• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi (Communication 2.1.1. Prinsip Dasar Komunikasi - Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi (Communication 2.1.1. Prinsip Dasar Komunikasi - Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komunikasi (Communication

2.1.1. Prinsip Dasar Komunikasi )

Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Proses komunikasi yang menggunakan stimulus atau respon dalam bentuk bahasa baik lisan maupun tulisan selanjutnya disebut komunikasi verbal. Sedangkan apabila proses komunikasi tersebut menggunakan simbol-simbol disebut komunikasi non-verbal (Setiawati, 2008).

(2)

digunakan oleh komunikan dalam menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan (Notoatmodjo, 2003).

Teori difusi inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu “as the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.”

Teori perubahan perilaku menurut Rogers (1974): a. Awareness (kesadaran)

Yakni individu menyadari adanya stimulus yang datang terlebih dahulu b. Interest (perhatian/tertarik)

Individu mulai tertarik dengan adanya stimulus yang masuk c. Evaluation (menilai)

Individu mulai menimbang-nimbang baik dan buruknya apabila mengikuti stimulus tersebut

d. Trial (mencoba)

(3)

Individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.1.2. Unsur-unsur Komunikasi

Agar terjadi komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan pihak yang lain, antara kelompok satu dengan yang lain, atau seseorang dengan orang lain diperlukan keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yakni : Komunikator (source) adalah orang atau sumber yang menyampaikan atau mengeluarkan stimulus antara lain dalam bentuk informasi atau lebih tepatnya disebut pesan yang harus disampaikan. Komunikan (recevier) adalah pihak yang menerima stimulus dan memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Respon bisa aktif dalam bentuk ungkapan ataupun pasif dalam bentuk pemahaman. Pesan (message) adalah isi stimulus yang dikeluarkan oleh komunikator (sumber) kepada komunikan. Unsur komunikasi yang terakhir yaitu Saluran (media), adalah alat atau sarana yang digunakan oleh komunikan dalam menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan (Notoatmodjo, 2003).

2.1.3. Bentuk-bentuk Komunikasi

2.1.3.1. Komunikasi Interpersonal/Tatap Muka (Face to face) 2.1.3.1.1. Pengertian

(4)

guru-murid dan sebagainya (Mulyana, 2000).

Menurut Effendi, pada hakekatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan, sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Pada saat komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Jika ia dapat memberikan kesempatan pada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya (Sunarto, 2003).

2.1.3.1.2. Faktor-faktor Efektivitas Komunikasi Interpersonal

1.

Menurut Devito (1997) bahwa faktor-faktor efektivitas komunikasi interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu :

Keterbukaan (Openness)

(5)

Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita ucapkan. Dan kita berhak mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidak acuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan. Kita memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.

2.

Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran (Bochner dan Kelly, 1974). Terbuka dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang anda lontarkan adalah memang milik anda dan anda bertanggung jawab atasnya. Cara terbaik untuk menyatakan tanggung jawab ini adalah dengan pesan yang menggunakan kata Saya (kata ganti orang pertama tunggal).

Empati (empathy)

(6)

mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang.

3.

Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya. Sikap mendukung (supportiveness)

4.

Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategic, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.

Sikap positif (positiveness)

(7)

daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.

5. Kesetaraan (Equality)

Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain.kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan ”penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.

2.1.3.2. Komunikasi Kelompok (Forum) 2.1.3.2.1. Pengertian

(8)

sebagainya (Anwar Arifin, 1984). Michael Burgoon dalam (Wiryanto, 2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat.

Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Deddy, 2005). Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan. Dalam komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.

2.1.3.2.2. Faktor-faktor Efektivitas Komunikasi Kelompok

(9)

Untuk itu faktor-faktor keefektifan kelompok dapat dilacak pada karakteristik kelompok, yaitu:

1. Ukuran kelompok

(10)

menunjukkan bahwa makin besar ukuran kelompok makin berkurang kepuasan anggota-anggotanya. Slater menyarankan lima orang sebagai batas optimal untuk mengatasi masalah hubungan manusia. Kelompok yang lebih dari lima orang cenderung dianggap kacau, dan kegiatannya dianggap menghambur-hamburkan waktu oleh anggota-anggota kelompok.

2. Jaringan komunikasi.

Terdapat beberapa tipe jaringan komunikasi, diantaranya adalah sebagai berikut: roda, rantai, Y, lingkaran, dan bintang.

Dalam hubungan dengan prestasi kelompok, tipe roda menghasilkan produk kelompok tercepat dan terorganisir.

3. Kohesi kelompok.

(11)

dengan kelompoknya, maka mereka makin mudah melakukan konformitas. Makin kohesif kelompok, makin mudah anggota-anggotanya tunduk pada norma kelompok, dan makin tidak toleran pada anggota yang devian.

4. Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah komunikasi yang secara positif mempengaruhi kelompok untuk bergerak ke arah tujuan kelompok. Kepemimpinan adalah faktor yang paling menentukan keefektifan komunikasi kelompok. Klasifikasi gaya kepemimpinan yang klasik dilakukan oleh White dan Lippit (1960). Mereka mengklasifikasikan tiga gaya kepemimpinan: otoriter; demokratis; dan laissez faire

2.1.3.3. Komunikasi Massa

. Kepemimpinan otoriter ditandai dengan keputusan dan kebijakan yang seluruhnya ditentukan oleh pemimpin. Kepemimpinan demokratis menampilkan pemimpin yang mendorong dan membantu anggota kelompok untuk membicarakan dan memutuskan semua kebijakan. Kepemimpinan laissez faire memberikan kebebasan penuh bagi kelompok untuk mengambil keputusan individual dengan partisipasi dengan partisipasi pemimpin yang minimal.

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa cetak maupun elektronik yang dikelola sebuah lembaga atau orang yang dilembagakan yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar, anonim, dan heterogen. Pesan- pesannya bersifat umum, disampaikan secara serentak, cepat dan selintas.

(12)

Komunikasi sebenarnya bukan hanya ilmu pengetahuan, tapi juga seni bergaul agar kita dapat berkomunikasi efektif. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi dalam mana makna yang distimulasikan serupa atau sama dengan yang dimaksudkan komunikator. Pendeknya komunikasi efektif adalah makna bersama. Komunikasi yang efektif memberikan keuntungan dalam mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan. Siapa pun anda dan apa pun pekerjaan anda, anda tidak bisa tidak harus melakukan komunikasi.

Kriteria komunikasi yang efektif secara sederhana, bila orang berhasil menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Sebenarnya, ini hanya salah satu ukuran bagi efektivitas komunikasi. Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim atau sumber berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima.

Keefektifan komunikasi ditentukan oleh etos komunikator. Etos adalah nilai diri seseorang yang merupakan paduan dari kognisi, afeksi dan konasi. Kognisi adalah proses memahami. Afeksi adalah perasaan yang ditimbulkan oleh perangsang dari luar. Konasi adalah aspek psikologis yang berkaitan dengan upaya atau perjuangan (Rakhmat, 2002).

Ciri-ciri efektif-tidaknya komunikasi ditunjukan oleh dampak kognitif, dampak afektif, dan dampak behavioral yaitu :

(13)

b. Dampak afektif adalah dampak yang lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Disini tujuan komunikator bukan hanya sekedar agar komunikan tahu, tetapi tergerak hatinya yang dapat menimbulkan perasaan tertentu, misalnya persaan iba, terharu, bahagia dan sebagainya.

c. Dampak behavioral adalah dampak yang paling tinggi kadarnya, yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Menurut Rakhmat (2002), dalam buku psikologi komunikasi menyatakan bahwa : “etos atau faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikator terdiri dari kredibilitas, atraksi dan kekuasaan”. Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikan tentang sifat-sifat komunikator. Atraksi, faktor-faktor situasional yang mempengaruhi atraksi interpersonal : daya tarik fisik, kesamaan dan kemampuan. Atraksi fisik menyebabkan komunikator menarik karena menarik ia memiliki daya persuasif. Kekuasaan menyebabkan seorang komunikator dapat memaksakan kehendaknya kepada orang lain karena ia memiliki sumber daya yang sangat penting.

Tanda-tanda komunikasi efektif menimbulkan lima hal : 1. Pengertian/Pemahaman

Seorang komunikator dikatakan efektif bila penerima memperoleh pemahaman yang cermat atas pesan yang disampaikannya.

2. Kesenangan

(14)

3. Mempengaruhi sikap

Komunikasi persuasif memerlukan pemahaman tentang faktor-faktor pada diri komunikator, dan pesan menimbulkan efek pada komunikan. Persuasif didefinisikan sebagai “proses mempengaruhi pendapat, sikap dan tindakan dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri”. Dalam berbagai situasi kita berusaha mempengaruhi sikap orang lain, dan berusaha agar orang lain memahami ucapan kita.

4. Memperbaiki hubungan/ hubungan sosial yang baik

Sudah menjadi keyakinan umum bahwa bila seseorang dapat memilih kata yang tepat, mempersiapkannya jauh sebelumnya, dan mengemukakannya dengan tepat pula maka hasilnya adalah komunikasi yang sempurna. Dan dapat dipastikan hubungan sosial yang baik akan timbul.

5. Tindakan

Persuasi juga ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dihendaki. Menimbulkan tindakan nyata memang indikator efektivitas yang paling penting. Karena untuk menimbulkan tindakan, kita harus berhasil lebih dulu menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap, atau menumbuhkan hubungan yang baik (Rahmat, 2002).

2.2. Kepatuhan Berobat

(15)

penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.

Menurut Sacket (1985), kepatuhan penderita adalah sejauh mana perilaku penderita sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Menurut Sarafino (1994), secara umum ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktahuan penderita terhadap aturan pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik petugas yang memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan ke arah penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat. Faktor penderita yang menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, anggota keluarga, saudara atau teman khusus. Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi 4 (empat) bagian yaitu :

1. Pemahaman tentang instruksi

(16)

kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan intruksi yang harus diingat oleh penderita.

Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan penderita ditemuka n oleh (Niven, 2002), yaitu :

a. Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan.

b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain. c. Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus

diingat maka akan ada efek “keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis.

d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal yang perlu ditekankan.

2. Kualitas interaksi.

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dengan penderita merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan penderita adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada penderita setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Penderita membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

3. Isolasi sosial dan keluarga.

(17)

dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

4. Keyakinan, sikap, kepribadian

Ahli psikologi telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal. Orang-orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri.

(18)

sebagai suatu usaha penderita untuk mengendalikan perilakunya, bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan risiko mengenai kesehatannya.

Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan : 1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan

Perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau risiko yang jelas), sarana mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas.

Menurut Sarafino (1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar 78% untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang tingkat tersebut menurun sampai 54%.

2. Komunikasi antara penderita dan dokter.

Berbagai aspek komunikasi antara penderita dengan dokter memengaruhi tingkat ketidakpuasan terhadap informasi aspek hubungan dengan pengawasan emosional yang kurang, dengan dokter, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan.

3. Variabel-variabel sosial

(19)

mendapat dukungan sosial. Jelaslah bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pengelolaan medis. Misalnya, penggunaan pengaruh normatif pada penderita, yang mugkin mengakibatkan efek yang memudahkan atau menghambat perilaku ketaatan.

4. Ciri-ciri individual

Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan. Sebagai contoh : di Amerika serikat, kaum wanita, kaum kulit putih, dan orang tua cenderung mengikuti anjuran dokter (Sarafino, 1994).

2.3. Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman yang disebut Mycobacterium tuberculosis dan bukanlah penyakit keturunan tetapi dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Aditama, 2002). Kuman tuberkulosis mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB Paru cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002). Tuberkulosis klinis adalah pasien yang memperlihatkan gejala-gejala penyakit TB Paru dan masih memerlukan pemeriksaan yang lebih akurat untuk menegakkan diagnose.

(20)

Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif yang belum diobati. Kuman TB menyebar dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei), pada waktu penderita batuk atau bersin. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Percikan dahak dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Kemungkinan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2008).

2.3.2. Risiko Penularan

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1 %, berarti diantara 1000 penduduk terdapat sepuluh orang terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3 %. Kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi/gizi buruk (Depkes RI, 2008).

2.3.3. Gejala-Gejala Tuberkulosis

(21)

sebagai seorang tersangka (suspek) penderita TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis (Depkes RI, 2008).

2.3.4. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru

Menurut Depkes RI (2008), penemuan penderita merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB Paru yang terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita. Penemuan penderita TB paru dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka penderita dilakukan di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK); didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita TB. Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.

2.3.5. Diagnosis Tuberkulosis Paru

Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga patokan utama. Pertama, hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang disebut dengan anamnesis. Kedua, hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan adanya BTA pada specimen penderita dengan cara pemeriksaan 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Ketiga, pemeriksaaan rontgen dada yang akan memperlihatkan gambaran paru yang akan diperiksanya. Selain ketiga patokan tersebut kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari hasil pemeriksaan darah atau pemeriksaan tambahan lain (Aditama, 2002).

(22)

1. Tuberkulosis (TB ) Paru

Menurut Depkes RI (2008), Tuberkulosis (TB ) Paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam :

a. TB Paru BTA (+)

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran TB.

b. TB Paru BTA (-)

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto toraks menunjukkan gambaran TB. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika dan non OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

2. Tuberkulosis (TB ) Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura (selaput paru), selaput otak, pericardium (selaput jantung), kelenjar lymfe, tulang, ginjal dan lain-lain. TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :

a. TB ekstra paru ringan, misalnya TB kelenjar lymfe, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

(23)

2.3.7. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru

Menurut Depkes RI (2008), tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe penderita yaitu :

1. Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)

2. Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian didiagnosis kembali dengan BTA positif.

3. Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah penderita yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4. Gagal (Failure) adalah penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau lebih selama pengobatan. 5. Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang dipindahkan dari Unit Pelayanan

Kesehatan (UPK) yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Lain-lain adalah kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronis, yaitu penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.3.8. Pengobatan Tuberkulosis Paru

2.3.8.1. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis Paru

(24)

pengobatan. Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.

1. Tahap Awal (Intensif)

Pada tahap awal (Intensif) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi (kekebalan). Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (Depkes RI, 2002).

2.3.8.2. Hasil Pengobatan 1. Sembuh

(25)

2. Pengobatan Lengkap

Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

3. Meninggal

Adalah penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. 4. Pindah

Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

5. Default/ Drop Out

Penderita yang tidak berobat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

6. Gagal

Penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan (Depkes RI, 2008). 2.3.9. Penanggulangan TB

2.3.9.1. Rencana Global Penanggulangan TB

Menurut Depkes RI (2006), Rencana Global 2006-2015 mencakup enam elemen utama dalam strategi baru Stop TB-WHO yang terdiri dari :

(26)

yang berkualitas dapat menjangkau seluruh penderita, khususnya kelompok masyarakat yang miskin dan rentan.

2. Menghadapi tantangan TB/HIV , MDR-TB dan tantangan lainnya, dengan cara meningkatkan kolaborasi TB/HIV, DOTS-Plus dan pendekatan lainnya.

3. Berkontribusi dalam memperkuat sistem kesehatan melalui kerjasama dengan berbagai program dan pelayanan kesehatan lainnya, misalnya dalam memobilisasi sumber daya manusia dan finansial untuk implementasi dan mengevaluasi hasilnyaserta pertukaran informasi dalam keberhasilan pencapaian dalam program penanggulangan TB.

4. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan swasta, dengan cara memperluas pendekatan berbasis public-private mix (PPM).

5. Melibatkan penderita TB dan masyarakat untuk memberikan kontribusi dalam penyediaan pelayanan yang efektif. Hal ini meliputi perluasan pelayanan TB di masyarakat, menciptakan kebutuhan masyarakat akan pelayanan TB, advokasi yang spesifik; komunikasi dan mobilisasi sosial; serta mendukung pengembangan piagam pasien TB dalam masyarakat, dan memberdayakan dan meningkatkan penelitian operasional.

2.3.9.2. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

(27)

Paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60% saja. Dengan strategi DOTS diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru BTA positif yang ditemukan (Aditama, 2002).

Pengertian DOTS dimulai dengan keharusan pengelola program TB untuk memfokuskan perhatian dalam usaha menemukan penderita. Dalam arti deteksi kasus dengan pemeriksaan mikroskopik, yaitu dengan keharusan mendeteksi kasus secara baik dan akurat. Kemudian, setiap pasien harus diobservasi dalam memakan obatnya, setiap obat yang ditelan pasien harus di depan seorang pengawas. Pasien juga harus menerima pengobatan yang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dan penyediaan obat secara baik. Kemudian setiap pasien harus mendapat obat yang baik, artinya pengobatan jangka pendek standard yang telah terbukti ampuh secara klinik. Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang penanggulangan TB mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan (Aditama, 2002).

Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan.

Strategi DOTS mempunyai lima komponen :

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. 2. Diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

3. Membuat program.

(28)

5. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

6. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.

2.3.10. Standar Operasional Prosedur Pengawas Menelan Obat (PMO)

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

1. Persyaratan PMO

a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien 2. Siapa yang bisa jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

(29)

a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.

1. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya:

a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)

e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur

f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.

(30)

Menurut teori komunikasi Devito (1997), bahwa faktor yang berpengaruh terhadap ketidak patuhan penderita TB Paru dalam pengobatan adalah efektivitas komunikasi interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu keterbukaan (openness), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality). Berdasarkan faktor-faktor yang memengaruhinya, penderita TB Paru akan memutuskan patuh untuk berobat adalah :

Gambar 2.1 : Kerangka Teori Devito (1997)

2.5. Kerangka Konsep

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Keterbukaan Empati Sikap Mendukung Sikap Positif

Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Kesetaraan

Komunikasi Interpersonal : - Keterbukaan

- Empati

- Sikap Mendukung - Sikap positif - Kesetaraan

Gambar

Gambar 2.1 : Kerangka Teori Devito (1997)

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum output pelaksanaan kegiatan pengawasan kedatangan kapal laut dari luar negeri di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Padang belum seuai dengan SOP karena masih

Bagaimana kendala dan solusi yang harus dilakukan UMKM “UD PASTI MAJU” Peternakan Ayam Petelur Kabupaten Blitar dalam mengelola modal kerja sehingga dapat

Hasil: Dari uji bivariat Fisher untuk lingkar kepala yang diukur dengan foto x-ray didapatkan hasil yang bermakna antara lingkar kepala (sefalik indeks) dengan

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul Pengaruh Jus Rimpang Jahe (Zingiber officinale L.) Terhadap Penurunan Kadar

Gagasan tertulis : Metode penulisan menyajikan langkah-langkah/prosedur yang benar yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah yang menguraikan secara cermat cara /

Dan kegiatan ini biasanya merupakan tanggung jawab dari seorang Public Relations dalam suatu perusahaan berkaitan dengan tugasnya dalam membina hubungan yang baik