PEMANFAATAN ALUR MORFOSINTAKSIS DALAM PENGEMBANGAN SEMANTIK BAHASA bahasa Sunda. Selain itu makalah ini pun berusaha memberikan gambaran mengenai alur morfologi dan sintaksis yang mendasar dalam semantik bahasa Sunda. Kajian dalam makalah ini juga menguak perubahan fungsi semantis pada sebuah struktur sintaksis karena proses morfologis. Hal tersebut bisa dicermati pada perubahan semantis yang dipayungi oleh predikator. Dengan demikian setidaknya bisa mewarnai khazanah linguistik, khususnya linguistik bahasa Sunda.
Kata kunci: morfosintaksis, semantik, tatabahasa, bahasa Sunda 1. PENGANTAR
Salah satu kunci untuk memahami tatabahasa ialah memahami struktur-struktur kalimatnya. Hal tersebut dapat diidentifikasi secara struktural dengan mencermati proses morfologi dalam konstruksi sintaksisnya. Namun untuk menggali lebih dalam mengenai elemen tatabahasa maka perlulah dilakukan penelaahan unsur-unsur yang ada di dalamnya. Proses morfosintaksis mempengaruhi semantik sebuah kalimat. Oleh karena itu, elemen linguistik tersebut lazim ada pada sebuah tatabahasa. Tatabahasa merupakan sistem linguistik yang terkonvensi oleh masyarakat tuturnya. Konsep tatabahasa itu harus sederhana (satu kalimat diperikan satu tree diagram).
2. MORFOSINTAKSIS
Morfosintaksis merupakan perpaduan morfologi dan sintaksis. Keduanya lazim disebut dengan elemen tatabahasa. “Syntax and morphology make up what is traditionally referred to as ‘grammar’; an alternative term for it is morphosyntax, which explicity recognizes the important relationship between syntax and morphology (Van Valin Jr., 2004: 2). Kridalaksana (1993: 143) mendefinisikan morfosintaksis sebagai “Struktur bahasa yang mencakup morfologi dan sintaksis sebagai satu organisasi (kedua bidang itu tidak dipisahkan).” Dengan demikian relasi antarunsur di dalam kalimatnya saling berkait dan itu disebut c-comand atau konstituen komando. Istilah c-comand dirumuskan pertama kali oleh ahli bahasa yang bernama Tanya Reinhart (lihat Poole, 2002). Antara pembentukan kata yang yang ada dalam struktur kalimat memiliki hubungan ibarat saudara. Lihat Culicover and Jackendoff, 2005 (dalam Haryadi, 2012) ”C-comand atau konstituen komando dipandang sebagai rangkaian semantis antara fungsi-fungsi sintaksis.” Jika berbicara mengenai studi sintaksis maka tidak bisa lepas dari fungsi, kategori, dan peran sintaksis (hal ini hanya dibahas secara tersirat). Fungsi sintaksis ini merupakan elemen kalimat yang mempunyai susunan tertentu seperti subjek, predikat, objek, keterangan, dan pelengkap. Unsur-unsur tersebut diikat dalam rangkaian konstituen komando sebagai kesatuan gramatikal dalam sebuah bahasa. Di samping itu, kategori sintaksis mencakup penggolongan nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan konjungsi. Dan yang terakhir adalah peran sintaksis yang mencakup pelaku, penderita, penerima, aktif, dan pasif. Gambar hubungan morfologi, sintaksis, dan semantik (Van Valin Jr., 2004: 3).
GESTURES ARRANGEMENT MEANING
Morphology Syntax
Seluruh struktur kata yang terbangun dari morfem-morfem (terikat) setidaknya mempunyai peran dalam studi sintaksis. Oleh karena itu hubungan struktur kata dengan struktur kalimat memang tidak terpisahkan. Kedua elemen itu terkonstruksi secara surface structure dalam kaidah suatu tatabahasa dengan catatan sesuai dengan konvensi penggunanya. Tatabahasa sebuah bahasa (khususnya morfologi dan sintaksis) sebenarnya merupakan repsesentasi sistem linguistik para penggunanya. Setiap elemen dalam tatabahasa antara yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Itu dapat diidentifikasi berdasarkan susunan atau pola sintaksis yang memberi nuansa makna terhadap realisasi semantik.Van Valin Jr. (2005: 89) mengemukakan bahwa, “The justification for positing syntactic relations in a language in addition to semantic predicate–argument relations is that there are phenomena in the language in which the distinction between two or more semantic roles is neutralized for syntactic purposes.” Dan Kridalaksana (2002: 32) mengemukakan bahwa, “Semantik dalam sintaksis dapat digambarkan sebagai suatu konfigurasi yang terjadi dari predikator dan argumen.” Di bawah ini akan diperikan beberapa contoh.
“It is, of course, impossible to prove that semantic notions are of no use in grammar, just as it is impossible to prove the irrelevance of any other given set of notions” (Chomsky, 2002: 100). Sebuah kalimat mendapat pengaruh dari proses morfologi pada konstituen yang satu dengan yang lainnya (c-comand). Struktur kalimat tersebut menghasilkan interaksi semantis. Kridalaksana (2002: 59) menuliskan bahwa, “Interaksi semantis di antara satuan-satuan gramatikal dapat dirumuskan sebagai hubungan di antara predikator dengan argumen dalam suatu proposisi.” Satuan-satuan tersebut jika dihilangkan salah satu akan menghambat proses penyampaian makna. Dalam fungsi semantis, predikator sebagai payung makna mempunyai kedudukan vital. Kridalaksana (2002: 59) berpendapat:
Predikator mencakup makna seperti perbuatan, cara, proses, posisi, relasi, lokasi, arah, keadaan, kuantitas, kualitas, atau identitas; secara lebih konkret berupa verba, ajektiva, adverbia, preposisi, numeralia, atau zero (Ø). Argumen merupakan benda atau yang dibendakan, dan secara konkret berkategori nomina atau pronomina. Hubungan di antara tiap argumen dan predikator disebut peran.
tatabahasa tersebut merupakan elemen dasar dalam sistem linguistik bahasa. Namun elemen itu juga tidak menjadi kesatuan mutlak sebab memerlukan elemen bahasa lain. Di bawah ini akan diperikan bagan proposisi dari kalimat di atas.
Barudak Bah Oyo patingparuncengis marenta duit.
Proposisi
pred1 pred2 arg1 arg2 perbuatan cara pelaku sasaran
V1 V2 N1 N2
marenta patingparuncengis barudak bah oyo duit
Budak Bah Oyo paruncengis menta duit.
Proposisi
pred1 pred2 arg1 arg2 perbuatan keadaan pelaku sasaran
V1 N2 N1 N2
menta paruncengis budak bah oyo duit
Berdasarkan pemahaman penulis terhadap fungsi semantis pada dua bentuk kalimat di atas ditentukan oleh predikator. Akan tetapi predikator tersebut ditentukan juga oleh bentukan morfem-morfem yang khas dalam bahasa Sunda. Pada kalimat pertama kata patingparuncengis dan kalimat kedua paruncengis memiliki andil dalam pergeseran status predikator dalam relasi antarunsurnya (c-comand). Penulis mengkategorikan bentukan kata patingparuncengis sebagai kategori jamak penuh dan kata paruncengis sebagai kategori jamak setengah. Sebagai kategori jamak setengah, menurut hemat penulis, posisinya bisa lentur. Ini berarti bisa menghasilkan dua predikator yang menunjukan interaksi semantis. Dengan kata lain bisa memerikan makna yang terpayungi oleh predikator dan mempengaruhi elemen lain di bawahnya seperti kategori-kategori sintaksis (cermati perubahannya di atas dengan seksama). Dan elemen lainnya dari kata barudak bah oyo dan budak bah oyo sebagai ‘pelaku’ dengan perbuatan ‘marenta’ dan ‘menta’. Dan kata ‘duit’ sebagai ‘sasaran’ dari perbuatan pelaku. Dengan demikian pengaruh morfosintaksis terhadap fungsi semantis dapat terlihat jelas.
Catma ngalakeun jambu keur adina.
Proposisi1
pred1 arg1 arg2 arg3
perbuatan pelaku sasaran tujuan proposisi2
identitas pokok
V N1 N2 N3
ala catma jambu Ø adina
Adina dialakeun jambu ku Catma
Proposisi1
pred1 arg1 arg2 arg3
keadaan pokok sasaran tujuan proposisi2
pred2 arg4
identitas pelaku
V N1 N2 N3
ala adina jambu Ø catma
Secara sepintas strukturnya tidak jauh berbeda—realisasi c-comand tidak mengalami perubahan. Namun fungsi semantisnya mengalami perubahan. Pada dua bentuk kalimat di atas mempunyai perubahan semantis seperti halnya pada pemerian sebelumnya. Namun, jika pemerian ini dilakukan terhadap kalimat aktif-pasif hanya akan merubah posisi baik struktur sintaksis maupun argumennya. Pada kalimat pertama, kalimat aktif, predikator pada verba ala mencakup perbuatan yang dilakukan oleh catma sebagai pelaku terhadap jambu sebagai sasaran untuk memenuhi tujuan. Dan pada kalimat kedua, kalimat pasif, perubahan terjadi pada predikator verba ala dari perbuatan menjadi keadaan. Barangkali ada yang bertanya mengapa itu terjadi? Dalam konstruksi kalimat yang kedua, adina dan catma mengalami perpindahan tempat serta perubahan status. Adina menjadi pokok utama dari makna predikator yang bermakna keadaan karena pengaruh sirkumfiks di-keun (penulis berpendapat itu sirkumfiks karena bergantung pada konstruksi sintaksis) yang memasifkan. Dengan demikian predikator lagi-lagi bergeser status maknanya oleh proses morfologis (inilah inti kajian makalah ini).
4. SIMPULAN
Sunda ini. Pertama, predikator sebuah kalimat dapat berubah dalam struktur sintaksis karena
pengaruh morfologis. Kedua, bentuk bahasa yang relatif sama strukturnya dapat diungkap fungsi
semantisnya dengan cara di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Chomsky, Noam. (2002). Sintactic Structures. The Hague: Mouton.
Culicover, Peter W. and Jackendoff, Ray. (2005). Simpler Syntax. Oxford: Oxford University Press.
Haryadi, Ardi Mulyana. (2012). “Government Binding Theory dalam Kalimat Bahasa Sunda.” Makalah pada Konferensi Linguistik Tahunan ke-10. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya. Kridalaksana, Harimurti. (1993). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. (2002). Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori Sintaksis. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Martinet, André. (1987). Ilmu Bahasa: Pengantar (terjemahan: Rahayu Hidayat). Yogyakarta: Kanisius.
Poole, Geoffrey. (2002). Syntactic Theory. New York: Palgrave.
Van Valin Jr., Robert D. (2004). An Introduction to Syntax. Cambridge: Cambridge University Press.