• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERFIKIR KRITIS Model Pembelajaran Proje

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BERFIKIR KRITIS Model Pembelajaran Proje"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Bab I

PENGANTAR

endidikan Kewarganegaraan memiliki misi untuk

mengembangkan warganegara yang demokratis dan

bertanggung jawab dalam konteks kehidupan yang berjiwakan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan konsep PKn menurut Somantri (2001:229) yang merumuskan bahwa:

“Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.

Pendapat lain dikemukakan oleh Djahiri (2006: 173), bahwa “PKn merupakan pendidikan sosial yang terintegrasi yang diharapkan dapat melahirkan warga negara yang cerdas, kritis bertanggung jawab, terampil dan partisipasif dalam pengambilan keputusan-keputusan publik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global”.

Dalam rangka mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas, maka penguasaan konsep dan keterampilan berpikir khususnya berpikir kritis siswa mutlak diperlukan. Sebab, siswa yang hanya menguasai konsep saja tanpa disertai dengan kemampuan berpikir kritis terkadang sulit

(2)

mengkomunikasikan ilmunya kepada orang lain dan men pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari (Lie:2002). melihat realita pembelajaran PKn saat ini di Indonesia ya pengamatan Kerr (1999:5-7) menunjukkan kategori minimal mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran kewargane bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada p menitikberatkan pada proses pengajaran, dan hasilnya mudah

Gambar 1.1. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan haruslah bersik (Sumber: LPMRHETOR-Media Komunikasi Mahasiswa) Hal tersebut di atas, sejalan dengan pendapat Wina Budimansyah (2007:121) yang mengemukakan tiga sumbe pengembangang civic education, yaitu 1) penggunaan alokasi tercantum dalam struktur kurikulum pendidikan dijabarkan dan konvensional sebagai jam pelajaran tatap muka di kelas dominan, sehingga guru tidak bisa berimprovisasi secara k melakukan aktivitas lainnya selain pembelajaran rutin tatap terjadwal dengan ketat; 2) pelaksanaan pembelajaran PKn didominasi oleh kegiatan peningkatan dimensi kognitif me porsi peningkatan dimensi lainnya menjadi terbengkalai keterbatasan media pembelajaran; 3) pembelajaran y

(3)

menekankan pada dimensi kognitif berimplikasi pada penilaian yang juga menekankan pada penguasaan kemampuan kognitif saja, sehingga mengakibatkan guru harus selalu mengejar target pencapaian materi.

Selain itu, persoalan lain yang muncul dalam proses pembelajaran PKn di sekolah, yakni adanya asumsi siswa yang menganggap bahwa pelajaran ini membosankan, tidak menantang karena hanya berupa hapalan dan belajar hanya dipersiapkan untuk menjawab soal-soal ujian semata. Hal ini diperkuat oleh cara guru dalam menyuguhkan materi pelajaran yang sebagian besar menggunakan metode konvensional seperti ceramah yang sesekali diselingi dengan tanya jawab dan pembelajaran lebih berpusat pada guru sehingga siswa cenderung pasif dan semakin tidak memiliki gairah untuk belajar.

(4)

Gambar 1.2. Suasana belajar yang tidak kondusif karena siswa me (Sumber: Epri Titik)

Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, m pembelajaran yang perlu dikembangkan adalah pembel memberdayakan siswa untuk dapat berpikir kritis dalam masalah atau “critical thinking oriented and problem solv modes”(CCE:1992-2000). Sebab, Pendidikan Kewarganegaraan salah satu mata pelajaran di persekolahan yang mempuny penting dalam membentuk dan mewujudkan karakter bangsa citakan yaitusmart and good citizenship, seperti ditegaskan da Isi (Permen No.22 Tahun 2006) dan Standar Kompetensi Lulu No.23 Tahun 2006) bahwa Pendidikan Kewarganegaraan meru pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan wargan memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajib menjadi warganegara Indonesia yang Cerdas, terampil, dan yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Hal tersebut, sejalan dengan visi Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003 dijelaskan bahwa aspek kepribadian warga perlu dikembangkan adalah menjadi manusia yang berkuali mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman. Sejalan

(5)

Pendidikan Nasional, Depdiknas berhasrat pada tahun menghasilkan insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan Cerdas komprehensif maksudnya meliputi cerdas spirit emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kines spiritual, yakni mampu mengaktualisasikan diri melalui olah menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketaqwaan, dan termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Cerda yakni mampu beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk m sensitivitas dan apresiativitas akan kehalusan dan keindah budaya serta kompetensi untuk mengekspresikannya. Cerdas mampu beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang m memupuk hubungan timbal balik, demokratis, empatik da menjungjung tinggi hak asasi manusia, ceria dan percaya diri, kebhinekaan, dan lain-lain. Cerdas intelektual, yakni mampu b melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan keman ilmu pengetahuan dan teknologi, serta aktualisasi insan yang dan imajinatif. Cerdas kinestetik, yakni mampu beraktualisas olah raga untuk mewujudkan insane yang sehat, bugar, berd sigap, terampil dan trengginas (Budimansyah & Suryadi, 2008:2

(6)

Lebih khusus, Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) berpikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapai isu kewarganegaraan; 2) berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta anti korupsi; 3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lainnya; 4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Semua kemampuan tersebut harus dimiliki oleh setiap warganegara abad 21, seperti yang dikemukakan oleh Cogan & Derricott (1998:116), bahwa karakteristik yang harus dimiliki warganegara sebagai berikut: 1) kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga masyarakat global; 2) kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat; 3) kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya; 4) kemampuan berpikir kritis dan sistematis; 5) kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa kekerasan; 6) kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungannya; 7) memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia seperti hak kaum wanita, minoritas, dan lain-lain; 8) kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik pada tingkatan pemerintah lokal, nasional, dan internasional.

(7)

mengemukakan bahwa terdapat beberapa kompetensi dasar warganegara yang harus dimiliki setiap warganegara dalam memelihara, mengembangkan dan mempraktekkan dasar-dasar demokrasi sebagai warga negara dari sebuah negara demokratis sebagai berikut:1) Acquiring and using information; 2). Assessing involvement; 3) Making decision; 4)

Making judgements; 5) Cooperating; 6) Communicating; 7) Promoting

interests.

Untuk mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas, salah satu jalan yang bisa ditempuh yakni melalui pendidikan, sebab pendidikan merupakan salah satu komponen penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3 dijelaskan bahwa:

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mnegembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yng beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

(8)

dan mewujudkan masyarakat belajar. Tujuan lain dari pembelajaran yakni untuk mengetahui, memahami, melakukan sesuatu, hidup dalam kebersamaan dan mengaktualisasikan diri. Dengan demikian, menurut Fajar (2004:15) kegiatan pembelajaran perlu: (1) berpusat pada siswa; (2) mengembangkan kreativitas siswa; (3) menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang; (4) bermuatan nilai, etika, estetika, dan kinestetika; (4) menyediakan pengalaman belajar yang beragam.

(9)

Gambar 1.4. Kepedulian terhadap fenomena sosial sebagai wujud la siswa

(Sumber: KAMMI Purwokerto)

Dasar pemikiran Project Citizenmenurut Branson (1999: pada satu kerangka yang dilandasi oleh lima bagian tenta pendidikan dan politik. Pertama, demokrasi memerlukan sendiri dan karenanya memerlukan keterlibatan dan berp warganegara dalam kehidupan bernegara. Satu komponen diperlukan tentang keterlibatan warganegara adalah partis proses pembuatan kebiajakan publik. Kedua, para siswa h bagaimana menjai terlibat dalam kehidupan berwarganeg terlibat didalamnya, yaitu dengan menyandang kewargane bertanggung jawab dan efektif. Siswa yang dilibatkan dalam p praktis, eksperimental akan lebih antusias dan bersemanga dengan yang tidak ikut serta dalam jenis kegiatan ini. Ketiga, siswa menggali masalah-masalah yang ada dikomunitas me maka mereka mendapat banyak kesempatan untuk mempe tentang hal-hal yang mendasar dalam inti demokrasi, seperti meliputi hak individu dan kepentingan bersama, peraturan yan kelompok mayoritas dan hak kaum minoritas, kebeba persamaan. Keempat, project citizen dimaksudkan untuk

(10)

terutama oleh siswa sekolah menengah atau usia-usia rem (sekitar 10-15 tahun); tetapi program tersebut juga digunakan adolescents) anak remaja yang menginjak dewasa di bebera Sebab anak remaja pradini mulai bergeser dari pemikiran ko pemikiran abstrak dan sering berhadapan dengan masalah bai sah atau tidaknya hak untuk bertindak dan jawaban-jawab atas situasi yang menyulitkan. Kelima, Project citizen menga muda sebagai sumber kewarganegaraan, sebagai anggota ya dari komunitasnya yang bernilai yang gagasan dan tenaganya nyata dicurahkan pada masalah-masalah kebijakan publik. K siswa sebagai warganegara muda tidak hanya merupakan w lebih baik untuk meningkatkan pengetahuan, kecakapan, kewarganegaraan demokrasi, tetapi juga makin baik bagi karena siswa tersebut mempermudah organisasi pemeri masyarakat bekerja melewati masalah-masalah penting di mas

(11)

Beberapa pemikiran di atas sejalan dengan empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO (Budimansyah, 2002:40) yakni 1)learning to do (peserta didik mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya); 2) learning to know (belajar untuk mengetahui sendiri pengetahuannya); 3) learning to be (belajar untuk membangun pengetahuan dan kepercayaan diri); 4) learning to live together (belajar untuk memahami kemajmukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup. Selain itu,project citizen dilandasi juga oleh pandangan konstruktivisme yang menyatakan bahwa semua peserta didik mulai dari usia kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi memiliki gagasan/pengetahuan tentang lingkungannya dan peristiwa/gejala lingkungan di sekitarnya meskipun seringkali naïf dan miskonsepsi.

(12)

kemampuannya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya.

Untuk itu diperlukan suasana terbuka, akrab, dan saling menghargai, dan sebaliknya perlu dihindari suasana belajar kaku, penuh dengan ketegangan, dan sarat dengan perintah dan instruksi yang membuat peserta didik menjadi pasif, tidak bergairah, cepat bosan dan mengalami kelelahan. Sebab, sikap demokratis yang ditampilkan guru di kelas dalam proses pembelajaran sangat berpengaruh terhadap pengembangan sikap demokratis seseorang.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, gelombang demokratisasi yang terjadi di Indonesia menuntut semua pihak mewujudkan kehidupan demokrasi di segala bidang. Dalam upaya meningkatkan kultur dan nilai-nilai demokratis, aspek sekolah dan program pendidikan sangat berpengaruh terhadap sikap demokratis. Pengembangan kultur hidup yang demokratis tergantung pada sistem pendidikan demokratis yang diterapkan di lingkungan pendidikannya. Sekarang masalahnya adalah bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk mewujudkan sekolah yang demokratis, agar nilai-nilai demokrasi tumbuh dan berkembang dalam segala aspek kehidupan warganegara.

(13)

luas. Demokrasi erat kaitannya tidak hanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga dalam dunia pendidikan. John Dewey (1916) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara pendidikan dengan demokrasi. Ketika berbicara mengenai demokrasi maka tidak akan terlepas dengan pendidikan. Dengan demikian demokrasi harus senantiasa diajarkan dan dipraktekkan untuk merangsang kegiatan berpikir kritis siswa, karena demokrasi tidak langsung datang dari langit dan tidak didapat melalui pewarisan tetapi merupakan proses panjang melalui pembiasaan, pembelajaran dan penghayatan (Azra, 2008:41). Sebuah adogium mengatakan “demokrasi dalam suatu negara akan tumbuh subur apabila dijaga oleh warganegara yang memiliki kehidupan demokratis” (Budimansyah, 2002: 5). Dalam hal ini, Project citizen memberikan kesempatan kepada para siswa untuk berdemokrasi ambil bagian dalam pemerintahan dan masyarakat sipil sambil mempraktekkan berpikir kritis, dialog, debat, negosiasi, kerjasama, kesantunan, toleransi, membuat keputusan, dan aksi warganegara (civic action), yakni melaksanakan kewajiban sebagai warganegara untuk kepentingan bersama (CCE, 1999).

(14)

persamaan kesempatan dan memperhatikan keragaman peserta didik (Budimansyah, 2002:7). Dengan kata lain, untuk bisa merangsang siswa untuk berpikir kritis, guru harus bisa memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi siswa dalam mengeksplorasi pengetahuan yang harus dimilikinya. Jadi, dalam hal ini guru tidak mendominasi dan hanya bertugas sebagai fasilitator dan pembimbing dalam proses pembelajaran.

(15)

Bab II

MENGENAL & MEMAHAMI ESENSI

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan kewarganegaraan atau lebih dikenal dengan istilah“civic education” menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4), didefinisikan sebagai berikut:

Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and in particular the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process.”

Berdasarkan definisi tersebut dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawab sebagai warganegara. Secara khusus pendidikan kewarganegaraan memiliki peran pendidikan termasuk didalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warganegara.

Cogan (1999:4) mendefinisikan civic education sebagai “…the foundation course work inschool designed to prepare young citizen for an

(16)

setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya menurut Branson (1999: 4), bahwa pendidikan kewa

merupakan pendidikan demokrasi untuk mengemba

memperkuat pemerintah otonom (self govermnet), yakni p otonom yang demokratis dimana warganegaranya aktif te pemerintahannya sendiri.

Gambar 2.1. Penyiapan warga negara yang dapat mengatas masalah sosial adalah salah tujuan dari mata pelajaran

(Sumber:http://steemit.com)

Pendapat lain dikemukakan oleh Djahiri (2006: 173), merupakan pendidikan social yang terintegrasi yang dihara melahirkan warga negara yang cerdas, kritis bertanggung jaw dan partisipasif dalam pengambilan keputusan-keputusan pu tingkat lokal, nasional, maupun global”. Hal ini sejalan denga Pendidikan kewarganegaraan yang dikemukakan oleh Pe Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar da disebutkan bahwa mata Pelajaran Pendidikan Kewa

tnya. Kemudian ewarganegaraan

bangkan dan

ni pemerintahan f terlibat dalam

atasi berbagai aran PKn

(17)

merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Sedangkan Somantri (2001:229) merumuskan bahwa:

“Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.

Pendapat tersebut sejalan dengan pengertian Pendidikan Kewarganegaraan yang dikemukakan oleh Zamroni (Tim ICCE, 2005: 7) bahwa:

“Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi merupakan sebuah learning proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.”

(18)

dicita-citakan yakni warga Negara yang cerdas dan baik (smart and good citizenship).

B. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

Depdiknas (2006:49) menuturkan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan

b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi

c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya

d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Branson (1999:7) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan (civic education) adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik lokal, negara bagian, maupun nasional. Sedangkan tujuan PKn menurut Djahiri (1995:10), sebagai berikut:

a. Secara umum, tujuan PKn harus ajeg dan mendukung

(19)

b. Secara khusus, tujuan PKn untuk membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan YME dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat atau kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan social seluruh rakyat Indonesia. Somantri (2001: 279), mengemukakan tujuan umum pelajaran PKn yaitu “mendidik warganegara agar menjadi warganegara yang baik yang dapat dilukiskan dengan warganegara yang patriotic, toleran, setia terhadap bangsa dan Negara, beragama, demokratis dan pancasila sejati”. Sedangkan fungsi mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan Negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak kritis sesuai dengan manat Pancasila dan UUD Tahun 1945.

Sedangkan menurut Sapriya (2001), tujuan pendidikan

kewarganegaraan adalah:

(20)

Lebih rinci, Maftuh dan Sapriya (2005:30) menegaskan bahwa: “Tujuan Negara mengembangkan pendidikan kewarganegaraan agar setiap warga Negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civic inteliegence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civic responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat”.

Djahiri (1995:10), mengemukakan bahwa melalui PKn siswa diharapkan dapat:

a. Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah, dasar ideology dan pandangan hidup Negara RI.

b. Melek konstitusi (UUD NKRI 1945) dan hukum yang berlaku dalam Negara RI.

c. Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir di atas.

d. Mengamalkan dan membakukan hal-hal di atas sebagai sikap perilaku diri dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.

(21)

C. Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan

Perkembangan pemikiran tentang Civics dan Civic Education di Amerika Serikat secara tidak langsung mempengaruhi perjalanan sejarah Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia. Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan, secara formal, diawali dengan munculnya mata pelajaran civics dalam kurikulum SMA tahun 1962. Di dalam Kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah civics dan Pendidikan Kewarganegaraan digunakan secara bertukar-pakai. Misalnya dalam kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang digunakan sebagai nama mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan Civics. Di dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan konstitusi termasuk UUD NRI 1945, sedangkan di dalam kurikulum SMA 1968 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara berisikan materi terutama berkenaan dengan UUD NRI 1945 (Somantri, 2001:285; Winataputra dan Budimansyah, 2007:70).

Selanjutnya dalam kurikulum 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan kurikulum 1975 (Winataputra dan Budimansyah, 2007:70).

Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, berlaku pula kurikulum 1994 yang

(22)

Kewarganegaraan atau Pendidikan Kewarganegaraan. Berb kurikulum sebelumnya, kurikulum 1994 mengorganisasi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4 dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas ( dan Budimansyah, 2007:70).

Gambar 2.2. Kegiatan penataran P4 sebagai upaya penguatan ideol terhadap warga negara Indonesia pada masa Orde Baru

(Sumber: solo pos)

Jika melihat perkembangan Pendidikan Kewarganegara maka substansi mata pelajaran Pendidikan Kewarganeg periode-periode di atas bertumpu pada falsafah negara Pan doktrin-doktrin politik kontemporer. Namun demikian, apa lebih dalam terdapat perbedaan dalam cara mengejawantah prinsip dan nilai-nilai dasar Pancasila sealur dengan ori kepentingan politik masing-masing rezim. Orientasi dan politik rezim penguasa telah mewarnai arah, isi, misi, dan i Pendidikan Kewarganegaraan pada zamannya masing-masing. dapat dilihat dari pendekatan pedagogisnya, yakni Kewarganegaraan yang cenderung bersifat dogmatis-doktri

(23)

tekanan yang terlalu berebihan pada proses penanaman nilai (Wahab, 2006:61; Winataputra dan Budimansyah, 2007:97).

Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan paradigma dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, seiring dengan munculnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang mencantumkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk: “... berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Dalam paradigma lama, Pendidikan Kewarganegaraan antara lain bercirikan struktur keilmuan yang tidak jelas, materi disesuaikan dengan kepentingan politik rezim (hegemoni penguasa), memiliki visi untuk memperkuat state building (negara otoriter birokratis, kooptasi negara) yang bermuara pada posisi warga negara sekedar sebagai kaula/obyek yang lemah ketika berhadapan dengan penguasa. Akibatnya semakin sulit untuk mengembangkan karakter warga negara yang demokratis. Adapun paradigma baru Pendidikan Kewarganegaraan antara lain bercirikan memiliki struktur keilmuan yang jelas yakni berbasis pada ilmu politik, hukum dan filsafat moral/Pancasila dan memiliki visi yang kuat untuk nation and character building, pemberdayaan warga negara (citizen empowerment) yang mampu untuk mengembangkan masyarakat kewargaan (civil society).

(24)

value-based education dengan kerangka sistemik sebagaimana dikemukakan Budimansyah (2008:108) berikut ini:

a. Secara kurikuler bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab.

b. Secara teoretik memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik (civic knowledge, civic disposition, dan civic skills) yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.

c. Secara programatikmenekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan

tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.

(25)

Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI 1945. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.

b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.

c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.

d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 2006 meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keterbukaan dan jaminan keadilan

(26)

kehidupan berbangsa dan bernegara, sistim hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional

c. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM

d. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara e. Konstitusi negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan

konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi

f. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi

g. Pancasila meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.

e. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.

(27)

Indonesia, dan berinteraksi dengan bangsa lain di era globalisa akhirnya, siswa mampu merefleksikan ketiga komponen ters kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan de pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan itu diharapkan be kehidupan siswa.

D. Landasan Pendidikan Kewarganegaraan di Indone

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2 Standar Nasional Pendidikan antara lain menyatakan bahw untuk jenis pendidikan umum, pada jenjang pendidikan mene atas lima kelompok mata pelajaran. Pendidikan Kewa termasuk dalam kelompok mata pelajaran Kewargane Kepribadian. Kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan untuk kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan k dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berne peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.

Gambar 2.3. Kerukunan umat beragama perlu dijaga untuk men masyarakat yang damai dan tentram

(Sumber: Madina Online)

alisasi). Sehingga tersebut dalam n demikian mata bermakna bagi

nesia

n 2005 tentang ahwa kurikulum enengah, terdiri ewarganegaraan anegaraan dan tuk peningkatan an kewajibannya ernegara, serta

(28)

UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimasukkan di dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Dalam penjelasan pasal 37 Ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

(29)

Dengan demikian, pendidikan kewarganegaraan yang sa mengusung pendidikan demokrasi memiliki peranan pe mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis, karen yang berkeadaban hanya dapat terwujud apabila institusi p dijalankan secara demokratis dan didukung oleh masya mempunyai kultur demokratis. Pengembangan kultur demo dilakukan dengan melibatkan seluruh segmen masyarakat m politik sampai masyarakat awam. Dengan demokian, melalu Kewarganegaraan diharapkan pembudayaan demokrasi dapat

Gambar 2.4. Keragaman suku bangsa sebagai tiang-tiang pengok Indonesia

(Sumber: Netral News)

E. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan di Indo

Materi Pendidikan Kewarganegaraan menurut pendap (1999:4) harus mencakup tiga komponen, yaitu Civic (pengetahuan kewarganegaraan), Civic Skills kewargenageraan), dan Civic Disposition (watak kewarg Komponen pertama, yaitu civic knowledge berkaitan denga yang harus diketahui oleh warganegara” (Branson, 1999:8

(30)

menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan kata lain pendidikan kewarganegaraan merupakan bidang kajian multidisipliner yang memuat materi pengetahuan kewarganegaraan tentang hak dan tanggung jawab warganegara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasarkan pada hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.

Komponen kedua, civics skills meliputi keterampilan intelektual (intellectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keterampilan intelektual bisa dilihat dari perwujudan seseorang dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya melakukan aksi demontrasi secara tertib dan damai dalam menganggapi kebijkaan pemerintahan yang dirasa kuarang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sedangkan keterampilan berpartisipasi dapat dilihat dari perwujudan seseorang dalam menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum dan pemerintahan.

(31)

F. Hakikat Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di

Indonesia

Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan merupakan program pendidikan yang berupaya memanusiakan manusia. Hal ini seperti dikemukakan Djahiri (2006:9) bahwa:

PKN merupakan program pendidikan/pembelajaran yang secara programatik-prosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudayakan(civilizing)serta memberdayakan peserta didik/siswa (diri dan kehidupannya) supaya menjadi warga negara yang baik sebagaimana tuntutan keharussan/yuridis konstitusional bangsa/negara yang bersangkutan.

Berdasarkan pendapat tersebut, pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peran penting dalam membentuk warga negara Indonesia yang baik dan cerdas. Hal tersebut dapat terwujud apabila dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, siswa dibekali pengetahuan untuk menjadi warga negara yang melek politik dan hukum serta dilatih untuk menciptakan suasana kehidupan yang demokratis serta mencerminkan kehidupan warga negara Indonesia yang melek politik dan hukum (Djahiri, 2006:10).

(32)

1) Materi Pembelajaran

Kosasih Djahiri (1979) pernah menegaskan bahwa materi PKn hendaknya lebih menitikberatkan pada pembinaan watak, pemahaman dan penghayatan nilai dan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, pembinaan siswa untuk melihat kenyataan, fokus belajar pada konsep yang benar menurut dan sesuai dengan Pancasila. Dengan demikian, penguasaan konsep dalam PKn memiliki kedudukan yang penting selain aspek afektif dan perilaku.

Materi PKn untuk lembaga persekolahan termasuk domain PKn sebagai program kurikuler. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, dimensi program ini bersifat formal, dasar (basic)dan krusial dalam pembentukan kompetensi dan karakter warga negara. Mengapa demikian? Karena sejak kanak-kanak setiap warga negara pada umumnya telah mulai diperkenalkan dengan kehidupan bernegara dan berorganisasi pada tingkat yang paling sederhana. Mereka diperkenalkan tentang sejumlah konsep yang terkait dengan kehidupan berkelompok, berorganisasi, bermasyarakat, bernegara dan berpemerintahan.

(33)

Terdapat perbedaan isi (content) PKn dalam pemembelajaran di sekolah, sebab dalam pelaksanaan kebijakan otonomi pendidikan setiap sekolah diebri kebebasan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan adanya kewenangan penyusunan kurikulum oleh satuan pendidikan masing-masing, maka memungkinkan tiap satuan pendidikan untuk menentukan isi (content) PKn sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan peserta didik yang ada di satuan pendidikan masing-masing. Kondisi ini tentu saja berbeda-beda, misalnya kalau PKn itu untuk Irian Jaya tentu berbeda isinya dengan PKn untuk DKI Jakarta.

Perbedaan itu disebabkan oleh adanya perbedaan konteks atau situasi sosial budaya di Irian Jaya dan Jakarta. Artinya muatan isi mata pelajaran yang harus dikembangkan berbeda, tetapi bagaimana muatan itu di proses sehingga menghasilkan kemampuan mengambil keputusan mungkin sama. Jadi yang berbeda sebenarnya adalah

muatan pengambilan keputusannya. Dengan demikian,

perbedaannya terdapat pada proses dan isi(content)nya.

(34)

Dengan demikian, content yang bersifat structural formal ini merupakan content perekat, pemersatu bangsa yang akan memperkuat semangat nasionAhlisme Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan content informal bersifat kontekstual tergantung lingkungan tempat dimana siswa berada. Namun, bagaimana perilaku warga negara terjadi dan dibentuk dalam pembelajaran di berbagai konteks pasti berbeda-beda.

Guru mempunyai tugas yang penting dalam mengembangkan dan memperkaya materi pembelajaran, karena hal tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Menurut Djamarah dan Zain (2003:51), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pembelajaran, yaitu: 1) materi pembelajaran hendaknya sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai; 2) materi pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa pada umumnya; 3) materi pembelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan; dan 4) materi pembelajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat tekstual maupun kontekstual.

(35)

2) Metode Pembelajaran

Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan pembelajaran, metode diperlukan oleh guru dan penggunaannya bervariasi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai setelah kegiatan pembelajaran berakhir (Djamarah, 2001:72).

Djahiri (1995/1996:28) dalam bukunya “Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam VCT”, mengemukakan bahwa metoda merupakan kumpulan sejumlah teknik. Terdapat beberapa metode mengajar, antara lain sebagai berikut:

a. Ceramah(lecturing) b. Ekspositorik

c. Metoda Pengajaran Konsep (Teaching Konsep) d. Metoda Tanya Jawab

e. Diskusi dan Kelompok Belajar

f. Metoda Inkuiri dan pemecahan Masalah

Memperhatikan karakteristik dan tujuan PKn, maka metode pembelajaran PKn yang membawa misi pendidikan demokrasi, pembangunan karakter, pendidikan nilai agar menjadi warga negara yang baik dan cerdas, maka perlu mengakomodasi pemikiran John Dewey tentang langkah-langkah berpikir ilmiah sebagaimana ditulis dalam bukunya "How We Think" tahun 1910 (Wahab. 2005:338) sebagai berikut:

a. A feeling ofperplexity; b. The definition of the problem; c. Suggesting and testing hypotheses;

d. Development of the solution, by reasoning; and

(36)

Pada tahun 1999, di Indonesia mulai diperkenalkan metode pembelajaran PKn yang dikembangkan dari metode inkuiri. Metode pembelajaran yang dimaksud dinamakan Model Pembelajaran PKn berbasis portofolio. Metode pembelajaran tersebut masuk ke Indonesia melalui kerjasama antara Center for Indonesian Civic Education (CICED) dan Center for Civic Education (CCE) Amerika Serikat yang berkedudukan di Calabasas California.

Pembelajaran PKn berbasis portofolio merupakan metode pembelajaran untuk pembentukan warga negara demokratis, yakni cara membelajarkan anak didik dengan mengembangkan kecerdasan warga negara (civic intelligence) dalam dimensi, spiritual, rasional, emosional dan sosial; mengembangkan tanggung jawab warga negara (civic responsibility); dan mengembangkan anak didik berpartisipasi sebagi warga negara(civic participation)guna menopang tumbuh dan berkembangnya warganegara yang baik.

Adapun metode yang relevan untuk diterapkan dalam

pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah yang

(37)

3) Media Pembelajaran

Media pembelajaran merupakan alat bantu yang da sebagai penyalur pesan untuk mencapai tujuan p (Djamarah dan Zain, 2002:139). Dalam proses p Pendidikan Kewarganegaraan, kehadiran media mempun sangat penting. Ketidakjelasan materi yang disamp diminimalisir dengan menghadirkan media sebagai Kerumitan materi yang akan disampaikan kepada disederhanakan dengan menggunakan media. Bahkan materi pembelajaran dapat dikonkretkan dengan keha Media dapat mewakili apa yang kurang dapat guru sampa kata-kata atau kalimat tertentu.

Gambar 2.5. Media pembelajaran perlu mewadahi kreativit minat belajar semakin baik

(Sumber: Nani Nur’aeni)

(38)

Djahiri (1995/1996:31) mengemukakan, bahwa dengan adanya media pembelajaran diharapkan dapat berperan untuk:

a. Menjadi fasilitator proses Kegiatan Belajar Siswa dan peningkatan Hasil Belajar Real

b. Meningkatkan kadar proses CBSA atau proses Kegiatan Mengajar Guru interaktif-reaktif

c. Meningkatkan motivasi belajar atau suasana belajar yang baik d. Meringankan beban tugas guru tanpa mengurangi kelancaran

dan keberhasilan pengajaran

e. Meningkatkan proses Kegiatan Belajar Mengajar secara efektif, efisien dan optimal

f. Menyegarkan Kegiatan Belajar Mengajar Jenis dan bentuk media, antara lain :

a. Materiil, berupa alat peraga, media cetak (Koran, majalah dll) b. Immaterial, seperti iklim, status sosial masyarakat dll

c. Personal, yaitu tokoh, pahlawan, narasumber dll d. Audio visual

e. Gerak atau penampilan seperti simulasi, permainan (games) Penggunaan media dalam Kegiatan Belajar Mengajar hendaknya memperhatikan kualifikasi standar kompetensi, kompetensi dasar dan metoda pembelajaran yang akan digunakan. Adapun jenis media pembelajaran yang biasa digunakan dalam setiap mata pelajaran, termasuk pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah:

a. Media audio, yaitu media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio,casette recorder; b. Media visual, yaitu media yang hanya mengandalkan indra

penglihatan. Media ini ada yang menampilkan gambar diam seperti foto, gambar, lukisan, dan sebagainya, ada pula media visual yang menampilkan gambar bergerak seperti film bisu dan film kartun.

(39)

Selanjutnya Winataputra (1989:163) menegaskan bahwa hal yang harus diperhatikan dalam menetapkan media yang akan dipakai dalam PKn adalah bahwa media itu harus dapat memberikan rangsangan kognitif atau cognitive simulation. Dengan terciptanya kondisi psikologi tersebut maka para siswa akan ditantang untuk bisa meningkatkan taraf moralitasnya. Pemberian rangsangan moral kognitif tersebut bisa melalui kliping Surat kabar atau media yang bersifat auditif seperti radio dan kaset yang berkaitan dengan masalah aktual.

Untuk pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, media yang diperlukan dan relevan dengan tujuan dan materi pembelajaran tidak banyak tersedia di toko-toko, sehingga guru dituntut un mampu mengembangkannya sendiri. Dalam hal ini guru dituntut untuk mahir dan kreatif membuat media sesuai dengan jenis media yang telah dipilih atau ditentukan sebelumnya. Sebelum membuat media terlebih dahulu harus dianalisis materi apa yang akan disampaikan kepada peserta didik; kemudian menetapkan media apa yang akan dikembangkan; setelah itu kemudian menyiapkan alat-alat yang akan digunakan untuk mengembangkan media itu, baru setelah itu membuat media yang kita kehendaki.

(40)

yang lebih banyak digunakan dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan media yang dibuat atau direkayasa sendiri oleh guru seperti tranaparansi, Flif Chart, flannel/magnetic board,kliping, gambar, dan media stimulus seperti cerita kasus dan media VCT daftar.

4) Sumber Pembelajaran

Sumber belajar merupakan sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat terdapatnya materi pembelajaran atau asal untuk belajar seseorang (Winataputra dan Ardiwinata, 1991:165). Dengan demikian, sumber belajar itu merupakan bahan/materi untuk menambah ilmu pengetahuan yang mengandung hal-hal baru bagi siswa selaku peserta didik.

(41)

5) Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam mengambil keputusan (Depdiknas, 2003:20). Menurut Djahiri (2005:2), evaluasi

pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan

momentum/instrumen untuk mengukur/menilai tingkat keberhasilan, kegagalan, kelebihan atau kekurangan proses dan hasil belajar serta momentum untuk melakukan relearning yang bersifat kontinyu, multidimensional, dan terbuka. Dengan kata lain, evaluasi merupakan media untuk mengukur ketercapaian suatu kompetensi pembelajaran yang telah ditetapkan.

Evaluasi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus bersifat utuh. Artinya evaluasi pembelajaran dilakukan baik dalam proses maupun hasil belajar yang menyangkut aspek kognitif, afektif maupun psikomotor (Al-Mukhtar, 2004:373). Dengan demikian, semua ranah kehidupan siswa menjadi objek evaluasi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

(42)

mengerjakan tugas-tugas yang terkait, dan mengefektifkan penggunaan informasi tersebut untuk mencapai tujuan pendidikan (Depdiknas, 2002:2). Beberapa hal yang perlu diterapkan dalam penilaian PKn, seperti yang diungkapkan oleh Djahiri (1995:53) yaitu :

a. Penilaian tidak hanya berfungsi untuk pengukuran tingkat keberhasilan belajar siswa melainkan juga tingkat keberhasilan/kegagalan mengajar, serta program reduksi, dan momentum membaca kualifikasi atau jati dirinya (siswa), keluarga dan lingkungan kehidupannya.

(43)

Bab III

DEMOKRASI SEBAGAI PERAN UTAMA DALAM

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

A. Pengertian Demokrasi

Kata demokrasi dapat ditinjau dari dua pengertian, yaitu pengertian secara bahasa demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan cratein atau cratos yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi, secara bahasa, demos-cratein atau demos-cratos berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat. Sedangkan pengertian secara istilah demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi ditangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih dibawah system pemilihan yang bebas. Jadi, yang diutamakan dalam pemerintahan demokratis adalah rakyat.

(44)

pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah y secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat. Pendapat dengan pemikiran Henry B. Mayo (1980:166) yang mengemuk demokrasi merupakan suatu system yang menunjukkan bahw umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil y secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan b didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggara suasana terjaminnya kebebasan politik.

Gambar 3.1. Berbagai kebijakan dalam konsep negara demo berpihak pada rakyat

(Sumber: Arif Rahmawan)

Pendapat lain tentang demokrasi dikemukakan ole (Darmawan, 2009:16) bahwa demokrasi merupakan suatu p institusional untuk mencapai keputusan politik dimana indi memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara kompetitif atas suatu rakyat. Dahl (1982:28) mengartikan sebagai suatu system politik dimana para anggotanya saling antara yang satu dengan yang lainnya sebagai orang-orang dipandang dari segi politik, dan mereka secara bersama berdaulat, memiliki segala kemampuan, sumber daya, da

(45)

lembaga yang mereka perlukan demi untuk memerintah diri mereka sendiri.

Sedangkan menurut Alamudi (Darmawan, 2009:2) menyatakan bahwa “demokrasi sesungguhnya bukan hanya seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga menyangkut seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku sehingga demokrasi disebut suatu pelembagaan dari kebebasan. Nilai terpenting lainnya dari demokrasi adalah persamaan. Intinya soko guru demokrasi adalah persamaan dan kebebasan.

Demokrasi merupakan suatu pemerintahan tempat kekuasaan pada suatu Negara berada ditangan rakyat. Dalam pemerintahan demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat. Hal ini mengandung tiga pengertian sebagai berikut:

a. Pemerintahan berasal dari rakyat

Kekuasaan yang diperoleh pemerintah adalah kekuasaan yang berasal dari kehendak rakyat. Pemerintahan itu mendapat dukungan dan pengakuan dari rakyat. Kekuasaan diperoleh dari pemilihan umum.

b. Pemerintahan dijalankan oleh rakyat

Pemerintah menjalankan kekuasaan atas nama rakyat, bukan atas kehendak sendiri. Dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah juga berada dibawah pengawasan rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

c. Pemerintah ditujukan untuk rakyat

(46)

didahulukan daripada kepentingan diri sendiri, golongan dan pemerintah itu sendiri.

Dari beberapa definisi demokrasi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat demokrasi adalah peran utama rakyat dalam proses sosial dan politik. Dengan kata lain, Azra (2008:40) menegaskan bahwa pemerintahan demokratis adalah pemerintahan di tangan rakyat yang mengandung pengertian tiga hal, yaitu pemerintahan dari rakyat (government of people), maksudnya suatu pemerintahan yang sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui mekaisme demokrasi yaitu pemilihan umum;pemerintahan oleh rakyat (government by the people), maksudnya suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat bukan atas dorongan pribadi elite negara atau elite birokrasi atau dengan kata lain dalam menjalankan pemerinathannya, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat (social control); dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people), maksudnya bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat.

Untuk menjamin pemerintahan yang demokratis maka Negara perlu membangun lembaga atau institusi-institusi demokrasi. Lembaga demokrasi tersebut bertujuan untuk menopang agar demokrasi bisa berjalan dengan baik. Menurut Miriam Budiardjo (1978:60), syarat-syarat dasar untuk terselengaranya pemerintahan yang demokratis dibawahrule of lawmenurut International Commissiion of Jurist, antara lain:

a. Pemerintah yang bertanggung jawab,

b. Dewan perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilu,

(47)

d. Pers dan media masa yang bebas, e. Sistem peradilan yang bebas

Dengan demikian, pemerintahan demokrasi merupakan

pemerintahan yang memenuhi tiga hal, yaitu pemerintahan tersebut berasal dari rakyat, dijalankan atas nama rakyat, dan pemerintahan ditujukan untuk kepentingan rakyat. Secara rinci, Alamudi (dalam Darmawan, 2009:2) mengatakan bahwa demokrasi menganut prinsip sebagai berikut:

a. Kedaulatan rakyat.

b. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah. c. Kekuasaan mayoritas.

d. Hak-hak minoritas.

e. Jaminan hak asasi manusia. f. Pemilihan yang bebas dan jujur. g. Persamaan di depan hukum. h. Proses hukum yang wajar.

i. Pembatasan pemerintah secara konstitusional. j. Plurarisme sosial, ekonomi, dan politik.

k. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama, dan mufakat. Selain hal tersebut, secara terperinci prinsip-prinsip demokrasi dikemukakan oleh Syafiie (2003: 159-162), yaitu:

(48)

Negara; dan (20) adanya pemerintah yang mengutamakan musyawarah.

Berdasarkan pendapat di atas, menunjukkan bahwa Negara yang demokratis perlu memperhatikan dan menjalankan prinsip-prinsip tersebut, meskipun dalam pelaksanaannya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

B. Budaya Demokrasi

Demokrasi dipahami tidak hanya sebagai bentuk pemerintahan tetapi juga pola hidup atau pandangan hidup dari pemerintahan dan masyarakat yang mencerminkan adanya nilai-nilai demokrasi. Demokrasi sebagai pola hidup dan pola sikap berbangsa dan bernegara tidak hanya membutuhkan pemerintahan demokrasi, tetapi juga budaya demokrasi. Jadi, pemerintahan demokrasi saja tidak cukup tanpa didukung oleh penyelenggara Negara dan masyarakat yang demokratis.

Suatu Negara dikatakan Negara demokrasi apabila memenuhi dua criteria, yaitu:

a. Pemerintahan demokrasi yang berwujud pada adanya institusi demokrasi,

b. Masyarakat demokratis yang ebrwujud pada adanya budaya (kultur) demokrasi.

(49)

Masyarakat demokratis adalah masyarakat yang memiliki dan menjalankan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut dijalankan dan diamalkan sehingga menghasilkan masyarakat dan pemerintahan yang berbudaya demokrasi. Apakah nilai demokrasi itu? Nilai-nilai demokrasi merupakan nilai-nilai kehidupan yang dianggap baik untuk diyakini, disepakati, dan dijalankan dalam kehidupan berdemokrasi. Nilai-nilai tersebut sangat mendukung tegaknya pemerinathan dan Negara demokrasi.

Menurut Henry B. Mayo, nilai-nilai demokrasi yang perlu ditegakkan yaitu: (1) menyelesaikan pertikaian secara damai dan sukarela; (2) menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah; (3) pergantian penguasa dengan teratur; (4) penggunaan paksaan sesedikit mungkin; (5) pengakuan dan penghormatan pada terhadap nilai keanekaragaman; (6) menegakkan keadilan; (7) memajukan ilmu pengetahuan; (8) pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan.

Kemudian menurut Zamroni, nilai-nilai demokrasi yang perlu diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu: (1) toleransi; (2) kebebasan mengemukakan pendapat; (3) menghormati perbedaan pendapat; (4) memahami keanekaragaman dalam masyarakat; (5) terbuka dan komunikasi; (6) menjungjung nilai dan martabat kemanusiaan; (7) percaya diri; (8) tidak bergantung pada orang lain; (9) saling menghargai; (10) mampu mengekang diri; (11) kebersamaan; (12) keseimbangan.

(50)

dipupuk, yaitu: (1) kesadaran akan pluralism; (2) prinsip musyawarah; (3) adanya pertimbangan moral; (4) pemukatan yang jujur dan adil; (5) pemenuhan segi-segi ekonomi; (6) kerjasama antar warga; (7) pandangan hidup demokrasi sebagai unsureyang menyatu dengan system pendidikan.

Nilai-nilai demokrasi tidak tumbuh dengan sendirinya dan juga tidak diwariskan, melainkan harus ditanamkan, diajarkan dan disosialisasikan kepada generasi muda yang kemudian diharapkan mampu dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Budaya demokrasi perlu dikembangkan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari lingkungan kecil yakni keluarga sampai lingkungan besar, yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan dalam pergaulan internasional. Budaya demokrasi dilingkungan masyarakat dapat diwujudkan mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat itu sendiri.

C. Pendidikan Demokrasi

Pendidikan demokrasi mutlak perlu dilaksanakan dalam suatu system pemerintahan demokratis yang diselenggarakan secara terencana, terarah, sistematis dan berkesinambungan. Oleh karena itu, diperlukan tatanan dan aturan politik serta hukum yang jelas supaya pelaksanaan demokrasi tidak mengarah kepada anarkisme atau otorianisme (Djiwandono dkk, 2003:41). Sehingga rakyat mengerti dan memahami akan hak dan kewajibannya sebagai warganegara.

(51)

Pendidikan demokrasi merupakan tuntutan dari t masyarakat madani Indonesia memiliki bebera diantaranya: a) manusia memerlukan kebebasan politik bahwa mereka memerlukan pemerintah dari dan un sendiri; b) kebebasan intelektual; c) kesempatan un dalam perwujudan diri sendiri (self realization); d) pen mengembnagkan kepatuhan moral pada kepentingan b bukan kepentingan diri sendiri atau kelompok; e) pen mengakui hak untuk berbeda (the right to be different kepada kemampuan manusia untuk membina masyara depan.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, pendidikan demo diperlukan demi terwujudnya masyarakat madani Indones tercipta kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang Pendidikan demokrasi dimulai dari tingkat persekolahan dasa sampai perguruan tinggi.

Gambar 3.2. Salah satu kegiatan di sekolah yang menanamkan nila adalah pemilihan Ketua OSIS

(Sumber: SMAN 1 Lubuk Alung)

Winataputra (2001) dalam disertasinya mengemuka pendidikan demokrasi adalah upaya sistematis yang dilakukan masyarakat untuk memfasilitasi individu warganegara agar menghayati dan mengamalkan serta mengembangkan konsep, nilai demokrasi sesuai dengan satus dan perannya dalam

(52)

Selanjutnya, Visi dan misi pendidikan demokrasi dikemukakan juga oleh Winataputra (2004:2), sebagai berikut:

Visi

Sebagai wahana substantive, pedagogic, dan social-kultural untuk membangun cita, nilai, konsep, prinsip, sikap, dan keterampilan demokrasi dalam diri warga Negara melalui pengalaman hidup dan kehidupan demokrasi dalam berbagai konteks.

Misi

Memfasilitasi warganegara untuk mendapatkan berbagai akses kepada dan menggunakan dengan cerdas berbagai sumber informasi tentang demokrasi dalam teori dan praktek untuk berbagai konteks kehidupan sehingga memiliki wawasan yang luas dan memadai(well-informed).

Memfasilitasi warganegara untuk melakukan kajian konseptual dan operasional secara cermat dan bertanggung jawab terhadap berbagai cita-cita, instrumentasi, dan praksis demokrasi guna mendapatkan keyakinan dalam melakukan pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari-hari serta berargumentasi atas keputusannya itu.

Memfasilitasi warganegara untuk memperoleh dan memanfaatkan kesempatan berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawabdalam praksis kehidupan demokrasi di lingkungannya, seperti mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat, memiliki serta memonitor dan mempengaruhi kebijakan publik.

(53)

Kemudian Affandi (2005:7) mengemukakan bahwa terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menanamkan pendidikan demokrasi kepada genarasi muda, yaitu pengetahuan dan kesadaran akan hal:

Pertama, demokrasi adalah bentuk kehidupan bermasyarakat yang palin menjamin hak-hak warga masyarakat itu sendiri. Kedua, demokrasi adalah suatu learning procces yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Ketiga, kelangsungan demokrasi tergantung pada keberhasilan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, persamaan dan keadilan serta loyal kepada system politik yang bersifat demokrasi.

Berdasarkan pendapat tersebut, bahwa pendidikan demokrasi perlu digali dari budaya masyarakat itu sendiri dan tidak bisa meniru dari masyarakat lain. Selain itu, perlu adanya transformasi nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, persamaan dan keadilan serta loyalitas terhadap system politik yang bersifat demokratis sehingga demokrasi itu sendiri dapat berlangsung dan berkembang secara berkesinambungan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pendidikan demokrasi yaitu keteladanan dan pola pembelajaran harus memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, sehingga demokrasi dapat tertanam kuat dalam diri siswa.

Pendidikan demokrasi menurut Gandal dan Finn (1992) perlu dikembangkan dalam bentuk model “school-based democracy education” yang bisa berbentuk empat alternative, yaitu: 1)the root and braces of the democracy ide(perhatian yang cermat yaitu landasan dan bentuk-bentuk demokrasi). 2) how the ideas of democracy have been translated into institutions and practices around the world and through the age

(54)

waktu. Dengan demikian siswa akan mengetahui dan memahami kekuatan dan kelemahan demokrasi dalam berbagai konteks ruang dan waktu. 3) adanya kurikulum yang memungkinkan siswa dapat belajar sejarah demokrasi di negaranya yang dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan dinegaranya dalam berbagai kurun waktu. 4) tersedianya kesempatan bagi siswa untuk memahami kondisi demokrasi yang diterapkan di negara-negara di dunia, sehingga para siswa memiliki aneka ragam sistem social demokrasi dalam berbagai konteks.

(55)

Bab IV

BERFIKIR KRITIS SEBAGAI SALAH SATU TUJUAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

enurut Somantri (1981), berpikir adalah suatu proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan berupa pengetahuan. Selain itu dalam proses tersebuut terjadi kegiatan penggabungan antara persepsi dan sistem unsure yang ada dalam pikiran.

Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Presseisen (1985:45) yang mengemukakan bahwa berpikir dianggap sebagai suatu proses kognitif yaitu aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Aktivitas mental ini terjadi karena adanya suatu rangsangan dari luar yang membentuk suatu pemikiran, penalaran dan keputusan serta kegiatan memperluas aturan yang diketahui untuk memecahkan masalah.

(56)

lingkungan; 2) model kenyataan hasil membayangkan sesua tertentu, seperti dalam hal cerita fiksi, dimana si pengarang m dalam sebuah adegan tertentu dalam suatu kenyataan; 3) m yang dilukiskan dalam pikiran dan perasaan seperti dalam h matematika dan musik. Jadi, dalam berpikir orang mengguna simbol tertentu dan berposes dalam otak secara internal.

Gambar 4.1. Patung The Thingker karya Auguste Rodin menjelaskan merupakan keistimewaan manusia

(Sumber: Wikipedia)

Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berpik pengetahuan yang diterima dari guru saja, tetapi perlu dilatih s memiliki keterampilan berpikir sebagai sarana yang dapat me siswa kepada pencapaian tujuan pendidikan lainnya, teru meraih pengetahuan dan sikap yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan Negara. Selain itu, keterampi diarahkan untuk memecahkan masalah. Terdapat dua jenis k berpikir, yaitu berpikir kritis dan berpikir kreatif (creative thinking)(Bruner, 1957).

esuatu peristiwa g menulis cerita ) model abstrak m hal pelajaran gunakan simbol

-kan proses berfikir

(57)
(58)

Johnson (2000), mengemukakan keterampilan berpikir dapat dibedakan menjadi berpikir kritis dan berpikir kreatif. Kedua jenis berpikir ini disebut juga sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi (Liliasari, 2002). Berpikir kritis merupakan proses mental yang terorganisasi dengan baik dan berperan dalam proses mengambil keputusan untuk memecahkan masalah dengan menganalisis dan menginterpretasi data dalam kegiatan inkuiri ilmiah.

(59)

Karakteristik lain yang berhubungan dengan berpikir krit Beyer (1995: 12-15) secara lengkap dalam bukuCritical Think Watak (dispositions): Seseorang yang mempunyai keteramp kritis mempunyai sikap skeptis, sangat terbuka, mengha kejujuran, respek terhadap berbagai data dan pendapat, resp kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pe dianggapnya baik; b) Kriteria: Dalam berpikir kritis harus sebuah kriteria atau patokan.

Gambar 4.2. Pemikiran kritis harus dibiasakan agar siswa tidak mera takut mengemukakan pendapatnya

(Sumber: Nani Nur’aeni)

Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan se diputuskan atau dipercayai. Meskipun sebuah argumen dapat beberapa sumber pelajaran, namun akan mempunyai k berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi ma berdasarkan kepada relevansi, keakuratan fakta-fakta, b sumber yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika yang yang konsisten, dan pertimbangan yang matang; c) Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh Keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenala

(60)

dan menyusun argument; d) Pertimbangan atau pemikiran (reasoning), yaitu kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis.

Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau data; e) Sudut pandang (point of view) adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda; f) Prosedur penerapan kriteria (procedures for applying criteria). Prosedur ini sangat kompleks dan prosedural. Prosedur tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan keputusan yang akan diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan.

Orlich (1998) menyatakan bahwa kemampuan yang berasosiasi dengan berpikir kritis yang efektif meliputi: (1) mengobservasi; (2) mengidentifikasi pola, hubungan, hubungan sebab-akibat, asumsi-kesalahan alasan, asumsi-kesalahan logika dan bias; (3) membangun kriteria dan

mengklasisfikasi; (4) membandingkan dan membedakan; (5)

(61)

kebenarannya. Berdasarkan uraian seperti di atas, maka kemampuan berpikir kritis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah proses mental yang mencakup kemampuan merumuskan masalah, memberikan dan menganalisis argumen, melakukan observasi, menyusun hipotesis, melakukan deduksi dan induksi, mengevaluasi, dan mengambil keputusan serta melaksanakan tindakan.

Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu modal dasar atau modal intelektual yang sangat penting bagi setiap orang (Galbreath,1999; Liliasari, 2002; Depdiknas, 2003; Trilling & Hood, 1999; Kubow, 2000) dan merupakan bagian yang fundamental dari kematangan manusia (Penner 1995 dalam Liliasari, 2000). Oleh karena itu, pengembangan Ketrampilan berpikir kritis menjadi sangat penting bagi siswa di setiap jenjang pendidikan. Keterampilan berpikir kritis menggunakan dasar berpikir menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap interpretasi untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, kemampuan memahami asumsi, memformulasi masalah, melakukan deduksi dan induksi serta mengambil keputusan yang tepat. Ketrampilan berpikir kritis adalah potensi intelektual yang dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran. Setiap manusia memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi pemikir yang kritis karena sesungguhnya kegiatan berpikir memiliki hubungan dengan pola pengelolaan diri (self organization) yang ada pada setiap mahluk di alam termasuk manusia sendiri (Liliasari, 2001; Johnson, 2000).

(62)

kelas yang positif, (2) berpikir perlu untuk memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan, (3) perlu untuk memperluas wawasan pengetahuan, (4) perlu untuk mengaktualisasikan kebermaknaan pengetahuan, (5) perlu untuk mengembangkan perilaku berpikir yang menguntungkan. Berpikir kritis merupakan suatu kompetensi yang harus dilatihkan pada peserta didik, karena kemampuan ini sangat diperlukan dalam kehidupan sekarang (Schafersman, 1999 dalam Arnyana, 2004).

Guru perlu membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis melalui strategi, dan metode pembelajaran yang mendukung siswa untuk belajar secara aktif. Inkuiri yang dipadukan dengan strategi kooperatif merupakan salah satu cara untuk itu. Dengan kegiatan inkuiri, siswa dapat belajar secara aktif untuk merumuskan masalah, melakukan penyelidikan, menganalisis dan menginterpretasikan data, serta mengambil keputusan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Perpaduan kegiatan inkuiri dengan strategi kooperatif dapat melatih siswa untuk bekerjasama dengan teman sebayanya.

(63)

ditempatkan di dalam ruang kelas untuk membantu proses belajar mengajar.

Menurut Somantri (1981), berpikir adalah suatu proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan berupa pengetahuan. Selain itu dalam proses tersebut terjadi kegiatan penggabungan antara persepsi dan sistem unsur yang ada dalam pikiran. Berpikir dianggap sebagai suatu proses kognitif yaitu aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Aktivitas mental ini terjadi karena adanya suatu rangsangan dari luar yang membentuk suatu pemikiran, penalaran dan keputusan serta kegiatan memperluas aturan yang diketahui untuk memecahkan masalah.

(64)

Keterampilan berpikir kritis menurut Wijaya (1999) adalah “kegiatan menganalisis idea atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji dan mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna”. Selanjutnya Wijaya (1999:73-74) mengemukakan cirri-ciri berpikir kritis, sebagai berikut:

1) mengenal secara rinci bagian-bagian dari keseluruhan; 2) pandai mendeteksi;

3) mampu membedakan ide yang relevan; 4) mampu membedakan fakta dengan pendapat;

5) mampu mengidentifikasi perbedaan atau kesenjangan-kesenjangan informasi;

6) dapat membedakan argumentasi logis dan tidak logis;

7) mampu mengembangkan criteria atau standard penelitian data; 8) suka mengumpulkan data untuk pembuktian factual;

9) dapat membedakan antara kritik membangun dan merusak; 10) mampu mengidentifikasi pandangan perspektif yang bersifat

ganda berkaitan dengan data;

11) mampu mengetes asumsi dengan cermat;

12) mampu mengkaji ide yang bertentangan dengan peristiwa dalam lingkkungan;

13) mampu mengidentifikasikan atribut-atribut manusia, tempat dan benda, seperti sifat, bentuk dan wujud dan lain-lain;

14) Mampu mendaftar segala akibat yang mungkin terjadi atau alternative pemecahan terhadap masalah, ide dan situasi;

15) Mampu membuat hubungan antara masalah satu dengan masalah lainnya;

16) Mampu menarik kesimpulan generalisasi dari data yang telah tersedia dengan data yang diperoleh dari lapangan;

17) Mampu menggambarkan konklusi dengan cermat dari data yang tersedi;

18) Mampu membuat prediksi dari informasi yang tersedia;

19) Dapat membedakan konklusi yang salah dan tepat terhadap informasi yang diterimanya;

(65)

21) Mampu membuat interpretasi pengertian, definisi, reasoning dan isu yang controversial;

22) Sanggup memberikan pembuktian-pembuktian yang kondusif; 23) Mampu mengklasifikasikan informasi dan ide;

24) Mampu menginterpretasi dan menjabarkan informasi ke dalam pola atau bagan-bagan tertentu;

25) Mampu menginterpretasikan dan membuat flow charts;

26) Mampu menganalisis isi, unsur, kecenderungan, pola, hubungan, prinsip, promosi, dan bias.

27) Sanggup membuat reasoning berdasarkan persamaan-persamaan analog;

28) Mampu membandingkan dan mempertentangkan yang kontras; 29) Sanggup mendeteksi bias atau penyimpangan-penyimpangan; 30) Terampil menggunakan sumber-sumber pengetahuan yang dapat

dipercaya;

31) Mampu menginterpretasikan gambar dan kartun; 32) Mampu menentukan hubungan sebab akibat 33) Mampu membuat konklusi yang valid.

Kemampuan berpikir kritis tidak bisa didapat begitu saja, tetapi ketajaman berpikir kritis akan diperoleh melalui banyak latihan dan praktek. Menurut Anita Harnadek dalam Hasoubah (2003:90) menyatakan bahwa “critical thingking is a skill which must be practiced in order to develop effectively”. Maksudnya bahwa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa salah satu cara yang efektif yaitu melalui praktek dan latihan. Berpikir kritis didefinisikan sebagai suatu proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan penguasaan data, analisis data, dan evaluasi data dengan mempertimbangkan aspek kualitatif serta melakukan seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi.(Gerhard 1971, dalam Redhana 2003: 14)

Gambar

Gambar 1.1. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan haruslah bersikersikap pro-aktif
Gambar 1.2. Suasana belajar yang tidak kondusif karena siswa me(Sumber: Epri Titik)merasa bosan
Gambar 1.3. Guru haruslah memberikan panutan agar siswa merasa(Sumber: MI Isamiyah)erasa terbimbing
Gambar 1.4. Kepedulian terhadap fenomena sosial sebagai wujud lasiswad lain kecakapan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tentunya dari perbandingan ini dapat diperoleh informasi bahwa secara umum dari besaran persentase ini, alumni ITB angkatan 2013 peserta Bidikmisi memiliki catatan masa

Hal ini dikarenakan hasil penelitian telah memenuhi tiga aspek dari empat aspek efektifitas dimana hasil belajar siswa sudah tuntas, kemampuan guru mengelola pembelajaran

Vjerovnici (dobavljači i kreditori) insolventnim dužnicima često zbog neplaćanja obustavljaju isporuku materijala, energije što smanjuje ili prekida proizvodnju i isporuke kupcima.

Hidangan atau susunan menu selain ditentukan oleh kuantitasnya perlu juga diperhatikan kualitasnya. Kualitas ini menyangkut apakah hidangan/menu tersebut sudah mengandung zat

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik materi hak dan kewajiban pada pembelajaran pendidikan kewarganegaraan

Secara teoretik: pengertian Hukum Acara dan praktik peradilan konstitusi; pengertian, fungsi dan kedudukan konstitusi, materi muatan konstitusi, interpretasi

Model ini menggunakan data-data klimatologis dan bermanfaat untuk mengetahui berlangsungnya bulan -bulan basah (jumlah curah hujan melebihi kehilangan air untuk penguapan dari

Peserta kompetisi Gema Gempita Matematika dan Sains adalah siswa SMP Negeri dan Swasta se-Bali yang disertai dengan surat keterangan dari kepala SMP