kuesioner dan dokumentasi. Hal ini memberi gambaran bahwa dalam penelitian tidak
mengabaikan pendapat masyarakat setempat.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka atau sering juga disebut kajian yang relevan ialah salah satu cara
untuk mendapatkan referensi yang lebih tepat tentang informasi data yang ingin kita teliti.9 Oleh karena itu, penulis melakukan tinjauan pustaka adalah sebagai referensi, teori dan
konsep yang berkaitan dengan tulisan ini sehingga dapat memudahkan menyelesaikan
permasalahan dalam penulisan.
Penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan kajian penulis yaitu disertasi
Mantera dan Upacara Ritual Masyarakat Melayu Pesisir Timur di Sumatera Utara: kajian
tentang fungsi dan nilai-nilai budaya oleh Prof. Wan Syaifuddin. Didalamnya membahas
mengenai fungsi dan nilai dari upacara adat budaya yang ada didalam masyarakat melayu
Sumatera Timur.
Penulis juga menjadikan tesis Nurhayati Lubis: Analisis Semiotik dalam Upacara
Ritual Jamuan Laut di Jaring Halus, sebagai referensi tambahan yang didalamnya
membahas keberadaan upacara syukuran laut dan mantra dengan mengoperasikan teori
semiotika. Upacara ritual syukuran laut ini dilaksanakan oleh masyarakat Melayu di Desa
Jaring Halus, Kecamatan secanggang, Kabupaten Langkat. Fokus utama kajian ini ialah
upacara syukuran laut yang melibatkan pawang, tempat dan waktu upacara, masyarakat
pendukung, kegiatan, persiapan, pasca upacara, makan bersama, dan lainnya.
Tesis Irfan (2003), mengenai Kearifan Tradisional Masyarakat dalam Mengelola
Sumber Daya alam Laut. Menjelaskan bahwa kearifan tradisional masyarakat yang tinggal
di daerah pesisir yang menjadikan Laut sebagai sumber utama merupakan konsepsi
terpeliharanya sumber daya alam. Apabila kearifan tersebut dijaga maka akan tercapai
keharmonisan.
2.2 Kosmologi Masyarakat Melayu Langkat Secanggang
9
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari kosmologi ialah ilmu
pengetahuan yang meneliti asal usul, struktur, hubungan ruang waktu dalam alam semesta.
Kosmologi masyarakat Sumatera Timur mempunyai kaitan dengan kepercayaan
tradisional, ialah mempercayai bahwa alam semesta wujud sebagai kesatuan alam nyata
dengan alam ghaib. Oleh karena itu, mereka percaya apabila terjadi perubahan di alam nyata
adalah manifestasi yang diperlihatkan oleh kuasa dari alam ghaib. Hal ini terwujud sebagai
fenomena alam seperti awan berarak, rebut petir, guruh, air pasang, gelombang besar, dan
lain-lain. Selain itu, masyarakat melayu Sumatera Timur menggunakan alam nyata bagi
memenuhi keperluan hidupnya. Namun, mereka mengambil sumber alam tersebut
secukupnya saja.10
Sifat keteraturan dan proses pergantian siang malam yang menjadi hukum alam
adalah sesuatu yang sangat mengagumkan dan menarik perhatian manusia untuk mencari
tahu lebih jauh serta mempelajarinya lebih mendalam. Hal ini dikarenakan keteraturan di
alam semesta bersifat natural dan tidak menyalahi kodrat.
Masyarakat Melayu Sumatera Timur dalam menjalani hidup mengikuti kepada
peraturan yang sudah digariskan atau ketentuan alaminya.11 Hal demikian juga dilakukan oleh masyarakat Melayu yang mendiami Desa Jaring Halus di Kecamatan Secanggang.
Masyarakat Melayu tersebut senantiasa menjaga sikap dan prilaku di kehidupannya
sehari-hari. Mereka memelihara nilai-nilai sosial dalam berinteraksi dengan sesamanya maupun
terhadap pengunjung yang datang ke pulau tersebut. Hal ini adalah wujud dari keinginan
memelihara dan menjaga keseimbangan alam dengan membina nilai-nilai didaktik dalam
kehidupan.
10
Tuanku Luckman Sinar dan Wan Syaifuddin, Kebudayaan Melayu Sumatera Timur. Medan: USUPress, 2002, hlm 209
11
Nilai-nilai sosial ini tidak hanya terdapat dalam tutur kata ketika berbicara, namun
juga diekspresikan dalam jenis ungkapan, kiasan, dan lainnya. Hal serupa juga tampak
pada penyelenggaraan acara adat tradisi, yaitu dengan ketentuan waktu yang telah
ditetapkan. Mereka aktif melaksanakan berbagai upacara ritual, seperti perkawinan,
kelahiran anak, upacara kematian, menjauhkan bala penyakit, bencana alam, serta menjamu
laut. Hal ini mennggambarkan bahwa masyarakat Pulau Jaring Halus, Kecamatan
Secanggang memiliki adat-istiadat dan kaya akan budaya yang bersumber dari nilai
keluhuran.
2.2.1 Letak Geografi dan Sejarah Singkat
Langkat adalah salah satu nama kabupaten yang berada di Sumatera Utara yang ibu
kotanya Stabat. Nama Langkat sendiri diambil dari nama kesultanan Langkat yang dahulu
pernah ada di tempat yang kini dikenal dengan nama Tanjung Pura, yaitu sekitar 20 Km.
Kabupaten Langkat terdiri dari beberapa kecamatan dan desa, Salah satunya adalah Desa
Jaring Halus.
Desa Jaring Halus adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Secanggang
Kabupaten Langkat. Secara geografis desa ini terletak pada 3º51’30”-3º59’45” LU dan 98º
30’- 98º42’ BT dengan ketinggian lebih kurang 1 mdpl. Desa ini merupakan desa pesisir yang
berbatasan dengan selat Malaka di sebelah utara, sebelah selatan dengan Desa Selotong
Kecamatan Secanggang, sebelah timur dengan Kuala Besar Kecamatan Secanggang, dan
sebelah Barat dengan Desa Tapak Kuda Kecamatan Tanjung Pura.12
Desa ini mempunyai luas 2.554 ha pada tahun 2014. Jumlah penduduk Desa Jaring
Halus sebanyak 3.261 orang (785 KK), yang terdiri atas 1.662 laki-laki dan 1.599 perempuan.
Masyarakat di desa ini terdiri atas berbagai suku seperti suku Melayu yang mayoritas
12
mendiami desa tersebut serta merupakan penduduk asli, juga terdapat suku pendatang, seperti
suku Banjar, Mandailing, Jawa, dan Aceh.13
Pada awalnya, Desa Jaring Halus ini hanyalah sebuah daratan di tengah laut yang
tidak berpenghuni. Desa ini pertama kali dihuni oleh keluarga Abu Bakar Bin Awang, berasal
dari Malaysia yang melarikan diri ke Indonesia pada saat terjadi peperangan dengan penjajah
Inggris. Sebelum ia membuat perkampungan ini, ia terlebih dahulu meminta izin kepada
Sultan Langkat (Sultan Musa) melalui perantara Datok Secanggang.14
Di pulau tersebut banyak ditemukan rumput yang bentuknya seperti jari. Oleh
karenanya, desa ini dinamakan Rumput Jari Halus. Namun seiring berjalannya waktu, terjadi
pergesan pengucapan sehingga desa tersebut sekarang dikenal dengan nama Desa Jaring
Halus.15
2.2.2 Adat-istiadat Masyarakat.
Masyarakat Melayu pada umumnya masih sering melaksanakan upacara-upacara adat
khususnya dalam acara-acara pernikahan, kelahiran anak, menempati rumah baru, membuka
hutan untuk dijadikan perladangan, dan lain sebagainya. Pelaksanaan upacara ritual ini pada
umumnya telah ditemukan pada masa masyarakat Melayu lama sepanjang pesisir pulau
Sumatera, yakni di daerah Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara, Siak, dan seterusnya.16
Mayoritas masyarakat Melayu Langkat sudah beragama Islam dan ajaran-ajaran Islam
tersebut terlihat jelas dalam kebudayaan dan adat-istiadat masyarakatnya. Misalnya ketika
membicarakan suatu permasalahan dalam sebuah kampung, biasanya akan dimusyawarahkan
di masjid.
13
Daftar Isian Profil Desa, Op.cit. hlm 19
14
Julpikar, op. cit. di Desa Jaring Halus
15
Julpikar, log. Cit. di Desa Jaring Halus
16
Pengamalan ajaran Islam yang begitu kuat pada masyarakat Melayu , ternyata belum
bisa menepis kepercayaan-kepercayaan yang bersifat animisme dalam kehidupan sehari-hari.
Hal demikian dapat dibuktikan bahwa upacara-upacara yang sering dilaksanakan masih
memiliki pengaruh kepercayaan Hindu. Salah satunya adalah upacara ritual syukuran laut
agar mudah mendapatkan rezeki.
Oleh karena itu, adanya asimilasi antara kepercayaan-kepercayaan pra-Islam dengan
ajaran-ajaran Islam sendiri telah menimbulkan budaya dan adat-istiadat tersendiri bagi
mereka.
2.3 Konsep Kesusastraan Tradisi
Sastra Melayu tradisi disebut juga dengan nama sastra Melayu lama atau sastra lisan
dikenal oleh masyarakat sejak dahulu sebelum adanya tulisan, yang merupakan refleksi
bagaimana ketamadunan masyarakat tersebut. Sastra lisan atau sastra rakyat merupakan
hasil karya sastra milik bersama atau milik sekumpulan masyarakat yang diturunkan secara
turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain secara lisan atau dari mulut ke mulut,
baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan maupun tradisi lain yang bukan lisan sehingga
menentukan bahwa sastra tersebut adalah sastra rakyat.
Peristiwa penuturan sastra lisan itu adalah panggung sosial dengan ranah kolektivitas
di samping adanya panggung perseorangan yang monolog. Sastra lisan dahulu sangat
digemari oleh warga masyarakat dan biasanya didengarkan secara kolektif karena
dihasilkan dari sastra lisan berdampak positif terhadap menguatnya ikatan sosial diantara
anggota masyarakat.17
Kesusastraan lisan atau tradisi dapat dirujuk sebagai hasil karya yang memiliki pesan
dan pemikiran tertentu. Gagasan tersebut menjadi sebuah konsep kesusastraan tradisi yang
melahirkan aksi dan tingkah laku yang keluar secara alamiah. Kenyataan tersebut
menciptakan integritas dan kebersamaan dikalangan masyarakat yang menjalani konsep
tersebut dikehidupannya.
Berkaitan dengan lokasi penelitian yaitu di Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang,
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang merupakan wilayah Melayu Sumatera Timur,
penulis mencoba mengkhususkan identifikasi tradisi kesusastraan.
Kesusastraan rakyat masyarakat Melayu Sumatera Timur mempunyai beberapa ciri
tertentu. Ciri pertama, berhubungan dengan cara ia disampaikan, yaitu secara lisan. Namun,
sebagian darinya telah dituliskan kemudian dilisankan pula. Kedua, melibatkan soal
penciptaan dari kesusastraan rakyat masyarakat Melayu Sumatera Timur, yaitu lebih banyak
lahir dan berkembang dari dalam masyarakat sederhana. Ketiga, mengandung ciri-ciri budaya
asal masyarakat yang melahirkannya, hingga menggambarkan suasana masyarakat Melayu
yang alamiah. Keempat, kepunyaan bersama. Kelima, di dalam kesusastraan masyarakat
Melayu Sumatera Timur terdapat unsur-unsur pemikiran yang luas terhadap kehidupan
masyarakatnya, pengajaran atau bersifat didaktik dan unsur pensejarahan.18
Dari pengertian, ciri, wujud dan jenis pengetahuan yang diperoleh dari pembahasan
tradisi lisan, dapat disimpulkan bahwa didalam tradisi lisan terkandung norma dan nilai-nilai
keluhuran yang bersumber dari nusantara yang merupakan harta pusaka nenek moyang
17
Robert Sibarani, Kearifan Lokal (Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan), Jakarta, Asosiasi Tradisi Lisan. 2012 Hlm. 33
18
terdahulu. Warisan leluhur bangsa ini dapat dimamfaatkan untuk mengatur tata kehidupan
masyarakat yang rukun, makmur dan penuh keberkahan.
Kultur budaya yang berkembang di Kabupaten Langkat sangat banyak hubungannya
dengan alam dikarenakan daerah ini secara georafis berada di pesisir Sumatera. Oleh sebab
itu, masyarakatnya banyak memamfaatkan lingkungan dengan hasil alamnya untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Dikarenakan pengaruh lingkungan tersebut, masyarakat Melayu
Kabupaten Langkat melakukan proses adaptasi dalam mengembangkan sistem budaya, sistem
sosial dan material. Melalui proses tersebut lahirlah berbagai karya sastra seperti ritual
syukuran laut.
2.4 Pelaksanaan Ritual Syukuran Laut
Masyarakat Melayu di Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten
Langkat, Sumatera Utara masih mempercayai adanya kekuatan ghaib terhadap
kehidupannya. Hal ini terlihat dari cara mengatasi tantangan hidup yang berhubungan
dengan sistem mata pencaharian mereka sebagai nelayan, yaitu dengan rnengadakan suatu
bentuk upacara untuk menghindarkan mara bahaya dari mereka. Melalui upacara syukuran
laut rasa solidaritas terwujud dan dengan adanya aktivitas masyarakat, maka upacara
syukuran laut dapat diadakan.
Upacara ritual ini dilaksanakan empat tahun sekali, kecualai ada isyarat dari mimpi
pawang atau fenomena alam seperti terjadi wabah penyakit dan iklim yang tidak mendukung
untuk mencari nafkah, sehingga waktu pelaksanaannya ini dapat dipercepat.19
Abdullah menjelaskah bahwa Pelaksanaan upacara syukuran laut ini dilakukan oleh
pawang dan dibantu oleh masyarakat dan pemerintah yang sebelumnya sudah disepakati
dalam musyawarah. Adapun tahap pelaksaan ritual Syukuran Laut sebagai berikut:
19
Persiapan Ritual Syukuran Laut
Persiapan ritual syukuran laut yaitu diadakan musyawarah yang didalamnya
membahas ketetapan waktu, tempat sekaligus tatacara agar terlaksana perayaan tersebut.
Musyawarah ini dilaksanakan dibalai desa dengan menghadirkan perangkat pemerintah di
Desa jaring Halus, pawang dan perwakilan masyarakat.
Permulaan Perayaan
Awal mula dilaksanakan ritual tersebut, yaitu pawang menancapkan panji di yang
terbuat dari buluh. Panji tersebut di tancapkan di dekat muara ketika fajar mulai
menyingsing. Kemudian pawang memercikkan air kearah panji tersebut sekaligus
membacakan mantera. Hal ini menandakan perayaan ritual sudah dimulai. Adapun mantera
yang dibaca oleh pawang ialah :
Assalamu’alaikum alaikum salam Hai, saidina Alam
Marilah bersama aku
Akulah bomoh yang asal
Bomoh yang usul
Bomoh yang tidak tiru
Bomoh yag turun-temurun
Marilah mu bersama-sama aku
Aku nak buat kenduri khidmad Assalamu’laikum
Aku kirim salam pada jin tanah
Aku tahu asalmu
Bukan aku melepas bala mustaka
Sang kala Sang Lipat melepas bala mustaka
Jin taru melepas bala mustaka
Menghantarkan persembahan
Ketika matahari sudah terbit yaitu sekitar pukul 09.00 Wib, hantaran yang akan di
berikan ke laut siap di hanyutkan oleh pawang dan di disertai beberapa anggota masyarakat.
Hantaran tersebut sudah dipersiapkan sebelumnya, yaitu berupa: kepala dan tulang dari
seekor kambing jantan, ayam, dan bahan lainnya.
Ketika menghanyutkan persembahan ke Laut, pawang membaca mantera sebagai berikut :
Assalamu’laikum alikum salam Nenek putrid hijau
Yang diam di galah jambu air
Tempat jin turun berkecimpung
Sungai pusat Tesek Pauh Jenggi
Mohon beta minta ampun minta maaf
Terimalah persembahan anak cucu
Nenek putrid hijau
Banyak tanda ada
Sedikit tanda terkenang
Setelah persembahan tersebut diihanyutkan ke tengah laut, pawang dan beberapa
anggota masyarakat yang ikut serta menghantarkan persembahan tersebut tidak boleh
melihat kebelakang. Setiba di desa seluruhnya berkumpul dan makan bersama-sama, serta
berdoa yang dipimpin oleh pawang agar ritual tersebut diberkati oleh Tuhan yang maha
kuasa.
Pawang Membaca Pantang Larang
Selesai berdoa, pawang membaca pantang larang yang harus dipatuhi pasca pelaksanaan
ritual syukuran laut. 20
Adapun pantang larangnya adalah sebagai berikut
1. Dilarang adanya perkelahian baik secara fisik maupun dengan ucapan yang
semena-mena.
2. Tidak boleh berkegiatan selama 1 hari, yaitu mulai dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore.
Artinya masyarakat harus istirahat dari pekerjaannya dan berdiam di dalam rumah.
Tidak boleh keluar rumah kecuali beberapa alasan yang disepakati.
3. Dilarang menagkap ikan hari jumat dan hari-hari besar islam dari pukul 06.00 sampai
dengan 18.00
4. Tidak boleh menjatuhkan benda apapun selama upacara berlangsung. Apabila hal itu
terjadi maka benda yang dijatuhkan tidak boleh diambil kembali kecuali ketika masa
pantang larang berakhir.21
20
wawawncara dengan Abdullah, di desa Jaring Halus
21
2.5 Pendekataan Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata
sosio (Yunani) (Socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti
sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna,
soio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai
asal usul pertumbuhan (evolusi) masyarakat,
ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam
masyarakat, sifatnya umum, rasional dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta)
berarti mengarahkan, mengajar, member petunjuk dan intruksi. Akhiran tra berarti alat atau
sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku
pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah berbentuk menjadi
kata jadian kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik. Maka, sosiologi sastra
dapat diartikan pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan segi
kemasyarakatannya22.
Sastra adalah lembaga sosial yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya; dan
bahasa adalah adalah salah satu ciptaan sosial. Sastra bisa mengandung gagasan yang
22
mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sifat sosial tertentu, atau bahkan untuk
mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Oleh Karena itu,
karya sastra dikenal sebagai cerminan atau pantulan hubungan sosial tiap individu maupun
masyarakat.23
Sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sudah sejak dulu, karya sastra dikenal dalam beberapa tindakan sosiokultural masyarakat
seperti pada upacara keagamaan, perkawinan, kelahiran, pekerjaan sehari-hari atau
permainan. Karya sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan
masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak
bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra.24
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang
dalam menganalisisnya mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan yang terdapat di dalam
karya sastra.
Karya sastra tidak dapat dipahami dengan selengkapnya apabila dipisahkan dari
lingkungan, kebudayaan atau peradaban yang menghasilkannya. Setiap karya sastra adalah
hasil dari pengaruh timbal balik dari faktor-faktor kultural dan sosial (masyarakat).
Sedangkan Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah; pertama, sebagai suatu
kekuatan atau faktor material istimewa, dan kedua, sebagai tradisi. Yaitu kecendrungan
spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif.25
23
Ratna, log. cit. hlm 3-6
24
Ratna, opcit, hlm 8-15
25
Sosiologi sastra memiliki tiga ciri dasar, yaitu :
(1) Kecendrungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan, dengan
demikian ia dapat berwatak rasional dan signifikan di dalam korelasinya dengan
lingkungan;
(2) Kecendrungan pada koherensi dalam proses penstrukturan yang global; dan
(3) Dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik serta kecendrungan untuk merubah
struktur walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut.26 Dan terdapat tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu :
(1) Penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan;
(2) Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya;
(3) Penelitian yang mengungkapkan sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.27
Berkaitan dengan objek kajian yaitu musyawarah untuk mufakat sebagai nilai-nilai tunjuk
ajar Melayu, penulis pada penelitian ini menggunakan perspektif pertama dan kedua. Yakni
menganalisis aspek sosial khususnya kemampuan masyarakat Desa Jaring Halus dalam
26 Goldmann (1981:11) dalam buku Suwardi Endraswara,
Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta, Medpress, 2008, hlm 79
22
menyelesaikan permasalahan dengan bermusyawarah juga nilai dan norma yang terkandung
di dalamnya, serta penyesuaikan diri dengan lingkungan dalam bentuk melaksanakan upacara
syukuran laut.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian berasal dari kata metode yang artinya cara dan logos yaitu ilmu
atau pengetahuan. Metodologi artinya cara atau teknik melakukan sesuatu yang bersifat
ilmiah untuk mencapai tujuan tertentu. Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencatat,
merumuskan, mencari, dan menganalisis suatu masalah yang dilakukan secara sistematis
yang akhirnya diperoleh hasil dalam bentuk laporan. Jadi, metodelogi penelitian adalah
sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur yang digunakan oleh pelaku suatu disiplin
ilmu untuk memperoleh jawaban dari persoalan yang diteliti.
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian atau dapat juga disebut metode penelitian adalah suatu cara untuk
mencari kebenaran dengan mengumpulkan dan menganalisis data yang diperlukan untuk