) Dua unsur pokok yang menyangkut subjek atau pihak yang mengadakan

perjanjian (unsur subjektif), dan

2) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek

perjanjian (unsur objektif).

31

Komariah, Op. Cit, hlm. 170. 32

(11)

Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari

para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan

perjanjian. Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan

yang merupakan objek yang diperjanjikan, dan causa dari objek yang berupa

prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak

dilarang atau diperkenankan menurut hukum.33

Tidak terpenuhinya salah satu syarat tersebut menyebabkan cacat dalam

perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk

dapat dibatalkan (pelanggaran terhadap unsur subjektif) maupun batal demi

hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif).

1. Syarat Kesepakatan

Syarat mengenai kesepakatan mereka yang mengikatkan diri terjadi secara

bebas atau dengan kebebasan.

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua

atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk

dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan

siapa yang harus melaksanakan.34

Suatu perjanjian dikatakan tidak memuat unsur kebebasan bersepakat,

apabila menganut salah satu dari tiga unsur ini:

a. Unsur paksaan (dwang); b. Unsur kekeliruan (dwaling); c. Unsur penipuan (bedrog).35

2. Syarat Kecakapan (cakap hukum)

33

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hlm. 94. 34

Ibid., hlm. 95. 35

(12)

Adanya kecakapan untuk berbuat merupakan syarat kedua sahnya

perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah

kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara

prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang

melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak

juga tidak dapat dilupakan.36

Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan ini diatur dalam Pasal 1329

KUH Perdata sampai dengan Pasal 1331 KUH Perdata.

Seseorang dikatakan cakap hukum apabila seorang laki-laki atau wanita

telah berumur minimal 21 (dua puluh satu) tahun, atau bagi seorang laki-laki

apabila belum berumur 21 tahun telah melangsungkan pernikahan.

Sebagai lawan dari cakap hukum (syarat kecakapan) ialah tidak cakap

hukum dan hal ini diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata yang menyatakan:

“Tak cakap untuk membuat perjanian adalah :

1) Orang-orang yang belum dewasa

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele)

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.”

3. Syarat Suatu Hal Tertentu

Suatu hal tertentu merupakan syarat ketiga dalam sahnya suatu perjanjian

berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata yang menyangkut objek hukum atau

mengenai bendanya.

36

(13)

Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh pihak-pihak ditegaskan

di dalam perjanjian mengenai:

a) Jenis barang

b) Kualitas dan mutu barang

c) Buatan pabrik dan dari negara mana d) Buatan tahun berapa

e) Warna barang

f) Ciri khusus barang tersebut g) Jumlah barang

h) Uraian lebih lanjut mengenai barang itu.37

KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu melalui Pasal 1333 KUH

Perdata, yang menyatakan :

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

4. Syarat Suatu Sebab yang Halal

Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 KUH Perdata sampai Pasal

1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan :

“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.

Dalam Pasal 1335 KUH Perdata dijelaskan bahwa yang disebut dengan

sebab yang halal adalah :

1) Bukan tanpa sebab;

2) Bukan sebab yang palsu;

3) Bukan sebab yang terlarang.38

Barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian adalah:

a) Barang-barang di luar perdagangan, misalnya senjata resmi yang dipakai negara;

37

C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Op. Cit., hlm. 227. 38

(14)

b) Barang-barang yang dilarang oleh Undang-undang, misalnya narkotika; c) Warisan yang belum terbuka.39

C. Pengertian Pengangkutan dan Perjanjian Pengangkutan

C.1 Pengertian Pengangkutan

Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan

atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan

manusia yang modern senantiasa didukung oleh pengangkutan. Bahkan salah satu

barometer penentu kemajuan kehidupan dan peradaban suatu masyarakat adalah

kemajuan dan perkembangan kegiatan maupun teknologi yang dipergunakan

masyarakat tersebut dalam kegiatan pengangkutan.40

Pengangkutan mempunyai peranan yang sangat luas dan penting untuk

pembangunan ekonomi bangsa. Dapat dilakukan melalui udara, laut, dan darat

untuk mengangkut orang dan barang.41

Istilah pengangkutan berasal dari kata “angkut” yang berarti mengangkut

dan membawa, sedangkan istilah pengangkutan dapat diartikan sebagai

pembawaan barang-barang atau orang-orang (penumpang).42

Pengangkutan adalah perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan

pengirim, dimana pemgangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan

pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu

39

Komariah, Op. Cit., hlm. 176. 40

Hasim Purba, Op. Cit., hlm. 3. 41

Sinta Uli, Pengangkutan: Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut, Angkutan Darat & Angkutan Udara, USU Press, Medan, 2006, hlm. 1.

42

(15)

dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang

angkutan.43

Menurut pendapat R. Soekardono, pengangkutan pada pokoknya berisikan

perpindahan tempat baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang,

karena perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan meninggikan manfaat

serta efisiensi. Adapun proses dari pengangkutan itu merupakan gerakan dari

tempat asal dari mana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan dimana

angkutan itu diakhiri.44

Pengertian lain dari pengangkutan adalah kegiatan pemindahan orang dan

atau barang dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui angkutan darat,

angkutan perairan, maupun angkutan udara dengan menggunakan alat angkutan.45

Konsep pengangkutan meliputi tiga aspek, yaitu :

1. Pengangkutan sebagai usaha (business);

2. Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement);

3. Pengangkutan sebagai proses penerapan (applying process).

Ketiga aspek pengangkutan tersebut menyatakan kegiatan yang berakhir

dengan pencapaian tujuan pengangkutan. Ketiga aspek tersebut akan dijelaskan

sebagai berikut :

1. Pengangkutan sebagai Usaha (business)

Pengakutan sebagai usaha (business) adalah kegiatan usaha di bidang jasa pengangkutan yang menggunakan alat pengangkut mekanik. Alat pengangkut mekanik contohnya adalah gerbong untuk mengangkut barang, kereta untuk mengangkut penumpang, truk untuk mengangkut barang, bus untuk mengangkut penumpang, pesawat cargo untuk mengangkut barang, pesawat penumpang untuk mengangkut penumpang, kapal kargo untuk

43

H.M.N Purwosutjipto, Op. Cit, hlm. 2. 44

Hukum Pengangkutan, http://manfiroceanscienceoflaw.blogspot.com/2012/01/hukum-pengangkutan.html , diakses pada tanggal 03 April 2015.

45

(16)

mengangkut barang, dan kapal penumpang untuk mengangkut penumpang. Kegiatan usaha tersebut selalu berbentuk perusahaan perseorangan, persekutuan, atau badan hukum. Karena menjalankan perusahaan, usaha jasa pengangkutan bertujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba.

2. Pengangkutan sebagai Perjanjian (Agreement)

Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan antara pihak pengangkut dan piahk penumpang atau pengirim. Kesepakatan tersebut pada dasarnya berisi kewajiban dan hak pengangkut dan penumpang atau pengirim.

3. Pengangkutan sebagai Proses Penerapan (Applying Process)

Pengangkutan sebagai proses terdiri atas serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat pengangkut, kemudian dibawa oleh pengangkut menuju ke tempat tujuan yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan.46

Pengangkutan dapat dibedakan sesuai dengan jenisnya, yaitu:

1) Pengangkutan darat

2) Pengangkutan laut

3) Pengangkutan udara

4) Pengangkutan perairan darat

C.2 Pengertian Perjanjian Pengangkutan

Sebelum menyelenggarakan pengangkutan terlebih dahulu harus ada

perjanjian pengangkutan antara pengangkut dan penumpang/pemilik barang.

Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dimana pemgangkut mengikatkan

diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/atau barang dari satu

tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan penumpang atau pemilik

barang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.47

46

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hlm.1. 47

(17)

Perjanjian pengangkutan biasanya meliputi kegiatan pengangkutan dalam

arti luas, yaitu kegiatan memuat, membawa dan menurunkan atau membongkar,

kecuali jika dalam perjanjian ditentukan lain.

Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui pihak-pihak yang terkait

dalam proses angkutan, yaitu:

1) Pengangkut

Untuk angkutan darat pihak pengangkut terdiri atas perusahaan Oto Bis dan Perusahaan Kereta Api (PT. Kereta Api). Untuk perusahaan angkutan Oto Bis dapat dilakukan oleh BUMN/BUMD, badan usaha milik swasta nasional, koperasi atau perorangan.

2) Pengirim Barang

Pengirim barang bisa saja bukan sebagai pemilik barang tersebut, tetapi dia diberikan kuasa untuk melakukan pengiriman barang ke tempat tujuan sesuai dengan perjanjian pengangkutan.48

Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan antara

pihak pengangkut dan pihak penumpang atau pengirim. Kesepakatan tersebut

pada dasarnya berisi kewajiban dan hak pengangkut dan penumpang atau

pengirim. Kewajiban pengangkut adalah mengangkut penumpang atau barang

sejak di tempat pemberangkatan sampai ke tempat tujuan yang telah disepakati

dengan selamat. Sebagai imbalan, pengangkut berhak memperoleh sejumlah uang

jasa atau uang sewa yang disebut biaya pengangkutan. Sedangkan kewajiban

penumpang atau pengirim adalah membayar sejumlah uang sebagai biaya

pengangkutan dan memperoleh hak atas pengangkutan sampai di tempat tujuan

dengan selamat.49

Esensi dari perjanjian pengangkutan adalah adanya hubungan hukum

secara timbal balik antara pengangkut (penyedia jasa angkutan) dengan

48

Sinta Uli, Op. Cit., hlm 59. 49

(18)

penumpang dan/atau pengirim barang (pengguna jasa angkutan) dimana

masing-masing pihak mempunyai kewajiban dan hak.50

Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis),

tetapi selalu didukung oleh dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan

berfungsi sebagai bukti sudah terjadi perjanjian pengangkutan dan wajib

dilaksanakan oleh pihak-pihak. Dokumen pengangkutan barang lazim disebut

surat muatan, sedangkan dokumen pengangkutan penumpang lazim disebut karcis

penumpang. Perjanjian pengangkutan dapat juga dibuat tertulis yang disebut

perjanjian carter (charter party), seperti carter pesawat udara untuk mengangkut

jemaah haji ataupun carter kapal untuk mengangkut barang dagangan.51

Alasan para pihak menginginkan agar perjanjian pengangkutan dibuat

secara tertulis, ialah sebagai berikut:

1) Kedua pihak ingin memperoleh kepastian mengenai kewajiban dan hak.

2) Kejelasan perincian mengenai objek, tujuan, dan beban risiko pihak-pihak.

3) Kepastian dan kejelasan cara pembayaran dan penyerahan barang.

4) Menghindari berbagai macam tafsiran arti kata dan isi perjanjian. 5) Kepastian mengenai kapan, dimana, dan alasan apa perjanjian berakhir. 6) Menghindari konflik pelaksanaan perjanjian akibat ketidakjelasan maksud

yang dikehendaki pihak-pihak.52

D. Fungsi dan Sifat Perjanjian Pengangkutan

D.1 Fungsi Pengangkutan

Fungsi pengangkutan merupakan hal yang sangat penting dalam

kehidupan masyarakat. Pada dasarnya, fungsi pengangkutan ialah memindahkan

barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk

50

Hasim Purba, Op. Cit., hlm. 100. 51

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit.

(19)

meningkatkan daya guna dan nilai. Meningkatnya daya guna dan nilai merupakan

tujuan dari pengangkutan.

Sasaran fungsi pengangkutan itu adalah dengan dilakukannya kegiatan

pengangkutan itu maka barang atau benda yang diangkut itu akan meningkat daya

guna maupun nilai ekonomisnya.53

Perpindahan barang atau orang dari suatu tempat ketempat yang lain yang

diselenggarakan dengan pengangkutan tersebut harus dilakukan dengan

memenuhi beberapa ketentuan yang tidak dapat ditinggalkan, yaitu harus

diselenggarakan dengan aman, selamat, cepat, serta tidak ada perubahan bentuk

tempat dan waktunya.

Menurut Sri Rejeki Hartono bahwa pada dasarnya pengangkutan

mempunyai dua nilai kegunaan, yaitu :

a. Kegunaan Tempat (Place Utility)

Dengan adanya pengangkutan berarti terjadi perpindahan barang dari suatu tempat, dimana barang tadi dirasakan kurang bermanfaat, ketempat lain yang menyebabkan barang tadi menjadi lebih bermanfaat.

b. Kegunaan Waktu (Time Utility)

Dengan adanya pengangkutan berarti dapat dimungkinkan terjadinya suatu perpindahan suatu barang dari suatu tempat ketempat lain dimana barang itu lebih diperlukan tepat pada waktunya.54

Secara umum dinyatakan bahwa setiap pengangkutan bertujuan untuk tiba

di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang

ataupun barang yang diangkut. Tiba di tempat tujuan artinya proses pemindahan

dari satu tempat ke tempat tujuan berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan,

sesuai dengan waktu yang direncanakan. Dengan selamat artinya penumpang

53

Hasim Purba, Op. Cit., hlm. 5. 54

(20)

dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit,

atau meninggal dunia. Jika yang diangkut itu barang, selamat artinya barang yang

diangkut tidak mengalami kerusakan, kehilangan, kekurangan, atau kemusnahan.

Meningkatkan nilai guna artinya sumber daya manuia dan barang di tempat tujuan

menjadi lebih tinggi bagi kepentingan manusia dan pelaksanaan pembangunan.55

D.2 Sifat Perjanjian Pengangkutan

Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak, yaitu pengirim

dan pengangkut sama tinggi dan dalam melaksanakan perjanjian pengangkutan

tersebut, hubungan kerja antara pengirim dengan pengangkut tidak terus menerus,

tetapi hanya kadang kala, kalau pengirim membutuhkan pengangkutan untuk

mengirim barang.

Hubungan kerja antara pengirim dengan pengangkut yang tidak terus

menerus melainkan hanya kadang kala ini disebut dengan “pelayanan berkala”.

Pelayanan berkala disinggung dalam Pasal 1601 KUH Perdata, dikatakan

disinggung karena tidak ada pengaturan selanjutnya mengenai pelayanan berkala.

Karena perjanjian berkala ini tidak diatur lagi secara terperinci dan karena

perjanjian pengangkutan mempunyai sifat rangkap, seperti unsur pemborongan

(aanneming van werk), unsur penyimpanan (bewaargeving), dan unsur lainnya,

maka terdapat beberapa pendapat mengenai sifat perjanjian pengangkutan.

Terdapat beberapa sifat perjanjian pengangkutan, seperti :

1. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pelayanan berkala;

2. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pemborongan;

55

(21)

3. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah campuran.

Penjelasan mengenai sifat perjanjian pengangkutan tersebut ialah sebagai

berikut :

1. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pelayanan berkala

Dalam sifat pelayanan berkala ini, hubungan kerja antara pengirim dan

pengangkut tidak terus menerus, tetapi hanya kadang kala, kalau pengirim

membutuhkan pengangkutan untuk mengirim barang. Hubungan ini

disebut “pelayanan berkala”, sebab pelayanan itu tidak bersifat tetap,

hanya kadang kala saja, bila pengirim membutuhkan pengangkutan.56

Perjanjian yang bersifat “pelayanan berkala” ini disinggung dalam Pasal

1601 KUH Perdata. Dikatakan disinggung karena pengaturan selanjutnya

mengenai perjanjian berkala itu tidak ada.

Pasal 1601 KUH Perdata menyatakan :

“Selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada, oleh kebiasaan, maka adalah dua macam perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan menerima upah: perjanjian perburuhan dan pemborongan pekerjaan.”

2. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pemborongan

Pendapat yang menyatakan sifat perjanjian pengangkutan adalah

pemborongan mendasarkan diri atas Pasal 1617 KUH Perdata, yang

merupakan pasal penutup dari Bab VII A tentang pekerjaan pemborongan.

Pasal 1617 KUH Perdata ini berbunyi :

“Hak-hak dan kewajiban-kewajiban juru-juru pengangkut dan

nakhkoda-nakhkoda diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.”

56

(22)

Perjanjian pengangkutan harus mempunyai sifat sebagai perjanjian

pemborongan seperti yang ditentukan dalam Pasal 1601 (b) KUH Perdata

yang menentukan:

“Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.”

Dengan demikian, berarti perjanjian pengangkutan tersebut dilakukan

karena adanya salah satu pihak, yaitu pengangkut, yang mengikatkan diri

untuk melakukan kegiatan pengangkutan dengan menerima suatu bayaran

sebagai harga yang telah ditentukan dari pihak lain sebagai penumpang

dan/atau pengirim.

3. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah campuran.

Perjanjian campuran yaitu perjanjian melakukan pekerjaan (pelayanan

berkala) dan perjanjian penyimpanan (bewaargeving). Pengangkutan

memiliki unsur melakukan pekerjaan (pelayaan berkala) dan unsur

penyimpanan, karena pengangkut berkewajiban untuk menyelenggarakan

pengangkutan dan menyimpan barang-barang yang diserahkan kepadanya

untuk diangkut (Pasal 466 dan Pasal 468 ayat (1) KUH Dagang).57

Purwosutjipto setuju apabila perjanjian pengangkutan merupakan

perjanjian campuran, karena mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1) Pelayanan berkala (Pasal 1601 (b) KUH Perdata). Karena pasal ini adalah satu-satunya pasal yang khusus mengenai pelayanan berkala, yang berarti tidak ada pasal lain yang dapat menolak adanya unsur lain yang ada pada perjanjian pengangkutan.

57Ibid.,

(23)

2) Unsur penyimpanan (bewaargeving), terbukti adanya ketetapan dalam Pasal 468 ayat (1) KUHD yang berbunyi “Perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang tersebut.” Juga dalam Pasal 346 KUH Dagang.

3) Unsur pemberian kuasa (lastgeving). Terbukti dengan adanya ketetapan dalam Pasal 371 KUHD. Pasal 371 ayat (1) KUHD berbunyi “Nakhoda diwajibkan selama perjalanan menjaga kepentingan para pemilik muatan, mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk itu dan jika perlu untuk itu menghadap di muka Hakim.” Ayat (3) berbunyi “Dalam keadaan yang mendesak ia diperbolehkan menjual barang muatan atau sebagian dari itu, atau guna membiayai pengeluaran-pengeluaran yang telah dilakukan guna kepentingan muatan tersebut, meminjam uang dengan mempertaruhkan muatan itu sebagai jaminan.”58

Menurut sistem hukum Indonesia, perjanjian pengangkutan juga bersifat

konsensuil artinya pembuatan perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan harus

tertulis, cukup dengan lisan asal ada persetujuan kehendak para pihak

(konsensus).

Referensi

Dokumen terkait

Dampak-dampak dari Gaya komunikasi pemimpin dan motivasi kerja dalam meningkatkan kinerja pelayanan publik di Kelurahan Tunggulwulung antara lain koordinasi antara

Jadi berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa sistem ini mengkonsumsi arus sekitar 14.4A dalam waktu ±60 menit pada kecepatan 2.7 km/jam dan beban 53 kg

Faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat kinerja perawat pelaksana di lantai 6 (unit luka bakar) dirasakan para responden karena masih barunya usia unit tersebut, yang saat ini

Ia juga mengatakan, ada be- berapa potensi terjadinya pe- mungutan suara ulang, misalnya jika lebih dari satu pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, DPTb, dan tidak memiliki KTP-

STANDAR TEORI INTERVENSI UMUM KHUSUS.. T b.d KMK mengenal masalah gastritis Kerusakan mobilitas fisik keluarga Ny. T b.d KMK merawat anggota keluarga yang sakit. Selama

Hasil analisis sensori menunjukkan bahwa nilai penerimaan panelis terhadap parameter warna dan aroma stik sukun perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol, namun

Akses remote dilakukan dengan menggunakan aplikasi seperti telnet, rsh, rlogin dan ssh dengan cara melakukan autentikasi ke mesin remote (yaitu mesin atau

Hasil perbincangan daripada latar belakang masalah yang dirujuk melalui beberapa dapatan kajian literatur, pengkaji mendapati terdapat beberapa masalah yang wujud dalam