CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT
DI PEGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016
(Analisis Alasan dan Implikasi Perceraian)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
RIYADUS SOLICHIN
211-12-005
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT
DI PEGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016
(Analisis Alasan dan Implikasi Perceraian)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
RIYADUS SOLICHIN
NIM : 21112005
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan Hormat, Setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Riyadus Solichin
NIM : 21112005
Judul : CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT DI
PENGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016 (ANALISIS ALASAN DAN IMPLIKASI PERCERAIAN)
dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqasyah.
KEMENTRIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
PERYATAAN KEASLIAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Riyadus Solichin
NIM : 21112005
Jurusan : Hukum Keluarga Islam
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi : CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT DI PENGADILAN
AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016 (ANALISIS ALASAN DAN IMPLIKASI PERCERAIAN)
menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi saya ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 16 Maret 2017 Yang menyatakan,
MOTTO
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta karunian-Nya, shalawat salam semoga tetap tercurah kepada rasulullah SAW, skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Bapak dan Ibuku tercinta, almarhum Bapak Sahudi dan Ibu Himawati
karya ini terangkai dari keringat, kasih sayang dan do‟amu. Setiap keringat
dan kasih sayangmu yang keluar karenaku menjelma dalam setiap huruf, setiap do‟a yang terpanjat menyatu menyampuli karya hidupku.
Adikku yang aku banggakan dik Mar‟atus Solikhah, semangat belajarmu
menjadi cambuk dan semangatku pula tuk belajar selalu. Semoga karya ini mampu membuatmu bangga dan mampu menggantikan peranku sebagai kakak yang selama ini belum bisa menjadi kakak yang baik bagimu karena masih terabai oleh ego dan inginku.
Saudara, sahabat, dan orang yang saya cintai yang belum bisa saya
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirahim
Alhamdulillahhirobbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah dan taufiq-Nya kepada
penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “CERAI
TALAK DAN CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA
TAHUN 2015-2016 (ANALISIS ALASAN DAN IMPLIKASI PERCERAIAN)”
tanpa halangan yang berarti.
Shalawat serta salam penulis ucapkan kepada nabi Akhiruzaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah visioner yang telah memberikan spirit perjuangan kepada penulis dan semoga kita semua sebagai umatnya mendapatkan Syafaatnya min hadza ila yaumil qiyamah, Aamiin Yaa
Robbal‟alamin.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan bayak terima kasih kepada:
1. Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dra. Siti Zumrotun, M.Ag., Selaku Dekan Fakultas Syariah yang juga
selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas membimbing,
mengarahkan, serta mencurahkan waktu dan tenaganya kepada penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.
4. Moh. Khusen M.Ag., M.A., selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama IAIN Salatiga yang telah membimbing dan membina penulis baik selama penulis menerima beasiswa bidikmisi maupun sewaktu penulis sebagai wakil ketua DEMA IAIN Salatiga.
5. Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M. Si,. Selaku Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Syari‟ah yang telah membimbing
penulis sewaktu menjadi ketua DEMA Fakultas Syari‟ah periode 2015.
6. Seluruh dosen IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yang sangat
bermanfaat.
7. Kepada Ibu dan adik penulis yang telah memberikan dan mencurahkan
segala kemampuannya untuk mendukung memenuhi keinginan penulis untuk tetap bersekolah. Tanpa mereka mungkin karya ini tidak akan pernah ada.
8. Sahabat-sahabati PMII Salatiga dari Rayon, Komisariat hingga Cabang
yang senantiasa memberi ilmu, masukan dan hiburan di saat aku lalai dalam pergerakan dan perjuanganku.
9. Segenap sahabat-sahabatku pengurus HMJ Syari‟ah periode 2013, HMJ
Syari‟ah dan Ekonomi Islam periode 2014, Dewan Mahasiswa (DEMA)
Fakultas Syari‟ah periode 2015 dan Dewan Mahasiswa (DEMA) IAIN Salatiga periode 2016.
10.Seluruh teman-teman seperjuanganku di Ahwal Al Syakhshiyyah angkatan
11.Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta pembaca pada umumnya. Aamiin.
Salatiga, 16 Maret 2017
Riyadus Solichin
ABSTRAK
Solichin, Riyadus. “Cerai Talak Dan Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Tahun
2015-2016 (Analisis Alasan dan Imlikasi Perceraian)”. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
Kata Kunci: Pernikahan, Cerai, Cerai Talak, Cerai Gugat.
Penelitian ini berusaha mengungkap problematika yang dahulu tabu dimasyarakat namun sekarang malah menjadi hal yang biasa terjadi yaitu perceraian. Penelitian ini penelitian berusaha membandingkan perceraian yaitu antara cerai talak dan cerai gugat yang terjadi di Pengadilan Agama Salatiga. Pertayaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat di Pengadilan Agama Kota Salatiga? Bagaimanakah implikasi cerai talak dan cerai gugat yang terjadi di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016?
Melalui penelitian kualitatif, peneliti berusaha untuk mengungkap fokus permasalahan diatas. Dengan metode tersebut kami melakukan wawancara kepada beberapa narasumber sesuai dengan data yang peneliti butuhkan. Dan untuk mendukung penelitian ini, peneliti juga mencari sumber-sumber/ literature yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Peneliti juga akan menggunakan data serta dokumentasi yang ada. Dan untuk menguji hasil temuan data tersebut maka peneliti menganalisis data dengan menggunakan kerangka teoritik yang peneliti susun.
DAFTAR ISI
Sampul
Lembar Berlogo
Judul ... i
Nota Pembimbing ... ii
Pengesahan Kelulusan ... iii
Pernyataan Keaslian ... iv
Motto ... v
Persembahan ... vi
Kata Pengantar ... vii
Abstrak ... x
Daftar Isi... xi
Daftar Tabel ... xiv
Daftar Lampiran ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Penegasan Istilah ... 10
F. Tinjauan Pustaka ... 11
H. Sistematika Penulisan ... 24
BAB II CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN 1. Pengertian Perceraian ... 26
2. Macam-macam dan Cara Pemutusan Hubungan Perkawinan ... 35
3. Alasan-alasan Perceraian... 43
B. PROSES MENGAJUAN PERCERAIAN 1. Proses mengajuan Cerai Talak ... 44
2. Proses mengajukan Cerai Gugat ... 46
3. Tatacara Perceraian ... 48
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA A. PROFIL PENGADILAN AGAMA SALATIGA 1. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga ... 65
2. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga... 71
3. Visi Misi Pengadilan Agama Salatiga ... 71
4. Struktur Pengadilan Agama Salatiga... 72
5. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga ... 73
B. PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA ... 74
D. ANGKA PERCERAIAN CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA
1. Cerai Talak di Pengadilaan Agama Salatiga ... 78
2. Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga ... 78
E. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
1. Faktor Cerai Talak ... 79 2. Faktor Cerai Gugat ... 81 BAB IV ANALISIS ALASAN DAN IMPLIKASI PERCERAIAN
A. GAMBARAN PERKARA CERAI TALAK DAN CERAI
GUGAT DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA ... 87
B. ANALISIS ALASAN CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT DI
PENGASILAN AGAMA SALATIGA... 91
C. ANALISIS IMPLIKASI CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT
DI PENGADILAN BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 110 B. Saran ... 112 DATAR PUSTAKA ... 113
DAFTAR TABEL
1. Table 1.1 Daftar cerai talak dan cerai gugat ... 7
2. Table 3.4 data cerai talak ... 78
3. Table 3.5 data cerai gugat ... 78
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Daftar Riwayat Hidup
Lampiran II Penunjukan Pembimbing Skripsi
Lampiran III Permohonan Izin Penelitian
Lampiran IV Daftar Nilai SKK
DAFTAR TABEL
1. Table 2.1 Daftar Informan Penelitian ... 16
2. Table 3.1 Fasilitas Pendidikan di Desa Sidoharjo ... 66
3. Table 3. 2 Proful Pelaku Perkawinan Poliandri ... 74
4. Table 3. 3 Bentuk Keluarga Berdasarkan Pemukiman ... 83
5. Table 3. 4 Bentuk Keluarga Berdasarkan Jenis Anggota Keluarga ... 85
6. Table 3. 5 Bentuk Keluarga Berdasarkan Bentuk Perkawinan ... 86
7. Table 3. 6 Bentuk Keluarga Berdasarkan Jenis Perkawinan ... 88
8. Table 4. 3 Dampak Hukum Perkawinan Poliandri ... 98
9. Table 4. 2 Dampak Sosiologis Perkawinan Poliandri ... 106
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Daftar Riwayat Hidup
Lampiran II Penunjukan Pembimbing Skripsi
Lampiran III Permohonan Izin Penelitian
Lampiran IV Daftar Nilai SKK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awal penciptaan alam semesta dan seisinya, Allah SWT menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini berpasang-pasangan termasuk di dalamnya laki-laki dan perempuan. Dalam upaya menghalalkannya, manusia memiliki aturan yang berbeda dari makhluk yang lain, yaitu adanya pernikahan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 menyebutkan
tentang pengertian pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakaan ibadah (Departemen Agama RI, 2000: 14).
Pernikahan adalah sebuah karunia dari Allah SWT kepada hamba-Nya karena pernikahan dapat memberikan rasa ketentraman, kedamaian dan rasa cinta kasih antara pasangan suami istri, seperti firman Allah SWT dalam surat Ar Rum ayat 21 yang berbunyi:
ْنُكٌَْيَب َلَعَجَو بَهْيَلِااْىٌُُكْسَتِّل بًجاَوْصَا ْنُكِسُفًَْا ْيِّه ْنُكَل َكَلَخ ْىَا هِتيا ْيِهَو
Para ulama memerinci makna lafal nikah menjadi empat macam.
Pertama, nikah diartikan akad yang sebenarnya dan diartikan percampuran
suami istri dalam arti kiasan. Kedua, sebaliknya nikah diartikan
percampuran suami istri dalam arti sebenarnya dan akad berarti kiasan.
Ketiga, nikah lafal musytarak (mempunyai dua makna yang sama).
Keempat, nikah diartikan adh-damm (bergabung secara mutlak) dan al-ikhtilath (percampuran). Dari keterangan tersebut, jelas bahwa nikah diucapkan pada dua makna yaitu akad pernikahan dan hubungan intim antara suami dan istri. Nikah menurut syara‟ maknanya tidak keluar dari
dua makna tersebut (Azzam, 2009: 38)
Perkawinan mempunyai tujuan seperti dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pada pasal 1 yang disebutkan bahwa:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya (Basyir, 2007: 13).
sakinah mawaddah warahmah” (Departemen Agama RI, 2000: 14). Menurut ajaran agama Islam, menikah adalah menyempurnakan agama. Oleh karenanya, barang siapa yang menuju kepada pernikahan, maka dia telah berusaha menyempurnakan agamanya dan berarti juga turut berjuang untuk kesejahteraan masyarakat.
Setiap pasangan yang telah melangsungkan pernikahan dan memulai lembaran baru dalam kehidupannya menuai kebahagiaan pada awal perjalanannya. Namun selang beberapa tahun bahkan beberapa bulan sejak pernikahannya akan ada masalah-masalah yang bermunculan di tengah-tengah keluarga, yang disebabkan oleh beberapa pengaruh dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Pada era yang bebas akan konsumsi informasi dari TV, smartphone yang semakin canggih akhir-akhir ini, dimungkinkan banyak sekali menyumbangkan kontribusi yang besar bagi ketidak keharmonisan sebuah keluarga.
Perceraian merupakan solusi akhir dari semua konflik yang tidak kunjung ditemukan solusinya. Menurut hukum positif di Indonesia perceraian hanya dapat dilakukan melalui Pengadilan Agama untuk masyarakat yang beragama Islam, sesuai dengan UU No.7 tahun 1989 jo. UU No. 50 tahun 2009. Hal tersebut juga diatur dalam Kompalasi Hukum Islam (KHI) pasal 113, perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan(Departemen Agama RI, 2000: 56).
Perceraian pada hakekatnya adalah suatu proses dimana hubungan suami istri tidak ditemui lagi keharmonisan dalam keluarga. Mengenai definisi perceraian dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 tidak diatur secara eksplisit, melainkan hanya menentukan bahwa perceraian hanyalah satu sebab dari putusnya perkawinan, disamping sebab lain yakni kematian dan putusan pengadilan. Perceraian ialah penghapusan perkawinan karena keputusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu (Subekti, 1953: 42). Dengan diberlakukannya UU No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana peraturan itu juga dijadikan sebagai hukum positif di Indonesia, maka terhadap perceraian diberikan pembatasan yang ketat dan tegas baik mengenai syarat-syarat untuk bercerai maupun tata cara mengajukan perceraian, hal ini dijelaskan dengan ketentuan pasal 39 UU No 1 tahun 1974 yaitu:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri;
3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersebut.
Selanjutnya pada pasal 115 KHI disebutkan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Departemen Agama RI, 2000: 56)
Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 prinsipnya memperketat terjadinya perceraian, dimana perceraian hanya dapat dilaksanakan di hadapan sidang pengadilan, dengan alasan-alasan tertentu. Putusnya perkawinan dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian, maka dari berbagai peraturan tersebut dapat diketahui ada dua macam perceraian yaitu cerai gugat dan cerai talak.
Cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam dan diajukan oleh pihak suami. Cerai talak adalah istilah yang khusus digunakan di lingkungan Peradilan Agama untuk membedakan para pihak yang mengajukan adalah suami, sedangkan cerai gugat yang mengajukan adalah dari pihak istri. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 114, bahwa: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena
perceraian dapat terjadi karena talak ataupun berdasarkan gugatan perceraian” (Departemen Agama RI, 2000: 56).
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami menlanggar taklik talak;
h. Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga (Departemen Agama RI, 2000: 57).
Pengadilan dalam hal ini adalah Pengadilan Agama berkontribusi besar dalam upayanya menjaga keutuhan rumah tangga yang sedang dilanda permasalahan-permasalahan dari rumah tangga yang diajukan gugatannya ke pengadilan melalui mediasi-mediasi yang diusahakan oleh majelis hakim. Namun pengadilan juga tidak segan-segan memutuskan suatu pernikahan apabila proses mediasi yang dilakukan tidak membuahkan hasil dan salah satu dari kedua belah pihak masih tetap kekeh pada gugatannya.
sekalipun. Dan dari rumah tangga tersebut, salah satu pihak menuntut untuk bercerai dengan melayangkan gugatan, baik cerai talak maupun cerai gugat ke Pengadilan Agama dalam hal ini adalah Pengadilan Agama Kota Salatiga.
Penulis tertarik meneliti mengenai cerai talak dan cerai gugat dan berusaha untuk menganalisis dari alasan dan implikasinya. Pemilihan tempat penelitian di Kota Salatiga dikarenakan angka kasus perceraian yang diajukan cukup tinggi setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat pada laporan tahunan Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015 dan 2016 tentang cerai talak dan cerai gugat, sebagai berikut:
Tabel 1.1 daftar cerai talak dan cerai gugat
No Bulan Tahun 2015 Tahun 2016
Sumber laporan tahunan Pengadilan Agama Salatiga
sangatlah menarik untuk diteliti, yang memang sebenarnya perkara perceraian adalah perkara yang halal namun dibenci oleh Allah SWT. akan tetapi banyak sekali masyarakat yang menjalaninya. Maka dari itu, penulis mencoba mengangkat persoalan yang terjadi, sehingga diangkatlah judul
“CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA
TAHUN 2015-2016 (Analisis Alasan dan Implikasi Perceraian)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan latar belakang di atas, maka dapat ditarik permasalah sebagai berikut:
1. Apakah faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya cerai talak
maupun cerai gugat di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016?
2. Bagaimanakah implikasi cerai talak dan cerai gugat yang terjadi di
Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Mengetahui faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya cerai talak
maupun cerai gugat di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016.
2. Mengetahui implikasi cerai talak dan cerai gugat yang terjadi di
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian dapat menyumbangkan informasi dan wawasan
terkait praktek-praktek Hukum Islam khususnya dalam masalah hukum Perceraian yang berkembang di masyarakat.
b. Hasil penelitian dapat dijadikan sumber bahan rujukan ilmiah bagi
para peneliti.
c. Hasil penelitian dapat memberikan kontribusi ilmu bagi para
pembaca pada umumnya dan bagi para mahasiswa IAIN Salatiga pada khusunya.
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi tentang potensi-potensi terjadinya perceraian dalam upayanya membangun keharmonisan keluarga agar terwujudnya
keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah dapat menangani
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman bagi peneliti mengenai pentingnya menjaga keutuhan keluaga yang harus dijaga oleh baik suami dan istri.
b. Bagi Pasangan yang telah menikah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para pasangan yang telah menikah supaya senantiasa menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangganya agar tidak sampai bercerai.
c. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau bahan pertimbangan oleh pemerintah dalam merumuskan kembali aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan mengenai prosesi perceraian, suapaya pemerintah bisa menekan angka perceraian.
E. Penegasan Istilah
Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pengertian dalam memahami topik penelitian ini, maka peneliti perlu memberikan penegasan istilah untuk beberapa kata yang terlihat masih abstrak, sehingga mempermudah pemahaman selanjutnya, antara lain sebagai berikut:
1. Pernikahan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU No 1 tahun 1974) dan didalam KHI (pasal 2) pengertian pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakaan ibadah (Departemen Agama RI, 2000: 14).
2. Perceraian
Kata cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v
(kata kerja), 1. pisah; 2. putus hubungan sebagai suami istri; talak.
Kemudian, kata perceraian mengandung arti: n (kata benda), 1.
Perpisahan; 2. Perihal bercerai (antara suami istri); perpecahan.
Adapun kata bercerai berarti: v (kata kerja), 1. Tidak bercampur
(berhubungan, bersatu, dsb) lagi: 2. Berhenti berlaki bini (suami istri) (KBBI, 1997: 185).
Perceraian dalam bahasa Arab disebut dengan talak. Menurut
bahasa talak berasal dari kata “ithlaq” yang berarti melepaskan atau
meninggalkan. Menurut istilahnya yaitu atinya “melepaskan ikatan
3. Cerai Talak
Cerai talak yaitu perceraian yang diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan sidang Pengadilan
Agama (vide. Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975)
4. Cerai gugat
Cerai gugat yaitu Perceraian yang diajukan gugtana cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (vide Pasal 20 sampai dengan Pasal 36).
F. Tinjauan Pustaka
Dari hasil penelusuran penulis, ditemukan beberapa karya ilmiah yang membahas tentang cerai talak dan cerai gugat, di antaranya:
1. Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap Frekuensi Cerai
Talak dan Cerai Gugat di Pengadilan Agama Bangkalan dan
Pengadilan Agama Surabaya (Studi Komparasi Terhadap Cerai Talak
Kabupaten Bangkalan lebih besar dibandingkan cerai gugat, hal ini disebabkan masih rendahnya kesadaran hukum pada masyarakat bangkalan. Sedangkan di Kota Surabaya berbanding terbalik dengan yang terjadi di Bangkalan, cerai gugat justru lebih besar daripada cerai talak, hal ini disebabkan kesadaran hukum yang tinggi pada masyarakat Surabaya.
2. Skripsi dengan judul “Faktor Penyebab Cerai Gugat di Pengadilan
Agama Sidoarjo (Studi Kasus Tahun 2004 sampai 2006)” oleh Agung Rohmawanto pada tahun 2008. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor penyebab cerai gugat yang tertinggi di Kabupaten Sidoarjo kurun waktu 3 tahun, yakni 2004 sampai 2006 adalah tidak adanya tanggung jawab suami dan perselisihan yang terus menerus terjadi.
3. Skripsi dengan judul “Fenomena Cerai Gugat (Studi Data Cerai
Dari beberapa karya tulis ilmiah di atas, penulis melakukan penelitian yang berbeda, yakni lokasi dan tahun yang berbeda, penulis melakukan penelitian di Pengadilan Agama Salatiga tentang perkara cerai talak dan cerai gugat yang terjadi di Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2015 dan 2016, sehingga tidak mengulangi penelitian yang sudah ada.
G. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian dan pendekatan
Untuk membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian, penulis menggunakan metode kualitatif dan beberapa pendekatan untuk menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Secara jelasnya penulis akan paparkan sebagai berikut:
a. Penelitian kualitatif
Dalam buku Prof. Dr. Lex J. Moleong, M.A dari kutipan
Bogdan dan Taylor (2011: 4) bahwa, “metode kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”. Dari pengertian tersebut, sudah barang tentu sesuai
Penelitian ini termasuk field research, berarti penelitian lapangan yaitu penelitian obyek di lapangan untuk mendapatkan data, gambaran yang jelas dan konkrit tentang perkara perceraian yang telah diputus oleh Pengadilah Agama Salatiga.
b. Pendekatan
Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah dengan pendekatan deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada berdasarkan data-data. Penelitian deskriptif kualitatif menafsirkan dan menuturkan data yang bersangkutan dengan situasi yang sedang terjadi di dalam masyarakat, pertentangan dua keadaan atau lebih, hubungan antar variable, perbedaan antar fakta, pengaruh terhadap suatu kondisi dan lain-lain. Selain itu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normative, yakni sebuah pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, produk-produk hukum, perbandingan konsep hukum, sejarah ataupun idiologi yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat ukum (Soekanto & Mamudji, 1995: 13-14).
informasi mengenai alasan-alasan pengajuan cerai talak dan cerai gugat serta implikasi yang timbulkan dari perceraian tersebut. Diharapkan melaui penelitiaan ini mampu menguak apa yang menjadi rumusan masalah yang penulis rumuskan sebelumnya
c. Kehadiran Peneliti
Melalui penelitian ini peneliti bertindak sebagai pengumpul data. Peneliti datang dan secara langsung berinteraksi dengan subyek penelitian dan melakukan wawancara mendalam dan aktivitas-aktivitas lainnya demi memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini. Peneliti terjun langsung kepada subyek penelitian, tanpa mewakilkan kepada orang lain, supaya kegiatan yang berkaitan dengan menggali, mengidentifikasi data informasi dapat diperoleh secara akurat.
d. Lokasi Penelitian
Adapun untuk lokasi penelitian yaitu berada di Pengadilan Agama Kota Salatiga, Jl Lingkar Selatan Dukuh Jagalan Rt 14 Rw 05 Cebongan Salatiga, Telp (0298) 322853, Fax (0298) 325243
2. Kebutuhan dan Sumber Data
a. Data primer
Data primer: data yang diperoleh dari berbagai sumber, data yang diperoleh langsung dari penelitian, termasuk apa yang didengar dan disaksikan oleh penulis.
1) Informan
Adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasinya tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian. Jadi seorang informan harus memiliki banyak pengalaman tentang latar belakang penelitian. Seorang informan berkewajiban secara suka rela menjadi tim anggota penelitian walaupun hanya bersifat informal, sebagai anggota tim dengan kebaikanya dan kesukarelaanya ia dapat memberikan pandangan dari segi orang dalam, tentang nilai-nilai, sikap, bangunan, proses dan kebudayaan yang menjadi latar penelitian setempat (Moleong, 2002: 90). Dalam penelitian ini adalah hakim, panitera dan pegawai di Pengadilaan Agam Kota Salatiga.
2) Dokumen
maupun surat-surat keterangan, baik itu berupa putusan-putusan pengadilan dan dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian.
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber lain, hasil kajian buku-buku karya lmiah serta peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan penelitia ini adalah sebagai berikut :
1) Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974
2) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
3) PP No. 9 Tahun 1975
4) Al-Qur‟an dan Hadits
5) Buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini
6) Arsip-arsip yang mendukung
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data penulis menggunakan beberapa teknik yakni:
a. Observasi
pengumpul data dalam event yang diamati, observasi dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Observasi partisipan/partisipatoris
Dalam obsetvasi jenis ini peneliti adalan bagian dari apa yang diamati.
2) Observasi nonpartisipan/nonpartisipatoris
Dalam pengamatan ini peneliti tidak berada di dalam atau melakukan keterlibatan dalam kegiatan yang diamati. Namun peneliti di sini hanya akan menggunakan observasi partisipan/ partisipatoris, supaya data yang diperoleh saat
observasi merupakan data yang real di lapangan yakni di
Pengadilan Agama Kota Salatiga.
b. Wawancara
Dalam teknik wawancara penulis melakukan tanya jawab langsung kepada pihak yang bersangkutan dalam hal ini hakim pengadilan dan panitera di lingkungan Pengadilan Agama Kota Salatiga yang mengetahui kondisi sosial dari gejala tersebut untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya sesuai dengan rumusan masalah.
c. Dokumentasi
Dalam penelitian ini, dokumentasi yang dimaksud adalah pengambilan beberapa fenomena keluarga yang diteliti, prosesi penelitian baik itu wawancara maupun observasi.
d. Catatan Lapangan
Catatan lapangan merupakan catatan yang peneliti buat di lapangan pada saat melaksanakan penelitian yang berisikan informasi penting apa saja yang didapatkan peneliti berdasarkan apa yang dilihat, didengar, dirasakan saat melaksanakan observasi lapangan.
e. Analisis Data
Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis, Dalam penganalisisan data tersebut penulis menggunakan analisis kualitatif yaitu analisis untuk meneliti kasus setelah terkumpul kemudian disajikan dalam bentuk urian sebagai berikut:
1) Reduksi Data
Yaitu dengan melakukan proses identifikasi satuan unit.
2) Kategorisasi
Kategorisasi adalah upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan.
3) Sintesisasi
4) Menyusun Hipotesis Kerja
Hal ini dilakukan dengan jalan merumuskan suatu pernyataan yang proporsional (Moleong, 2011: 288-289).
f. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam rangka mendapatkan informasi yang factual dan terperinci, maka penulis menggunakan beberapa teknik pengecekan data yang diurai sebagai berikut:
1) Triangulasi
Triangulasi diartikan sebagai sebuah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Artinya melalui teknik ini data pokok yang ada akan dibandingkan dengan data pendukung lainnya, baik berdasarkan sumber, metode, penyidik dan teori.
2) Uraian Rinci
Dalam teknik ini menuntut peneliti agar melaporkan hasil penelitiannya sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin.
3) Auditing
Auditing adalah proses pemeriksaan kebergantungan dan kepastian data dalam penelitian. Jadi nantinya segala bentuk informasi yang didapatkan baik berbentuk catatan ataupun data
lainnya akan sangat bermanfaat dalam proses auditing (Syafi‟i dkk,
g. Tahap-tahap Penelitian
Penelitian kualitatif terbagi menjadi tiga tahap, yaitu: tahap pra-lapangan, tahap pekerjaan pra-lapangan, dan tahap analisis data (Moleong, 2009: 127).
1) Tahap Pra-Lapangan
Tahap pra-lapangan adalah tahapan penelitian sebelum berada di lapangan. Ada lima kegiatan yang harus dilakukan peneliti pada tahapan ini. Tahapan ini perlu ditambahkan satu pertimbangan tahapan lagi yaitu etika penelitian.
Dalam tahap pertama ini, ada lima hal yang harus
Tahap ini digunakan sebelum peneliti melakukan penelitian yang sebenarnya. kemudian peneliti membuat rancangan kegiatan dan memilih salah satu lokasi untuk dijadikan obyek penelitian.
2) Tahap Pekerjaan Lapangan
Tahapan ini merupakan tahapan penelitian yang
mencari informasi tentang penelitian yang dilakukan dengan responden yang dituju. Melakukan kegiatan ini peneliti akan mengumpulkan data-data yang sesuai fokus penelitian.
Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga bagian, yaitu:
a) Memahami latar penelitian
b) Adaptasi penelitian
c) Berperan serta sambil mengumpulkan data
3) Tahap Analisis Data
Setelah semua data telah terkumpul, maka peneliti menganalisis data yang sudah ada dengan teori-teori yang sudah ada, sehingga dapat disimpulkan beberapa hasil penelitian, analisis data terdapat beberapa alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu:
a) Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah kegiatan yang mengantisipasi kegiatan sebelum melakukan penelitian ke lapangan. Penelitian dirancang sehingga nanti mudah dalam menganalisis dan sebagai bukti pada penelitian.
b) Reduksi data
c) Penyajian Data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Melalui data kita akan memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan dalam mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapatkan dari penyajian tersebut.
d) Kesimpulan
Setelah melalui proses pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, kemudian menarik kesimpulan dari apa yang telah dianalisis.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan, pemahaman yang jelas dalam membaca penelitian ini, maka disusunlah sistematika penulisan, yaitu yang mencakup:
Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini penulis menguraikan: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, sistematika penulisan.
Bab III Paparan data dan temuan penelitian. Yang dibahas dalam bab ini yaitu gambaran umum tentang Pengadilan Agama Salatiga, paparan data perceraian (cerai talak dan cerai gugat) di Pengadilan Agama Kota Salatiga tahun 2015-2016, faktor-faktor penyebab dan implikasi perceraian.
Bab IV Pembahasan. Dalam bab ini menguraikan dan menganalisis hasil penelitian.
BAB II
Cerai Talak dan Cerai Gugat
A. Tinjauan Umum tentang Perceraian 1. Pengertian Perceraian
a. Pengertian Perceraian dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatur tentang putusnya perkawinan, sebagai berikut:
1) Pasal 38, menyatakan Perkawinan dapat putus karena:
a) Kematian;
b) Perceraian; dan
c) atas keputusan Pengadilan.
2) Pasal 39, menyatakan:
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa
antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri;
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur
3) Pasal 40, menyatakan:
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal
ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
b. Pengertian Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur putusnya hubungan perkawinan sebagai berikut:
1) Putusnya Hubungan Perkawinan
a) Pasal 113 KHI, menyatakan Perkawinan dapat putus
karena:
1) Kematian;
2) Perceraian; dan
3) Atas putusan Pengadilan.
b) Pasal 115 KHI menyatakan:
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
c) Pasal 114 KHI menyatakan:
c. Pengertian Perceraian dalam Fiqh Islam
1) Pengertian talak
Talak terambil dari kata “ithlak” yang menurut bahasa
artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut syara‟, talak
yaitu: “melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan
suami istri”. Jadi talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengkibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi
dalam talak raj‟i (Ghazaly, 2006: 191). Dalam talak raj‟i
seorang suami masih diperbolehkan ruju‟ kepada istri sebanyak
dua kali, selama masih dalam iddah.
Lafal talak telah ada sejak zaman Jahiliyah. Syara‟
datang untuk menguatkannya bukan secara spesifik atas umat ini. Penduduk Jahiliyah menggunakannya ketika melepas tanggungan, tetapi dibatasi tiga kali. Hadis diriwayatkan dari Urwah bin Zubair berkata: “Dulunya manusia menalak istrinya
tanpa batas dan bilangan.” Seseorang yang menalak istri, ketika
maksud menyakiti wanita, Diriwayatkan bahwa seorang laki laki pada zaaman Jahiliyah menalak istrinya kemudian kembali sebelum habis masa menunggu. Andaikata wanita di talak seribu kali kekuasaan suami untuk kembali masih tetap ada. Maka datanglah seorang wanita kepada aisyah ra. Mengadu bahwa suaminya menalaknya dan kembali tetapi kemudian menyakitinya (Azzam, 2009: 255).
Kata “talak” berasal dari bahasa arab berasal dari kata
“thalaqha- yuthaliku- thalaqaqan” yang bermakna melepas
atau mengurai tali pengikat. Baik tali pengikat itu bersifat kongkrit seperti pengikat kuda maupun bersifat abstrak seperti tali perkawinan. Kata talak merupakan isim masdar dari kata
thallaqa- yuthaliku- tathliiqan. Jadi kata ini semakna dengan kata taqliq yang bermakna “irsal” dan “tarku” yaitu melepaskan dan meninggalkan. Menurut Sabiq (2009: 206) kata talak
berasal dari kata thalaq adalah al-ithlaq artinya melepaskan
Talak (yang dapat rujuk) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqoroh :229 )
Ulama sepakat bolehnya talak, ungkapanya
menunjukkan bolehnya talak sekalipun makruh. Akad nikah sebagaimana yang kami sebutkan dilaksanakan untuk selamanya sampai akhir hayat. Agar suami istri dapat membangun rumah tangga sebagai pijakan berlindung dan bersenang-senang dibawah naungannya dan agar dapat mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang baik (Azzam, 2009: 257).
Oleh karena itu, hubungan antara suami istri adalah hubungan yang tersuci dan terkuat. Tidak ada dalil yang menunjukkan kesuciannya dari pada Allah menyebutkan antara
suami istri sebagai janji yang berat (mitsaq ghalizh)
sebagaimana firman Allah yang artinya: “dan mereka (isteri
Siapa saja manusia yang menghendaki rusaknya hubungan antara suami istri, dalam pandangan islam ia keluar dari padanya dan tidak memiliki sifat kehormatan. Rasulullah bersabda: Tidak tergolong kami orang yang merusak hubungan suami istri terhadap suaminya (Azzam, 2009: 257).
Sedangkan ijma‟ menyepakati bahwa hubungan suami
istri adalah hubungan tersuci dan terkuat, maka hubungan ini tidak boleh diremehkan dan direndahkan. Keduanya harus
berusaha menggapai mawaddah warrahmah dalam menjalani
biduk rumah tangga.
3) Hukum talak dalam Islam
Pada prinsipnya asalnya, talak itu hukumnya makruh berdasarkan sabda rasulullah Saw
ُ قالََّطلاُىالااعا تُُ هَّللاُىال إُُ لالَاحْلاُُ ضاغْ باأ
Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah Azzawjalla adalah talak ( Ibnu Hajar Al’ Asqolany, 733:233 hadist ke 1098)
secara murni dan buruk adab terhadap suami, hukumnya makruh.
Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat tentang hukum talak secara rinci. Menurut mereka hukum talak terkadang wajib dan terkadang haram dan sunnah. Al-Baijarami berkata: Hukum talak ada lima yaitu adakalanya wajib seperti talaknya orang yang bersumpah ila‟ (bersumpah
tidak mencampuri istri) atau dua utusan dari keluarga suami dan istri, adakalanya haram seperti talak bid‟ah dan adakalanya
sunnah seperti talaknya orang yang lemah, tidak mampu melaksanakan hak-hak pernikahan.
Demikian juga sunnah, talaknya suami yang tidak ada orang tua yang bukan memberatkan, karena buruk akhlaknya dan ia tidak tahan hidup bersamanya, tetapi ini tidak mutlak karena umumnya wanita seperti itu. Rasulullah telah mengisyaratkan dengan sabdanya : Wanita yang baik seperti burung gagak yang putih kedua sayap dan kedua kakinya.
Hadis ini sindiran kelangkaan wujudnya Al-A‟shaamm artinya
putih kedua sayapnya atau kedua kakinya dan atau salah satunya.
dari hakam perkara syiqaq, yakni perselisihan suami istri yang sudah tidak bisa didamaikan lagi, dan kedua pihak memandang perceraian sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan persengketaan mereka. Termasuk talak wajib ialah talak dari orang yang melakukan ila, terhadap istrinya setelah lewat empat bulan.
Adapun talak yang diharamkan, yaitu talak yang tidak diperlukan. Talak ini dihukumi haram karena akan merugikan suami istri serta tidak ada manfaatnya. Talak mubah terjadi hanya apabila diperlukan, misalnya karena istri sangat jelek, pergaulanya jelek atau tidak dapat diharapkan adanya kebaikan dari pihak istri. Apabila pernikahan dilanjutkan pun tidak akan mendapat tujuan apa-apa.talak mandub atau talak sunnah, yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang sudah keterlaluan yang tlah melanggar perintah-perintah Allah misalnya meninggalkan sholat atau kelakuanyasudah tidak dapat diperbaiki lagi atau istri sudah tidak menjaga kesopanan dirinya.
4) Rukun dan Syarat Talak
Rukun talak ada empat yaitu:
a) Suami (orang yang menjatuhkan talak), syaratnya adalah:
(1) Berakal
(2) Baligh
b) Istri (yang ditalak),
(1) Mempunyai ikatan pernikahan dengan suami yang
menjatuhkan talak
(2) Masih dalam talak raj‟i yang dijatuhkan sebelumnya
c) Ucapan talak
(1) Talak dengan ucapan. Ucapan talak ada dua macam
yaitu:
(a) Sharih (tegas), yaitu kata-kata yang tidak dapat
diartikan lain jecuali talak. Talak dengan ucapan kata-kata yang tegas tidak memerlukan niat
(b) Kinayah (sindiran), yaitu kata-kata kalimat yang
dapat berarti talak dapat pula berarti lain. Contoh: “pulanglah engkau kerumah orang tuamu” maka
jatuhlah talak, tetapi jika suami tidak berniat menceraikan istrinya, tidaklah jatuh talak bagi istrinya
(2) Talak dengan tulisan, dapat dijatuhkan juga dengan
(3) Talak dengan isyarat, hanya berlaku bagi orang yang tidak dapat berbicara (bisu) dan tidak dapat membaca dan menulis.
2. Macam-macam dan Cara Pemutusan Hubungan Perkawinan a. Macam-macam Talak Menurut KHI
Dalam Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan macam-macam talak dan cara pemutusan sebagaimana berikut:
1) Pasal 117 KHI
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
2) Pasal 118 KHI
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa iddah.
3) Pasal 119 KHI
a) talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk
tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
b) Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1)
adalah :
(1) talak yang terjadi qabla al dukhul;
(3) talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
4) Pasal 120 KHI
Talak Ba`in Kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.
5) Pasal 121 KHI
Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
6) Pasal 122 KHI
Talak bid`i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
7) Pasal 123 KHI
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.
8) Pasal 124 KHI
b. Macam-macam Talak menurut Hukum Islam
Secara garis besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak di bagi menjadi dua yaitu :
1) Talak Raj‟i
Talak raj‟i yaitu thalaq dimana suami masih mempunyai hak
untuk rujuk kepada istrinya, dimana istri dalam keadaan sudah digauli. Hal ini sesuai dengan QS Al-Baqarah : 229 yang
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
2) Talak Ba‟in
Talak Ba‟in adalah talak yang memisahkan sama sekali
hubungan suami istri. Talak Ba‟in terbagi menjadi dua bagian :
a) Talak ba‟in sughra yaitu talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan nikah baru kepada bekas istrinya. Artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri, baik dalam masa iddahnya maupun sesudah berakhir masa iddahnya.
Yang termasuk dalam talak ba‟in sughra ialah :
(1) Talak yang dijatuhkan kepada istrinya sebelum
(2) Talak dengan penggantian harta atau yang disebut khulu‟
(3) Talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang di
penjara, talak karena penganiayaan, atau yang semacamnya
Hukum talak bai‟in sughra :
a. Hilangnya ikatan nikah antara suami dan istri.
b. Hilangnya hak bergaul bagi suami istri termasuk
berkhalwat (menyendiri berdua-duaan)
c. Masing-masing tidak saling mewarisi manakal
meninggal
d. Bekas istri, dalam masa iddah, berhak tinggal di
rumah bekas suaminya dengan berpisah tempat tidur dan mendapat nafkah
e. Rujuk dengan akad dan mahar yang baru
b) Talak ba‟in kubra, ialah talak yang mengakibatkan hilangnya hak rujuk kepada mantan istri. Walaupun keduanya baik suami istri itu masih ingin melakukanya, baik diwaktu iddah maupun sesudahya. Yang termasuk dalam thalaq bain kubra adalah : perceraian yang mengandung unsur sumpah seperti ila, zihar dan li‟an.
kubra adalah segala macam perceraian yang mengandung
unsur-unsur seperti : ila, zihar, dan li‟an.
Hukum talak ba‟in kubra :
(1) Hilangnya ikatan nikah antara suami dan istri
(2) Hilangnya hak bergaul bagi suami istri termasuk
berkhalwat (menyendiri berdua-duaan)
(3) Bekas istri dalam masa iddah, berhak tinggal di rumah
bekas suaminya dengan berpisah tempat tidur dan mendapat nafkah
(4) Suami haram kawin lagi dengan istrinya, kecuali
bekas istri telah kawin dengan laki-laki lain.
Maksudnya apabila seorang suami menceraikan istrinya dengan talak tiga, maka perempuan itu tidak boleh dikawini lagi sebelum perempuan tersebut menikah dengan laki-laki lain. Apabila suami yang telah terlanjur menjatuhkan talak sampai tiga kali terhadap istri, tiba-tiba menyesal, tidak boleh minta kepada seseorang untuk mengawini bekas istrinya itu, dengan permintaan setelah berlalu beberapa waktu dan setelah terjadi persetubuhan supaya menceraikan istrinya, guna memungkinkan kawin lagi dengan suami pertama itu. Dalam hubungan ini hadits Nabi riwayat Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi, Nasai dan Ibnu Majahdari Ali memperingatkan, “Allah mengutuk laki-laki
perkawinan kembali dengan bekas suaminya yang lama) dan
laki-laki yang menyuruh orang lain kawin sebagai
muhallilnya(Basyir, 1999: 81)
Ditunjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, talak dibagi menjadi tiga macam sebagai berikut:
1) Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan
tuntunan as-sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat:
a) Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila dijatuhkan
terhadap istri yang belum pernah digauli tidak termasuk talak sunni.
b) Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak,
yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut ulama Syafi‟iyah, perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci, bukan tiga kali haid. Talak terhadap istri yang telah lepas haid (menopause), atau belum pernah haid, atau sedang hamil, atau karena suami meminta tebusan (khulu‟), atau ketika istri dalam haid, semuanya
tidak termasuk talak sunni.
c) Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik
d) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana itu dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah diaguli, termasuk talak sunni.
2) Talak Bid‟i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau
bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni.
Termasuk talak bid‟i:
a) Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid
(menstruasi) baik dipermulaan haid maupun
dipertengahannya.
b) Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci
tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud.
3) Talak la sunni wala bid‟i, yaitu talak yang tidak termasuk
kategori talak sunni dan tidak pula termasuk talak bid‟i yaitu:
a) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah
digauli.
b) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah
haid, atau istri yang telah lepas haid.
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang digunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
1) Talak syarih, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata
yang jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi. Beberapa contoh talak syarih ialah seperti suami berkata kepada istrinya:
a) Engkau saya talak sekarang juga, engkau saya cerai
sekarang juga.
b) Engkau saya firaq sekarang juga,engkau saya pisahkan
sekarang juga.
Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istri dengan talak syarih, maka menjadi jatuhlah talak dengan sendirinya, sepanjang diucapkannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri.
2) Talak kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata
sindiran, atau samar-samar suami berkata kepada istrinya:
a) Engkau sekarang telah jauh dari diriku
b) Selesaikan sendiri segala urusanmu
c) Janganlah engkau mendekati aku lagi
d) Keluarlah engkau dari rumah ini sekarang juga
f) Susullah keluargamu sekarang juga
g) Pulanglang kerumah orang tuamu sekarang
h) Beriddahlah engkau dan bersihkanlah kandunganmu itu
i)Saya sekarang telah sendirian dan hidup membujang
j)Engkau sekarang telah bebas merdeka, hidup sendirian
Ucapan-ucapan tersebut mengandung kemungkinan cerai dan mengandung kemuungkinan lain, tentang kedudukan talak dengan kata-kata kinayah atau sidiran ini
sebagaimana dikemukakan oleh Taqiyuddin
Al-Husaini,bergantung kepada niat suami. Artinya, jika suami dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak maka menjadi jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan kata-kata tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak maka talak tidak jatuh. (Ghazaly, 2006:195)
3. Alasan-alasan Perceraian
Dalam Pasal 116 KHI disebutkan bahwa, perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain;
e. sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak;
h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
B. Proses Mengajukan Perceraian 1) Proses mengajukan Cerai Talak
Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI menyebutkan tentang proses mengajukan cerai talak sebagaimana berikut:
a. Pasal 129 KHI
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
b. Pasal 130 KHI
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi
c. Pasal 131 KHI
1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua
belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3) Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami
mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6
(enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama
membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami
untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga
2) Proses mengajukan Cerai Gugat
a. Pasal 132 KHI
1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
2) Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri,
Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
b. Pasal 133 KHI
1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116
huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun
terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan
meninggalkan rumah.
2) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau
menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman besama.
c. Pasal 134 KHI
pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.
d. Pasal 135 KHI
Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup
menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
e. Pasal 136 KHI
(1) Selama berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan
penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mingkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas
permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat :
(a) menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
(b) menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
3) Tatacara Perceraian
Berdasarkan pasal 39-41 Undang-Undang Perkawinan dan dalam Peraturan Pemerintah No. 9/1975 pasal 14-36, perceraian ada 2 macam yaitu:
a) Cerai talak
Tatacara tentang seorang suami yang hendak mentalak isterinya diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 14-18 yang pada dasarnya dalah sebagai berikut:
(1) Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Di sini ditegaskan bahwa pemberitahuan itu harus dilakukan secara tertulis
dan yang diajukan oleh suami tersebut bukanlah surat
permohonan tetapi surat pemberitahuan. Setelah terjadi perceraian di muka Pengadilan, maka Ketua Pengadilan
membuat surat keterangan tentang terjadinya
(2) Setelah pengadilan menerima surat pembritahuan tersebut, kemudian setelah mempelajarinya, selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima surat itu, Pengadilan memanggil suami dan isteri yang akan bercerai itu, untuk dimintai penjelasan.
(3) Setelah Pengadilan mendapat penjelasan dari
suami-isteri, ternayat memang terdapat alasan-alasan untuk bercerai dan Pengadilan berpendapat pula bahwa antara suami-isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumahtangga, maka Pengadilan memutuskan untuk mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu.
(4) Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan
berpendapat adanya alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu di dalam sidang tersebut.
(5) Kemudian Ketua Pengadilan memberi surat keterangn
(6) Perceraian itu terjadi terhitung pada saat terjadi perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.
b) Cerai gugat
Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dan perceraian itu terjadi dengan suatu putusan Pengadilan.
Tatacara perceraian ini diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 20-36 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:
(1) Pengajuan gugatan
(a) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri
atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat tergugat.
(b) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau
tidak diketahui atau tidak mempunyai kediaman yang tetap, begitu juga tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan
di tempat kediaman penggugat.
(c) Demikian juga gugatan perceraian dengan alasan
gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat
penggugat.
(2) Pemanggilan
(a) Pemanggilan harus disampaikan kepda pribadi yang
bersangkutan apabila tidak dapat dijumpai,
panggilan disampaikan melalui surat atau yang
dipersamakan dengannya. Pemanggilan ini
dilakukan setiap akan dilakukan persidangan.
(b) Yang melakukan pemanggilan tersebut adalah
jurusita (Pengadilan Negeri) dan petugas yang ditunjuk (Pengadilan Agama).
(c) Panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara
yang patut dan sudah diterima oleh para pihak atau kuasanya selambat-lambatanya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat harus dilampiri dengan salinan surat gugat.
(d) Pemanggilan bagi tergugat yang tempat
kediamannya tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, panggilan dilakukan dengan
cara menempelkan gugatan pada papan
dilakukan dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
(e) Apabila tergugat berdiam di luar negeri
pemanggilannya melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(3) Persidangan
(a) Persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian
harus dilakukan oleh Pengadilan
selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat gugatan di Kepaniteraan. Khusus bagi gugatan yang tergugatnya bertempat kediaman di luar negeri, persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian itu.
(b) Para pihak yang berpekara dapat menghadiri sidang
atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan.
(c) Apabila tergugat tidak hadir dan sudah dipanggil
(d) Pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
(4) Perdamaian
(a) Pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan
kedua belah pihak baik sebelum maupun selama persidangan sebelum gugatan diputuskan.
(b) Apabila terjadi perdamaian maka tidak boleh
diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
(c) Dalam usaha mendamaikan kedua belah pihak
Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang lain atau badan lain yang dianggap perlu.
(5) Putusan
(a) Pengucapan putusan Pengadilan harus dilakukan
dalam sidang terbuka.
(b) Putusan dapat dijatuhkan walaupun tergugat tidak
hadir, asal gugatan itu didasarkan pada alasan yang telah ditentukan.
(c) Perceraian dianggap terjadi dengan segala
beragama Islam perceraian dianggap terjadi sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedang bagi agama lain terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat(Wasman dkk, 2011:158-163).
C. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Suatu perkawinan menjadi putus adalah karena talak baik talak mati atau hidup. Sedangkan talak itu sendiri hanya berhak dilakukan oleh suami. Talak bukan merupakan kesewenang-wenangan seorang suami sebagai sejata untuk memutus ikatan perkawinan dengan istrinya, namun jatuhnya talak bisa disebabkan beberapa alasan. Alasann-alasan itu bisa datang dari suami maupun istri sehingga mengakibatkan talak. Ada beberapa sebab perceraian yang dirumuskan oleh para ulama klasik. Diantaranya adalah imam syafi‟I yang menuliskan sebab-sebab putusnya
perkawinan selain talak yaitu khulu’, fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’, dzihar,
li’an yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Khulu’
Menurut bahasa kata khulu’ berarti tebusan. Karena istri
menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang
pernah dia terima. Sedangkan menurut istilah khulu’ berati talak yang