• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL DALAM RANGKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL DALAM RANGKA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL DALAM RANGKA

PERINGATAN DINI BENCANA MASYARAKAT PESISIR

YOGYAKARTA

Kadhung Prayoga1

1Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Universitas

Gadjah Mada

1Alumni Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

*E-mail : kadhungprayoga@gmail.com

ABSTRACT

Ancaman bencana bagi masyarakat pesisir sangatlah besar, terutama bagi mereka yang hidup di kawasan pesisir Yogyakarta. Masyarakat yang hidup di Yogyakarta sudah dibekali oleh nenek moyang mereka terkait tanda alam sebagai peringatan dini akan datangnya berbagai macam bencana, baik itu tsunami, angin puting beliung, maupun tanah longsor. Sehingga, paper ini bertujuan untuk mengetahui kearifan lokal apa yang ada di masyarakat pesisir Yogyakarta terkait pencegahan bencana lewat sebuah studi literature terhadap sumber data sekunder. Masyarakat pesisir mengenali tanda-tanda tsunami seperti kondisi air laut, suara dentuman dari laut, dan adanya hari yang tidak diperbolehkan melaut. Dalam mengidentifikasi terjadinya angin puting beliung, masyarakat pesisir juga memiliki cara tersendiri untuk melihatnya, yaitu lewat kabut, udara dingin, dan bentuk awan. Sedangkan untuk tanah longsor, masyarakat biasa merasakan akan ada hujan deras berhari-hari dan pergerakan awan yang cepat. Mereka juga memanfaatkan pranata mangsa, rasi bintang, kehadiran kepiting, dan tanda alam lainnya. Berbagai upaya juga sudah dilakukan masyarakat. Jadi, sudah seharusnya pemerintah mengakomodasi berbagai kearifan lokal ini dalam membuat sebuah pedoman terkait kegiatan pencegahan bencana. Kearifan lokal bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan namun tidak menghilangkan esensinya. Sehingga, dengan begitu pedoman pencegahan bencana tersebut akan mudah diterima oleh masyarakat.

Keywords: pencegahan, bencana, pesisir, kearifan lokal, yogyakarta

1. PENDAHULUAN

Indonesia dengan lautnya yang

membentang dari Sumatera hingga Papua

menyimpan berbagai potensi untuk

dikembangkan. Namun, dibalik itu

ancaman berbagai bencana alam, seperti tsunami, angin puting beliyung, dan longsor sangat erat dalam kehidupan masyarakat pesisir.

Berbagai aktivitas manusia yang merusak sumber daya laut juga semakin memperburuk keadaan. Ancaman bencana menjadi semakin besar karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Tentu butuh suatu sistem peringatan dini agar bencana yang terjadi tersebut tidak memakan banyak korban jiwa.

Dibutuhkan suatu model pengelolaan dan peringatan dini yang memadukan peran pemerintah dan masyarakat agar berbagai potensi dan ancaman bisa dikembangkan serta diminimalisir. Sistem

yang ada saat ini masih cenderung berada

di tangan pemerintah atau government

based management dimana pemerintah pusat memegang kendali dalam mengelola sumber daya laut, termasuk di dalamnya terkait pencegahan bencana di wilayah pesisir.

Banyak kegiatan dan program

pemerintah yang sebenarnya

mengingatkan masyarakat terkait

pencegahan bencana di daerah pesisir. Namun, banyak pula dari program tersebut tidak dihiraukan oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena lemahnya peran masyarakat

dalam menytusun program tersebut.

Masyarakat dengan kearifan lokal yang mereka miliki tidak mendapat perhatian lebih dari pemerintah.

(2)

menanganinya. Hal ini sebenarnya mendapat dukungan dari UU No 31/2004 bahwa pemerintah yang bertindak sebagai

pengambil kebijakan terkait sektor

perikanan harus mempertimbangkan

hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat didukung menjadi dasar konstitusi bagi pengelolaan berbasis kearifan lokal.

Menurut Solichin (2010), Indonesia memiliki kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Kearifan lokal tersebut merupakan hak-hak

kepemilikan (property rights) yang tidak

hanya diartikan sebagai penguasaan

terhadap suatu kawasan, akan tetapi juga sebagai salah satu bentuk strategi dalam melindungi sumber daya dari kegiatan

perikanan yang merusak (destructive

fishing) dan berlebihan (over exploited). Di beberapa wilayah di tanah air seperti

Yogyakarta dengan wilayah yang

mayoritas adalah wilayah pesisir juga memiliki kearifan lokal terkait kegiatan pencegahan bencana. Jadi, perlu dikaji apa saja kearifan lokal yang ada di masyarakat pesisir Yogyakarta dan apa yang harus dilakukan pemerintah agar

masyarakat bisa lebih memahami

peringatan dini terkait suatu bencana di wilayah pesisir.

2. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kearifan Lokal

Keraf (2006) mengistilahkan kearifan lokal dengan istilah kearifan tradisional, yang diartikan sebagai semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan dan etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.

Sedangkan menurut Juniarta (2013), kearifan lokal berkaitan erat dengan tata nilai kehidupan yang terwarisi dari generasi ke generasi berikutnya yang berbentuk religi, budaya maupun adat istiadat yang umumnya dalam bentuk lisan dalam suatu bentuk sistem sosial suatu masyarakat.

Aulia et. al (2010) berpendapat bahwa kearifan lokal merupakan manifestasi dari suatu kebijaksanaan gagasan-gagasan, ilmu pengetahuan, keyakinan, pemahaman dan adat kebiasaan/etika masyarakat lokal yang dianggap baik untuk dilaksanakan,

bersifat tradisional, diwariskan, penuh kearifan dan berkembang dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil dari

timbal balik antara masyarakat dan

lingkungannya. 2.2 Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir adalah daerah

pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Ke arah laut

mencakup bagian laut yang masih

dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran (Brahtz, 1972; Soegiarto, 1976; Beatly, 1994) dalam Direktoral Jendral Pesisir dan Pulau Kecil (2003).

Dahuri, dkk. (1996) mendefenisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tertinggi dan batas ke arah laut adalah yurisdiksi wilayah propinsi atau state di suatu negara. Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut.

2.3 Bencana

Bencana (disaster) merupakan

fenomena sosial akibat kolektif atas

komponen bahaya (hazard) yang berupa

fenomena alam atau buatan di satu pihak,

dengan kerentanan (vulnerability)

komunitas di pihak lain. Bencana terjadi apabila komunitas mempunyai tingkat kapasitas atau kemampuan yang lebih rendah dibanding dengan tingkat bahaya yang mungkin terjadi padanya (Paripurno, 2006).

Sedangkan dalam Undang-Undang No.24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

dan penghidupan masyarakat yang

disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban

jiwa manusia, kerusakan lingkungan,

(3)

kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian.

Oleh karena itu sebelum terjadinya

bencana perlu adanya kegiatan

pencegahan.

3. METODE PENULISAN

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah pendekatan kualitatif. Strauss dan Corbin (2003) memandang pendekatan kualitatif adalah jenis penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik dan bentuk hitung-hitungan lainnya. Contohnya

adalah penelitian tentang kehidupan,

riwayat, perilaku manusia, disamping juga tentang peranan organisasi, pergerakan

sosial, atau hubungan timbal balik.

Sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan analisis wacana. Penulisan paper ini berusaha untuk menjelaskan berbagai macam kearifan lokal yang digunakan masyarakat pesisir sebagai peringatan dini jika terjadi suatu bencana. Jadi, metode-metode kualitatif sangat cocok digunakan karena menurut Bogdan dan Tylor (1993), metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk memahami

masyarakat secara personal dan

memandang mereka sebagaimana mereka

sendiri mengungkapkan pandangan

dunianya. Teknik pengumpulan datanya

sendiri menggunakan metode studi

pustaka untuk mendapatkan data-data sekunder. Data sekunder dalam penulisan paper ini berupa bahan-bahan tertulis yang berasal dari penelitian terdahulu, jurnal,

buku, tesis, disertasi, dan berbagai

informasi digital yang ada di internet. Analisis menggunakan interpretasi peneliti dengan mengacu pada berbagai literatur atau referensi yang relevan dengan objek kajian dalam penulisan paper ini.

4. PEMBAHASAN

4.1Kearifan Lokal dalam pencegahan

Bencana di Yogyakarta.

Dalam penelitian Hiryanto (2012)

masyarakat yang berada di pesisir

parangtritis mengenali terjadinya tsunami jika secara tiba-tiba air laut menjadi surut, para nelayan mendapatkan tangkapan ikan yang melimpah dan ikan yang diperoleh

memiliki ukuran yang besar, serta

kemudian tiba-tiba air laut naik.

Ciri lainnya adalah muncul suara gler

dari arah laut yang sangat keras, dan setelah suara itu terdengar air laut akan

surut atau mundur ke belakang. Gler ini

merupakan bunyi reruntuhan gua atau terowongan di sekeliling atau di dalam laut.

Menurut warga Yogyakarta yang hidup di daerah pesisir, mereka akan waspada pada hari Jumat Kliwon karena pada hari itu dipercaya air mulai naik dan rawan terjadi tsunami.

Armanto, dkk (2007), menjelaskan bahwa tsunami didahului oleh dentuman.

Dan pengetahuan lokal masyarakat

Yogyakarta mengenai suara gler bisa saja

merupakan bunyi dentuman yang ada di laut. Hal ini disebabkan adanya pergeseran vertikal lempeng bumi di bawah dasar laut. Patahan lempeng bumi menyebabkan perubahan dasar laut secara mendadak.

Bencana lain yang lekat dengan masyarakat pesisir adalah angin puting beliung. Penelitian dari Hiryanto (2012) juga menunjukkan pengetahuan lokal yang dimiliki warga Yogyakarta dalam mengenali terjadinya bencana angin puting beliung. Dari hasil penelitian tersebut warga mengaku akan ada kabut sebelum angin datang. Selain itu, awan akan berbentuk

menyerupai gelombang, atau dalam

bahasa lokal biasa disebut ampak-ampak. Awan tersebut adalah awan CB atau awan comulus nimbus yang memiliki bentuk menyerupai bunga kol. Sesaat sebelum angin puting beliung datang akan terjadi panas yang terik, namun di tengah panas tersebut tiba-tiba langit berubah gelap dan udara menjadi dingin.

(4)

berjalan di langit sebagai tanda awal sebelum longsor terjadi.

Sunarto (2009) juga mendapati

adanya suatu kearifan lokal pada

masyarakat pesisir Yogyakarta bahwa saat musim penghujan banyak hewan kepiting naik ke teras rumah atau masuk ke rumah

penduduk, maka keadaan itu oleh

masyarakat dijadikan tanda akan

datangnya banjir.

Masyarakat pesisir juga mengenal

adanya dina renteng. Dina renteng adalah

hari-hari yang secara berturut-turut

memiliki nilai perhitungan jawa berjumlah 13 dan 14. pada hari itu akan terjadi hujan lebat secara terus menerus. Hari yang berjumlah 13 adalah jumat pon, sabtu wage, dan minggu kliwon. Sedangkan yang nilainya 14 adalah jumat kliwon, sabtu legi, dan minggu paing (Endraswara, 2003).

Dalam penelitian Sunarto (2011), ditemukan sebuah kearifan lokal lain bahwa masyarakat dalam beradaptasi dengan lingkungan kepesisiran dinyatakan dalam bentuk nasihat yang turun-temurun,

yaitu “Manawa sira urip anèng gisik, sira

kudu nglilakna manawa biyungé njaluk bali

manèhyogané”. Nasihat turun-temurun

dengan bahasa Jawa tersebut jika

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia

menjadi:“Seandainya engkau berkehidupan

di pantai, engkau harus merelakan seandainya induknya meminta kembali

anaknya”.

Ungkapan ini bisa dimaknai bahwa

masyarakat pesisir harus senantiasa

memahami kondisi di sekitarnya karena lingkungan laut yang selalu berubah setiap saat.

Masyarakat pesisir juga menggunakan pranata mangsa untuk mengamati keadaan sekitarnya. Baik itu untuk melihat cuaca maupun untuk aktivitas menangkap ikan. Menurut Partosuwiryo (2012) dalam laman Natgeo (2012) menjelaskan bahwa nelayan memanfaatkan jenis dan letak bintang sebagai pemandu arah ketika di laut. Bahkan ketika terjadi badai dan gelombang besar mereka masih memanfaatkan rasi bintanguntuk menyelamatkan diri.

Tidak hanya itu, nelayan juga

menggunakan tanda-tanda alam seperti udara dingin, musim buah-buahan, angin

kencang, serta posisi bulan untuk

menentukan kegiatan melautnya.

Namun, menurut Jokowinarno (2011), sistem peringatan dini yang memanfaatkan kearifan lokal ternyata harus dikaji ulang karena beberapa alasan, yaitu:

1. Perilaku binatang di sekitar pantai masih belum bisa secara pasti dinterpretasikan

oleh manusia. Misal sulit kita

membedakan perilaku burung yang mengetahui tsunami, hujan badai, atau bencana alam yang lain.

2. Surutnya air laut tidak reliable sebagai

tanda akan datangnya tsunami karena memang setiap hari air laut mengalami pasang-surut dengan amplitudo yang bervariasi sesuai dengan posisi bumi terhadap benda-benda di ruang angkasa terutama bulan dan matahari.

Biantoro (2011) juga meneguhkan pernyataan di atas bahwa kearifan lokal memang dapat menjadi bagian dari kekuatan pengetahuan manusia di masa depan, namun disatu sisi menempatkan kearifan lokal pada posisi yang berlebihan mengakibatkan manusia dapat terjebak dalam romantisme masa silam yang tidak relevan, sebuah pemahaman yang akan melupakan masa depan karena terlalu berorientasi pada masa lalu.

Meskipun demikian, penggunaan

tanda-tanda alam sebagai kearifan lokal masyarakat Yogyakarta ini masih relevan untuk digunakan dalam melengkapi sistem

peringatan dini bencana yang

dikembangkan oleh pemerintah. Dalam sistem peringatan dini, semua indikator baik yang bersifat ilmiah maupun kearifan lokal harus saling disinergikan untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

Pemerintah sebagai policy taker juga harus tetap melihat bahwa ada sesuatu yang hidup bersama masyarakats ejak ratusan tahun yang lalu, yaitu kearifan dan pengetahuan lokal. Pemerintah secara scientific harus memahami karakteristik bencana alam dan kerusakan yang ada. Namun, masyarakat juga perlu dilibatkan

terkait identifikasi pengetahuan dan

(5)

Lebih jauh Sunarto (2011) mengembangkan sebuah pemikiran bahwa kekayaan budaya tersebut lebih baik dilembagakan sehingga kearifan lokal yang ada di masyarakat pesisir akan mudah diketahui dan dipelajari oleh masyarakat luas. Hal ini juga dapat menjadi langkah preventif agar kearifan lokal tersebut tidak hilang akibat perubahan zaman.

4.2 Upaya Mewariskan Kearifan

Lokal

Berbagai upaya telah dilakukan

masyarakat pesisir Yogyakarta dalam rangka mewariskan kearifan lokal yang mereka miliki kepada generasi muda agar kearifan lokal tersebut tidak hilang. Terlebih lagi hal itu dilakukan agar mereka senantiasa diberi keselamatan oleh Tuhan. Dalam penelitian Hiryanto, dkk (2012)

warga Yogyakarta telah melakukan

berbagai cara untuk memperkenalkan warisan budaya tersebut kepada anak cucunya. Langkah yang mereka ambil adalah sebagai berikut:

1. Menyampaikan tanda-tanda yang

dipahami tentang hadirnya bencana pada anak cucu.

2. Menasehari anak cucu untuk selalu memohon keselamatan pada Tuhan. 3. Dari sisi kebatinan, jika ada bencana

membuang galar (tongkat kayu) ke luar

rumah agar diberi keselamatan dan bencana tersebut menjauh dari mereka.

4. Membuang garam, selanjutnya diikuti dengan adzan, tujuannya supaya angin puting beliung berhenti.

5. Pada orang hamil perut diberi abu agar tidak keguguran.

6. Sembunyi di dalam ruangan jika ada

lesus (angin puting beliung).

7.

Memasak sayur keluwih agar diberi

keselamatan.

8. Supaya terhindar dari rumah roboh,

maka bangunan rumah berbentuk

limasan, dan warga akan saling

berpegangan sambil berucap kukuh

bakoh agar rumah mereka tidak roboh saat ada bencana.

Jokowinarno (2011), juga

mengungkapkan 6 kebijakan yang

seharusnya dilakukan oleh pemerintah guna membuat sebuah sistem peringatan

dini bencana yang memanfaatkan kearifan lokal masyarakat, yaitu:

1. Melakukan upaya-upaya perlindungan kepada kehidupan, infrastruktur dan lingkungan pesisir.

2. Meningkatkan pemahaman dan peran

serta masyarakat pesisir terhadap

kegiatan pencegahan bencana

gelombang pasang, termasuk di

dalamnya menggali kearifan lokal

masyarakat.

3. Meningkatkan kesiapsiagaan

masyarakat pesisir terhadap bencana. Meliputi pengembangan sistem yang menunjang komunikasi untuk peringatan

dini dan keadaan darurat,

menyelenggarakan latihan dan simulasi

tanggapan terhadap bencana dan

kerusakan yang ditimbulkan, serta

penyebarluasan informasi tahapan

bencana dan tanda-tanda yang

mengiringi terjadinya bencana.

4. Meningkatkan koordinasi dan kapasitas kelembagaan pencegahan bencana. 5. Menyusun payung hukum yang efektif

dalam upaya mewujudkan upaya-upaya pencegahan bencana.

6. Mendorong keberlanjutan aktivitas

ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.

5. KESIMPULAN

Berbagai penjelasan diatas dapat

disimpulkan bahwa pada dasarnya

masyarakat pesisir memiliki suatu kearifan lokal dalam menghadapi ancaman sebuah bencana, baik itu tsunami, angin puting

beliung, maupun tanah longsor.

Masyarakat pesisir mengenali tanda-tanda tsunami seperti kondisi air laut, suara dentuman dari laut, dan adanya hari yang

tidak diperbolehkan melaut. Dalam

mengidentifikasi terjadinya angin puting beliung, masyarakat pesisir juga memiliki cara tersendiri untuk melihatnya, yaitu lewat kabut, udara dingin, dan bentuk awan. Sedangkan untuk tanah longsor, masyarakat biasa merasakan akan ada hujan deras berhari-hari dan pergerakan awan yang cepat. Tidak hanya itu,

masyarakat pesisir juga menjadikan

(6)

Jadi sudah seharusnya pemerintah mengakomodasi berbagai kearifan lokal ini dalam membuat sebuah pedoman terkait kegiatan pencegahan bencana. Namun, perlu diingat bahwa kearifan lokal ini juga

harus dikaji secara ilmiah agar

kebenarannya bisa

dipertanggungjawabkan. Kearifan lokal

bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan namun tidak menghilangkan esensinya.

Sehingga, dengan begitu pedoman

pencegahan bencana tersebut akan mudah diterima oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Armanto, D, Marzunita, Saprudin, Sudarja, M, Royan, A, Wijayanti, Didit, Iwan, dan Sarsih. 2007. Bersahabat dengan Ancaman. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Aulia TOS, Dharmawan AH. 2010. Kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya

air di Kampung Kuta. Sodality.

4(2010):335-346.

Biantoro S. 2011. Menjawab Tantangan Global? Strategi Masyarakat Adat dalam Kasus Pembalakan Hutan di Kalimantan Barat. Artikel dalam buku Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Bogdan, Ribert dan Steven J. Tylor. 1993.

Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian.

Surabaya: Usaha Nasional.

Dahuri, R., 1996, Ekosistem Pesisir,

Makalah/Materi Kuliah, IPB, Bogor. Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau

Kecil, Departemen Perikanan dan

Kelautan, 2003, Modul Pengelolaan

Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terpadu, Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Jakarta.

Endraswara, S. (2003). Falsafat Hidup

Jawa, Penerbit Cakrawala, Tangerang.

Hiryanto, Sri Iswanti, dan Kartika Nur Fathiyah. 2011. Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Memahami Tanda-Tanda Bencana Alam Pada Insan Usia Lanjut

Di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Laporan Penelitian Kelompok Kajian Tahun Anggaran 2012. Universitas Negeri Yogyakarta.

Jokowinarno, Dwi. 2011. pencegahan Bencana Tsunami Di Wilayah Psisir Lampung. Jurnal Rekayasa. Vol. 15 No. 1.

Juniarta, Hagi Primadaksa. 2013. Kajian

Profil Kearifan Lokal Masyarakat

Pesisir Pulau Gili, Kecamatan

Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Jurnal ECSOFiM Vol. 1 No. 1.

Keraf S. 2006. Etika Lingkungan. Kompas: Jakarta.

National Geographic. 2012. Pranata

Mangsa, Metode Penangkapan Ikan

Lestari. www.

nationalgeographic.co.id. Diakses

pada tanggal 03 Oktober 2016.

Paripurno, EK. 2006. Perencanaan

Pembangunan Sensitif Bencana.

Disampaikan dalam Pelatihan

Orientasi Pengurangan dan

Manajemen Risiko Bencana.

Magelang.

Solikhin, Satria A. 2007. Hak ulayat laut di era otonomi daerah sebagai solusi pengelolaan perikanan berkelanjutan:

Kasus awig-awig di Lombok Barat.

Sodality. 1(April).

Strauss, Anselm & Juliet Corbin, 2003.

Dasar-dasar Penelitian Kualitatif.

Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Sunarto, Lies Rahayu W.F., D. Mardiatno, M.A. Marfai, dan Daryono. 2009.

Strategi Pengurangan Risiko

Multibencana melalui pencegahan dan Adaptasi di Wilayah Provinsi DIY dan Jawa Tengah (Studi Kasus Zona Utara

Pulau Jawa), Laporan Penelitian Hibah

Strategis Nasional, LPPM – UGM, Yogyakarta.

Sunarto. 2011. Pemaknaan Filsafati

Kearifan Lokal Untuk Adaptasi

Masyarakat Terhadap Bencana Marin dan Fluvial Di Lingkungan Kepesisiran. Jurnal Forum Geografi. Vol. 25 No. 1. p.1-16. Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Banyak keterbukaan yang terjadi pada era reformasi dan hal ini adalah tak lain salah satunya peran kon fi gurasi politik yang telah membuat regulasi tentang pemberantasan

Latar belakang penelitian ini adalah kurangnya pemahaman dan kurang maksimalnya metode guru SMA dalam penilaian hasil belajar PJOK revisi kurikulum 2013 sesuai

Data mentah yang telah diperoleh dari perusahaan kemudian diolah menjadi data testing, yang selanjutnya akan dibuat pohon keputusan untuk mempediksi anggaran

Sumber daya alam yang baik akan diolah oleh sumber daya manusia menjadi sebuah produk dengan nilai tambah yang lebih dan berguna bagi masyarakat.. Sumber daya manusia

Jumlah data training harus lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah data testing hal ini dikarenakan fungsi dari data training adalah sebagai representasi

3URGXN 5LHU SHUWDPD NDOL GLEXDW GHQJDQ PHQLUX SURGXN VHSDWX ED\L \DQJ VHGDQJ ODNX GL SDVDU JURVLU /DOX EUDQG LQL PHQHUXVNDQ SDVDUQ\D GL SDVDU JURVLU 1DPXQ KLQJJD EHUWDKXQ WDKXQ PDLQ

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi pengaruh dari Carbopol ® 940 sebagai gelling agent dan propilen glikol sebagai humektan pada level yang

Perawatan tali pusat yang baik dan benar akan menimbulkan dampak positif yaitu tali pusat akan “puput” pada hari ke-5 sampai hari ke-7 tanpa ada komplikasi,