5. Pengadilan Agama Bulukumba danAksesibilitas Perempuan terhadap Perceraiandan Hak-Hak Paska Perceraian
Stijn Cornelis van Huis
Bulukumba adalah sebuah kabupaten yang terletak di sebelah tenggara Propinsi
Sulawesi Selatan.1 Kantor Pengadilan Agamanya terletak di kecamatan Ujung Bulu.
Dari Makassar, ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan, berjarak 153 km atau empat jam
perjalanan menuju arah timur yang sepanjang jalannya kadang berlubang-lubang.
Populasi Bulukumba 394.746 orang, di antara 394.397 orang terdaftar sebagai
pemeluk Islam. Saat ini, luas Bulukumba adalah 1.155 km terdiri dari sepuluh
kecamatan, 27 kelurahan dan 99 desa. Sebagian besar wilayah Bulukumba adalah
sentra agraria: 67 persen dari jumlah penduduknya berprofesi petani; 14 persen
menggeluti perdagangan; 8 persen bekerja di pelayanan publik (PNS); dan 5 persen di
bidang industri.2
1. Pendahuluan
Studi kasus di Pengadilan Agama Bulukumba Sulawesi Selatan, merupakan bagian
dari penelitian yang lebih luas tentang hubungan antara negara, Islam dan masyarakat
di Indonesia. Penelitian atas hal tersebut dilakukan oleh Dr Nurlaelawati, menyangkut
peran serta Pengadilan Agama dalam memainkan peran berhubungan hak-hak
perempuan dan anak. Berdasarkan studi lapangan yang kami lakukan dari Mei hingga
Agustus 2011 di Bulukumba, didapati adanya peran Pengadilan Agama (negara)
dalam sosial-kemasyarakatan di Bulukumba, dan adanya penelitian ini memfokuskan
diri pada masalah: sejauh manakah akses yang dilakukan kaum perempuan dalam
proses perceraian ke Pengadilan Agama dan aksesibilitas atas hak-haknya paska
perceraian, seperti apa kasusnya dan kenapa (tidak)?
1
Kabupaten Bulukumba memiliki sejarah panjang di bawah pemerintahan Belanda, dimulai sejak tahun setelah terjadi perjanjian Bungaya tahun 1667. Tak lama setelah itu, VOC mendirikan benteng Boele Comba.
2
Seperti halnya di bagian Indonesia dan dunia muslim lainnya, di Bulukumba
terdapat sebuah isu yang jamak dikenal syariat yang mana mengatur persoalan moral
publik dan khususnya persoalan berbusana perempuan (muslim). Dengan menengok
instansi-instansi yang memiliki kaitan persoalan perempuan dalam hal perceraian,
kami akan menilai apakah regulasi-regulasi berhubungan dengan ruang publik
terindikasi memiliki kontrol kuat bagi kaum perempuan dalam ranah privat juga.
Kedua fokus dalam penelitian ini adalah (i) hubungan antara aturan dan praktiknya,
atau berkaitan segala persoalan tentang hak-hak perempuan dan praktek nyatanya.
Apakah fakta yang menurut ketentuan hukum keluarga Indonesia diakatakan bahwa
perempuan muslim dan anak-anaknya memiliki hak atas tunjangan dan hak atas harta
gono-gini sebanding lurus dengan adanya aksesibiltas mereka terhadap hak-hak tersebut dalam praktek? Melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang
dikumpulkan selama periode studi lapangan empat bulan, saya akan mencoba
menjawab pertanyaan di atas dan menempatkan jawaban persoalan perempuan dalam
konteks sosial dan budaya. Akhir kesimpulannya, studi kasus ini memperlihatkan
adanya peran kehakiman, dan (ii) apakah penggunaan diskresi hukum secara khusus
menguntungkan atau tidak untuk kalangan perempuan dan anak-anak yang terdampak
perceraian.
Pertama-tama, sebelum beranjak ke subjek utama dari apa yang dikaji dalam
studi ini, saya akan menceritakan latar belakang sejarah Bulukumba sebagaimana
akan dijelaskan di bawah, sejarah Pengadilan Agama dan regulasi-regulasi
syariahnya; mengulas Pengadilan Agama Bulukumba dewasa ini dan peranannya
dalam melayani proses perceraian dan hak-hak perempuan paska perceraian.
2. Bulukumba, Pengadilan Agama dan regulasi-regulasi syariahnya
2.1 Sejarah formal keberadaan Pengadilan Agama di Sulawesi Selatan
Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan
berdirinya Republik Indonesia. Muncul kekecewaan beberapa kelompok Islam atas
khusus menyebut Islam. Meski begitu, sistem politik dan sistem hukum
ketatanegaraan Indonesia masih memberi ruang untuk institusionalisasi Islam. Pada
1946, Departemen Agama (sekarang disebut Kementrian Agama) didirikan,
Departemen ini menjadi benteng para politisi partai Islam dan para pendukung
pengadilan agama.3 Meski faksi-faksi kuat dari partai-partai politik non Islam
[sekuler; pen] di Parlemen pusat ingin menghapuskan keberadaan pengadilan agama,
faksi muslim berhasil mencegah terjadi. Akhirnya sistem pengadilan syariah nasional
diberlakukan oleh Pemerintah Pusat di Jakarta.Pada akhir masa penjajahan, Belanda
hanya mengakui pengadilan keagamaan untuk wilayah Jawa, Madura dan Kalimantan
Selatan, inilah alasan mengapa pengadilan keagamaan juga terdapat di Sulawesi
Selatan –yang mana Pengadilan Agama saat ini ada,4 tetapi sistem pengadilan
keagamaan ini tidak diakui secara formal oleh Belanda; hanya dianggap sebagai
pengadilan adat yang wilayah kewenangannya untuk mengadili kasus-kasus
pernikahan dan perceraian. Peraturan Pemerintan (PP) Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‘iyah di luar Jawa-Madura, telah melegitimasi pendirian Pengadilan Agama –termasuk di wilayah yang sebelumnya
tidak ada Pengadilan Agama– dengan kompetensi bidang kasus pernikahan dan
perceraian. Undang-Undang Nomor 1/1974 secara legal menetapkan kompetensi
Pengadilan Agama bagi perkawinan pemeluk Islam dan perceraiannya. Kompetensi
ini juga diperluas untuk menangani masalah waris dan wakaf pada tahun 1989, dan
ekonomi syariah pada tahun 2006. Sebagai konsekuensi dari lahirnya PP 45/1957,
Pengadilan Agama didirikan di setiap Kabupaten di seluruh Sulawesi Selatan.
2.2 Darul Islam dan penyatuan angkatan bersenjata dengan aristokrat tradisional
Ketika Belanda memutuskan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun
1949, perang gerilya menjadi salah satu ciri perjuangan untuk mencapai kemerdekaan
3
Daniel S. Levi, Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions (Berkeley: University of California Press, 1972).
4
di Sulawesi Selatan saat itu masih jauh dari kata selesai. Angkatan bersenjata
Indonesia (saat itu disebut Tentara Rakyat Indonesia/TRI) tidak memasukkan semua
gerilyawan yang telah berjuang melawan Belanda ke dalam angkatan bersenjata
nasional menyebabkan banyak pejuang kecewa dan bergerak minggir memasuki
wilayah-wilayah pedalaman Sulawesi Selatan. Pada tahun 1951, Soekarno
mengumumkan sistem negara federal yang dianut kembali pada sistem negara
kesatuan, yang mana –terutama di luar pulau Jawa– mendapat tentangan kuat. Selain
itu, sistem negara bertentangan dengan apa yang kelompok gerilyawan Islamis
harapkan: negara Indonesia tidak berbentuk negara Islam berdasarkan syariah. Ketika
Kahar Muzakkar memutuskan untuk bergabung dengan pemberontak Darul Islam dan
menjadi pemimpinnya di Sulawesi Selatan, ia mendapat dukungan besar dari
kelompok gerilyawan yang tidak puas.
Singkatnya, angkatan bersenjata Indonesia butuh 14 tahun untuk menumpas
pemberontakan Darul Islam di Sulawesi Selatan. Pada tahun 1965, Kahar Muzakkar
terbunuh oleh pasukan Indonesia dalam penyergapan. Pada tahun yang sama juga,
terjadi kudeta oleh kaum komunis yang gagal total, yang kemudian diikuti dengan
pencekalan Partai Komunis Indonesia, dan kemudian muncul kekuasaan Jenderal
Suharto. Secara bertahap, tatanan militer baru diperkenalkan di Indonesia. Di
Sulawesi Selatan kesatuan elit militer baru disatukan dengan tokoh-tokoh bangsawan
tradisional. Akibatnya, muncullah hubungan patron-klien lama antara kaum
aristokrat/bangsawan dan para pengikutnya dan menyelamatkan mereka dari tangan Orde Baru, dan tetap memegang kendali berbasis kekuatan klan-klan yang berkuasa
di Sulawesi Selatan. Meski begitu, bayangan sejarah lokal tentang Darul Islam tetap
menarik minat bagi kelompok Islamis di daerah tersebut untuk melakukan
penentangan dengan berbasis adat serta berbasis kedaerahan terhadap sentralisme
kekuasaan di Jakarta.
Hasilnya, nilai-nilai keislaman tumbuh kembang menjadi bagian identitas lokal
masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan dan ketika rezim Orde Baru
berakhir, maka identitas kedaerahan menyembul ke permukaan, nilai-nilai keislaman
2.3 Islamisasi politik di Sulawesi paska 1998
Paska lengsernya Suharto pada tahun 1998, gagasan keislaman yang selama ini
direpresi mengapung ke permukaan. Pada tahun 2000, Komite Persiapan Penerapan
Syariah se-Indonesi/KPPSI didirikan selama pertemuan yang diselenggarakan di
Makassar yang dihadiri oleh wakil-wakil dari semua organisasi Islam arus utama
(NU, Muhammadiyah, MUI, ICMI, HMI, DDI dan lain-lain) dan berbagai tokoh
termasuk Jusuf Kalla (Wakil Presiden Indonesia antara tahun 2004-2009, 2014-219),
Presiden Partai Islam se-Malaysia (PAS), para dekan dari universitas-universitas
Islam di Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dan tokoh terkenal Abu Bakar Ba’asyir.
Tidak mengejutkan, fokus utama dalam agenda KPPSI adalah memasukkan
regulasi yang terinspirasi-syariah (incorporation of sharia-inspired regulations) ke dalam aturan hukum di Sulawesi Selatan. Secara politik, pendekatan yang dilakukan
KPPSI masih menggunakan retorika anti Orde Baru, dan anti korupsi. Syariah akan
menghadirkan keadilan dan kesejahteraan, semacam itu argumen yang selalu
diutarakan.Selain itu, KPPSI berpendapat bahwa kebijakan syariah untuk Aceh telah membuka kemungkinan hukum untuk ‘syariatisme’ lebih lanjut bagi daerah-daerah yang secara tradisional terdapat corak keislaman kuat.5
Para pihak yang menghadiri pertemuan pertama sepakat untuk membentuk
Laskar Jundullah, organisasi paramiliter yang dapat dikerahkan guna menekan para politisi untuk mengadopsi hukum terinspirasi-syariah dalam setiap regulasi dan untuk
mengawasi pelaksanaannya. Selanjutnya, sebagai tindakan simbolik, Abdul Azis
Kahar Muzakkar, putra pemimpin Darul Islam yang dieksekusi dari Sulawesi Selatan,
terpilih sebagai kepala dewan eksekutif KPPSI tersebut. KPPSI sendiri kehilangan
legitimasi politiknya karena tuduhan tindak terorisme terhadap beberapa anggota
Laskar Jundullahnya setelah muncul beberapa serangan bom yang menghantam
5
Michael Buehler, De ocratizatio a d Isla izatio : I do esia’s o fu da e talist
Makassar di rentang tahun 2000 sampai 2004, serta keterlibatan kelompok itu dalam
konflik antaragama di Poso pada periode yang sama.6 Agenda syariah KPPSI,
bagaimanapun, diusung oleh partai-partai politik arus utama di Sulawesi Selatan yang
biasanya dikepalai oleh kelompok aristokrat lokal.
Michael Buehler menyoroti motif politik yang kemungkinan telah
melatarbelakangi kaum aristokrat untuk menoleh kelmbali kepada Islam.7 Pertama,
adanya agenda syariah meliputi pengaturan tentang pengelolaan zakat (sedekah
wajib). Pengaturan zakat ini akan mewajibkan potongan zakat secara pasti dari setiap
gaji PNS, yang tentu menjamin adanya aliran dana yang dimaksud ke lembaga amal
Islam. Melalui pengucuran dana amal Islam ini, para elit daerah dapat memainkan
peran tradisionalnya sebagai tokoh kunci melalui cara penciptaan aturan dan
pengumpulan zakat secara hirarki-piramidikal dalam jaringan umat Islam.Imbal balik
dari diprioritaskannya masalah-masalah keagamaan tentu adalah kucuran dana untuk
tokoh agama (ustadz/ustadzah dan ulama) adalah pola yang dikehendaki, caranya
dengan bertindak sebagai brokers bagi siapa saja yang memegang tampuk kekuasaan. Pada tahun 2007, semua orang Bugis dan Kabupaten/Kota yang mayoritas
berpenduduk orang Makassar telah memberlakukan peraturan terinspirasi-syariah ini,
Bulukumba adalah salah satu yang pertama.8
2.4. Perda-Perda Syariah
Bupati Bulukumba periode tahun 1995-2005, Patabai Pabokori, adalah figur
terkemuka dan jajaran elit anggota KPPSI sejak berdirinya pada tahun 2000 secara
aktif mempromosikan dan memperkenalkan regulasi terinspirasi-syariah di
Bulukumba. Sejak tahun 2002, regulasi terinspirasi-syariah telah memperkenalkan
adanya larangan minuman alkohol,9 pengelolaan amal Islam (zakat, infaq dan
6
Ibid.
7Mi hael Buehler, The rise of shariʾa
-laws in Indonesian districts: an indication for ha gi g patter s of po er a u ulatio a d politi al orruptio , South East Asia Research, 2008, 16 (2): 255–285.
8 Ibid. 9
sedekah),10 aturan-aturan untuk berbaju muslim di kantor-kantor pemerintahan11 dan
kemampuan untuk membaca Al-Qur'an ditetapkan sebagai persyaratan menikah,
masuk sekolah menengah dan menduduki posisi tertentu di dalam birokrasi.12
Selain itu, 12 desa percontohan atau desa Muslim didirikan (setidaknya satu di setiap kecamatan), aparat desa diharapkan untuk mendorong ‘kepatuhan terhadap syariah dalam kehidupan sehari-hari bagi penduduk desanya’ dan menjadikannya
sebagai desa percontohan bagi desa-desa lain di kecamatan setempat.
Penerapan hukum syariah di Bulukumba telah menarik perhatian media massa,13
dan keinginan dewan desa Muslim di Padang, Bulukumba –sebagai salah satu tempat
pertama di luar Aceh– untuk melaksanakan sanksi hukum cambuk sebagai hukuman
bagi yang berduaan antara dua orang lawan jenis (khalwat) pada tahun 2005, bahkan sampai membuat Komisi Nasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) turun tangan pada tahun 2009.
Pada tahun 2007, politisasi syariah di Bulukumba menjadi sorotan surat kabar
nasional, untuk sekali lagi, ketika desa Padang ingin menerapkan sanksi hukum
potong tangan untuk kasus pencurian. Kali ini, Pemerintah Kabupaten turut turun
tangan dan menyatakan bahwa hukuman cambuk dan amputasi adalah ilegal berdasarkan hukum Indonesia, sedangkan Wakil Bupatinya menyatakan ‘Bulukumba bukanlah republik yang berdiri sendiri’, maka praktik itu adalah ilegal di Bulukumba.14 Menurut seorang aktivis perempuan dari desa tersebut yang telah
memberi kesaksian kepada Komnas Perempuan berkaitan salah satu kasus hukuman
10
Perda No. 2/2003. 11
Perda No. 5/2003 dan Perda No. 6/2005. 12
Perda No. 6/2005.
13 Lihat se agai o toh Ga al Ferdhi, Nurul H. Maarif, Depa asilaisasi Le at
Perdasi , The Wahid I stitute edisi ii, dala : Gatra, edisi / ii, 29 April 2006; Subair U a , For alisasi S arat Isla Perjua ga Ahistori: Belajar dari Buluku a da Lu u , the Wahid Institute, Edisi 1, November 2005–February 2006.
cambuk yang terjadi, menyatakan tidak ada hukuman cambuk terjadi lagi sejak saat
itu.15
Mahasiswa-mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Gazali, yang
telah membantu saya merampungkan penelitian ini, mengatakan kepada saya bahwa
Bupati suksesor Patabai Pabokori bernama Sukri Sappewali (2005-2010) dan
Zainuddin Hasan (2010-2015) memang lebih moderat berkaitan dengan kebijakan
syariah, bahkan ketika Perda Syariah masih tetap diberlakukan.
Mereka menjelaskan kepada saya bahwa sikap mereka sebagian disebabkan oleh
runtuhnya Laskar Jundullah yang selama ini bergerak sebagai pengawas, semacam ‘polisi syariah’.Karena saya belum pernah ke Bulukumba sebelum tahun 2010, maka saya tidak bisa membandingkan situasinya dengan tahun 2005. Tetapi yang saya
temui, ada satu desa Muslim yang mana seorang penduduk perempuannya yang
beragama Islam tidak memakai jilbab di depan umum dan terlebih lagi merasa tidak
keberatan untuk diwawancarai oleh seorang peneliti laki-laki Bule dan seorang
asisten peneliti laki-lakinya tanpa seorang kerabat laki-lakinya (muhrim) yang mendampingi –tindakan yang dapat dianggap bertentangan dengan tujuan penciptaan
desa Muslim guna menerapkan nilai-nilai Syariah dalam kehidupan sehari-hari warga
desa.16
Pengalaman tersebut memberi kesan bahwa puncak tertinggi syariatisasi
(shariatisation) di Bulukumba ada di belakang kami. Selain itu, jika analisa Michael Buehler ini benar, maka keketertarikan elit lokal sebenarnya tidak begitu menggebu
pada proses syariatisasi itu sendiri, melainkan akan adanya jaringan patronase mereka
yang bisa dibangun melalui proses syariatisasi tersebut. Ini bukan untuk mengatakan
bahwa regulasi syariah tanpa efek. Kantor-kantor pemerintahan sendiri menerapkan
kewajiban berjilbab di kantor-kantor pemerintahan dan menolak untuk membantu
15
Wawancara dengan Bu Esse, anggota organisasi lokal Sipakatua Sipakalebbi, 9 November 2010, Bulukumba.
16
wanita muslim yang datang tidak berjilbab.17 Karena adanya tekanan publik, aktivis
perempuan yang disebut di atas tadi dari desa Muslim Padang, saat ini selalu
memakai kerudung di depan umum, sementara itu sebelum tahun 2003 dia tidak
pernah melakukannya.
2.5 Pengadilan Agama dan Perda Syariah
Pengadilan Agama Bulukumba juga menerapkan aturan untuk berjilbab, meski tidak
ada peraturan tertulis yang secara eksplisit memerintahkan kaum perempuan untuk
melakukannya. Pak Muhammad Rusydi Thahir, Ketua Pengadilan Agama
Bulukumba pada 2010-2011, adalah seorang pendukung vokal regulasi syariah.
Menurutnya, hal ini akan membawa manfaat (kemaslahatan) bagi masyarakat karena
Allah akan memberi pahala bagi yang berperilaku baik. Sikapnya juga
memperlihatkan ketidaksukaan kepada aktivis gender dan para tim peneliti dari
Komnas Perempuan, yang menurutnya, telah datang ke Bulukumba selama beberapa
hari pada tahun 2009, dan berdasarkan sedikit pengetahuan menulis laporan panjang
lebar dan cenderung menghakimi.18
Sebagai konsekuensi dari kebijakan pemakaian jilbab, perempuan yang tidak
memakai jilbab kesehariannya akan mengenakannya sebelum masuk ke Pengadilan
dan melepasnya lagi saat meninggalkannya. Ada 100 lebih proses persidangan dikaji
untuk keperluan penelitian ini, saya mengamati hanya dalam satu kesempatan aja
ketika seorang wanita tanpa penutup kepala diperbolehkan memasuki ruang sidang.
Ini dilakukan oleh seorang perempuan di lingkaran tinggi kepegawaian, (dan hakim)
jelas tidak ada keberanian untuk menegurnya. Pada kesempatan lain, seorang
perempuan tak berjilbab hadir ke Pengadilan Agama sebagai saksi dan tidak
membawa jilbab, ia diminta oleh asisten petugas untuk mengenakan mukena sebagai
gantinya sebelum masuk ruang sidang.
17
Wawancara dengan Nurlaila Umat, pegawai Kemenag Bulukumba, Urusan Agama Islam, 3 Agustus 2011.
18
Kantor Pengadilan Agama Bulukumba.
3. Pengadilan Agama Bulukumba dan hak-hak perempuan dalam perceraian
3.1. Perceraian di Bulukumba: kepedulian perempuan atas haknya dan instansi yang menangani persoalan perceraian
Mungkin, kajian ini akan tampak masuk akal dengan mengkaji kasus perkawinan dan
perceraian. Pertama kali, saya akan fokus pada kasus perceraian di Bulukumba,
perceraian adalah objek penelitian yang melalui kedudukan dan fungsi Pengadilan
Agama akan dikaji. Di sisi lain, adanya pernikahan akan menciptakan sub turunan
permasalahan berupa kemungkinan terjadinya perceraian, dan perceraian hanya bisa
dijelaskan sejauh corak karakter budaya lokal yang ada, yang bersangkupaut pula
dengan hak-hak dalam perceraian dan paska perceraian di Bulukumba.
Tidak ada statistik tentang angka perceraian yang terjadi di Bulukumba dan
periode kerja lapangan yang singkat tidak memberi cukup data untuk mengkalkulasi
probabilitas pada suatu tahun tertentu perihal masalah pernikahan akan berakhir
dengan perceraian. Oleh karena itu saya menggunakan pendekatan alternatif untuk
menghitung tingkat perceraian, yaitu dengan menjadikan pembagi jumlah perceraian
Menurut laporan tahunan Pengadilan Agama Bulukumba pada tahun 2008, ada 426
pengajuan berkas perceraian yang terdaftar. Pada tahun yang sama, juga ada 3700
perkawinan dilaksanakan. Dengan demikian, tingkat perceraian di Bulukumba pada
tahun 2008 adalah sekitar 11,5 persen, sedikit lebih tinggi dari angka perceraian
nasional, yaitu 10 persen pada tahun yang sama.
Pada tahun 2008, 345 dari 426 kasus perceraian yang diajukan adalah kasus
gugat cerai, yaitu kasus perceraian yang diajukan oleh pihak istri. Ini artinya, 81
persen dari kasus perceraian diajukan oleh pihak istri, prosentase kasus gugat cerai
tersebut merupakan tertinggi se-Indonesia, mengingat fakta bahwa UU No.1/1974
tentang Perkawinan menetapkan bahwa perceraian yang dimohonkan pihak laki-laki
juga memerlukan izin Pengadilan dan talak harus dijatuhkan dihadapan majelis
Hakim. Bahkan UU Perkawinan mengubah ketentuan penjatuhan talak oleh laki-laki
yang harus dilakukan di muka persidangan. Artinya, baik pria maupun wanita harus
mengajukan berkas permohonan kepada Pengadilan Agama untuk mendapatkan
status hukum dan adanya kewajiban menyertakan alasan perceraian yang sama-sama
berlaku bagi keduanya. Pada tahun 2009, 447 kasus perceraian yang terjadi, 364 (atau
81,4 persen) di antaranya diajukan oleh pihak istri. Ada 3.982 pernikahan juga yang
terjadi pada tahun itu, ini menunjukan tingkat perceraian adalah 11,2 persen. Pada
tahun 2010, jumlah kasus perceraian ada 519 kasus, dimana 392 berkas kasus
diajukan oleh pihak istri (75,5 persen).
Dalam kenyataannya, instansi-instansi yang bersinggungan dengan masalah
perempuan di Sulawesi Selatan dalam menangani kasus perceraian tampaknya
tertinggal jauh di belakang. Mengulang perkataan Matthes, hoofdpriester atau sejenis penghulu (pejabat tinggi daerah yang menangani persoalan penduduk Muslim di
zaman kolonial) di Makassar mengatakan bahwa selama karirnya ia telah menerima
puluhan pengaduan cerai, namun ada ratusan perempuan yang datang kepadanya ingin bercerai.19 Bisa dimungkinkan, banyak pihak pada waktu itu tidak pergi ke
penghulu, karena menurut hukum Islam [klasik], laki-laki memiliki hak secara
19
independen untuk menceraikan istrinya tanpa melibatkan pihak lain, perbedaan
mendasar antara laki-laki dan klien perempuannya dalam anekdot di atas
menunjukkan bahwa, tentu saja, lebih banyak perempuan diceraikan oleh pihak
suaminya dibanding vice in versa (sebaliknya).
Hasil dari survei menyangkut angka perceraian di sini menunjukkan bahwa
perempuan di Bulukumba memang tidak menganggap perceraian menjadi milik kaum
laki-laki saja.20 Berkaitan statmen yang menyatakan ‘hak untuk menceraikan ada pada pihak suami’, ada 76 persen responden tidak setuju dengan statmen tersebut, dan 10 persennya lagi menyatakan sangat tidak setuju, dibanding sebaliknya yang hanya 8
persen saja yang setuju dengan statmen ini. Sebaliknya, perempuan di Bulukumba
menyadari bahwa mereka juga punya hak untuk menceraikan suaminya sebanyak
60,8 persen yang setuju, dan ada 36,7 persen yang sangat setuju dengan pernyataan
tersebut. Sebagian besar perempuan (66,7 persen) berpendapat bahwa mereka tidak seharusnya ‘membeli’ perceraian melalui prosedur khul (prosedur perceraian konsensual yang diakui dalam hukum Islam yang mana caranya kaum perempuan
menawarkan (pengembalian) mahar kepada suaminya agar bisa bercerai), dibanding
dengan 16,6 persen yang berpendapat pengembalian (setengah) dari mahar adalah
cara yang benar bagi perempuan untuk menggolkan keinginan cerai jika suami pada
awalnya menolak untuk mengakhiri pernikahan.Dengan demikian, sebenarnya kaum
20
perempuan memiliki pemahaman cukup baik terhadap hukum bahwasanya mereka
dapat menceraikan suaminya dengan menempuh prosedur Islam atau adat.
Gambaran di atas menunjukkan adanya kesadaran kuat kalangan perempuan akan
hak-haknya dalam perceraian. Namun, adanya kesadaran ini tidak berkorelasi dengan
persepsi kesetaraan gender. Patriarki adalah norma. Yang mencengangkan adalah 97
persen dari (semua perempuan) responden setuju dengan pernyataan bahwa suami
adalah pemimpin keluarga. Urusan publik tanggung jawab laki-laki, termasuk sebagai
kepala dan tulang punggung keluarga, bagaimanapun, ini dapat menjadi bumerang,
karena contoh berikut akan menunjukkan.
Salah seorang perempuan yang telah bercerai, yang saya wawancarai, sebagai
bagian dari penelitian kualitatif, sangat membenci perilaku pasif dan ambisi rendah
suaminya. Setelah menikah ia dan suaminya masih tinggal di rumah mertua padahal
mereka mampu untuk mandiri. Dia berkeinginan keluar dari rumah mertua suatu hari,
tetapi suaminya tidak banyak upaya untuk mewujudkan kemandirian finansial.
Sebagian besar kebutuhan pasangan suami istri ini masih mengandalkan dukungan
orang tua suaminya, dan yang lebih buruk lagi suaminya suka berjudi dan minenggak
ballo (tuak lokal). Dia sering menegur suaminya jika ia tidak menghentikan kebiasaan menghambur-hamburkan uang tersebut, dia akan meninggalkannya. Pada
satu malam, suaminya pulang larut malam dan ada tercium bau alkohol, sang istri meledak kemarahannya. ‘Saya cambuk dia pake tongkat’ kata si istri bangga. Tidak
lama setelah kejadian itu, si istri mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan.
Cerita di atas menunjukkan bahwasanya perempuan Bulukumba memiliki
otoritas besar dan kemandirian dalam keluarga, meski pembagian peran dalam
keluarga jelas masih menjadi norma. Seorang suami Bugis atau Makassar yang baik
diharapkan memiliki ambisi dan melakukan semua hal yang bisa dia kerjakan untuk
meningkatkan derajat keluarga dan kedudukannya di mata masyarakat.21 Di sisi lain,
perempuan memiliki kewenangan sebagai pengambil keputusan urusan rumah tangga
21 Nurul Il i Idrus, To take ea h other :
dan keluarga, terutama dalam situasi konflik intern keluarga.22 Jika suami tidak
bertindak seperti yang seharusnya diharapkan, si istri akan mengambil peran
suaminya, dan seringkali hal ini didukung oleh kerabatnya, bahkan pada akhirnya si
istri tidak segan-segan meninggalkan suaminya.
Selain itu, orang Bugis Makassar menganut sistem kekerabatan assiajingeng
(bilateral), perempuan tidak harus bergantung secara ekonomi kepada suaminya
ketika bercerai karena mereka selalu bisa mengandalkan dukungan dari kerabat
mereka sendiri dan bagian warisannya. Karena perempuan dianggap penerus nama
baik keluarga, dalam kelas menengah ke atas, status dan posisi suami mungkin juga
rentan oleh perceraian sebagai akibat status dan karirnya, kondisi seperti ini sebagian
besar tercipta dari status sang istri dan keluarga besarnya.23
Munculnya ketergantungan terhadap keluarga istri hanya terjadi bila suami bukan
dari golongan keluarga sederajat. Meskipun saya tidak dapat menghadirkan
angka-angka dalam fenomena ini, tapi saya telah melakukan pengamatan selama melakukan
sesi wawancara dan observasi persidangan, bahwa yang terjadi hari ini pada sejumlah
besar kasus pernikahan di Bulukumba adalah perkawinan antar sepupu (dari kerabat),
yang biasanya diatur oleh orang tua atau anggota keluarga lainnya. Perkawinan
dengan kelompok kerabat secara tradisional akan member keyakinan orang tua bahwa
tidak ada perbedaan derajat antara pasangan, artinya penguasaan tanah masih dalam
lingkup keluarga. Menurut istilah H.Th. Chabot, tujuan dari pernikahan antar sepupu adalah ‘menjaga kemurnian darah keturunan dan kepentingan bersama’.24
Selain itu,
adanya perjodohan menunjukkan bahwa orang tua memiliki anak yang patuh, cara
pandang menilai watak baik atau tidaknya seseorang dianggap.25 Ada yang
mengatakan, penjodohan antarkeluarga di Sulawesi Selatan tampaknya masih lestari
22
Birgitt Röttger-Rössler, Shared respo si ilit : Some aspects of gender and authority
i Makassar society’, Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 2000, 156 (3): 521– 538.
23 Ibid. 24
Chabot, Kinship, Status and Gender in South Celebes, 1996: 230. 25Idrus, To take ea h other, : –
ketimbang model pernikahan yang sama di tempat lain.26 Pada abad kesembilanbelas,
B.F. Matthes memberikan catatan dalam tugas kepenghuluannya di Makassar setelah melakukan observasi, bahwa perjodohan tanpa persetujuan dari pasangan mempelai
seringkali menyebabkan pernikahan yang bahagia, perselingkuhan dan perceraian.27
Cara pernikahan yang dijodohkan yang saya amati mendapati kesimpulan bahwa
terjadinya pada rentang usia yang sangat muda, sehingga meningkatkan
ketidakstabilan biduk rumah tangga. Salah seorang perempuan yang saya wawancarai
yang pernikahan pertamanya dengan sepupu sendiri dilangsungkan sejak ia lulus
Sekolah Dasar.Suaminya hanya beberapa tahun lebih tua usianya. Meski jelas-jelas
dia masih seorang anak-anak pada saat pernikahan dilangsungkan, imam
desa/Penghulu memberinya surat nikah resmi. Pernikahan sendiri hanya berumur setahun. Menurut dia, karena suaminya ‘masih bersikap kekanak-kanakan dan selalu keluar dengan teman-temannya meninggalkan dia sendirian di rumah’. Dia sendiri
masih berumur 13 tahun, ia dan keluarganya memutuskan untuk pergi ke Pengadilan
Agama untuk mengajukan berkas gugat cerai.Dia sendiri tidak bisa mengembalikan
setengah nominal dari mahar yang telah diberikan pihak suami saat pernikahan,
sebagaimana yang diwajibkan oleh hukum Islam klasik dalam pernikahan yang
berujung adanya permohonan cerai dari pihak istri. Memang, suaminya tidak meminta untuk pengembalian setengah mahar, karena ‘dia masih keluarga’.
Ringkasnya, dalam masyarakat sistem patriarki sebagaimana di Bulukumba,
instansi yang menangani perceraian perempuan, tampak terlihat dalam hasil survei
yang dapat dijelaskan melalui faktor-faktor budaya.Faktor-faktor budaya sendiri juga
menciptakan adanya kemandirian perempuan yang menikah secara lebih luas di
bidang sosial-ekonomi dari adanya dorongan-dorongan peranan tradisionalnya yang
diemban oleh kaum perempuan pada umumnya –bahkan menyangkut perjodohan
anak sekalipun.
3.2 Beberapa alasan kaum perempuan melakukan perceraian
26
Ibid. 27
Sekarang izinkan kami berpindah membahas alasan-alasan yang melatarbelakangi
perceraian. Alasan perempuan untuk melakukan perceraian tidak selalu sesuai dengan
dasar hukum dalam mengajukan perceraian sebagaimana statistik yang terdapat di
Pengadilan Agama. Statistik yang dibuat oleh pegawai Pengadilan sendiri berdasar pada ulasan singkat dari proses Persidangan. ‘Perselisihan terus-menerus’ adalah dasar hukum yang paling mudah dijumpai dalam permohonan perceraian yang
disidangkan.28 Kasus hukum perceraian sering juga dikatakan bahwa adanya
pengajuan permohonan perceraian itu sendiri merupakan bukti dari adanya keretakan
rumah tangga. Karenanya, sebagian besar pegawai tidak perlu repot-repot untuk
mencari alasan lain bagi perempuan yang mengajukan berkas permohonan gugat
cerai, meski tidak terdapat alasan hukum yang sah untuk melakukannya (dalam
pengajuan kasus yang terakhir ini juga acapkali mempermasalahkan tindakan dan
moralitas suami dalam mempermasalahkan sengketa hak asuh anak). Oleh karena itu dalam statistik di Pengadilan, dasar hukum ‘bertengkar terus-menerus’ menjadi alasan bagi banyak perempuan lainnya untuk mengajukan berkas perceraian.
Survei yang saya lakukan terhadap 120 responden memberikan gambaran yang
lebih akurat terkait alasan utama perceraian. Saya mengadopsi serangkaian alasan
perceraian dalam kuesioner yang dibagikan, mirip dengan alasan-alasan yang jamak ditemui dalam laporan tahunan Pengadilan Agama. Di antaranya ‘tidak ada keharmonisan’, ‘suami saya memiliki perempuan atau istri lain’, ‘alasan ekonomi’, ‘kekerasan dalam rumah tangga’, ‘tidak memiliki keturunan’ dan ‘adanya tekanan dari pihak ketiga’. Para responden diminta memilih alasan apa sebenarnya yang melatarbelakangi perceraiannya. Alasan-alasan yang mendasarinya ternyata tidak
seperti dalam laporan statistik tahunan Pengadilan Agama, responden memberikan
ragam jawaban yang bisa memastikan bahwa alasan perempuan memilih bercerai
secara spesifik tidak hanya alasan-alasan yang jamak dipakai untuk mengajukan
berkas perceraian ke Pengadilan.
Hasilnya menunjukkan, banyak perempuan memilih lebih dari satu jawaban yang
tersedia (multiple answers), dan khususnya, beberapa di antara mereka
28
mengkombinasikan jawabannya dengan jawaban ‘tidak adanya hubungan yang harmonis’. ‘Tidak ada hubungan yang harmonis’ sendiri menempati urutan pertama dari daftar pilihan yang dipilih secara tunggal (single answer), tepatnya 36,7 persen dipilih para responden yang memberi jawaban tunggal, 40 persen lebih memilihnya
sebagai salah satu alasan dari jawaban multipel mereka. ‘Suami saya memiliki wanita atau istri lain’ dipilih hanya oleh 5 persen responden sebagai alasan tunggal (single answer) yang melatarbelakangi perceraian. Lainnya, 26,7 persen menyebutnya sebagai salah satu alasan dalam jawaban multipel mereka, utamanya dikombinasikan dengan ‘tidak ada hubungan yang harmonis’. ‘Kekerasan dalam rumah tangga’ dipilih sebesar 8.3 persen. Menunjuk angka yang sama juga dalam ‘alasan ekonomi’ dan ‘tekanan dari pihak ketiga’. Terakhir, ‘tidak punya keturunan’ menempati urutan paling bawah di antara alasan yang dipilih, hanya dipilih oleh 7,5 persen responden.
Dengan demikian, alasan utama perceraian adalah kurangnya keharmonisan antara
pasangan, diikuti oleh perselingkuhan.
Penelitian di Indonesia dan di tempat lain telah menunjukkan bahwa perkawinan
usia dini meningkatkan resiko perceraian terjadi.29 Karena hal tersebut, survei juga
mencoba mengamati usia responden ketika mereka melakukan pernikahan untuk
pertama kalinya. Di Bulukumba, 12,5 persen responden melakukan pernikahan
sebelum usia yang disyaratkan hukum bagi perempuan untuk melaksanakan menikah,
yaitu 16 tahun. Lebih dari separuh responden menikah sebelum menginjak usia 20.
Hampir 90 persen dari responden menikah pada usia 25 tahun atau lebih muda. Usia
rata-rata untuk pernikahan untuk pertama kalinya dari seluruh responden di
Bulukumba adalah 22,4 tahun, lebih rendah dari usia rata-rata di Sulawesi Selatan
(23,6 tahun).30
Ketika masyarakat Bulukumba melakukan pernikahan di bawah usia legal,
mereka tampaknya juga tidak pergi ke Pengadilan Agama untuk meminta dispensasi
29Ga i W. Jo es, Whi h I do esia o e arr ou gest, a d h ? ,
Journal of Southeast Asian Studies, 2001, 32 (1): 67– ; Philip Guest, Marital dissolutio and de elop e t i I do esia , Jour al of Co parati e Fa ily Studies, 1992, 23 (1): 95–113.
30
kawin. Pada tahun 2010 sendiri tidak ada kasus pernikahan bawah umur yang
tercatat. Ini cukup mengejutkan karena 12,5 persen masyarakat Bulukumba
melakukan pernikahan di bawah usia legal, sementara 98,3 persen responden
menjawab bahwa pernikahannya sudah teregistrasi secara resmi. Ada tiga penjelasan
yang mungkin bisa diajukan: (i) pernikahan di bawah umur tidak didaftarkan hingga
terpenuhinya usia menurut hukum, (ii) pernikahan di daftarkan ke Kantor Urusan
Agama (KUA), lembaga di bawah Departemen Agama yang bertanggung jawab
untuk mencatat pernikahan umat Muslim akan tetapi tanpa mengajukan dispensasi
terlebih dahulu ke Pengadilan Agama, atau (iii) mereka menerima surat nikah palsu
tapi tidak menyadarinya.
Isbat nikah (konfirmasi Pengadilan atas legalitas suatu pernikahan) menyediakan sarana legal untuk mencatatkan pernikahan informal yang telah dilangsungkan sesuai
dengan persyaratan nikah menururt Agama. Pada tahun 2010, Pengadilan Agama
Bulukumba menerima 43 kasus permintaan isbat nikah (lebih sedikit dibanding
dengan 499 berkas kasus perceraian yang diajukan). Kebanyakan kasus isbat nikah
dilakukan untuk maksud berkaitan hak-hak istri seorang PNS: tunjangan pasangan
setelah perceraian atau dana pensiun bagi janda bersuami PNS setelah suaminya
meninggal. Sebagian besar pernikahan informal ini bisa juga disimpulkan bahwa
terjadinya sebelum UU Perkawinan 1974 mulai diberlakukan. Tetapi perlu
digarisbawahi, dengan menilik peregistrasian perkawinan informal ini dapat
disimpulkan juga pernikahan dilaksanakan setelah tahun 1974, dan dalam beberapa
kasus pernikahan di bawah umur kenapa dilegalkan ke Pengadilan, agar memiliki
konsekuensi hukum berupa diperbolehkannya menempuh perceraian secara formal,
dan lebih khusus lagi diakuinya hak-hak hukum istri dan anak-anak yang lahir dari
perkawinan yang tadinya tidak tercatat.
Selain pernikahan muda, praktek merantau, atau suami mencari lapangan
pekerjaan keluar daerah, tampaknya juga berkontribusi pada angka perceraian. Dalam
wawancara yang saya lakukan di desa Tamatto di Kecamatan Ujung Loe, beberapa
perempuan yang telah bercerai menyampaikan kepada saya bahwa alasan
pernah mengirimkan uang ke kampung. Dalam kasus yang kedua ini, sang suami
dimungkinkan menikah lagi secara informal dengan perempuan lain. Ketika para
perempuan mengetahui tentang hal ini, mereka biasanya bercerai dengan suaminya.
Jika sudah seperti ilustrasi di atas, maka pihak-pihak yang bersinggungan dengan
persoalan perempuan dalam masalah perceraian mungkin juga memiliki andil
terhadap siri31 (kehormatan, derajat, rasa malu). Dihadapkan dengan tingginya persentase perempuan yang mengajukan gugat cerai, Prof. Nuril Ilmi Idrus dari
Universitas Hasanuddin di Makassar menjelaskan kepada saya bahwa memang sudah
menjadi keumuman pengajuan gugat cerai kaum perempuan, karena dalam tradisi
masyarakat Bugis, perempuan dianggap memegang kehormatan keluarga. Jika suami
tidak bisa memenuhi standar dari si istri, si suami akan diceraikan. Selain itu menurut
Prof. Idrus, perempuan Bugis akan menghindari untuk diceraikan suaminya dan
mencoba untuk meyakinkan suaminya agar dia saja menceraikan suaminya, sehingga
siri dan harga diri keluarga besarnya tetap terjaga.
Ringkasnya, kita telah melihat bahwa di Bulukumba, 75-80 persen dari adanya
perceraian diajukan oleh kaum perempuan. Perceraian biasanya disebabkan oleh
alasan intim, bukan materi atau ekonomi. Alasan yang mendasari perceraian yang
dilatarbelakangi persoalan intim mungkin pernikahan usia dini, meski rata-rata usia
perkawinan di Bulukumba berada di atas rata-rata nasional. Kebanyakan penyebab
perceraian terjadi karena adanya fakta di antara pasangan tidak terjalin komunikasi
dengan baik, sehingga memunculkan pertengkaran. Adanya pertengkaran dalam
banyak kasus diperburuk lagi oleh perselingkuhan, poligami (yang ditempuh secara
informal) atau kondisi ekonomi yang bahkan bisa berujung kekerasan. Namun, dalam
contoh cambuk menunjukkan, sikap pasif dan perilaku negatif suami memiliki dampak ekonomi keluarga. Minum dan berjudi yang dilakukan suami membutuhkan
biaya dan ujungnya memiliki dampak terhadap keuangan keluarga. Perempuan di
Bulukumba, yang ditugaskan memikul kehormatan keluarga, manajer rumah tangga/
Adanya dukungan kerabat mereka, umumnya perempuan terberdayakan untuk keluar
31
dari lingkaran perkawinan yang tidak membahagiakan atau [dianggap]
memalukan/aib.
3.3 Perceraian melalui Pengadilan: hanya perceraian secara sosial-kemasyarakatan yang diterima di Bulukumba
Dengan diberlakukannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan, bisa diartikan bahwa
perceraian harus diajukan ke Pengadilan untuk mendapat legitimasi secara hukum.
Dengan melakukan survei, kami bisa menilai sejauh mana negara telah berhasil
menerapkan aturan hukum ke warga masyarakat di Bulukumba. Hasil penelitian
menunjukkan, di Bulukumba ada kesadaran yang lumayan soal perceraian, yang
memang seharusnya dilakukan melalui proses hukum negara dan tentu saja yang
paling berhak menyimpulkan serta memutuskan adalah Pengadilan.
Ada tujuh puluh dua persen dari responden memilih perceraian melalui
mekanisme Pengadilan dibandingkan dengan 25 persen yang tidak. Tim survei telah
menunjukkan bahwa setidaknya terdapat sekitar 25 persen responden yang tidak
melakukan perceraian melalui proses Pengadilan Agama, akan tetapi suami
merekalah yang melakukan perceraian secara sepihak, yang kadang-kadang tanpa
sepengetahuan mereka. Sekilas, persentase perceraian yang ditempuh secara formal
bisa jadi angkanya lebih tinggi, yang tentu saja akan mejadi formulasi jawaban
ambigu atas apa yang dipertanyakan di sini: untuk menjadi jawaban apakah
perempuan itu sendiri yang secara suka rela pergi ke Pengadilan untuk bercerai. Yang
pasti, angka 72,5 persen telah menunjukkan bahwa di Bulukumba jumlah perceraian
informal lebih rendah dibandingkan dengan angka 50 persen kasus perceraian secara
informal yang diperkirakan terjadi di seluruh Indonesia.32 Untuk bisa melakukan
perceraian secara formal, pertama-tama Anda harus menikah secara resmi terlebih
dulu. Di Bulukumba, pernikahan secara formal sudah menjadi norma masyarakat.
32
Sebanyak 98,3 persen responden menjawab bahwa mereka telah mendaftarkan
perkawinan pertamanya di Kantor Urusan Agama (KUA).33
Angka-angka di atas menunjukkan adanya pemahaman hak pererceraian dan
fakta adanya perubahan orientasi proses perceraian yang beralih melalui prosedur
hukum sudah dikenal publik. Hal ini tercermin dalam angka 91,7 persen dari
responden yang menjawab, bahwa salah satu yang menjadi kebutuhan mereka adalah
untuk mendapatkan akta cerai secara resmi jika bercerai. Uniknya, ada dua puluh
lima persen responden yang berpikir bahwa proses perceraian secara legal juga bisa
dilakukan di KUA. Mungkin hal ini menggambarkan realitas lokal yang mana KUA atau aparat desa setempat juga melakukan mediasi dan layanan ‘bantuan hukum’ dan
membuatkan keterangan tertulis proses perceraian. Sumber informasi utama
masyarakat dalam mengetahui tentang keberadaan Pengadilan Agama sebagai tempat
untuk mengajukan proses perceraian adalah keluarga dan teman-teman (38
responden), kepala lingkungan (Ketua RT/RW) dan aparat desa (14 responden),
informasi dari KUA (12 responden) , atau mereka tahu dengan sendirinya (sepuluh
responden).
Wawancara semi-formal dengan 15 perempuan yang telah bercerai juga
menegaskan adanya tingkat kesadaran yang tinggi. Membawa kasus perceraian ke
Pengadilan Agama dianggap satu-satunya cara untuk bercerai oleh sebagian besar
narasumber. Hal ini merfleksikan jawaban turunan atas pertanyaan mengapa para
narasumber memilih pergi ke Pengadilan Agama untuk melakukan proses perceraian dan tidak menempuh perceraian secara informal: ‘alasan [untuk bercerai] adalah aku ingin bersih (tidak memiliki ikatan lagi), jika Anda hanya berpisah begitu saja, Anda tidak akan bersih’. Perceraian itu harus dilakukan ‘hitam di atas putih’. Jika tidak begitu, ‘maka akan sulit untuk menikah lagi’. Perempuan lainnya memberi keterangan perihal perceraian melalui Pengadilan Agama dan melalui cara adat:
Peneliti : Kenapa Anda memilih cerai melalui Pengadilan Agama
33
dan tidak dengan cara lain? Saya menanyakan hal ini karena pada kenyataannya di wilayah Indonesia, perceraian informal cukup umum [seperti tempat lainnya], tidak perlu dilakukan di Pengadilan Agama. Narasumber : Maksud Anda cerai di kampung saja (cerai yang berlaku
di desa tersebut)? Peneliti : Ya.
Narasumber : Karena biasanya adatnya juga begitu. Di sini Anda bisa bercerai dulu sebelum [melakukan proses cerai secara formal] ke Pengadilan….
Peneliti : Jadi di desa tidak ada orang yang bersedia menceraikan pasangan (suami-istri)?
Narasumber : Gak mau, takut.
Bahkan jika pernikahan berstatus tidak resmi, kaum perempuan lebih memilih
perceraian resmi untuk mendapatkan status bersih. Bu Karmila telah menikah selama sembilan tahun dan dikaruniai dua anak dari perkawinan. Pernikahan tersebut
berstatus informal karena KUA menolak untuk memberikan akta nikah bagi pasangan
tersebut, karena suaminya masih terdaftar menikah dengan perempuan orang lain.Bu
Karmila menjelaskan bahwa mantan suaminya memang telah menikah sebelumnya,
tetapi telah bercerai dengan istri pertamanya melalui proses Pengadilan Agama.
Menurut Bu Karmila, istri pertamanya tidak mau bekerja sama bagi pernikahannya
dengan mantan suaminya dan tetap menyimpan akta cerai untuk dirinya sendiri.
Setelah sembilan tahun perjalanan pernikahannya, Bu Karmila mendapati suaminya telah berselingkuh dan dia ingin melakukan gugat cerai ke suaminya secara formal
sehingga ia bisa mendapatkan akta cerai resmi dan bebas untuk menikah kembali
secara resmi di waktu berikutnya. Pengadilan Agama menyarankan prosedur isbat nikah, yang mana pernikahan pertama-tama harus diakui secara resmi terlebih dahulu, baru kemudian perceraian dapat dilakukan.
Masih belum jelas mengapa suami tidak menerima surat cerai sebelumnya.
Untuk masuk lebih dalam ke masalah yang dihadapi Bu Karmila akan menjadi
spekulasi dan melampaui batas yang saya buat: yaitu perceraian formal melalui
Pengadilan Agama tampaknya telah menjadi norma hukum di masyarakat
kesadaran tinggi di kalangan perempuan bahwa mereka lebih baik menempuh perceraian melalui Pengadilan Agama, atau mereka akan dianggap ‘perempuan ternoda’ dan tidak pantas untuk dinikahi lagi.
Karena stigma yang ada dan di samping adanya aturan hukum seperti ini,
Pengadilan Agama Bulukumba telah berhasil menunaikan dua peran pentingnya
sehubungan dengan perceraian: pertama, perannya sebagai pencatat perceraian, sebagai bagian dari pencatatan sipil negara; kedua, memberikan kejelasan, ‘tidak tercemar’, status hukum perempuan bersangkutan, sehingga mereka layak menjadi mempelai dalam perkawinan di lingkungan masyarakatnya.
Adanya stigma pada perceraian yang ditempuh secara informal tampaknya
memiliki peran penting dalam membangun budaya hukum. Bisa jadi, utamanya
disebabkan oleh adanya fakta bahwa lembaga-lembaga pemerintah seperti KUA telah
menerapkan aturan berkaitan perceraian dan poligami. Artinya, pihak KUA bisa
melakukan pengawasan ketat pada penerbitan surat nikah untuk pria (dan wanita)
yang masih tercatat dengan status menikah. Melalui adanya stigma terhadap
perceraian informal, mata rantai hukum negara dipromosikan: perceraian secara
formal memungkinkan pernikahan formal, yang pada gilirannya memberi dampak
pada kemudahan pengurusan akta kelahiran untuk anak-anak yang lahir dari hasil
pernikahan keduanya, penetapan ahli waris secara hukum negara, dll.
4. Pengadilan Agama Bulukumba dan hak-hak kaum perempuan paska
perceraian
Di atas saya telah tunjukan bahwa Pengadilan Agama adalah sarana penting untuk
menempuh proses perceraian di Bulukumba, sidang perceraian memberi kemudahan
untuk ditempuh oleh kaum perempuan. Pengadilan Agama sendiri memainkan peran
penting dalam melakukan pencatatan sipil dan memberi kaum perempuan dan
anak-anaknya status perkawinan yang jelas sebagai bagian dari hak atas identitas hukum.
Kemudahan akses ke Pengadilan Agama tidak secara otomatis sebanding lurus
terhadap hak-hak paska perceraian juga sama mudahnya untuk diakses kaum
dalam menyelesaikan perselisihan tentang hak-hak paska perceraian jarang diteliti
secara komperhensif.34 Pada bagian ini saya akan mencoba mengkaji peran
Pengadilan Agama Bulukumba dalam menyediakan akses terhadap hak-hak paska
perceraian.
Sedang menunggu di luar ruang sidang, Bulukumba
Fokus di sini adalah mengenai jumlah kasus paska perceraian yang telah dibawa
ke muka Pengadilan dan alasan-alasan bagi kalangan perempuan untuk membawa
atau tidak kasusnya ke Pengadilan. Maka dari itu, bagian ini menyuguhkan hasil
penelitian tentang aksesibiltas kaum perempuan terhadap keadilan, bagian ini bukan
untuk membahas analisa kasus-kasus hukum yang muncul paska terjadinya
perceraian. Untuk memulai kajiaan, jumlah kasus paska perceraian yang telah dibawa
ke Pengadilan sulit untuk diketemukan. Sebagian besar kasus yang berhubungan
dengan segala hal paska perceraian sendiri ikut diajukan ke Pengadilan sebagai
bagian dari, dan diajukan bersama, berkas kasus perceraian. Artinya, segala hal paska
perceraian tadi tidak terdaftar sebagai berkas kasus paska perceraian terpisah sendiri
ketika diajukan ke Pengadilan. Jika mengingat ini, maka dibutuhkan penelusurannya
melalui buku daftar kasus perceraian di Pengadilan untuk memetakan kasus per
kasus, apakah (untuk menjawab) klaim atas persoalan paska perceraian yang diajukan
adalah bagian dari berkas permohonan perceraian. Itu sebabnya, kasus-kasus
perceraian yang disidangkan di Pengadilan Agama Bulukumba juga mencakup klaim
atas hak-hak paska perceraian pada tahun 2008 dan 2009, sebagaimana sebagai
berikut:
4.1 Hak atas tunjangan
Pertama dari keseluruhan, hak tunjangan dapat dibagi menjadi tiga bagian: nafkah
untuk istri yang belum ditunaikan, biaya penghiburan (mut’ah), dan biaya nafkah
selama masa tunggu selama tiga bulan bagi istri (masa iddah) yang mana istri tidak diperbolehkan menikah guna memastikan apakah dia hamil atau tidak (nafkah iddah). Nafkah iddah sebenarnya merupakan hak istri untuk biaya hidup selama masa iddah
berlangsung setelah jatuhnya talak suami. Selama tiga bulan, pernikahan sendiri
masih bisa dilakukan rujuk tanpa perlu memperbarui akad nikah asalkan talak tadi
adalah talak raj’i (talak yang dijatuhkan oleh suami yang belum untuk ketiga kali dan
rujuk masih dalam tempo iddah).35 Sebaliknya, menurut ketentuan hukum keluarga
Islam di Indonesia, semua perempuan yang dijatuhi talak ba'in, berarti si istri tidak memiliki hak untuk biaya nafkah dalam masa tunggu tiga bulan (berlaku untuk
memastikan apakah seorang perempuan telah hamil atau tidak dengan mantan
suaminya).
Menurut berkas yang terdaftar di Pengadilan Agama Bulukumba, pada tahun
2008 total ada 14 perempuan yang mengajukan klaim terkait hak-hak perceraian dari total 426 berkas kasus perceraian (3,3 persen). Bagaimanapun, prosentase ini lebih
bisa diterima jika dibanding dengan pengajuan berkas berkaitan masalah hak-hak paska perceraian dalam sejumlah kasus Talak Cerai, karena dalam kasus Gugat Cerai pihak perempuan tidak memiliki hak menerima nafkah mut'ah dan nafkah iddah.
35
Pada tahun 2009 ada 14 berkas Gugat Cerai, dibagi 81 kasus perceraian talak yang
ada, lalu dikalikan dengan 100 persen, artinya, 17,3 persen perempuan mengajukan
klaim hak-hak paska perceraian dalam kasus talak. Persentase perempuan
mengajukan berkas gugatan atas hak-haknya paska perceraian di Pengadilan Agama
pada tahun 2009 ada 3,1 persen dari total keseluruhan kasus perceraian dan 16,9
persen dari total kasus Cerai Talak.
Ketika gugatan hak-hak paska perceraian kepada pihak suami jika dibagi dalam
gambar imajiner adalah sebagai berikut: pada tahun 2008 ada 12 kasus dan pada tahun 2009 ada tujuh gugatan hak atas nafkah yang lampau. Terakhir, pada tahun 2008 ada dua, dan pada tahun 2009 ada enam berkaitan gugatan berhubungan hak
atas biaya mut'ah. Survei terhadap Perceraian ini juga menemui adanya perilaku perempuan mengajukan gugatan tersebut bersamaan proses perceraian. Dalam
perceraian, sebanyak 19 dari 87 responden yang telah bercerai di Pengadilan Agama
menjawab bahwa mereka telah mengklaim hak-hak perceraiannya. Enam belas dari
19 klaim yang diajukan oleh responden dikabulkan oleh majelis Hakim, meski hanya
lima berkas yang dikabulkan seluruhnya dan 11 klaim dikabulkan sebagiannya.
Dengan demikian, survei menunjukan persentase yang cenderung naik (22
persen) terkait jumlah perempuan yang mengajukan klaim hak-hak paska
perceraiannya dibanding yang tercatat pada 2008 dan 2009 di Pengadilan
(masing-masing, 3,3 dan 3,1 persen).Hal ini menjadi indikasi bahwa di masa lalu hal itu lebih
lumrah terjadi dalam melakukan klaim hak-hak paska perceraian. Usia responden
dalam Survei Perceraian bervariasi mulai dari 18 hingga 72 tahun (usia rata-rata 33,5
tahun) dan mereka tidak selalu bercerai baru-baru ini. Akan tetapi, penjelasan ini juga
kurang memuaskan.
Penjelasan mendasar terkait perbedaan yang lebar antara jumlah klaim yang
diajukan secara formal dan jumlah klaim sebagaimana responden katakan secara garis
besar dapat menjelaskan adanya kecenderungan majelis Hakim dalam menyelesaikan
sengketa secara informal selama terjadinya proses sidang perceraian. Seperti yang
telah saya amati di ruang sidang dalam banyak kesempatan, pelembagaan mediasi
wajib, tetapi juga pada setiap tahap lainnya dari proses sidang yang bersangkutpaut
dengan perceraian. Ketemunya kesepakatan tersebut di antara masing-masing pihak yang berkepentingan, dan tidak dicatat dalam berkas Putusan Pengadilan, tetapi
sering dijumpai adanya kesepakatan setelah adanya peran keterlibatan Hakim. Oleh
karena itu, ada kemungkinan, banyak dari responden telah mengajukan klaim selama
sidang perceraian di Pengadilan Agama yang secara informal yang dimediasi oleh
Hakim, yang menyebabkan terjadinya kesepakatan antara dua belah pihak, tetapi
mediasi ini secara informal sebagai bagian dari Putusan Pengadilan dan tidak tertulis dalam salinan berkas.
Survei Perceraian ini juga mendapati alasan mengapa responden tidak
mengklaim hak-hak paska perceraiannya. Empat puluh enam responden tidak
mengklaim hak-haknya dan 35 di antaranya memberi alasan untuk hal tersebut.
Alasan untuk tidak mengajukan klaim sendiri dapat dibagi menjadi lima kategori. Kategori pertama adalah ‘tidak membutuhkan tunjangan’. Sembilan belas responden memberikan jawaban yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Tujuh jawaban dapat dimasukkan ke dalam kategori ‘Saya tidak ingin menunda proses perceraian’. Empat jawaban dapat dikategorikan sebagai ‘Aku tidak ingin pergi melalui kesulitan’. Empat responden memberi sebagai alasan ‘klaim tidak akan dikabulkan'. Terakhir, dalam kategori ‘lain’, karena salah satu responden in absen selama proses sidang perceraian di Pengadilan.
Seorang responden yang saya wawancarai, sebagai bagian dari penelitian
kualitatif membagikan ceritanya mengapa ia tidak mengklaim hak-hak paska
perceraian. Menurut dia, salah satu pegawai (panitera) yang telah membantu dirinya
selama proses perceraiannya membujuknya dari mengajukan klaim hak-hak paska
perceraiannya:
4.2 Kewajiban nafkah terhdap anak
Hak kedua berkaitan dengan hak-hak paska perceraian yang akan saya bahas di sini
adalah kewajiban nafkah terhadap anak. Di Indonesia, orang tua laki-laki secara
hukum tetap memiliki tanggung jawab atas pengasuhan anak yang tercatat secara
hukum, tidak peduli siapa yang mendapat hak asuh anak. Pihak perempuan bisa
mengajukan klaim biaya nafkah untuk anaknya dalam berkas kasus perceraian yang
diajukan oleh dia sendiri (gugat cerai/khulu’) atau oleh suami mereka (cerai talak).
Pada tahun 2008, ada tujuh perempuan, atau 1,6 persen dari total keseluruhan,
yang mengajukan klaim kewajiban nafkah untuk anaknya. Pada tahun 2009,
jumlahnya sedikit menurun, ada enam klaim biaya nafkah untuk anak atau 1,3 persen.
Salah satu yang harus dipahami di sini bahwa persentase ini didasarkan pada jumlah
total keseluruhan pasangan yang melakukan perceraian di Pengadilan Agama
Bulukumba. Tentu saja, tidak semua pasangan yang bercerai tersebut memiliki anak.
Namun, saya pikir angka-angka di atas akan menjadi indikator yang baik tentang
jumlah perempuan yang mengajukan klaim pertanggungjawaban nafkah untuk anak,
karena di Indonesia adalah hal umum untuk segera memiliki anak tak berselang lama
setelah pernikahan, biasanya dalam rentang waktu dua tahun setelah menikah.36
Persentase 1,6 pada tahun 2008 dan 1,3 pada tahun 2009 tidaklah mencerminkan
jumlah yang sebenarnya, melainkan untuk menunjukkan bahwa ada beberapa
perempuan yang mengajukan klaim pertanggungjawaban nafkah untuk anak secara
formal di Pengadilan Agama.
Survei Perceraian ini mendapati angka jauh lebih tinggi adanya kaum perempuan
yang melakukan klaim hak-hak tunjangan untuk anak. Dua puluh tiga dari 64
responden yang berkas permohonannya telah disidangkan oleh Pengadilan Agama
dalam sidang perceraian dengan status memiliki anak menjawab bahwa mereka juga
mengajukan klaim tunjangan nafkah untuk anak mereka kepada pihak orang tua
laki-laki anak tersebut. Menurut 21 responden, klaim mereka dikabulkan oleh pihak
36
Pengadilan, meski dalam 12 kasus di antaranya hanya sebagian dari tuntutan klaim.
Perbedaan mencolok antara klaim yang tercatat secara resmi dan klaim-klaim yang
digali dari responden dalam survei, yang diyakini mereka juga mengajukan klaim
tunjangan tersebut dapat dijelaskan dengan baris kalimat yang sama: mediasi untuk
mencapai mufakat, sama seperti halnya perselisihan klaim hak-hak paska perceraian
antara suami istri. Majelis Hakim lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa secara
informal selama proses perceraian dan berusaha untuk menemukan titik permufakatan
antar pihak, karena mereka menganggap bahwa jalur mediasi akan lebih baik untuk
ditempuh. Hasil permufakatan sendiri tidak dicantumkan ke dalam berkas Putusan
Pengadilan dan bukan bagian dari Putusan resmi Pengadilan.
Dalam survei, juga ada 33 responden memberi alasan kenapa mereka tidak
mengajukan klaim atas ha-hak. Delapan responden memberi jawaban yang dapat dikategorikan sebagai ‘tidak perlu adanya tunjangan’. Empat responden berpikir bahwa klaim ‘tidak akan dikabulkan’. Empat responden ‘tidak ingin mendapat kesulitan’. Tiga responden menjawab ‘tidak ingin memperlambat proses’. Alasan lainnya masuk kategori ‘lain-lain’, tiga responden tidak mengajukan klaim tunjangan terhadap anak karena pihak suami juga memiliki hak asuh anak dan keberadaan si
anak tidak disinggung selama proses perceraian.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa rekomendasi dan adanya intervensi
dari pihak-pihak dalam Pengadilan Agama memainkan peran penting dalam
pengajuan klaim oleh perempuan berkaitan hak-hak paska perceraiannya. Majelis
Hakim Pengadilan Agama memiliki preferensi untuk melakukan mediasi informal,
dan merekomendasikan klaim perempuan diselesaikan di luar jalur resmi hukum di
Pengadilan. Bahkan ketika klaim tersebut diajukan secara resmi ke Pengadilan,
majelis Hakim akan berusaha untuk menegosiasikan kemufakatan antara dua belah
pihak.
4.3 Harta bersama (harta gono-gini)
Hak-hak paska-perceraian ketiga, yang saya telah kaji adalah harta bersama bersama
berkaitan harta bersama pada tahun 2008, dan sembilan pada tahun 2009. Fakta ini
menunjukkan persentase sebesar 1,6 persen pada 2008 dan dua persen pada tahun
2009. Semuanya terkecuali satu berkas, adalah gugatan berkaitan harta bersama
termasuk bersamaan dalam sidang perceraian itu sendiri, dibanding mengajukannya
secra terpisah setelah terjadinya perceraian.
Mahkamah Agung baru-baru ini berusaha untuk mendorong pihak-pihak yang
ingin mengajukan klaim harta bersama untuk mengajukan berkasnya setelah
perceraian telah diakuioleh Pengadilan. Instruksi dikeluarkan pada tahun 2010
(Petunjuk Teknis, Juknis) di mana Pengadilan Agama diminta untuk meyakinkan
pihak Penggugat untuk mencapai kesepakatan pada tahap mediasi atau mengajukan
berkas gugatan secara terpisah setelah terjadinya perceraian. Harta bersama diklaim
berpotensi menunda sidang perceraian itu sendiri ketika pengajuan berkasnya menjadi
bagian dari sidang perceraian karena masih butuh eksekusi oleh Pengadilan di
lapangan. Ditambah lagi, bila jumlah properti yang dipertaruhkan sangat besar,
kecenderungan untuk banding sangat besar dan akibatnya Putusan cerai juga tertunda.
Entah eksekusi dari personil Pengadilan yang sukses harus dilihat atau tidak. Berkas
gugatan yang terpisah setelah terjadinya perceraian berarti kita harus membayar biaya
berperkara dua kali. Ketika mediasi gagal, masih harus dipastikan apakah
masing-masing pihak bersedia untuk menunda klaimnya atas harta bersama dan
menyelesaikan sidang perceraian terlebih dahulu, sebelum melangkah ke hak-hak
mereka di persidangan.
Di luar sidang Pengadilan, hanya sebagian kecil dari pasangan yang bercerai di
Bulukumba mencapai kesepakatan secara informal dalam masalah harta bersama.
Survei Perceraian mengungkapkan bahwa 15 atau 12,5 persen dari total 120
responden telah mencapai kesepakatan dengan suaminya mengenai harta bersama dan
64 tidak (40 responden memilih untuk tidak menjawab pertanyaan ini). Empat puluh
dikategorikan sebagai ‘saya tidak ingin menunda proses’. Tiga responden tidak ingin berurusan dengan mantan suaminya’. Empat lainnya masuk kategori ‘alasan lain’, termasuk alasan responden yang meyakini bahwa anak-anaknya akan mendapat
bagian harta bersamanya di masa akan datang.
Model terakhir dari bentuk kesepakatan adalah ilustrasi dari kasus-kasus lainnya
di Bulukumba, yang mana hak-hak dari masing-masing pasangan di bawah hak-hak
bagi anak-anak. Dalam wawancara dengan responden berikut ini akan menjadi jelas
bahwa Hakim terkadang berpihak kepada pihak istri dan mewajibkan pihak suami
untuk menahan diri melakukan klaim setengah dari hak atas harta bersama secara
formal demi demi anak-anak yang (umumnya) tinggal bersama ibu.
Pewawncara : Lalu dia [mantan suami] berubah pikiran dan ia kemudian meminta, ia mengklaim, harta bersama?
Narasumber : Ya, dia minta dibagi harta bersamanya. Tapi aku nolak, karena hanya aku yang memiliki [hak asuh atas] anak. Pewawncara : Dan properti, [terdiri dari] rumah atau tanah?
: Rumah itu Narasumber : Yang iyu
Pewawncara : Lalu, ia ingin menjual rumah itu dan membagi uangnya? Narasumber : Ya, dia mengatakan dia ingin membaginya, dia ingin
mengambilnya. Tapi saya menolak, mempertahankannya, saya mengasuh anak kami. Dan di Pengadilan, eh, apa itu (bagaimana), hakim, kata dia, hakim mengatakan tidak bisa dibagi karena saya punya anak. Jika kita akan punya anak, maka bisa saja dibagi. ...
Pewawncara : Sebabnya harta bersama tidak dibagi sama sekali? Narasumber : Tidak dibagi sama sekali
Dengan kutipan ini saya bermaksud untuk menggambarkan dua hal: pertama,
Pengadilan Agama memperhitungkan kondisi kehidupan anak-anak dalam
pertimbangannya, dalam hal ini apakah mereka memiliki tempat tinggal atau tidak;
kedua, perempuan dengan anak-anaknya lebih cenderung untuk mempertahankan
hak-hak propertialnya. Properti tampaknya dianggap lebih penting bagi masa depan
anak-anak dibanding kesepakatan tentang kewajiban nafkah untuk anak.
Keempat dan terakhir dari hak-hak paska perceraian, yang saya ketahui adalah mahar.
Mahar adalah mas kawin yang diberikan oleh pengantin pria untuk pengantin wanita.
Mahar tetap milik sang istri meski terjadi perceraian, setidaknya jika pernikahan itu ‘terwujud’. Bila hal ini tidak terjadi karena keengganan istri tidur dengan suaminya, maka setengah dari jumlah mahar yang harus dikembalikan. Pada tahun 2008, ada 11
perempuan, atau sekitar 2,6 persen dari semua kasus perceraian, yang mengajukan
berkas gugatan terkait mahar. Pada tahun 2009, ada 9 perempuan atau 2 persen yang
telah bercerai mengjukan gugatan terkait klaim atas mahar yang belum dibayar. Bentuk mahar masyarakat Bulukumba dan Sulawesi Selatan pada umumnya
sering diberikan dalam bentuk barang non-bergerak (misalnya sebidang tanah beserta,
perkebunan yang telah disewa, atau sebuah rumah) bukan dalam bentuk uang atau
emas. Hal ini membuat kasus mahar di Sulawesi Selatan lebih rumit.
Sedang mas kawin bentuk barang secara adat akan dihitung dengan kurs ‘Real’,
mengacu pada satuan mata uang Arab Saudi. Besaran mas kawin didasarkan pada
status pengantin perempuan.Maksudnya, secara tradisional, dikaitkan dengan status
keluhuran yang dimiliki sang istri.37 Banyak perempuan sering bersikukuh bahwa mahar harus diserahkan kepada mereka, karena mereka beralasan membutuhkan
mahar berupa barang non bergerak tersebut sebagai mahar untuk nikah anak-anak
mereka di masa dewasa. Kadang-kadang mantan suami membuat keputusan sendiri,
yang mana ia terus menguasai tanah miliknya tetapi berjanji untuk menggunakannya
sebagai mahar nikah anak-anak mereka di masa datang.
4.5 Penegakan Putusan Pengadilan
Jika Anda melihat dari pelaksanaan dan penegakan Putusan Pengadilan, ada beragam
gambaran terjadi. Berkenaan dengan biaya nafkah selama masa tunggu tiga bulan
(biaya nafkah iddah), implementasinya difasilitasi oleh Pengadilan Agama, karena
pihak suami diwajibkan oleh Pengadilan untuk membayarnya di muka majelis
Hakim, setelah itu suami dapat mengucapkan talak yang kemudian disahkan oleh
majelis Hakim.
37