• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP."

Copied!
339
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Hal yang paling membedakan manusia dengan mahluk lainnya ialah akal pikiran yang tidak dimiliki mahluk lain. Keterampilan berpikir sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup manusia. Menurut Rosnawati (2012: 4), terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang sebenarnya cukup berbeda, yaitu berpikir tingkat tinggi (high level thinking), berpikir kompleks (complex thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, berpikir tingkat tinggi meliputi evaluasi, sintesis, dan analisis. Berpikir kompleks adalah proses kognitif yang melibatkan banyak tahapan atau bagian-bagian. Berpikir kritis merupakan keterampilan berpikir pada tingkatan tertinggi yang membutuhkan proses analisis dan evaluasi. Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir yang konvergen, yaitu menuju ke satu titik. Pentingnya berpikir kritis membuat kemampuan tersebut haruslah dapat dikembangkan sejak dini

(2)

2

berpikir kritisnya. Salah satu mata pelajaran yang dapat sangat membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis mereka adalah matematika. Dalam pembelajaran matematika, siswa akan dihadapkan pada suatu masalah. Di dalam menyelesaikan masalah, siswa diharapkan memahami proses dalam menyelesaikan masalah tersebut dan menjadi terampil di dalam mengidentifikasikan kondisi masalah dan konsep yang relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana penyelesaian dan mengorganisasikan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Berdasarkan uraian tersebut, tampak bahwa penyelesaian masalah mempunyai fungsi yang penting di dalam pembelajaran matematika (Herman Hudojo, 2003: 151).

Seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah yaitu bahwa kompetensi – kompetensi matematika yang diharapkan dari setiap lulusan adalah kemampuan matematis berupa sikap positif bermatematika yaitu logis, kritis, analitis, cermat, teliti, bertanggung jawab, responsif dan tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan masalah, sebagai wujud implementasi kebiasaan dalam inkuiri dan eksplorasi matematika. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis matematis merupakan salah satu kemampuan yang perlu dimiliki oleh siswa.

(3)

3

dirasa sangat penting bagi siswa untuk dapat menguasai matematika. Aspek berpikir kritis menurut Ennis yang dikutip Lipman (2003: 57) adalah fokus (focus), alasan (reasons), simpulan (interference), situasi (situation), kejelasan (clarity), dan tinjauan ulang (overview). Berdasarkan aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa dikatakan memiliki kemampuan berpikir kritis jika siswa dapat memberikan fokus pada permasalahan yang diberikan; siswa dapat memberikan alasan pada pernyataan atau jawaban yang diajukan; siswa dapat memberikan simpulan dari beberapa pernyataan atau solusi pada suatu permasalahan; siswa dapat memahami situasi yang terdapat pada suatu permasalahan; siswa dapat memahami dan menjelaskan ulang materi yang diberikan; siswa dapat memberikan tinjauan ulang pada beberapa solusi yang telah diajukan pada suatu permasalahan.

(4)

4

aktif dalam pembelajaran, sehingga seting pembelajaran yang tepat harus diterapkan.

Pembelajaran matematika yang diterapkan oleh mayoritas guru matematika di Indonesia saat ini menggunakan Scientific Method yang menjadi dasar kurikulum 2013. Scientific Method merupakan pembelajaran yang berbasis konstruktifisme mendorong siswa untuk dapat membangun pengetahuannya sendiri. Dalam Scientific Method terdapat tahapan – tahapan dalam proses pembelajaran yaitu mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasi dan mengkomunikasikan.

Problem-Based Learning digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar. Pembelajaran ini terdiri dari menyajikan masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Siswa bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas – tugas dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir (Nurhadi, 2003: 55).

(5)

5

penting yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dengan begitu, ketika siswa mengikuti pembelajaran yang menggunakan Problem-Based Learning sebagai model pembelajarannya, maka secara tidak langsung juga melatih kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Selain itu, siswa akan membangun pengetahuannya sendiri melalui diskusi secara berkelompok sehingga siswa terlibat secara aktif di dalam pembelajaran dan membangun sebuah konsep lewat langkah-langkah penyelesaian masalah yang dibantu dengan bimbingan guru. Problem-Based Learning merupakan salah satu alternatif yang baik untuk dapat digunakan dalam pembelajaran untuk dapat membuat siswa memahami lebih sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan prestasi belajar siswa.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat diidentifikasi beberapa masalah. Identifikasi masalah tersebut adalah sebagai berikut.

1. Prestasi belajar matematika siswa di Indonesia yang masih cenderung kurang. 2. Siswa di Indonesia memiliki kemampuan berpikir kritis yang rendah, padahal

kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan sangat yang penting bagi siswa untuk dapat menguasai matematika.

(6)

6

C.

Pembatasan Masalah

Agar penulisan skripsi ini tidak menyimpang dan mengambang dari tujuan yang semula direncanakan sehingga mempermudah mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, maka penulis menetapkan batasan-batasan. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu :

1. Model yang digunakan dalam pembelajaran dibatasi dengan model pembelajaran Problem-Based Learning.

2. Efektivitas yang akan diteliti ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis dan prestasi belajar matematika siswa.

3. Lingkup penelitian yang dilakukan terbatas pada siswa SMP.

4. Subjek penelitian yang akan digunakan adalah siswa-siswi SMP Negeri 12 Yogyakarta.

D.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Apakah model pembelajaran Problem-Based Learning efektif digunakan dalam pembelajaran matematika apabila ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis dan prestasi belajar siswa SMP?

2. Apakah Scientific Method efektif digunakan dalam pembelajaran matematika apabila ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis dan prestasi belajar siswa SMP?

(7)

7

pembelajaran biasa menggunakan Scientific Method apabila ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis dan prestasi belajar siswa SMP?

E.

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah diajukan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui efektivitas model pembelajaran Problem-Based Learning dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis dan prestasi belajar siswa SMP.

2. Mengetahui efektivitas model pembelajaran Scientific Method dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis dan prestasi belajar siswa SMP.

3. Mengetahui apakah model pembelajaran Problem-Based Learning lebih efektif digunakan dalam pembelajaran matematika dibandingkan dengan pembelajaran biasa menggunakan Scientific Method apabila ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis dan prestasi belajar siswa SMP.

F.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi Siswa

(8)

8 2. Bagi Guru

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan referensi dan inspirasi bagi guru dalam menemukan model pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis dan prestasi belajar matematika siswa SMP. 3. Bagi Peneliti

(9)

9

BAB II

KAJIAN TEORI

A.

Kajian Teori

1. Efektivitas Pembelajaran

Efektivitas diartikan sebagai usaha untuk dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, sesuai pula dengan rencana, baik dalam penggunaan data, sarana, maupun waktunya atau berusahan melalui aktivitas tertentu baik secara fisik maupun non fisik untuk memperoleh hasil yang maksimal baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Said Adnan, 1981: 83). Maka efektivitas pembelajaran dapat diartikan sebagai usaha untuk dapat mencapai suatu prestasi belajar atau pemahaman konsep melalui proses pembelajaran untuk memperoleh hasil yang maksimal baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Suatu pembelajaran dinyatakan efektif tidak hanya diukur dari hasil akhir pembelajaran tetapi juga prosesnya, apakah proses pembelajaran tersebut memenuhi kriteria metode pembelajaran tertentu juga menentukan apakah suatu pembelajaran dapat dinyatakan efektif. Kriteria efektivitas pembelajaran dalam penelitian ini mengacu pada:

a. Sekurang-kurangnya 75% siswa memiliki nilai di atas KKM yang ditetapkan yaitu 65.

(10)

10

2. Pembelajaran Matematika SMP

a. Pembelajaran Matematika

Belajar merupakan suatu proses dimana manusia menerima informasi – informasi yang nantinya akan diproses menjadi pengetahuan. Proses belajar sangat diperlukan oleh manusia untuk dapat berkembang dan terus maju. Dengan belajar, manusia dapat memiliki kemampuan baru ataupun mengembangkan kemampuan yang telah ada yang nantinya dibutuhkan untuk memecahkan berbagai permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari hari. Menurut Sugihartono (2007: 81), pembelajaran adalah suatu upaya yang dilakukan oleh guru untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, mengorganisir, dan menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta dengan hasil yang optimal.

(11)

11

Selain itu matematika juga dapat dikatakan sebagia suatu konsep yang tersusun secara runtut dan memiliki penalaran yang deduktif.

Soedjadi (2000:13) mengemukakan matematika memiliki beberapa karakteristik, antara lain:

a. Memiliki objek kaitan yang abstrak, b. Bertumpu pada kesepakatan,

c. Berpola pikir deduktif,

d. Memiliki simbol kosong dari arti,

e. Memperhatikan semesta pembicaraan, dan f. Konsisten dalam sistemnya.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah pembelajaran suatu cabang ilmu dan juga sebuah gagasan, ide serta pola berpikir yang di dalamnya peserta didik mempelajari suatu hubungan, struktur, dan gagasan mengenai suatu konsep yang abstrak namun tersusun secara runtut sehingga menghasilkan suatu konsep yang logis dan membutuhkan penalaran deduktif.

b. Peserta Didik SMP

(12)

12

penalaran yang kompleks sudah mulai digunakan, dan sudah dapat menguji satu hipotesis dalam mentalnya. Walaupun dianggap telah mampu untuk dapat memecahkan masalah abstrak, namun kurangnya kematangan pada diri remaja membuat pemecahan masalah tersebut tidak terpecahkan dengan baik. Ketidaksabaran untuk memecahkan masalah membuat solusi yang dihasilkan terkesan setengah-setengah dan tidak menyeluruh. Selain itu juga labilnya pribadi remaja secara emosional membuat pengambilan keputusan yang dilakukan pada saat pemecahan masalah terkadang terkesan tidak konsisten dan terburu-buru sehingga pemecahan yang dihasilkan memiliki kemungkinan salah yang besar dikarenakan hal sepele seperti tidak atau kurang teliti.

Individu remaja telah memiliki kemampuan introspeksi (berpikir kritis tentang dirinya), berpikir logis (pertimbangan terhadap hal-hal yang penting dan mengambil kesimpulan), berpikir berdasar hipotesis (adanya pengujian hipotesis), dan berpikir yang tidak kaku atau fleksibel (Rita Eka Izzaty ,dkk, 2008: 133). Karenanya kemampuan berpikir kritis siswa pada usia remaja baru mulai berkembang dan berada pada kondisi yang sangat tepat untuk dikembangkan. Sehingga guru sebagai fasilitator berkewajiban untuk membantu mereka mengembangkan kemampuan tersebut sehingga dapat dimaksimalkan potensinya. Melatih siswa untuk memecahkan masalah mendorong siswa untuk menggunakan dan secara terus menerus mengasah kemampuan tersebut.

(13)

13

berpikir secara abstrak, serta berpikir berdasarkan hipotesis. Karena pentingnya untuk mengasah kemampuan berpikir kritis siswa pada usia dimana kemampuan tersebut baru mulai muncul dan siap untuk berkembang, maka peserta didik SMP dirasa merupakan populasi yang cocok untuk dapat dijadikan subjek penelitian ini.

3. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Berpikir kritis merupakan keterampilan berpikir pada tingkatan tertinggi yang membutuhkan proses analisis dan evaluasi. Menurut Rosnawati (2012: 4), terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang sebenarnya cukup berbeda, yaitu berpikir tingkat tinggi (high level thinking), berpikir kompleks (complex thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, berpikir tingkat tinggi meliputi evaluasi, sintesis, dan analisis. Berpikir kompleks adalah proses kognitif yang melibatkan banyak tahapan atau bagian-bagian. Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir yang konvergen, yaitu menuju ke satu titik.

(14)

14

Selaras dengan pendapat tersebut, menurut Asuai Nelson Chukwuyenum (2013: 18), berpikir kritis adalah sebuah konsep kompleks yang melibatkan kemampuan kognitif dan disposisi afektif. Kemampuan kognitif adalah berfikir yang mengarah kepada kemampuan intelektual seperti kemampuan mengingat atau memecahkan masalah denngan menggabungkan dan menghubungkan beberapa ide, sedangkan disposisi afektif merupakan kecenderungan yang mengacu ke ranah afektif, ranah yang berkaitan dengan watak dan perilaku seperti perasaan, minat, sikap, dan emosi. Beberapa guru telah menyadari pentingnya kemampuan berpikir kritis matematis bagi siswa sehingga beberapa cara yang berbeda dalam menyampaikan konsep telah dilakukan agar siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematisnya. Namun tampak bahwa beberapa guru merasa sulit untuk menanamkan konsep dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat belajar bukan hanya apa yang harus difikirkan tetapi juga bagaimana cara berpikir kritis matematis, karenanya siswa merasa kesulitan dalam memahami konsep dan mendapatkan nilai dibawah rata – rata dalam tes maupun ujian matematika.

(15)

15

asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan – kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.”

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis matematis adalah kemampuan berpikir level tinggi dan kompleks yang melibatkan kemampuan kognitif dan disposisi afektif dan menggunakan proses analisis dan evaluasi.

Berdasarkan aspek-aspek berpikir kritis dalam matematika menurut Ennis (1985: 46), yang menjadi indikator kemampuan berpikir kritis matematis adalah : 1) Mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan.

2) Mencari alasan.

3) Berusaha mengetahui informasi dengan baik.

4) Memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya. 5) Memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan.

6) Berusaha tetap relevan dengan ide utama. 7) Mengingat kepentingan yang asli dan mendasar. 8) Mencari alternatif.

9) Bersikap dan berpikir terbuka.

10) Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu. 11) Mencari penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan.

(16)

16

Meyers (1986) mengatakan bahwa untuk lingkungan pembelajaran yang baik untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis harus memiliki empat elemen:

1. Menstimulasi minat siswa.

2. Menciptakan diskusi yang bermakna.

3. Menampilkan atau memaparkan pandangan dan pemikiran orang lain. 4. Memiliki atmosfir yang suportif dan dapat dipercaya.

Berdasarkan uraian di atas, indikator kemampuan berpikir kritis matematis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

Tabel 1. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis

NO. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Keterangan

1. Memberikan Argumen

Siswa mampu memberikan argumen dengan alasan, menunjukkan perbedaan dan persamaan, serta argumen yang utuh

2. Melakukan deduksi

Siswa mampu mendeduksikan secara logis, kondisi logis, serta melakukan interpretasi terhadap pernyataan

3. Melakukan induksi

Siswa mampu melakukan pengumpulan data, membuat generalisasi dari data, serta membuat tabel dan grafik.

4. Melakukan evaluasi

Siswa mampu memberikan evaluasi berdasarkan fakta berdasarkan pedoman atau prinsip serta memberikan alternatif.

5. Memutuskan dan melaksanakan

(17)

17

4. Prestasi Belajar Siswa

Prestasi belajar dapat diartikan hasil belajar dari suatu kegiatan belajar. Winkel (1996: 164) mengartikan prestasi belajar sebagai sebuah bukti keberhasilan yang dicapai oleh siswa dalam memperoleh suatu perubahan setelah proses belajar mengajar berlangsung. Proses belajar merupakan proses dimana manusia berubah dari yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu, yang tidak mengerti menjadi mengerti, menambah pengetahuan bahkan merubah sikap atau pandangan manusia terhadap sesuatu. Prestasi belajar merupakan hasil dari proses belajar tersebut yang dapat diukur melalui tes.

Rochman dan Moein (1992: 16) menyatakan ada dua hal penting dalam belajar, yaitu apa yang dipelajari dan bagaimana kondisi belajarnya. Kedua hal tersebutlah yang nantinya menentukan hasil belajar yang akan dicapai siswa. Selain itu juga ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi proses belajar, diantaranya faktor siswa, guru, interaksi guru-siswa, siswa secara berkelompok, lingkungan fisik dan pendorong dari luar.

Prestasi belajar adalah hasil dari proses belajar. Oemar Hamalik (1992: 18) mengemukakan bahwa prestasi belajar adalah kemampuan aktual yang diukur secara langsung.

(18)

18

5. Model Pembelajaran Problem-Based Learning (PBL)

Problem-Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang menerapkan paham konstruktivisme dan dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah (Wina Sanjaya, 2006:214). Menurut Akınoğlu dan Tandoğan (2007:72) Problem-Based Learning adalah suatu bentuk pembelajaran aktif yang memungkinkan siswa untuk sadar akan kebutuhan dan kemampuan pemecahan masalahnya, belajar untuk belajar, untuk dapat membuat pengetahuan itu bekerja dan untuk dapat melakukan pekerjaan secara berkelompok dalam menghadapi permasalahan di dunia nyata. Dengan kata lain Problem-Based Learning merupakan pembelajaran aktif yang menerapkan paham konstruktivisme dimana pembelajaran bertitik tumpu pada proses penyelesaian masalah. Dalam proses pembelajaran dengan model pembelajaran Problem-Based Learning, siswa diberikan suatu permasalahan yang berdasar pada kehidupan nyata oleh guru yang akan diselesaikan secara berkelompok dan diharapkan siswa dapat memahami konsep matematika yang berkaitan dengan permasalahan tersebut setelahnya.

(19)

19

pengalaman sebagaimana nantinya mereka menghadapi kehidupan (Sudarman, 2007: 69).

Menurut Iis Firmasari (2011: 13) Problem-Based Learning memiliki tiga tujuan yang saling berhubungan satu sama lain:

1) Mengembangkan kemampuan siswa untuk dapat menyelidiki secara sistematis suatu pertanyaan atau masalah.

Dengan berpartisipasi dalam aktivitas berbasis masalah yang telah tersusun rapi, siswa belajar bagaimana memecahkan masalah – masalah yang sama dengan cara yang komprehensif dan sistematis. Dengan demikian siswa dapat berlatih untuk berpikir secara sistematis dan mendalami serta memahami suatu masalah sebelum menyelesaikannya, hal tersebut dapat membantu dalam peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

2) Mengembangkan pembelajaran yang self-direct.

Menurut Meltzer (Eggen, Jacobsen & Kauchak, 2009: 243) dengan bertanggung jawab atas investigasi mereka sendiri, siswa belajar untuk mengatur dan mengontrol pembelajaran mereka sendiri. Tujuan ini mengacu pada paham konstruktivisme yang mendasari model pembelajaran Problem-Based Learning dimana guru memfasilitasi siswa untuk membangun dan membentuk pengetahuannya sendiri.

3) Pemerolehan (penguasaan) konsep, konten atau materi pembelajaran.

(20)

20

secara berkelompok sehingga tidak hanya siswa berlatih untuk berpikir secara analitik dan sistematis, tetapi juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai konsep dan materi matematika yang mereka peroleh dari proses pembelajaran tersebut.

Newman (2005:14) mengemukakan bahwa Problem-Based Learning memiliki beberapa karakteristik, antara lain:

a. Guru sebagai fasilitator.

Guru bukanlah lagi berfungsi sebagai sumber utama dalam proses pembelajaran tetapi fasilitator belajar yang memfasilitasi hal -hal yang dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran. Seperti menyediakan permasalahan atau pertanyaan - pertanyaan yang secara tidak langsung menuntun dan mengarahkan siswa dalam menemukan konsep atau pengetahuannya sendiri.

b. Penggunaan proses eksplisit untuk memfasilitasi pembelajaran siswa.

Guru memfasilitasi siswa secara langsung dengan memberikan berbagai macam pertanyaan dan permasalahan untuk dapat dipecahkan oleh siswa.

c. Penggunaan “Masalah” untuk menstimulasi, mengkontekstualisasi, dan mengintegrasi pembelajaran.

d. Pembelajaran dilaksanakan di dalam grup-grup kecil.

Pembelajaran menggunakan metode kooperatif dimana siswa memecahkan masalah secara diskusi berkelompok dimana siswa diharapkan dapat berdiskusi dan bertukar pikiran dengan teman lainnya demi memecahkan sebuah masalah yang disediakan oleh fasilitator.

(21)

21

Guru sebagai fasilitator melakukan penilaian berdasarkan proses penyelesaian permasalahan yang dilakukan siswa, berdasarkan analisis yang dilakukan siswa terhadap sebuah permasalahan, pilihan konsep yang dipilih siswa dalam menyelesaikan permasalahan, alasan yang diberikan siswa dalam argumen yang diberikan, dan lain sebagainya.

Sedangkan karakteristik pembelajaran berbasis masalah menurut beberapa ahli yang ditulis Arends (2004: 392) adalah sebagai berikut:

1. Menggerakan pertanyaan atau masalah (Driving question or problem).

Guru tidak memberikan konsep secara konvensional seperti menjelaskannya secara langsung kepada siswa namun dengan memberikan pertanyaan – pertanyaan dan permasalahan yang secara tidak langsung menuntun dan mengarahkan siswa dalam menemukan pengetahuannya sendiri.

2. Fokus pembelajaran interdisipliner (Interdisciplinary focus).

Di dalam proses pembelajaran dan pemecahan masalah siswa terfokus tidak hanya pada satu tetapi dari berbagai sudut pandang. Cara yang digunakan untuk mencapai solusi beragam, guru memberi kesempatan kepada siswa untuk memilih satu diantara banyak jalan yang mungkin dilaksanakan untuk menemukan hasil jawaban.

3. Penemuan yang asli (Authentic investigation).

(22)

22

4. Menghasilkan karya dan menyajikan (Production of artifact and exhibits). Pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan, mengkonstruksi produk dalam bentuk karya nyata dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Karya nyata dan peragaan yang nanti akan dideskripsikan, dirancang oleh siswa untuk mendemonstrasikan kepada orang lain apa yang telah mereka pelajari.

5. Kolaborasi (Collaboration)

Problem-Based Learning menuntut siswa untuk berkolaborasi, bekerja dalam grup-grup kecil sehingga siswa dapat berdiskusi, bertukar pikiran, maupun menyatukan ide-ide mereka.

Di dalam Problem-Based Learning, siswa didorong untuk menggunakan kemampuan metakognitif di dalam pembelajaran sehingga guru dapat menilai kesulitan belajar and dilema yang dihadapi siswa, sehingga dapat memberikan kritik dan saran serta menawarkan penyelesaian (Blumfeld et al. 1998: 116).

(23)

23

Tabel 2. Pembagian peran dalam Problem-Based Learning Guru sebagai pelatih Siswa sebagai Problem

Solver

Masalah sebagai awal tantangan dan motivasi

1. Asking about thinking (bertanya tentang

pemikiran) 2. Memonitor

pembelajaran

3. Probbing (menantang siswa untuk berpikir) 4. Menjaga agar siswa

dapat terlibat

5. Mengatur dinamika kelompok

6. Menjaga

berlangsungnya proses

1. Peserta yang aktif 2. Terlibat langsung

dalam pembelajaran 3. Membangun

pemahaman

1. Menarik untuk diselesaikan

2. Menyediakan

kebutuhan yang ada dengan pelajaran yang dipelajari

Arends (2004: 57) merinci langkah langkah pelaksanaan Problem-Based Learning dalam pengajaran. Fase – fase tersebut merujuk pada tahapan – tahapan praktis yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dengan Problem-Based Learning sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 3. Sintaksis untuk Problem-Based Learning

Fase Perilaku Guru

Memberikan orientasi tentang permasalahan kepada siswa.

Guru membahas tujuan pembelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah

Mengorganisasikan siswa untuk meneliti.

Guru membantu siswa untuk

mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas - tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya. Membantu investigasi mandiri dan

kelompok.

Guru mendorong sswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen dan mencari penjelasan dan solusi.

Mengembangkan dan

mempresentasikan artefak dan exhibit.

(24)

24 Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap

investigasinya dan proses yang mereka gunakan.

Wina Sanjaya (2006: 220) menyatakan bahwa Problem-Based Learning memiliki beberapa keunggulan, diantaranya :

1) Merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran. 2) Dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk

menemukan pengetahuan baru bagi siswa.

3) Dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.

4) Dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.

5) Dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Di samping itu, pemecahan masalah dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.

6) Memperlihatkan kepada siswa bahwa mata pelajaran matematika pada dasarnya merupakan tentang cara berpikir.

7) Dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.

8) Dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis matematis dan mengembangkan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru. 9) Dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan

pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.

(25)

25

Selain keunggulan, tentunya Problem-Based Learning juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:

1) Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka siswa akan merasa enggan untuk mencoba.

2) Keberhasilan model pembelajaran melalui pemecahan masalah membutuhkan cukup banyak waktu untuk persiapan. Misalnya bagaimana menciptakan masalah yang dapat menuntun siswa dalam menemukan pengetahuannya. 3) Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah

yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang ingin mereka pelajari.

Walaupun memiliki beberapa kelemahan, penulis memiliki beberapa solusi yang diharapkan dapat mengatasi atau meminimalisir kelemahan – kelemahan tersebut. Solusi yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Guru dapat menyajikan beberapa soal dengan tingkat kesulitan rendah yang bertujuan untuk membangun kepercayaan diri siswa sebelum siswa berhadapan dengan soal – soal lain yang memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi.

2. Guru secara berkala memberikan motivasi positif kepada siswa untuk membantu siswa dalam membangun minat dan kepercayaan diri mereka. 3. Guru harus dapat menyiapkan bahan pembelajaran jauh sebelumnya, karena

(26)

26

dalam menciptakan permasalahan yang tepat yang dapat menuntun siswa dalam menemukan pengetahuannya.

4. Sebelum melakukan proses pembelajaran, terlebih dahulu guru menyampaikan tujuan dan materi pembelajaran yang akan mereka pelajari di hari tersebut sehingga siswa dapat mengetahui konsep apa yang harus ditemukan dari permasalahan yang berusaha mereka pecahkan.

Dengan adanya solusi yang penulis tawarkan di atas, maka sintaks yang akan digunakan pada penelitian ini adalah :

Tabel 4. Sintaksis Problem-Based Learning yang digunakan

Fase Guru Siswa

Orientasi masalah  Guru membahas tujuan pembelajaran yang akan dicapai dan konsep serta materi apa yang akan dipelajari pada hari tersebut.

 Guru mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting, seperti media yang akan digunakan.  Guru memotivasi

siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa.

 Siswa memperhatikan dengan seksama penjelasan guru.  Siswa memahami

kegiatan pembelajaran dan tujuan

pembelajaran yang akan dicapai pada hari tersebut.

 Siswa termotivasi dan merasa lebih percaya diri.

Organisasi penelitian siswa

 Guru membantu siswa untuk memahami permasalahan yang diberikan.

 Guru membimbing siswa untuk dapat mengorganisir petunjuk – petunjuk

 Siswa menganalisis dan memahami permasalahan yang diberikan secara berkelompok.

(27)

27

yang bermanfaat untuk menemukan solusi.

permasalahan secara berkelompok.  Siswa menggunakan

pengetahuan yang dimiliki beserta petunjuk – petunjuk yang diberikan untuk menemukan solusi permasalahan secara berkelompok. Investigasi siswa  Guru mendorong siswa

untuk mendapatkan informasi yang tepat  Guru membimbing

siswa untuk dapat melaksanakan eksperimen dan mencari penjelasan dan solusi.

 Siswa mengemukakan pilihan cara untuk menemukan solusi dengan petunjuk – petunjuk yang di dapatkan dari penelitian siswa.  Siswa menerapkan cara

yang mereka pilih untuk menemukan solusi permasalahan.  Siswa menemukan

solusi dari permasalahan.

 Siswa menyimpulkan konsep materi dari solusi permasalahan yang telah ditemukan. Pengembangan artefak

dan exhibit

 Guru membantu persiapan siswa dalam menyiapkan hasil pekerjaan mereka, solusi permasalahan untuk dapat dipresentasikan di depan kelas

 Siswa mempersiapkan media untuk

mempresentasikan hasil pekerjaan mereka.

Presentasi artefak dan exhibit

 Guru membimbing jalannya presentasi.  Guru mengobservasi

presentasi hasil pekerjaan siswa.

 Siswa

mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan kelas.

(28)

28

kelompok lain yang mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan kelas.

Analisis dan evaluasi  Guru menilai dan memvalidasi serta memberikan kejelasan lebih lanjut tentang solusi permasalahan yang diberikan siswa.  Guru membantu siswa

untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses yang mereka gunakan.

 Siswa memberikan pertanyaan dan argumen tentang presentasi hasil pekerjaan yang dipresentasikan oleh kelompok lain.  Siswa menyimpulkan

konsep materi dari proses menemukan solusi permasalahan yang telah mereka lakukan.

 Siswa memahami konsep materi yang disampaikan guru lewat permasalahan yang telah mereka kerjakan.

6. Model Pembelajaran Scientific Method

Scientific Method merupakan teknik merumuskan pertanyaan dan menjawabnya melalui kegiatan observasi dan melaksanakan percobaan. Dalam penerapan metode ilmiah terdapat aktivitas yang dapat diobservasi seperti mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasi dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013: 208).

(29)

29

dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan pendekatan ilmiah, bahwa informasi bisa berasal dari mana saja, kapan saja, tidak bergantung pada informasi searah dari guru. Oleh karena itu kondisi pembelajaran yang diharapkan tercipta diarahkan untuk mendorong peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai sumber melalui observasi dan bukan hanya diberi tahu (Kemendikbud, 2013: 1).

Pada penelitian ini, sintaks yang akan digunakan untuk Scientific Method yang diterapkan pada kelas kontrol adalah :

Tabel 5. Sintaksis Scientific Method yang digunakan

Fase Guru Siswa

Mengamati  Guru mengobservasi

siswa yang berusaha memahami objek yang diberikan

 Siswa mengamati suatu objek nyata secara berkelompok  Siswa mengumpulkan

data-data terkait objek dan mencari tahu lebih banyak

Menanya  Guru memancing siswa

untuk menanyakah hal-hal seputar objek yang diamati.

 Guru menganalisis kesulitan belajar siswa dari pertanyaan yang diajukan

 Siswa memberikan pertanyaan kepada guru

Mengumpulkan informasi  Guru mengamati dan mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat

 Siswa mengolah informasi yang telah dikumpulkan dari hasil eksplorasi dan

eksperimen untuk menemukan simpulan atau konsep materi yang tepat.

(30)

30

informasi membimbing siswa

dalam menemukan konsep yang tepat.

informasi yang telah dikumpulkan dari hasil eksplorasi dan

eksperimen untuk menemukan simpulan atau konsep materi yang tepat.

Mengkomunikasi  Guru membimbing jalannya presentasi.  Guru mengobservasi

presentasi hasil pekerjaan siswa.  Guru menilai dan

memvalidasi serta memberikan kejelasan lebih lanjut tentang konsep materi yang ditemukan siswa.  Guru membantu siswa

untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses yang mereka gunakan.

 Siswa

mempresentasikan hasil pengamatan dan analisisnya di depan kelas.

 Siswa memperhatikan dengan seksama kelompok lain yang mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan kelas.

 Siswa memberikan pertanyaan dan argumen tentang presentasi hasil pekerjaan yang

dipresentasikan oleh kelompok lain.

B.

Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan

Ditemukan beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya:

(31)

31

Learning dalam pendidikan sains pada pencapaian akademik siswa. Pada penelitian ini diperoleh data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari pre-test/post-test treatment control group test model. Sedangkan data kuantitatif diperoleh dari analisis dokumen. Penelitian dilakukan pada 50 orang siswa kelas VII tahun ajaran 2004/2005 pada sebuah sekolah di Istanbul. Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa implementasi Problem-Based Active Learning mendatangkan efek positif pada prestasi akademik siswa serta sikap siswa terhadap pelajaran sains. penelitian ini juga menghasilkan kesimpulan bahwa pengaplikasian Problem-Based Active Learning menghasilkan kemajuan yang positif pada pemahaman konseptual siswa dan meminimalisir miskonsepsi pada proses pembelajaran. 2) Penelitian Nurina Happy (2011) yang berjudul “Upaya Meningkatkan

(32)

32

SMA Negeri 1 Kasihan Bantul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah pada pembelajaran matematika secara signifikan lebih baik daripada pembelajaran yang menggunakan metode konvensional dalam hal meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa kelas X SMA Negeri 1 Kasihan, Bantul.

3) Penelitian Ninda Airin Gita Puspita (2015) yang berjudul “Efektivitas Model Problem-Based Learning (PBL) Ditinjau dari Pemahaman Konsep Sistem Persamaan Linear Dua Variabel Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Purbalingga”. Penelitian ini menggunakan eksperimen semu (quasi eksperiment) sebagai metode penelitiannya dengan tujuan menilai keefektivan suatu metode atau model pembelajaran yang diterapkan pada pembelajaran matematika dan membandingkan manakah yang memiliki hasil yang lebih optimal. Populasi pada penelitian tersebt adalah semua siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Purbalingga semester II tahun ajaran 2014/2015 yang terdiri dari delapan kelas. Sampel yang diambil adalah kelas VIII C sebagai kelas kontrol dan kelas VIII D sebagai kelas eksperimen, masing-masing kelas berjumlah 35 siswa. Hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya kesimpulan bahwa model pembelajaran Problem-Based Learning lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran konvensional ditinjau dari pemahaman konsep sistem persamaan linear dua variabel siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Purbalingga.

C.

Kerangka Pikir Penelitian

(33)

33

mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Kemampuan berpikir kritis tersebut dapat berkembang lewat pembelajaran matematika. Berdasarkan Permendikbud No. 64 tahun 2013 tentang Standar Isi Kurikulum 2013, berpikir kritis merupakan salah satu kompetensi matematis yang diharapkan dimiliki oleh siswa untuk dapat memahami materi dengan lebih baik. Berpikir kritis, merupakan proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan memecahkan masalah, mengambil keputusan, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah. Karenanya dibutuhkan sebuah model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

(34)

34

[image:34.595.131.496.148.794.2]

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dibuat bagan kerangka berpikir kritis sebagai berikut:

Gambar 1. Diagram Kerangka Berpikir Penelitian

Pentingnya Berpikir Kritis

Pentingnya Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Sejak Usia Dini

Pentingnya Matematika dalam

Mengembangkan Kemampuan Berpikir

Kritis Problem Based

Learning Memiliki Tahapan – Tahapan yang Mendukung

Komponen - Komponen Kemampuan Berpikir

Kritis

Problem Based Learning Diharapkan

dapat Meningkatkan Kemampuan Berpikir

(35)

35

D. HIPOTESIS PENELITIAN/PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut:

1. Model pembelajaran Problem-Based Learning (PBL) efektif digunakan dalam pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa SMP.

2. Model pembelajaran berbasis Scientific-Method efektif digunakan dalam pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa SMP.

(36)

36

BAB III

METODE PENELITIAN

A.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di SMP Negeri 12 Yogyakarta dan pengambilan data telah dilakukan pada tanggal 19 – 26 November 2016 di kelas VII A dan VII E semester I tahun ajaran 2016/2017.

B.

Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 12 Yogyakarta semester ganjil tahun ajaran 2016/2017.

2. Sampel

Dalam penelitian ini, kelas yang dijadikan sampel dipilih secara acak (random sampling).

C.

Jenis dan Desain Penelitian

1. Jenis Penelitian

(37)

37

Problem-Based Learning (PBL) dan model pembelajaran berbasis Scientific-Method.

2. Desain Penelitian

[image:37.595.112.516.421.516.2]

Desain penelitian yang diterapkan adalah pretest-posttest control group design karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran Problem-Based Learning ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas VII SMP. Pretest diberikan sebelum perlakuan dan posttest diberikan setelah perlakuan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Problem-Based Learning sebagai variabel bebas serta kemampuan berpikir kritis matematis dan prestasi belajar siswa sebagai variabel terikat. Desain penelitian yang diterapkan adalah sebagai berikut:

Tabel 6. Pretest-Posttest Control Group Design

Kelompok Pretest Perlakuan Posttest

K1 XK1 A YK1

K2 XK2 B YK2

Keterangan:

K1 = Kelompok yang diberi perlakuan pembelajaran berbasis Problem-Based Learning (PBL).

K2 = Kelompok yang diberi perlakuan pembelajaran berbasis Scientific-Method.

(38)

38

XK2 = Pretest kelompok yang diberi perlakuan pembelajaran berbasis Scientific Method.

A = Pembelajaran dengan metode berbasis Problem-Based Learning (PBL). B = Pembelajaran dengan metode berbasis Scientific Method.

YK1 = Posttest kelompok yang diberi perlakuan pembelajaran berbasis Problem-Based Learning (PBL).

YK2 = Posttest kelompok yang diberi perlakuan pembelajaran berbasis Scientific-Method.

D. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

(39)

39

2. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir kritis matematis dan prestasi belajar siswa. Kemampuan berpikir kritis mengacu pada kemampuan siswa untuk menganalisis masalah, mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah mereka miliki untuk dapat mencapai solusi dari sebuah permasalahan, serta kemampuan mengevaluasi dan merefleksi hasil atau solusi yang telah dihasilkan. Data tentang kemampuan berpikir kritis matematis siswa diperoleh dari hasil pretest sebelum diberi perlakuan pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Problem-Based Learning pada kelas eksperimen dan pembelajaran berbasis Scientific-Method pada kelas kontrol, dan posttest setelah penerapan pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Problem-Based Learning pada kelas eksperimen dan model pembelajaran berbasis Scientific-Method pada kelas kontrol.

3. Variabel Kontrol

Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah guru mata pelajaran, jumlah jam pelajaran, pokok bahasan pelajaran dan soal tes. Pembelajaran pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan oleh guru yang sama dengan pokok bahasa yang sama. Soal tes dikontrol dengan menggunakan soal pretest dan posttest yang sama untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol.

E.

Teknik Pengumpulan Data

(40)

40

kritis matematis siswa awal diukur dengan pretest. Setelah melakukan pretest siswa diberikan perlakuan berupa pembelajaran dengan model pembelajaran Problem-Based Learning pada kelompok eksperimen dan model pembelajaran berbasis Scientific-Method pada kelompok kontrol. Setelah diberi perlakuan dilakukan pengukuran kemampuan berpikir kritis matematis siswa akhir yang diukur dengan posttest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

F.

Penulisan Perangkat Pembelajaran

Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) disesuaikan dengan format pada RPP Kurikulum 2013 dengan menyesuaikan kompetensi inti dan kompetensi dasar pada silabus. Setelah itu mempelajari materi, penyusunan RPP, konsultasi RPP dengan dosen pembimbing dan guru, serta merevisi RPP yang telah dikonsultasikan. RPP yang dibuat terdiri dari dua macam, yaitu RPP untuk kelas eksperimen dengan model pembelajaran Problem-Based Learning dan RPP untuk kelas kontrol dengan pendekatan berbasis Scientific-Method.

(41)

41

G.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes dan lembar observasi.

1. Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis

Tes kemampuan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu pretest yang dilakukan sebelum dilaksanakannya perlakuan dengan tujuan untuk mengukur sejauh mana siswa memahami materi yang diajarkan dan posttest yang dilakukan setelah dilaksanakannya perlakuan dengan tujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai materi pembelajaran dengan baik. Kemudian hasil pretest dan posttest tersebut digunakan sebagai data yang selanjutnya dianalisis.

(42)

42

2. Instrumen Tes Prestasi Belajar Siswa

Tes yang digunakan untuk mengukur prestasi belajar siswa merupakan tes yng sama dilakukan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa. Dalam mengukur prestasi belajar siswa, hasil tes yang dianalisis merupakan hasil tes secara keseluruhan yaitu nilai akhir dari tes tersebut.

Untuk mengukur prestasi belajar siswa digunakan juga dua macam tes, yaitu pretest yang dilakukan sebelum dilaksanakannya perlakuan dengan tujuan untuk mengukur sejauh mana siswa memahami materi yang diajarkan dan posttest yang dilakukan setelah dilaksanakannya perlakuan dengan tujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai materi pembelajaran dengan baik. Kemudian hasil pretest dan posttest tersebut digunakan sebagai data yang selanjutnya dianalisis.

3. Lembar Observasi

Lembar observasi ini digunakan untuk mengamati keterlaksanaan pembelajaran berbasis model pembelajaran Problem-Based Learning dan pembelajaran berbasis Scientific-Method selama proses pembelajaran berlangsung. Observasi dilakukan melalui pengamatan langsung pada saat proses pembelajaran berlangsung oleh beberapa orang observer.

H.

Analisis Instrumen Penelitian

1. Validitas tes

(43)

43

apa yang seharusnnya dinilai”. Instrumen penelitian ini perlu divalidasi untuk

mengetahui apakah intrumen telah sesuai dengan aspek-aspek yang diukur dalam penelitian. Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi adalah pengujian validitas yang dilakukan atas isinya untuk memastikan apakah butir tes hasil belajar mengukur secara tepat keadaan yang ingin diukur (Purwanto, 2009: 120). Untuk memperoleh validitas isi, digunakan pendapat dari ahli (expert judgment). Instrumen yang dibuat divalidasi oleh dosen ahli sebagai validator. Dosen yang berperan sebagai validator pada penelitian ini adalah Eminugroho Ratna Sari, M.Sc dan Nur Insani, M.Sc. Hasil validasi terdapat beberapa bagian yang instrumen yang harus direvisi, diantaranya yaitu beberapa perbaikan pada tata tulis dan bahasa pada beberapa bagian soal pretest, posttest, LKS dan RPP. Perbaikan juga dilakukan pada beberapa bagian LKS karena adanya kesalahan konsep dan rumus.

I.

Teknik Analisis Data

(44)

44

1. Analisis Deskriptif

Analisis Deskriptif digunakan dengan tujuan untuk mendeskripsikan data. Data yang dideskripsikan adalah hasil pretest dan posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Untuk mendeskripsikan data penelitian maka dihitung rata-rata, ragam atau varians, simpangan baku, serta nilai tertinggi dan terendah. a. Rata-rata Hitung (Mean)

Rata-rata hitung diperoleh dari hasil pretest dan posttest baik dari kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Perhitungan ini dihitung menggunakan rumus (Walpole, 1992: 24):

̅ ∑

b. Ragam/Varians

Ragam/Varians diperoleh dari hasil pretest dan posttest baik dari kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Perhitungan ini dihitung menggunakan rumus (Walpole, 1992: 35):

c. Simpangan Baku

Simpangan Baku diperoleh dari hasil pretest dan posttest baik dari kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Perhitungan ini dihitung menggunakan rumus (Walpole, 1992: 36):

(45)

45

[image:45.595.55.536.125.749.2]

Gambaran dari analisis data yang dilakukan dalam penelitian dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. Langkah-Langkah Analisis Data

Pengumpulan Data

Nilai Pretest

(Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol)

Nilai Postest

(Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol)

Uji Normalitas H0: data berasal dari populasi

berdistribusi normal

H1: data berasal dari populasi

berdistribusi tidak normal

Uji Normalitas H0: data berasal dari populasi

berdistribusi normal

H1: data berasal dari populasi

berdistribusi tidak normal

Uji Homogenitas H0: =

H1:

Pengujian Hipotesis 1 H0: μ 76

H1: μ < 76

Uji Homogenitas H0: =

H1:

Pengujian Hipotesis 1 H0: μ1 μ2

H1: μ1>μ2

Uji Beda Rata-Rata H0: μ1= μ2

(46)

46

2. Pengujian Asumsi Analisis

Uji asumsi analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas dan homogenitas.

a Uji Normalitas

Bertujuan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Untuk uji normalitas digunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dengan taraf signifikansi α = 0,05. Uji ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS. Hipotesis statistik yang digunakan pada uji ini adalah sebagai berikut: H : Data yang diuji berdistribusi normal

H : Data yang diuji tidak berdistribusi normal

Menurut Wiratna Suwerni (2014: 55), keputusan uji diambil dengan kriteria, jika p-value lebih besar dari α maka H diterima.

b Uji Homogenitas

Bertujuan untuk menguji kesamaan varian kedua kelompok yang dibandingkan. Untuk uji homogenitas, digunakan uji Levene-Statistics pada taraf signifikansi α = 0,05. Uji homogenitas ini dihitung dengan bantuan program

SPSS. Hipotesis statistik yang digunakan pada uji homogenitas adalah sebagai berikut:

H : σ ² = σ ² (data kelas eksperimen dan kontrol mempunyai variansi yang sama/homogen).

(47)

47 Keterangan:

σ ² = data kelas eksperimen σ ² = data kelas kontrol

Statistik uji yang digunakan pada uji homogenitas adalah sebagai berikut:

Keterangan:

: variansi data dari kelas eksperimen : variansi data dari kelas kontrol

Kriteria keputusan yang diambil pada uji homogenitas adalah sebagai berikut: H0 diterima jika:

dengan:

Menurut Wina Sujarweni (2014: 99), keputusan uji diambil pada taraf signifikansi 0,05 dengan kriteria, jika p-value lebih besar dari α maka H diterima.

c Uji Kesamaan Kemampuan Awal

(48)

48

menggunakan taraf signifikansi α = 0,05. Menurut Walpole (1992: 305), pengujian beda rata-rata dilakukan dengan prosedur sebagai berikut.

Hipotesis yang digunakan adalah:

H : μe1 = μk1 : Tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata kemampuan awal (pretest)

siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

H1: μe1 ≠ μk1 : Terdapat perbedaan nilai rata-rata kemampuan awal (pretest) siswa

antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Keterangan:

μe1 = nilai rata-rata kemampuan awal (pretest) kelas eksperimen

μk1 = nilai rata-rata kemampuan awal (pretest) kelas kontrol

Uj homogenitas menyatakan bahwa kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki variansi yang sama maka statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut:

̅ ̅ √

Dengan √ . Keterangan:

̅ : rata-rata nilai pretest kelas eksperimen ̅ : rata-rata nilai pretest kelas kontrol

(49)

49 H0diterima jika:

dengan

Menurut Sujarweni Wiratna (2014: 99), uji kesamaan kemampuan awal ini digunakan uji dua arah (2-tailed) dapat juga menggunakan SPSS. Keputusan uji dan simpulan diambil pada taraf signifikansi 0,05 dengan kriteria, jika p-value lebih besar dari α maka H diterima.

d Pengujian Hipotesis

Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran terhadap hasil prestasi belajar matematika dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa maka dilakukan uji hipotesis ini. menurut Hamzah B. Uno (2007: 138) keefektifan pembelajaran diukur dengan tingkat ketercapaian siswa pada tujuan pembelajaran yang ditentukan. Jika syarat uji asumsi anaalisis diterima, selanjutnya dilakukan uji hipotesis menggunakan uji – t. Tetapi jika uji asumsi analisis tidak diterima maka uji dilakukan menggunakan metode non parametrik. Pengujian hipotesis yang dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut.

1. Uji Hipotesis Pertama

(50)

50 Hipotesis yang digunakan:

H0 : μ ≥ 65

model Problem-Based Learning efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

H1 : μ < 65

model Problem-Based Learning tidak efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

Dengan taraf signifikansi α = 0,05 statistik uji yang digunakan adalah:

̅ √

Keterangan:

̅ : rata-rata nilai posttest : KKM yang berlaku (65) : simpangan baku

: banyaknya siswa Dengan kriteria keputusan:

diterima jika:

dengan

(51)

51

menyatakan bahwa jika dan Te ≥ Tt maka H0 diterima atau

nilai dari mean difference > 0.

2. Uji Hipotesis Kedua

Uji hipotesis kedua adalah untuk menjawab rumusan masalah kedua yaitu apakah model Scientific-Method efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Uji hipotesis pertama dilakukan dengan menggunakan statistik uji One Sample t-Test (1-tailed). Menurut Walpole (1992: 305), pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut.

Hipotesis yang digunakan: H0 : μ ≥ 65

model Scientific-Method efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

H1 : μ < 65

model Scientific-Method tidak efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

Dengan taraf signifikansi α = 0,05 statistik uji yang digunakan adalah:

̅ √

Keterangan:

(52)

52 : banyaknya siswa

Dengan kriteria keputusan: diterima jika:

dengan

Uji yang dilakukan pada hipotesis pertama menggunakan uji pihak kiri. Uji hipotesis pertama juga dapat dilakukan dengan bantuan SPSS. Soekirno (2008:10) menyatakan bahwa jika dan Te ≥ Tt maka H0 diterima atau

nilai dari mean difference > 0.

3. Uji Hipotesis Ketiga

Pengujian hipotesis ketiga akan dilakukan jika H0 dari uji hipotesis pertama

dan H0 dari uji hipotesis kedua diterima. Uji hipotesis ketiga dilakukan

menggunakan uji beda rata-rata dengan prosedur uji satu arah (1-tailed). Menurut Walpole (1992: 305), pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Hipotesis yang digunakan adalah: H : μe ≤ μk

Model Problem-Based Learning tidak lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran pada kelas kontrol atau memiliki efektivitas yang sama ditinjau dari prestasi belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa.

(53)

53

Model Problem-Based Learning lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran pada kelas kontrol ditinjau dari prestasi belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa.

Keterangan:

μe = rata-rata nilai posttest kelas eksperimen

μk = rata-rata nilai posttest kelas kontrol

Dengan taraf signifikansi α = 0,05, tes menggunakan kriteria keputusan: H ditolak jika thitung ≥ ttabel dan dalam keadaan lain H0 diterima.

Uji homogenitas menyatakan bahwa kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki variansi yang berbeda maka statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut.

̅ ̅ √

Keterangan :

̅ : rata-rata nilai posttest kelas eksperimen ̅ : rata-rata nilai posttest kelas kontrol

: variansi nilai posttest kelas eksperimen : variansi nilai posttest kelas kontrol : banyaknya siswa pada kelas eksperimen : banyaknya siswa pada kelas kontrol

(54)

54

(55)

55

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Hasil

Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa nilai pretest dan posttest siswa dan hasil observasi keterlaksanaan pembelajaran. Data tersebut kemudian dianalisis melalui beberapa tahapan, yaitu analisis deskriptif dan analisis statistik. Pada tahap analisis deskriptif dilakukan penghitungan rata-rata, simpangan baku, varians, serta skor minimal dan maksimal. Sedangkan pada tahap analisis statistik dilakukan uji normalitas, uji homogenitas, uji kesamaan kemampuan awal, serta uji hipotesis untuk menjawab rumusan masalah yang telah ditentukan.

1. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian

(56)

56

Proses pembelajaran di kelas kontrol menggunakan pembelajaran Scientific Method mengikuti panduan kurikulum 2013 revisi tahun 2016 yang telah diterapkan sekolah. Proses pembelajaran meliputi, pengenalan materi yang dipelajari disampaikan melalui apersepsi, pembagian lembar kerja siswa, pengerjaan lembar kerja siswa secara berkelompok dengan pendampingan guru, dalam mengerjakan LKS siswa diarahkan untuk mengamati dan menganalisis permasalahan, mengajukan pertanyaan, mengumpulkan informasi, mengolah informasi yang diperoleh untuk menemukan solusi permasalahan, dan mempresentasikan hasil pengamatan dan analisisnya di depan kelas, serta menyimpulkan hasil pembelajaran pada hari tersebut. Hasil keterlaksanaan pembelajaran yang dilakukan di kelas kontrol rata-rata mencapai persentase sebesar 91,18% dengan kriteria sangat baik . Rincian persentase keterlaksanaan pada pertemuan pertama sebesar 90,48% , keterlaksanaan pada pertemuan kedua sebesar 85,71%, keterlaksanaan pada pertemuan ketiga sebesar 100% , keterlaksanaan pada pertemuan keempat sebesar 95,24%. Siswa pada kelas kontrol memiliki antusiasme yang cukup tinggi dalam proses pembelajaran. Meskipun demikian terdapat beberapa siswa yang kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran dengan melakukan kegiatan lain seperti mengobrol, berjalan dan berpindah-pindah tempat saat seharusnya mereka berdiskusi dengan kelompoknya masing-masing, dan melakukan kegiatan lainnya yang dapat mengganggu konsentrasi belajar siswa lain.

(57)

57

(1) orientasi masalah, penjelasan tujuan pembelajaran yang akan dicapai serta konsep dan materi apa yang akan dipelajari (2) pembentukan kelompok dan pembagian LKS (3) organisasi penelitian siswa (4) investigasi siswa (5) pengembangan artefak dan exhibit (6) presentasi artefak dan exhibit (7) analisis dan evaluasi. Hasil keterlaksanaan pembelajaran yang dilakukan di kelas eksperimen rata-rata mencapai persentase sebesar 89,71% dengan kriteria baik . Rincian persentase keterlaksanaan pada pertemuan pertama sebesar 94,12% , keterlaksanaan pada pertemuan kedua sebesar 82,35% , keterlaksanaan pada pertemuan ketiga sebesar 94,12% , keterlaksanaan pada pertemuan keempat sebesar 88,24% Siswa pada kelas eksperimen memiliki antusiasme yang cukup tinggi dalam proses pembelajaran. Meskipun demikian terdapat beberapa siswa yang kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran dengan melakukan kegiatan lain seperti mengobrol, berjalan dan berpindah-pindah tempat saat seharusnya mereka berdiskusi dengan kelompoknya masing-masing, dan melakukan kegiatan lainnya yang dapat mengganggu konsentrasi belajar siswa lain.

2. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum pencapaian siswa mengenai data yang diperoleh, yaitu pencapaian prestasi belajar dan kemampuan berpikir krtis siswa.

a. Prestasi Belajar

(58)

58

[image:58.595.110.517.163.360.2]

sedangkan soal posttest diberikan pada akhir penelitian setelah siswa diberikan perlakuan. Berikut merupakan tabel data nilai pretest dan posttest siswa:

Tabel 7. Data Nilai Pretest dan Posttest Prestasi Belajar Siswa

Dari tabel di atas diketahui bahwa rata-rata nilai pretest pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata nilai pretest kelas kontrol, selain itu rata-rata nilai posttest pada kelas eksperimen juga lebih tinggi daripada rata-rata nilai posttest pada kelas kontrol. Selain itu dari tabel di atas juga dapat diketahui bahwa rata-rata nilai siswa pada kedua kelas mengalami peningkatan, namun kelas eksperimen mengalami peningkatan rata-rata nilai yang cenderung lebih tinggi dibandingkan peningkatan rata-rata pada nilai kelas kontrol. Kelas eksperimen mengalami peningkatan rata-rata nilai sebesar 43.21789 sedangkan kelas kontrol mengalami peningkatan nilai rata-rata sebesar 21.89076. Bentuk diagram batang rata-rata nilai pretest dan posttest kelas kontrol dan kelas eksperimen :

Data Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Pre-Test Post-Test Kenaikan Pre-Test Post-Test Kenaikan Banyak

Siswa 34 34 0 33 33 0

Nilai

Terendah 21.42857 30 8.571429 20 40 20

Nilai

Tertinggi 82.85714 95.71429 12.85714 74.44444 100 25.55556

Rata–Rata 46.72269 68.61345 21.89076 37.17172 80.38961 43.21789

(59)
[image:59.595.115.509.89.320.2]

59

Gambar 3. Diagram Rata-Rata Nilai Pretest dan Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Dari diagram di atas, dapat diketahui bahwa selisih rata-rata nilai pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak terlalu besar. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Diagram di atas juga menunjukkan bahwa terdapat tingkat kenaikan nilai rata-rata yang signifikan terjadi pada kedua kelas, namun kelas eksperimen mengalami tingkat kenaikan nilai rata-rata yang jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan nilai rata-rata pada kelas kontrol. Persentase kenaikan tingkat prestasi belajar siswa juga dapat disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 8. Persentase Klasifikasi Tingkat Prestasi Belajar Siswa

Klasifikasi Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Pre-Test Post-Test Pre-Test Post-Test

Tuntas 14.71% 52.94% 3.03% 84.85%

Belum Tuntas 85.29% 47.06% 96.97% 15.15%

Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan dalam persentase klasifikasi ketuntasan pada nilai posttest kelas kontrol dan kelas

0 10 20 30 40 50 60 70 80

[image:59.595.110.518.558.666.2]
(60)

60

eksperimen. Meskipun demikian, baik pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen sama-sama mengalami peningkatan persentase ketuntasan yang cukup signifikan. Jumlah siswa pada kelas kontrol yang memiliki klasifikasi tuntas pada nilai pretest nya berjumlah 5 siswa, dan 18 siswa pada nilai posttest. Jumlah siswa pada kelas eksperimen yang memiliki klasifikasi tuntas pada nilai pretest nya berjumlah 1 siswa, dan 28 siswa pada nilai posttest.

b. Kemampuan Berpikir Kritis

[image:60.595.107.518.481.695.2]

Kemampuan Berpikir Kritis siswa diukur menggunakan instrumen tes yang sama yang digunakan untuk mengukur prestasi belajar siswa yang berupa soal pretest dan posttest yang maisng – masing berjumlah lima butir soal uraian. Soal pretest diberikan pada awal penelitian sebelum siswa diberikan perlakuan, sedangkan soal posttest diberikan pada akhir penelitian setelah siswa diberikan perlakuan. Berikut merupakan tabel data nilai pretest dan posttest siswa:

Tabel 9. Data Nilai Pretest dan Posttest Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Data

Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Pre-Test Post-Test Kenaikan Pre-Test

Post-Test Kenaikan Banyak

Siswa 34 34 0 33 33 0

Nilai

Terendah 14,44 22,22 7.78 10 23,33 13,33

Nilai

Tertinggi 76,67 94,44 17.78 92,22 100 7,78

Rata -

Rata 36,63 60,03 23,40 35,83 71,99 36,16

(61)

61

Dari tabel di atas diketahui bahwa rata-rata nilai pretest pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata nilai pretest kelas kontrol, selain itu rata-rata nilai posttest pada kelas eksperimen juga lebih tinggi daripada rata-rata nilai posttest pada kelas kontrol. Selain itu dari tabel di atas juga dapat diketahui bahwa rata-rata nilai siswa pada kedua kelas mengalami peningkatan, namun kelas eksperimen mengalami peningkatan rata-rata nilai yang cenderung lebih tinggi dibandingkan peningkatan rata-rata pada nilai kelas kontrol. Kelas eksperimen mengalami peningkatan rata-rata nilai sebesar 36,16 sedangkan kelas kontrol mengalami peningkatan nilai rata-rata sebesar 23,40.

[image:61.595.109.516.418.673.2]

Jika dilihat dari persentase masing-masing aspek berpikir kritis siswa, peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 10. Persentase Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Aspek

Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Pre-Test

Post-Test Kenaikan

Pre-Test

Post-Test Kenaikan

Memberikan

Argumen 45,06% 71,24% 26,18% 44,12% 76,85% 32,73% Melakukan

Deduksi 45,06% 71,24% 26,18% 44,12% 76,85% 32,73% Melakukan

Induksi 38,32% 56,68% 18,36% 39,70% 67,53% 27,83% Melakukan

Evaluasi 45,06% 71,24% 26,18% 44,12% 76,85% 32,73% Memutuskan

dan Melaksanakan

(62)

62

[image:62.595.113.509.362.592.2]

masing-masing aspek berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen cenderung lebih tinggi daripada peningkatan persentase masing-masing aspek berpikir kritis siswa pada kelas kontrol. Pada kelas eksperimen, peningkatan persentase masing-masing aspek kemampuan berpikir kritis siswa tertinggi terletak pada aspek memutuskan dan melaksanakan dengan kenaikan sebesar 36,16%, sedangkan peningkatan persentase masing-masing aspek kemampuan berpikir kritis siswa tertinggi pada kelas kontrol terletak pada aspek memberikan argumen, melakukan deduksi, dan melakukan evaluasi dengan kenaikan sebesar 26,18%. Persentase tersebut dapat disajikan dalam bentuk diagram batang seperti gambar di bawah ini:

Gambar 4. Diagram Persentase Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Seperti yang disajikan pada diagram batang di atas dapat dilihat persentase aspek berpikir kritis siswa pada kedua kelas dalam pre-test tidak memiliki perbedaan yang mencolok, hal ini menunjukkan bahwa siswa pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen memiliki kemampuan berpikir kritis awal yang setara.

0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00% 80.00% 90.00%

Pre-Test Post-Test Pre-Test Post-Test Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Memberikan Argumen

Melakukan Deduksi

Gambar

Tabel 1. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis
Tabel 2. Pembagian peran dalam Problem-Based LearningGuru sebagai pelatih  Siswa sebagai Problem Masalah sebagai awal
Tabel 4. Sintaksis Problem-Based Learning yang digunakan Fase Guru Siswa
Tabel 5. Sintaksis Scientific Method Fase yang digunakan Guru Siswa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan hasil evaluasi dokumen kualifikasi saudara, perihal Pekerjaan.. Perencanaan Kantor Camat Sebatik , maka dengan ini kami mengundang

Kepada peserta lelang yang berkeberatan dengan hasil pelelangan ini diberikan masa sanggah selama 4 (Empat) hari terhitung sejak tanggal pengumuman ini. Demikian pengumuman

KPU KABUPATEN TANAH LAUT TAI{TIN 2013. o KEGIATANiPAKET PEKERJAAN

Jika tanah sudah tercemar limbah detergen, di khawatirkan bahan kimia yang terkandung pada detergen terakumulasi dalam tubuh dan dapat mengakibatkan penyakit sejenis kanker

Pemohon memahami proses asesmen untuk skema Klaster Pengoperasian Alat Berat Heavy Dump Truck Mechanical ( Loading, Hauling dan Dumping ) yang mencakup persyaratan

Menurut pendapat anda, apa langkah-langkah yang paling Menurut pendapat anda, apa langkah-langkah yang paling mungkin dilaksanakan pemerintah Indonesia dalam rangka

untuk mengamati kegiatan guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. e) Mendiskusikan dengan guru kelas dan teman sejawat yang akan diminta. menjadi seorang observer.

Pada perkembangan selanjutnya protokol diartikan sebagai tata aturan, pedoman standard/formal yang digunakan sebagai acuan pihak tertentu, misalkan