• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISKURSUS PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA DI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DISKURSUS PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA DI"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

DISKURSUS PEMINDAHAN IBU KOTA

NEGARA DI INDONESIA

(Studi Kasus Opini Mahasiswa, Dosen dan Karyawan IISIP Jakarta, 2007)

Oleh:

Syafuan Rozi Soebhan, SIP, M.Si

Dra. Lelita Yunia, M.Si

Jurusan Ilmu Politik

FISIP IISIP Jakarta

(2)

DISKURSUS PEMINDAHAN IBU KOTA DI INDONESIA

(Studi Kasus Opini Mahasiswa, Dosen dan Karyawan IISIP Jakarta, 2007)

Oleh: Dra. Lelita Yunia, M.Si Syafuan Rozi Soebhan, SIP, M.Si1

Abstrak

Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif sederhana terhadap 200 responden di IISIP Jakarta dengan bantuan SPSS. Diskursus atau wacana adalah beradunya suatu pendapat berdasarkan sejumlah argumentasi dan sudut pandang tertentu, untuk menemukan suatu posisi atau jalan keluar terhadap suatu persoalan bersama. Persoalan Jakarta sebagai ibu kota negara atau pusat pemerintahan, merangkap sebagai pusat perekonomian, pendidikan dan pariwisata diduga telah menimbulkan kepadatan yang tinggi akibat arus migran urbanisasi. Selain itu, kerawanan banjir dan polusi yang cenderung bertambah. Opini untuk memindahkan ibu kota negara diduga kembali muncul seiring gagasan pemerataan keadilan antardaerah. Telah berpuluh tahun Jakarta mengelola kekayaan yang disumbangkan dari daerah, namun apa yang dikembalikan ke daerah belum proporsional. Jika daerah dipergilirkan menjadi ibu kota, maka kesempatan pergiliran pengelolaan keuangan untuk memajukan kawasan daerah diduga akan menjadi lebih nyata. Penelitian menemukan bahwa sebagian besar responden memandang pemindahan ibukota baru hanya sekedar wacana yang perlu dikaji lebih mendalam. Ada potensi bahwa lewat pemindahan ibukota bisa dicapai pengurangan beban kota Jakarta, pemerataan pembangunan dan pengembangan wilayah nasional secara bertahap dan bergilir.

Bab I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pemindahan ibu kota negara telah dilakukan oleh banyak negara dengan alasan yang berbeda-beda. Contoh berikut memberikan gambaran bahwa pemindahan ibu kota negara itu tidak tabu. Terlebih lagi jika dilakukan dengan tujuan untuk memecahkan permasalahan menuju ke perbaikan dan kemajuan bangsa dan negara. 1. Ibu kota Brasil terletak di pedalaman karena ibu kota lama Rio de Jenairo sudah terlalu padat. 2. Pada tahun 2004, pemerintah Korea Selatan memindahkan ibu kotanya dari Seoul ke Sejong, meskipun Seoul (dalam bahasa Korea) berarti ibu kota. 3. Ibu kota tradisional secara ekonomi memudar oleh kota pesaingnya, seperti yang terjadi di Nanjing oleh pesaingnya yaitu Shanghai. 4. Menurunnya suatu dinasti atau budaya dapat juga karena ibu kota yang telah ada mati atau pudar atau kalah pamor seperti di Babilon dan Cahokia.

Selain pemindahan ibu kota negara, terdapat juga pemindahan sebagian dari kekuasaan pemerintah. Berikut ini beberapa contoh alternatif pemecahan masalah yang terkait dengan ibu kota negara.1. Bolivia, meskipun kota Succre masih tetap menjadi ibu kota konstitusional, namun pusat pemerintahan nasional telah ditinggalkan dan beralih ke La Paz. 2. Chili, kota Santiago masih dianggap sebagai ibu kota, meskipun Kongres Nasionalnya diadakan di Valparaiso. 3. Belanda, kota

1 Penulis Dra. Lelita Yunia, M.Si adalah Staf Pengajar tetap di Jurusan Ilmu Politik IISIP Jakarta dan Syafuan

(3)

Amsterdam tetaplah ibu kota nasional konsitusional, meskipun pemerintahan Belanda, parlemen, dan istana ratu semuanya terletak di Den Haag. 4. Afrika Selatan, beribu kota administratif di Pretoria, ibu kota legislatifnya di Cape Town, sedangkan ibu kota judisialnya di Bloemfontein.2

Pemindahan ibu kota di NKRI sangat dimungkinkan karena di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan Amandemennya, tidak atau belum diatur secara tegas. Dalam Bab II ayat (2) UUD NKRI tertulis: Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara. Dalam UUD tersebut tidak ada pasal yang menyebutkan dimana dan bagaimana ibu kota negara diatur. Dengan demikian, terdapat fleksibilitas yang tinggi dalam mengatur termasuk memindah ibu kota negara. Dalam pemindahan ibu kota negara, tentu saja diperlukan alasan yang kuat dan mendasar tentang efektifitas fungsinya.3

Ada wacana alternatif pertama pemindahan dan pergiliran ibu kota, bahwa kondisi Jakarta sebagai ibu kota negara yang terlalu lama sampai saat ini sangat tidak ideal buat pemerataan pembangunan nasional. Seperti halnya hukum besi kekuasaan yang absolut di tangan satu orang, tanpa pergiliran.4 Kalau kita perhatikan semuanya ada di Jakarta, mulai dari ibukota negara,

kantor-kantor pemerintahan, kantor-kantor-kantor-kantor pusat BUMN, pusat perdagangan, konsentrasi populasi, pusat perindustrian dan lain-lain. Kondisi ini tentu tidak ideal, fungsi yang satu seringkali menghambat fungsi yang lain yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Idealnya, beberapa fungsi tersebut perlu dipindahkan ke kota lain. Memindahkan aktivitas perekonomian akan sangat sulit, tapi bukan tidak mungkin fungsi sebagai ibukota dipindahkan ke kota lain demi memperbesar daua dukung kota lama untuk nyaman dihuni dan memberi kesempatan kota baru dan kawasannya juga ikut berkembang.

Ada alternatif kedua, ibu kota negara tetap di Jakarta dengan pemindahan beberapa departemen dan pusat-pusat kegiatan ekonomi dan pembangunan ke luar Jakarta, dengan tujuan mengurangi beban Jakarta. Alternatif ini tampaknya lebih banyak menghadapi kesulitan dibandingkan dengan alternatif pertama. Beban Jakarta memang berkurang, tetapi tidak berarti sudah meniadakan permasalahan karena banjir tetaplah menjadi ancaman. Apalagi jika pemindahan pusat kegiatan diarahkan ke selatan Jakarta. Banjir akan semakin meningkat bila tidak diikuti dengan usaha konservasi lahan di bagian atas. Melalui "momentum" banjir di Jakarta pada awal Februari 2007 (dan masih terasa efeknya hingga kini) ada baiknya kita merenung dan berpikir: "Bagaimana seandainya ibukota negara Indonesia benar-benar dipindah saja?" Sebagai ibukota, Jakarta terbukti kelebihan beban dan cenderung sudah kurang layak lagi menjadi kota lokomotif bagi bangsa nusantara ini.

Ada pro dan kontra seputar kejadian banjir di Jakarta, sebagai alasan pemindahan ibukota. Alasannya, banjir tidak meliputi seluruh wilayahnya, masih ada sebagian yang tidak terkena. Bagi

2 Lihat Wikipedia, 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/Capital

3 Selama ini Ibukota Jakarta mengemban banyak fungsi, selain sebagai pusat pemerintahan juga sebagai pusat bisnis. Dengan pemindahan ibukota negara diharapkan fungsi administrasi pemerintahan akan lebih efektif. Selain itu pemindahan ini juga diikuti penyebaran penduduk sehingga tidak terkonsentrasi di Jakarta. Fungsi-fungsi di ibukota negara terganggu, karena Jakarta sudah sangat padat yang dihuni oleh lebih dari 11 juta penduduk dan mungkin merupakan ibukota negara terpadat di dunia karena di kelurahan Tambora, Jakbar, 80.000 orang/m2, menurut Dinas Kependudukan DKI hasil pencatatan tahun 2007.

(4)

penduduk yang tinggal di daerah yang tidak terkena banjir tentunya tidak sependapat apabila ibu kota negara dipindahkan, dan menghendaki tetap dipertahankan. Apabila dasar pemikirannya sempit dan jangka pendek maka alternatif ke dua yang dipilih. Namun dalam pemikiran yang lebih luas dan jangka panjang bahwa Indonesia dengan potensi sumberdaya alamnya yang melimpah dan sumberdaya manusia yang cukup besar akan menjadi negara yang besar dan kuat, maka alternatif pemindahan ibu kota ke dua menjadi lemah.

Sebelum menentukan alternatif untuk menentukan pilihan lokasi pemindahan ibu kota negara, terlebih dahulu perlu dicari rumusan ibu kota negara yang ideal. Penelusuran pustaka tentang syarat ibu kota negara yang ideal cenderung belum optimal ditemukan. Berdasarkan pemikiran geografis ibu kota negara yang ideal harus mempertimbangkan aspek spasial, ekologis, dan kewilayahan; maka perlu antara lain adalah: tersedia lahan yang sesuai, aman, nyaman, lingkungan sehat, bebas dari bahaya dan bencana, aksesibilitas dan arus informasi memadai, ketersediaan lahan untuk perwakilan negara sahabat (kedutaan), ketersediaan air bersih, fasilitas umum, fasilitas kesehatan, masyarakat sekitar kondusif dan tidak menimbulkan ketimpangan antara wilayah. Berdasarkan rumusan tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia untuk menentukan alternatif lokasi sebagai calon ibu kota negara.

Beberapa pandangan tentang alternatif pemindahan ibu kota negara yang muncul pada periode Mei 1998 (gerakan reformasi) adalah Yogyakarta, Magelang, Purwokerto, Malang, dan Kalimantan Tengah.5 Beberapa alternatif lokasi tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan.

Yogyakarta memiliki keunggulan pernah menjadi ibu kota negara dan berfungsi dengan baik. Fasilitas transportasi sudah tersedia, yaitu Bandara Adi Sutjipto dan Stasiun Kereta Api Tugu). Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, dan kota budaya; sehingga berpenduduk padat dan jalanan sempit menyebabkan kurang memungkinkan untuk ditambahi beban, kecuali dengan pembenahan aksesibilitas, pemilihan lokasi yang tepat, dan tidak menempati lokasi bangunan tinggalan Belanda.

Alternatif lain, jika Magelang, pertimbangannya letaknya di tengah pulau Jawa, sering dikenal dengan pakuning tanah Jawa berarti daerahnya mantap. Namun demikian, lokasinya berdekatan dengan Gunungapi Merapi yang masih aktif, sehingga bahaya vulkanik merupakan ancaman. Aksesibilitas dapat didukung dari Yogyakarta dan Semarang. Purwokerto mempunyai kelebihan ketersediaan ruang (lahan) yang masih dimungkinkan untuk pembangunan ibu kota. Aksesibilitas laut dapat terdukung dari pelabuhan Cilacap, sedangkan akses darat dapat dicapai dari Yogyakarta dan Bandung. Transportasi udara perlu dibangun. Gunungapi Slamet mungkin merupakan bahaya, tetapi berdasarkan sejarahnya kurang aktif. Selain itu, terdapat Baturaden sebagai tempat peristirahatan yang layak. Malang mempunyai lingkungan pegunungan yang sejuk, didukung oleh aksesibilitas darat dan udara yang memadai, dan dekat dengan Surabaya. Namun demikian, Malang termasuk kota pelajar dan padat penduduk, jalan di dalam kota umumnya sempit.6

Alternatif pemindahan ibu kota negara ke luar Jawa, pilihannya adalah Kalimantan (Palangkaraya, jika dijadikan Ibu Kota negara, maka diperkirakan bisa bertahan hingga 200-300 tahun ke depan. Hal itu disebabkan masih banyak lahan kosong di sana) dan Sumatra (Bukittinggi – alasannya karena sejuk dan bersejarah-, Batam –perbatasan dengan Singapura, agar kemakmurannya menular ke ibu kota baru, sudah ada sekitar 6 jembatan antar pulau sekitarnya ). Kelebihan dari

(5)

Ibid,-Kalimantan adalah lokasinya merupakan pusat dari wilayah Nusantara. Lahan masih sangat luas, sehingga dapat menyusun tata ruang ibu kota negara yang sangat ideal. Kelemahannya adalah prasarana dan sarana belum memadai, sebagian besar harus membangun yang baru, berarti biaya mahal. Kelemahan lainnya adalah penyediaan air bersih; kebakaran hutan, banjir dan longsor merupakan bahaya yang perlu dijadikan dasar pertimbangan. Sumatra merupakan alternatif lain, ketersediaan lahan memadai; sebelah barat Bukit Barisan rawan terhadap bencana gempa, sehingga daerah yang sesuai tentunya di sebelah timur Bukit Barisan.7

Wilayah bumi cendrawasih pun bisa dijadikan wacana sebagai ibu kota negara kita. Jika mempertimbangkan luas dan lapangnya lahan sebagai lokasi. Begitu pula kemungkinan Sulawesi Utara, NTT dan NTB untuk menjadi ibu kota, atau semuanya akan mendapat giliran secara berkala. Presiden SBY mempersilakan wacana pemindahan ibukota dari Jakarta. Menurut SBY, dalam berdemokrasi setiap orang bebas berpendapat.8

Pemindahan ibu kota seharusnya menjadi studi yang sudah dilakukan Bappenas. Menteri Pekerjaan Umum kabinet SBY, Djoko Kirmanto pernah mengatakan, rencana pemindahan itu mungkin dilaksanakan, selama pembahasannya dilakukan secara cermat berupa hitung-hitungan ekonomi, dan sektor lain, seperti manfaat jangka panjang proyek membangun keindonesiaan yang lebih adil dan maju bersama. Ada pula pandangan ketua AIPI Ryaas Rasyid bahwa Ibu kota negara RI harus dipindahkan dari Jakarta selambat-lambatnya 10 tahun lagi atau Tahun 2016. Sebab, saat ini Jakarta sudah sangat padat sehingga sudah tidak layak lagi menjadi ibu kota negara.

Berdasarkan hal itu, negara dan masyarakat hendaknya segera menyusun konsep strategis kebijakan publik menyangkut politik perkotaan di Indonesia mulai sekarang. Kalau pemerintah berpikiran cerdas dan mau sungguh-sungguh demi kebaikan dan kesejahteraan untuk masa depan,

maka perlu mengkaji dan merancang model pemindahan ibu kota dari sekarang. 9

7 Dielaborasi dari analisis Prof. Sutikno. “Perpindahan Ibu Kota, Suatu Keharusan atau Wacana?”, Sabtu, 14 April 2007, http://www.sutikno.org. Makalah tersebut dipresentasikan penulis dalam: Diskusi Sejarah, Kota dan perubahan Sosial dalam Perspektif Sejarah, yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Hotel Matahari, 11-12 April 2007.

8 Berkaitan dengan gagasan pemindahan ibu kota, Presiden SBY di Istana Kepresidenan, Jl. Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat tgl. 9/2/2007 mengatakan“Silakan kalau punya pendapat a,b c d. Ini demokrasi, ini tempat untuk menyatukan pemikiran, gagasan dan intelektualitas”. SBY menjelaskan pemindahan ibukota dari Jakarta bisa dilihat dari berbagai sisi seperti menghindari masalah strukural dan fundamental maupun dana. “Tapi sebagai kepala negara tidak akan terlalu cepat untuk memberikan statement, tepat atau tidak tepat. Dulu ada rencana dipindahkan ke Jonggol, tapi apakah masih disable atau tidak. Tapi yang penting adalah dalam demokrasi kita bisa berkomunikasi lebih lanjut lagi”.

(6)

2. Permasalahan

Seringkali sebuah gagasan pembangunan yang rasional dan objektif terhalang oleh adanya benturan kepentingan, baik itu kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik. Wacana pemindahan ibukota belakangan ramai diperbincangkan di televisi dan koran. Hal itu sudah melibatkan opini di kalangan DPR RI, DPD, dan analis politik perkotaan, namun rupanya sengaja untuk pewacanaan saja, semacam bahan obrolan yang menarik. Studi lebih lanjut maupun upaya serius meneruskan wacana pemindahan ibukota tak pernah digagas, apalagi benar-benar dijalankan.

Namun gagasan tampaknya akan tinggal gagasan tanpa kerja kongkret di lapangan. Ide tersebut dinilai tampak berlebihan, mustahil dan memerlukan biaya superbesar, menurut pihak yang antipemindahan ibu kota. Hal ini dibantah oleh pihak yang pro, kalau mau dibuat berhemat, juga bisa asal tidak ada yang dikorupsi. Pandangan yang lain lagi, tidak apa mahal, tapi jangka panjangnya Indonesia akan lebih maju dan adil. Pemindahan Ibu Kota idealnya tidak hanya menjadi wacana, tetapi harus menjadi kajian melalui studi mendalam dan simultan ke kalangan yang lebih luas.

Secara historis, negara Indonesia pernah memindahkan ibukotanya selama dua kali, yakni di Bukittinggi dan Yogyakarta. Jejak historis ini memberi makna bahwa dalam konteks tertentu, pemindahan ibukota bukanlah hal yang terlalu mustahil. Hanya saja, permasalahnya memang ada banyak pihak yang merasa diuntungkan oleh keberadaan ibukota di Jakarta. Banyak pihak itu, sayangnya berada di posisi menentukan. Namun begitu banyak pula yang berjuang melakukan pemisahan (separatisme) karena tidak diperlakukan secara adil oleh Jakarta selama ini.

Ibu kota negara menjadi simbol suatu negara sebagai lokasi pusat pemerintahan. Seiring berjalannya waktu, fungsinya pun tidak lagi tunggal, Jakarta telah pula mejadi pusat perburuan lapangan kerja kelas menengah bawah dari desa yang tidak lagi mau bertani, pemukiman dengan harga jual dan sewa yang mahal, berkumpulnya sentra pendidikan, tujuan pariwisata dan perdagangan internasional. Kepadatan penduduk yang tinggi, kemacetan lalu lintas yang parah, polusi, kejahatan jalanan, banjir adalah kondisi umum yang mencitrakan Jakarta sebagai ibu kota negara dengan indikasi sulitnya melakukan penataan tata ruangnya. Gejala tingginya ketimpangan sosial ekonomi, berkorelasi terhadap meningkatnya angka kriminalitas di Jakarta memerlukan jalan keluar yang sistemik.

Kondisi umum menumpuknya berbagai masalah dari hari ke hari tersebut memunculkan beberapa pertanyaan: masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara? Apakah perpindahan ibu kota telah menjadi suatu keharusan atau baru wacana? Tulisan ini mencoba mendiskusikan solusi pertanyaan tersebut dari sudut pandang anggota masyarakat yang mendiami Jakarta. Untuk mendiskusikan kelayakan Jakarta sebagai ibu kota negara digunakan pendekatan keruangan, ekologis, dan kewilayahan.

(7)

Pada masa Bung Karno masih hidup,10 ia pernah menyiapkan Palangkaraya, di Kalimantan

tengah sebagai ibu kota negara dengan pertimbangan posisinya secara geografis ada di tengah-tengah Indonesia. Selain itu daerahnya relatif masih luas sehingga tidak menggusur pemukiman penduduk, topografisnya relatif datar dan belakangan diketahui relatif aman karena tidak dilalui jalur gempa. Pada masa Pak Harto, ada pula rencana memindahkan ibu kota ke Jonggol. Berkaitan dengan pemekaran wilayah, adanya kebon buah Mekarsari milik ibu Tien Soeharto dan pengembangan proyek perumahan dan perkantoran yang pesat ke selatan Jakarta.11

Pada masa reformasi, Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB pernah pula mengatakan, wacana pemindahan Ibukota Negara Indonesia dari Jakarta ke Subang Jawa Barat pernah disampaikan Abdurahman Wahid (Gus Dur) mantan Presiden RI sekitar tahun 2005 yang lalu. Malaysia, telah memindahkan kantor perdana menteri, beberapa kedutaan ke Putra Jaya, sekitar 50 menit dari Kuala Lumpur bila melewati jalan bebas hambatan.Pemindahan ibukota di Malaysia ini relatif berjalan lancar. Sebenarnya Indonesia yang punya gagasan lebih awal untuk memindahkan ibukota negara, sejak zaman Presiden Soekarno. Namun kalah cepat dengan Malaysia di bawah perdana mentri Mahatir Muhammad. Belanda memiliki Amsterdam dan Den Haag. Bahkan Afrika Selatan memiliki tiga buah ibukota sekaligus yaitu Pretoria, Cape Town, dan Bloemfontein.

Selanjutnya pertanyaan penelitian yang akan menjadi fokus penting riset ini adalah: (1). Apakah pemindahan ibu kota sebaiknya cuma sekedar wacana ataukah perlu diwujudkan? (2). Mengapa suatu ibu kota negara harus permanen atau perlu berpindah ke tempat baru?

(3). Apa alasan yang menjadi pertimbangan pokok untuk suatu pemindahan suatu ibukota negara? (4) Jika disetujui, bagaimana sebaiknya pemindahan ibu kota dilakukan untuk kasus Indonesia?

3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan studi pustaka, dengan mengacu pada dokumen yang relevan. Teknik pengumpulan data dengan mengunakan kuesioner dan pengolahan data menggunakan bantuan SPSS. Sehingga bisa ditemukan kecenderungan prosentasi dan frekuensi jawaban tentang suatu pertanyaan. Kemudian akan disajikan dalam bentuk tabel dan uraian.

3.1. Kerangka Pemikiran

10 Presiden Sukarno sendiri, yang semula berniat menjadikan Jakarta sebagai "mercusuar" kemajuan Indonesia, sedikit demi sedikit mulai gelisah, negeri ini kian Jawasentris. Untuk mengkonter Jawasentrisme itu ia mulai memikirkan kemungkinan memindahkan Ibu Kota RI ke Luar Jawa, dan saat diusulkan Palangkaraya sebagai salah satu alternatif, ia tak keberatan. Sayang, sebelum usul itu terwujud Bung Karno telanjur dijatuhkan dari kekuasaan.

(8)

Ibu kota negara atau capital city atau political capital dalam bahasa Inggris, asal katanya dari bahasa Latin caput yang berarti kepala (head) dan terkait dengan kata capitol yang terkait dengan bangunan dimana pusat pemerintahan utama dilakukan. Kota utama ini intinya diasosiasikan dengan pusat pentadbiran atau tata kelola suatu negara. Secara fisik difungsikan sebagai kantor pusat dan tempat pertemuan dari pimpinan pemerintahan di eksekutif, yudikatif, legislatif atau parlemen. Begitu pula lokasi bagi kantor perwakilan negara lain akan ditempatkan di ibu kota negara. Ibu kota adalah pusat ekonomi, budaya, dan atau pusat intelektual. Ibu kota menjadi simbol bagi negara dan pemerintahannya, serta sebagai tempat berkembangnya muatan politik. Kota-kota di abad pertengahan menunjukkan bahwa pemilihan, relokasi, dan pendirian dari suatu ibu kota modern dilandasi pertimbangan emosional

Menurut perkembangannya, ibu kota sebagai pusat ekonomi utama dari suatu wilayah sering menjadi titik pusat dari kekuatan politik, kemudian menjadi suatu ibu kota melalui suatu penaklukan atau penggabungan. Ibu kota secara alamiah mempunyai daya tarik politik untuk para perwakilan bangsa-bangsa hadir disana, menjadi lokasi kantor pemerintah, parlemen dan yudikatif berada. Karena itu pula di ibu kota negara para pengunjuk rasa berekspresi, demonstran melakukan mogok atau boikot dan teroris melakukan aktifitasnya terhadap sasaran simboliknya.

Usulan memindahkan ibukota negara dari DKI Jakarta ke tempat lain, merupakan salah satu solusi alternatif yang dapat dimasukkan dalam Rancangan UU Penataan Ruang (RUU PR) di Indonesia. Selama ini Ibukota Jakarta mengemban banyak fungsi, selain sebagai pusat pemerintahan juga sebagai pusat bisnis. Dengan pemindahan ibukota negara diharapkan fungsi administrasi pemerintahan akan lebih efektif. Selain itu pemindahan ini juga diikuti penyebaran penduduk sehingga tidak terkonsentrasi di Jakarta. Fungsi-fungsi di ibukota negara terganggu, karena Jakarta sudah sangat padat yang dihuni oleh lebih dari 11 juta penduduk dan mungkin merupakan ibukota negara terpadat di dunia. Kelurahan Tambora di Jakarta Barat misalnya, pada tahun 2007 dihuni oleh 80.000 orang perkilometer persegi.12

Pemikiran Politik Dampak Multi Fungsi kota Jakarta:

Multi fungsi kota Jakarta (pusat ekonomi, keuangan, bisnis, politik, pendidikan) merupakan dampak dari sistem pemerintahan sentralistis dan sistem multi fungsi yang terpusat secara terus-menerus di Jakarta. Akibatnya sejumlah efek bernuansa sosial (kepadatan memicu konflik lokal, kejahatan jalanan), politik (monopoli pengelolan keuangan pusat yang terus menerus diatas disparitas daerah-daerah), ekonomi (disparitas pemerataan ekonomi antar daerah dan intradaerah) dan ekologi (rusaknya tata ruang dan lingkungan kaeena kekuatan ”tata uang” para pemodal kuat), menjadi persoalan dan beban Jakarta yang tak mudah diselesaikan tanpa jalan keluar yang inovatif yaitu pemindahan ibukota. Walaupun dengan kontestasi konsep manajemen megapolitan (menjadikan beberapa propinsi terdekat di bawah tata kelola pejabat setingkat menteri) sekalipun, yang diduga berdaya hanya memcahkan masalah jangka tengah saja, bukan jangka panjang.

Adapun analisis tentang dampak multifungsi kota yang dimaksud adalah akibat dari kondisi-kondisi berikut:

1. Pemerintahan sentralitis yang dikendalikan secara otoriter dan serba seragam telah mengabaikan alokasi bagi hasil yang timpang buat daerah-daerah sub-nasionalnya. Sistem kekuasaan yang memusat dan permanen di suatu tempat, membuat sistem pemerintahan daerah kehilangan kesempatan memanfaatkan kekayaan alamnya secara maksimal. Daerah yang kaya minyak dan mineral, bisa mengalami kelangkaan minyak dan kemiskinan yang menyedihkan. Padahal kalau gula disebar secara adil, maka semut tidak lagi menumpuk di satu tempat.

(9)

2. Kedekatan sumber pusat pemerintahan dan pusat ekonomi yang mengerucut pada elite dan hampir tanpa kontrol dari rakyat secara konstitusional maupun publik menyebabkan mewabahnya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sehingga berapapun pajak yang terkumpul dan bagi hasil sumber daya alam masuk ke pas pusat, untuk disalurkan ke daerah-daerah seperti pipa dan keran yang sengaja tersumbat untuk mengalir balik.

3. Pemusatan fungsi tersebut akhirnya membawa beban bagi Jakarta, menjadi magnit yang menarik arus orang yang ditandai dengan ledakan jumlah penduduk, kemacetan lalu lintas, kesenjangan ekonomi, kerawanan sosial, kekerasan, dan kejahatan akibat sulitnya mencari pekerjaan yang halal dan memakmurkan.

4. Permasalahan tersebut diikuti krisis ekologi, yang berupa pencemaran udara, pencemaran airtanah, air bersih, banjir rutin, tata ruang yang semrawut, munculnya kawasan kumuh, dan lingkungan hidup yang kurang nyaman. Wacana pemindahan Ibukota Indonesia ini muncul karena Jakarta selalu direndam banjir setiap tahunnya.

5. Konflik mudah terjadi antara kepentingan ekonomi dan ekologi, kepentingan sesaat dan jangka panjang, kepentingan elit dan masyarakat. Kepadatan adalah akar pergesakan dan perebutan yang tidak memanusiakan manusia.13

Berdasarkan kondisi Jakarta dan berbagai dampak tersebut perlu dipertanyakan, masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara dan apakah pemindahan ibu kota sebagai suatu keharusan atau sekedar wacana. Secara hipotesis kerja, penataan ibu kota yang mengalami multifungsi, solusinya memerlukan pemisahan yang tegas antara fungsi politik dan fungsi ekonomi dan ikutannya. Namun untuk memindahkan ibukota negara diperlukan kesiapan yang sangat baik dalam hal mengatasi ketimpangan pembangunan Jawa dan luar Jawa, termasuk dalam hal biaya yang besar pada awalnya (membangun kantor presiden, parlemen, dan kedutaan asing) namun memiliki manfaat besar pula dalam jangka tengah dan panjang di kemudian hari. Ada pula ide, agar posisi kantor kementrian teknis, perlu ditempatkan jangan diibu kota negara tapi terkait dengan bidangnya, seperti kementerian kelautan, daerah tertinggal, kehutanan, sesuai dengan konteksnya.

Gagasan penegasan pemisahan fungsi ibukota Negara dengan fungsi lainnya juga memperhitungkan aspek daya dukung kota Jakarta yang semakin menurun. Banyak sekali permasalahan yang harus ditangani berkaitan dengan kemacetan lalu lintas, pedagang kaki lima yang semakin semrawut, tingkat keamanan yang mengkhawatirkan dan yang sekarang menjadi sorotan masyarakat tidak adanya upaya pencegahan dari Gubernur DKI untuk mengatasi banjir. Semua itu kalau tidak segera diatasi akan menambah tingkat kerawanan, sehingga penduduk Jakarta ini tidak aman dan nyaman lagi.

Pengembangan perkotaan di Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan dan permasalahan seperti, tantangan global berupa persaingan bebas antar kota tingkat internasional sebagai tujuan wisata, investasi dan perdagangan. Global paradoks dan mega-trend 2000 John Naisbitt, mengingatkan kita akan gejala adanya revolusi perjalanan manusia yang berpotensi pada memuncaknya masalah perkotaan bila tidak diantisipasi sejak dini.

(10)

Permasalahan internal perkotaan berupa disparitas kelas sosial akibat kerakusan dalam industrialisasi, terjadinya tranformasi spasial dari pertanian menjadi manufaktur dan jasa, menimbulkan problem kemiskinan struktural di perkotaan, migrasi penduduk ke kota, serta ketidaksiapan infrastruktur pendukung dan eksploitasi sumber daya alam di desa-desa yang berakibat menurunnya kualitas lingkungan dari waktu ke waktu. Selain itu, krisis ekonomi, sosial dan politik telah memperburuk kondisi perkotaan dengan rusaknya berbagai fasililtas dan sarana ekonomi. Adapun masalah utama lainnya adalah meningkatnya pengangguran, menurunnya daya beli masyarakat meningkatnya kemiskinan perkotaan serta terbatasnya ruang untuk membenahi kemacetan suatu ibu kota yang tidak pernah mengalami perpindahan.14

Perubahan politik, ekonomi dan sosial di Indonesia, dari spektrum pendulum zig-zag

otoritarian dan demokratis, industrialisasi yang terpusat di Jawa, masih lemahnya prgram negara kesejahteraan, telah berdampak terhadap proses dan arah perkembangan politik perkotaan diabaikan atau akan dikelola secara serius. Selain itu, krisis akibat otoritarianisme dan pembangunan yang terpusat di Jawa, yang hingga kini belum teratasi telah berdampak pula pada penurunan kualitas dari pelayanan publik di luar Jawa. Permasalahan internal yang terjadi di ibu kota negara kita kian hari kian kompleks, semakin sulit untuk diatasi dengan cara tambal sulam (kebijakan berciri inkremental). Kondisi demikian itulah, yang menciptakan beban kota Jakarta menjadi sangat berat ketimbang kapasitas optimumnya untuk terus dibiarkan tanpa jalan keluar yang sistematik dan komprehensif.15

Identifikasi apa yang diinginkan pemangku kepentingan yang beragam di masyarakat diperlukan untuk menghindari tumpang tindih dalam kategorisasi persoalan formulasi kebijakan, dan menyelamatkan proses politik yang elitis menuju proses deliberatif atau dialog setara yang partisipatif. Kerangka, model dan solusi kebijakan perlu dilakukan dalam konteks dekonstruksi dan rekonstruksi sosial yang menyeluruh. Akomodasi kepentingan menuju win-win solution.16

3.2.Sifat Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini bersifat kuantitatif, lewat pengumpulan data lapangan (field-research) dengan membuat kuesioner dengan kategori jawaban berdasarkan skala dan indeks yang memungkinkan tidak ada duplikasi antar katagori jawaban yang ada. Sementara itu data sekunder digali melalui penelusuran terhadap literatur atau studi pustaka. Adapaun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Sampling Systematic Sampling dan Purposive Sampling :

Lokasi penelitian ini akan dilakukan di IISIP Jakarta. Responden yang mengisi kuesioner ditentukan berdasarkan systematic sampling, dalam hal ini berdasarkan komposisi jurusan yang ada, jenis kelamin dan asal daerah (Jawa dan luar Jawa, IBB dan IBT). Pengambilan sampel secara sistematis merupakan metode dimana hanya unsur pertama saja yang dipilih dari sampel yang dilakukan secara acak. Sedangkan unsur-unsur selanjutnya dipilih secara sistematis menurut suatu

14 Lihat analisis kelas sosial dalam Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, terj. Soeheba Kramadibrata (Jakarta : UI Press, 1986).

15 Lebih jauh tentang model kebijakan inkremental dan rasional komprehensif lihat Solichin Abd. Wahab,

Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanan Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 1991).

(11)

pola tertentu (Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989:60). Adapun responden penelitian kuantitatif ini dipilih sebanyak 200 orang secara purposive sampling. Masing-masing jurusan (Komunikasi, Administrasi, Politik, HI, Kesos), dosem dan karyawan di IISIP Jakarta, sebanyak sekitar 50% laki-laki dan 50% perempuan untuk masing-masing kategori. Kegiatan desk review atau library research juga dilakukan untuk menggali berbagai informasi yang berhubungan dengan topik penelitian, antara lain: isu tentang pemindahan kota di dunia. Untuk itu, kajian akan difokuskan pada eksplorasi berbagai data kepustakaan dan dokumen terkait.

Bab II

KARAKTERISTIK RESPONDEN

A.1. Jenis Kelamin Responden

Penelitian ini dilakukan antara bulan Agustus 2007-Januari 2008. Secara acak kuesioner penelitian disebarkan. Dari 200 responden mahasiswa, dosen dan karyawan IISIP Jakarta, terkumpul 51% atau 101 responden perempuan dan 50% atau 99 responden laki-laki.

A.2. Status Responden

Jurusan Responden Frekuensi Prosentase

1 Ilmu Komunikasi 65 32.5

2 Ilmu Politik 26 13.0

3 Ilmu HI 54 27.0

4 Ilmu Kessos 12 6.0

5 Ilmu Administrasi 32 16.0

6 Non Jurusan 11 5.5

Total 200 100.0

A.3. Asal Pulau/Tempat Kelahiran Responden

Asal Pulau Kelahiran Responden Frekuensi Prosentase

1 Sumatera 25 12.5

2 Jawa-Madura-Bali 165 82.5

3 Kalimantan 1 .5

4 NTB-NTT 4 2.0

5 Sulawesi 1 .5

6 Maluku -Malut 2 1.0

7 Papua 1 .5

8 Tdk mnjwb 1 .5

(12)

A.4. Status Pekerjaan Responden

Status Pekerjaan Responden Frekuensi Prosentase

1 Mahasiswa 166 83.0

2 Dosen 27 13.5

3 Staf administrasi 5 2.5

4 Karyawan 2 1.0

Total 200 100.0

Bab III

SIKAP TERHADAP KEADAAN JAKARTA

3.1. Pemindahan Ibukota dan Persoalan Jakarta

Gagasan pemindahan ibu kota cenderung telah menjadi objek penting bagi studi analisis kebijakan publik, politik perkotaan dan pembangunan politik di Jurusan Ilmu Politik IISIP Jakarta. Hal tersebut diindikasikan lewat proyek penelitian akademis ini walaupun dowalai dari skala kecil sample di lembaga pendidikan almamater tercinta. Namun sebenarnya, menumpuknya persoalan Jakarta dan ide pemindahan ibukota sudah mendapat respon ditingkat empiris dari DPR RI, walau pun DPR RI belum meminta LIPI, Bappenas dan institusi resmi negara lainnya untuk melakukan upaya tindak lanjut yang lebih kongkret. Menteri Pekerjaan Umum kabinet SBY, Djoko Kirmanto memang pernah menanggapi bahwa rencana pemindahan itu mungkin dilaksanakan, selama pembahasannya dilakukan secara cermat berupa hitung-hitungan ekonomi, dan sektor lain, seperti manfaat jangka panjang proyek membangun keindonesiaan yang lebih adil dan cita-cita kemajuan bersama.

Sementara itu mantan meneteri Otoda kabinet Abdurahman Wahid dan ketua AIPI, Prof. Dr. Ryaas Rasyid berpandanan bahwa Ibu kota negara RI harus dipindahkan dari Jakarta selambat-lambatnya 10 tahun lagi atau Tahun 2016. Hal itu dengan pertimbangan semakin bertumpuknya berbagai persoalan di Jakarta, dengan tata ruang yang sudah jenih untuk bisa dikembangkan lebih optimal. Saat ini ibu kota Jakarta sudah sangat padat, macet dan dilanda persoalan banjir dan sampah yang parah. Sehingga posisinya dinilai cenderung sudah tidak layak lagi menjadi ibu kota negara.

Berdasarkan hal itu, bagi kalangan yang pro dengan pemindahan mendorong pihak terkait hendaknya segera menyusun konsep mulai sekarang. Kalau pemerintah berpikiran cerdas dan mau berkorbanuntukkebaikan untuk masa depan, ada pandangan bahwa negaraharus sudah merancang pemindahan ibu kota dari sekarang sebelum Jakarta lumpuh total. Bagaimana pun kondisinya dalam waktu 10 tahun dari sekarang (tahun 2007), ibukota negara sudah harus pindah. Pandangan ini artinya menginginkan dalam waktu lima tahun ke depan mesti sudah ditindaklanjuti oleh pihak terkait dengan serius. Persiapannya harus memindahkan kantor-kantor pemerintahan, kantor-kantor kedutaan besar dan fasilitas lainnya, seperti lapangan terbang, pelabuhan dan dalam jangka panjang membangun jembatan antar pulau untuk menyatukan Indonesia.

(13)

barat (IBT-IBB) dan bertumpuknya masalah perkotaan di Jakarta, bisa diurai dengan pemindahan atau pemisahan ibukota negara dan sistem penyatuan fisik lewat jembatan guna menunjang transportasi antar pulau-pulau besar di Indonesia. Namun bagaimana sebenarnya pandangan sebagian masyarakat terhadap rencana pemindahan ibukota, baru sebatas wacana atau memang real perlu diwujudkan. Berikut ini temuan penelitian ini untuk menjawab pertanyaan terkait:

Tabel 3.1.

Sikap Responden tentang Pemindahan Ibukota Baru Sekedar Wacana atau Perlu Serius Dirancang Negara (n=200)

Skp t pmndhn

Secara umum menunjukkan 34% dari 200 responden IISIP Jakarta melihat gagasan tentang pemindahan ibukota negara baru sekedar wacana. Suatuhal yang masih perlu diperdebatkan dan dipelajari lebih dalam. Namun ada 25% yang berpandangan optimis, pemindahan ibukota harus segera diwujudkan dalam waktu 10 tahun ke depan (sejak 2007, saat penelitian ini dilakukan). Ada 23% yang menilai pemindahan ibu kota baru bisa dilakukan dalam waktu 20 tahun lagi. Pihak yang menyatakan ibukota negara tidakperlu dipindahkan dari Jakarta ada sebanyak 5%. Namun ada pula 5% yang tidak sabar ingin secepat mungkin ibukota dipindah karena Jakarta telah mengalami kemacetan yang parah dan berulang kali dilanda banjir kiriman dan pasang air laut.Selebihnya, 2% berpandangan pemindahan baru bisa terjadi 30 tahun lagi dan setuju ibukota pindah asal dapat meratakan pembangunan di Indonesa. Ada 8% responden yang abstain, tidak tahu atau tidak mau menjawab pertanyaan ini.

(14)

MNC, perusahaan manufaktur dan jasa. Seiring berjalannya waktu, fungsinya pun tidak lagi tunggal, Jakarta telah pula menjadi pusat perburuan lapangan kerja kelas menengah bawah dari desa yang tidak lagi mau bertani, pemukiman dengan harga jual dan sewa yang mahal, berkumpulnya sentra pendidikan, tujuan pariwisata dan perdagangan internasional. Kepadatan penduduk yang tinggi, kemacetan lalu lintas yang parah, polusi, kejahatan jalanan, banjir adalah kondisi umum yang mencitrakan Jakarta sebagai ibu kota negara dengan indikasi sulitnya melakukan penataan tata ruangnya. Gejala tingginya ketimpangan sosial ekonomi, berkorelasi terhadap meningkatnya angka kriminalitas di Jakarta memerlukan jalan keluar yang sistemik. Kondisi umum menumpuknya berbagai masalah dari hari ke hari tersebut memunculkan beberapa pertanyaan: masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara?. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden (78%) dari 200 orang sample cenderung menyatakan setuju bahwa perangkapan fungsi Jakarta sebagai pusat ekonomi sekaligus pusat politik telah menimbulkan bertumpuknya persoalan di Jakarta. Hanya ada 15% responden yang tidak setuju dan tidak melihat ada kaitannya.

Tabel 3.2.

Sikap Responden tentang Alasan Bertumpuknya Persoalan Jakarta disebabkan karena perangkapan Fungsi kota atau bukan? (n=200)

Benarkah perangkapan fungsi kota (Pol, ek,dll)

menimbulkan bertumpuknya persoalan Jakarta

Prngkpn fg kt

Tdk mnjwb Tidak setuju

Ragu Setuju

Pe

rc

en

t 100

80

60

40

20

0

(15)

3.2. Sikap terhadap Pemindahan Ibukota Negara:

Berdasarkan pemikiran geografis ibu kota negara yang ideal harus mempertimbangkan aspek spasial, ekologis, dan kewilayahan; maka perlu antara lain adalah: tersedia lahan yang sesuai, aman, nyaman, lingkungan sehat, bebas dari bahaya dan bencana, aksesibilitas dan arus informasi memadai, ketersediaan lahan untuk perwakilan negara sahabat (kedutaan), ketersediaan air bersih, fasilitas umum, fasilitas kesehatan, masyarakat sekitar kondusif dan tidak menimbulkan ketimpangan antara wilayah. Berdasarkan rumusan tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia untuk menentukan alternatif lokasi sebagai calon ibu kota negara. Sebanyak 200 orang responden IISIP dari latar belakang jurusan ditanya tentang bagaimana sikap mereka terhadap ide/rencana pemindahan ibu kota negara. Berikut ini gambaran opini mereka:

Tabel 3.3.Sikap Responden Berdasarkan Latar Belakang Jurusan/Non Jurusan terhadap Rencana Pergiliran Ibukota (n=200)

(16)

Tabel 3.4.

Sikap Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tentang Urgensi Pemindahan Ibu Kota (n=200)

Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan

pr

os

en

ta

se

40

30

20

10

0

Skp t pmndhn

sekedar wacana

10 tahun ke depan

20 tahun lagi

tdk prlu dipndhkn

30 tahun lg

Scpt mngkn, krn Jkt lumpuh/pdt

Pdh, asal dpt mertkn pdptn nas

Tdk mnjwb. 10

5 6

3 4

6

19 27

26 23

33 35

(17)

Tabel 3.5.

Sikap Responden Yang Setuju Pemindahan Ibukota Berdasarkan Asal Kelahiran (n=200)

Pulau Kelahiran

(18)

3.3. Alasan Kesetujuan Pemindahan Ibukota:

Ibu kota negara menjadi simbol suatu negara sebagai lokasi pusat pemerintahan. Seiring berjalannya waktu, DKI Jakarta telah pula mejadi pusat perburuan lapangan kerja kelas menengah bawah dari desa yang tidak lagi mau bertani, pemukiman dengan harga jual dan sewa yang mahal, berkumpulnya sentra pendidikan, tujuan pariwisata dan perdagangan internasional. Kepadatan penduduk yang tinggi, kemacetan lalu lintas yang parah, polusi, kejahatan jalanan, banjir adalah kondisi umum yang mencitrakan Jakarta sebagai ibu kota negara dengan indikasi sulitnya melakukan penataan tata ruangnya. Gejala tingginya ketimpangan sosial ekonomi, berkorelasi terhadap meningkatnya angka kriminalitas di Jakarta memerlukan jalan keluar yang sistemik. Kondisi umum menumpuknya berbagai masalah dari hari ke hari tersebut memunculkan beberapa pertanyaan: masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara.

Ketika ditanyakan kepada 200 responden, jika setuju terhadap rencana pemindahan ibu kota, hal apa yang merupakan alasan pokok untuk menjadi argumentasi atau alasan pemindahan ibukota dilakukan. Temuan penelitian ini memperoleh datas sebagai berikut:

(19)

Tabel 3.7 Sikap Responden Menurut Latar Belakang Asal Kelahiran terhadap Alasan Pemindahan Ibu Kota (n=200)

Pulau Kelahiran

Mayoritas responden asal kelahiran Sumatera, yaitu 11% berpendapat setuju dilakukannya pemindahan ibukota dengan alasan Jakarta sudah terlalu padat dan telah menjadi magnet yang menarik datangnya penduduk daerah. Ada 8% yang setuju pemindahan karena Jakarta telah mengambil peran multifungsi kota yang berdampak terhadap ketidaknyamanan terhadap kota itu sendiri yang dengan sendirinya telam memunculkan problematika. Ada kurang dari 5% yang berpendapat Jakarta selama ini telah menguasai aspek distribusi dan retribusi keuangan nasional. Sudah waktunya untuk dipergilirkan ke ibu kota yang baru.

(20)

3.4. Alasan Ketidaksetujuan Pemindahan Ibukota:

Untuk mengetahui pihak yang kontra dengan pemindahan ibukota, tim peneliti mengajukan pertanyaan berikut: Jika anda tidak setuju pemindahan ibu kota negara sebagai pusat politik dari Jakarta ke daerah lain, pilih satu saja alasan utamanya. Berikut ini data yang berhasil diperoleh:

Tabel 3.8. Sikap Responden Menurut Latar Belakang Jenis Kelamin terhadap Alasan Tidak Setuju ada Pemindahan Ibukota (n=200)

Jenis Kelamin

Mayoritas responden perempuan, yaitu sebanyak 15% tidak atau belum setuju dilakukannya pemindahan ibukota ke daerah lain karena alasan waktunya yang belum tepat dilakukan dalam waktu dekat. Selanjutnya ada 14% yang menolak kepindahan ibukota dari Jakarta karena alasan historis masa lalu yang perlu dipertahankan. Ada 12% responden perempuan yang menolak kepndihan karena alasan keuangan negara sekarang yang belum baik. Untuk pemindahan ibukota ke tempat yang baru menurut mereka memerlukan dana yang besar. Ada 4% responden yang menolak pemindahan karena kesalahan bukan terletak pada lokasi tapi pada orang yang mengelolanya. Perilaku para pemimpin dan masyarakatlah yang menjadi penyebab Jakarta mengalami gudang masalah.

(21)

kota ekonomi yang perlu dipindahkan ke daerah atau pulau lain. Ada 1% responden laki-laki yang menolak pemindahan ibukota karena menurutnya pendirian ibu kota baru akan merusak lingkungan hidup daerah yang akan dikembangkan sebagai ibukota negara yang baru tersebut.

Bab IV

PRIORITAS MASA DEPAN

B.1. Pemindahan Ibukota dan Pemerataan Pembangunan

Opini memindahkan ibu kota negara belakangan cenderung muncul mengemuka seiring adanya tuntutan pemerataan pembangunan dan redistribusi keadilan sumber daya antardaerah. Ada kecenderungan telah berpuluh tahun ibu kota negara yaitu Jakarta mengelola kekayaan yang disumbangkan berbagai daerah. Namun redistribusi yang dikembalikan ke daerah lewat APBN dinilai oleh rakyat di daerah cenderung belum lah proporsional. Hal itu tampak dengan adanya tuntutan otonomi khusus oleh Riau, Kaltim dan Bali. Setelah oleh pusat otoomi khusus diberikan kepada NAD dan Papua.

Konsep pemindahan ibukota secara bergilir ke berbagai kawasan di Indonesia adalah semacam wacana alternatif, ketimbang tuntutan federasi atau pemisahan diri. Selain itu pemindahan ibukota dipandang sebagai upaya ‘memindahkan gula, agar semut ikut’, guna pemerataan pembangunan di Indonesia. Bagaimana sikap responden terhadap gagasan pemindahan ibukota secara bergilir sebagai berikut:

Tabel 4.1. Sikap Responden Terhadap Rencana Pergiliran Ibukota (n=200)

Skp thd prglrn ik

Tdk mnjwb Tidak Setuju

Ragu Setuju

Pe

rc

en

t

50

40

30

20

10

0

32

22 46

(22)

proklamasi, alasan tempat pekerjaan sekarang di Jakarta akan terganggu bila tempat kerja ikut pindah, keuangan negara belum memungkinkan. Sementara itu ada 22% yang ragu terhadap konsep tersebut bisa memecahkan persoalan nasional. Ada 1% yang tidak menjawab.

B.2. Perpindahan atau Pergiliran Ibukota

Jika propinsi-propinsi di daerah dipergilirkan menjadi ibu kota, maka kesempatan pergiliran pengelolaan keuangan oleh ibukota yang baru akan bisa memajukan kawasan tertinggal di Indonesia menjadi lebih nyata.

Tabel 4.2. Sikap Responden terhadap Rencana Pergiliran Ibukota(n=200)

Skp thd prglrn ik

Tdk mnjwb Tidak Setuju

Ragu Setuju

Pe

rc

en

t

50

40

30

20

10

0

32

22 46

Mayoritas responden (46%) setuju dengan ide dilakukannya pemindahan ibukota negara sebaiknya dilakukan secara begilir, bukan permanen disuatu tempat atau baru pindah jika

bertumpuknya masalah atau terkena bencana alam. Pergiliran ibukota terkait dengan pemerataan kesempatan pengelolaan keuangan pusat secara adil ke setiap daerah di Indonesia. Khususnya akan membuka kemungkinan memajukan kawasan tengah dan timur Indonesia. Sementara itu ada 32% responden yang tidak setuju ibukota dipindah secar bergilir. Alasannya karena akan begitu repot bagi pihak departemen dan kedutaan asing untuk berpindah-pindah. Sementara itu ada 22% yang masih ragu-ragu terhadap pergiliran ibukota. Keraguan itu muncul dantara harapan dan

kekhawatiran tentang mekanisme dan manfaat pemindahan ibukota secara bergilir bisa jadi harus diteliti lebih mendalam dan kongkret.

B.3. Teknis Pemindahan Ibukota

(23)

Tabel 4.3. Sikap Responden terhadap Teknis Pemindahan Ibukota(n=200)

Tkns pmndhn

Pe

rc

en

t

40

30

20

10

0

11

3 33

18 33

(24)

B.4. Pemindahan Permanen atau Priodik

Peneliti menanyakan kepada responden yang setuju dengan pemindahan ibukota apakah pemindahan ibu kota negara sebaiknya dilakukan secara permanen atau dipergilirkan. Data yang diperoleh menunjukkan mayoritas responden (51%) membayangkan pemindahan ibukota baru dilakukan permanen ke suatu tempat. Sementara itu ada 20% yang setuju pemindahan ibukota yang baru diundi random seperti arisan diantara daerah berdasarkan wilayah waktu Barat-Tengah-Timur dan kembali lagi ke Barat dan seterusnya. Ada 14% yang setuju kesempatan menjadi ibukota negara diundi secara random ke setiap 33 propinsi di Indonesia. Daerah yang pernah terpilih, pada periode berikutnya tidak diiukut sertakan loagi. Sampai pada suatu waktu ketika semua wilayah propinsi pernah menjadi ibukota. Selebihnya ada 17% yang tidak menjawab. Gambaran tabelnya adalah sebagai berikut:

Tabel 4.4.Sikap Responden terhadap Usulan Letak Ibukota Baru Bersifat Permanen atau Dipergilirkan(n=200)

Permanen-gilir

Tdk mnjwb glr 3 drh wkt

gilr 33 propinsi prd Permanen st tmpt kt

Pe

rc

en

t

60

50

40

30

20

10

0

17

20

(25)

B.5. Jika Ya, Ke Mana Ibukota Pindah?

Jika anda diberi kewenangan untuk memilih pemindahan ibu kota negara sebagai pusat pemerintahan, dalam waktu 10 tahun ke depan, ke mana akan memindahkannya:

Tabel 4.5. Pilihan Responden yang setuju Pemindahan Ibukota tentang Usulan Letak Ibukota Baru (n=200)

Dari 200 responden penelitian dari kalangan mahasiswa, dosen dan karyawan IISIP Jakarta yang setuju dengan rencana pemindahan ibukota, mayoritas responden (19%) menginginkan agar Bali dipilih menjadi pusat pemerintahan yang baru setelah Jakarta. Alasan mereka antara lain Bali sudah menjadi kota dunia yang terkenal di mancanegara. Selain berada di Indonesia bagian tengah, yang ada diantara IBB dan IBT. Ada 18% responden yang menginginkan pusat politik dipindahkan ke Ciluengsi dan sekitarnya. Alasannya, masih tersedia lahan yang cukup luas untuk perkantoran pemerintahan dan bisa diakses melalui jalan bebas hambatan dari Jakarta. Letaknya mirip ibukota baru Malaysia yang dipindahkan dari Kualalumpur ke Putrajaya.

(26)

yang baru sempat juga menjadi wacana dikalangan sebgaian anggota DPR RI tahun 2007. Ada 5% responden yang mengusulkan Magelang sebagai ibukota yang baru. Lokasinya persis di jantung pulau Jawa. Sementara ada masing-masing 4% responden yang menominasikan Mataram dan Makasar sebagai ibukota mendatang. Ada 3% responden yang tetap menginginkan Jakarta sebagai ibukota negara. Bandung juga mendapat nominasi dari 3% responden. Akhirnya, Yogyakarta dan salah satu kota di Papua, mendapatkan 2% dukungan responden.

B.6. Mengapa Ibukota Pindah ke Tempat Baru?

Apa alasan pilihan ibu kota perlu dipindahkan ke tempat yang baru menjadi pertanyaan

penting penelitian ini. Setelah dilakukan pengolahan data 200 responden IISIP lewat SPSS, hasilnya bisa diperingkat kecenderungan alasan yang menjadi pertimbangan dipilihnya suatu daerah atau tempat menjadi ibukota yang baru sebagai berikut:

Suara terbanyak (17%) responden mensyaratkan lokasi tersebut belum padat. Ada 16% mensyaratkan lokasinya kondusif dan strategis. Ada 14% yang mensyaratkan efisien ditempuh dari ibukota yang lama. Ada 12% yang mengusulkan syarat kota tersebut terkenal di mancanegar. Ada 11% yang menginginkan setiap propinsi di Indonesia dipergilirkan menjadi ibukota Negara untuk mendorong pemerataan pembangunan lebih kongkret. Ada 7% yang mensyaratkan daerah itu perlu kaya sumber daya, baik kualitas manusianya juga potesi alam lingkungannya. Akhirnya ada rata-rata 2% responden yang memberi alasan pemindahan ibukota akan mendorong pertumbuhan kawasan, menghindari kelumpuhan ekonomi bila ada aksi politik, memanfaatkan lahan yang kurang produktif di suatu pulau.

Tabel 4.6. AlasanResponden yang Setuju Pemindahan Tentang Mengapa dan Bagaimana Perlunya Suatu Ibukota Baru (n=200)

Alasan Membuat Ibukota Baru

Alsn lks baru

Pe

rc

en

t

20

10

0 2 2

16

14 13

2 7 12 17

2 2 11

(27)

PENUTUP

5.A. KESIMPULAN

Kondisi menumpuknya berbagai masalah dari hari ke hari (meningkatnya kepadatan populasi penduduk, kemacetan, pengangguran, banjir, sampah, kejahatan jalanan) di Jakarta telah memunculkan pertanyaan penelitian in tentang masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara. Apakah perpindahan ibu kota telah menjadi suatu keharusan atau baru wacana. Berikut ini kesimpulan temuan yang berhasil diperoleh dari responden 200 orang mahasiswa, dosen dan karyawan IISIP Jakarta, yang merupakan representasi atau sample kecil warga ibukota dan elemen bangsa Indonesia:

Pertama, secara umum responden (34%) memberikan respon bahwa gagasan pemindahan ibu kota di Indonesia baru sekedar wacana. Suatu hal yang masih perlu diperdebatkan dan dipelajari lebih dalam. Namun ada 25% yang berpandangan optimis, pemindahan ibukota harus segera diwujudkan dalam waktu 10 tahun ke depan (sejak 2007). Ada 23% yang menilai pemindahan ibu kota baru bisa dilakukan dalam waktu 20 tahun lagi. Pihak yang menyatakan ibukota negara tidakperlu dipindahkan dari Jakarta ada sebanyak 5%. Namun ada pula 5% yang tidak sabar ingin secepat mungkin ibukota dipindah karena Jakarta telah mengalami kemacetan yang parah dan berulang kali dilanda banjir kiriman dan pasang air laut.Selebihnya, 2% berpandangan pemindahan baru bisa terjadi 30 tahun lagi dan setuju ibukota pindah asal dapat meratakan pembangunan di Indonesa. Ada 8% responden yang abstain, tidak tahu atau tidak mau menjawab.

Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa mayoritas responden (78%) dari 200 orang sample cenderung menyatakan setuju bahwa perangkapan fungsi Jakarta sebagai pusat ekonomi sekaligus pusat politik telah menimbulkan bertumpuknya persoalan di Jakarta. Hanya ada 15% responden yang tidak setuju dan tidak melihat ada kaitannya. Hal ini menujukan adanya kecenderungan umum bahwa menurut mayoritas responden ada kaitannya antara perangkapan fungsi kota Jakarta sebagai pusat politik sekaligus pusat ekonomi telah menimbulkan bertumpuknya persoalan Jakarta dan sedikit banyak menjadi akar persoalan belum meratanya pembangunan nasional. Pengelolaan keuangan negara dan konsentrasi pembangunan cenderung terfokus hanya di Jakarta dan pulau Jawa.

Kedua, mayoritas sikap responden (46%) setuju terhadap gagasan pemindahan periodik ibukota secara bergilir di antara propinsi di Indonesia atau di antara tiga daerah waktu. Hal ini terkait dengan harapan adanya pemerataan pembangunan dan kesempatan yang sama bagi setiap propinsi di masa yang akan datang untuk mengelola keuangan pusat dan memajukan wilayahnya. Sementara itu ada 32% yang tidak setuju terhadap gagasan pergiliran ibukota. Berbagai alasan ketidaksetujuan diungkupkan dalam jawaban terbuka antara lain karena nilai historis kota Jakarta sebagai tempat proklamasi, alasan tempat pekerjaan sekarang di Jakarta akan terganggu bila tempat kerja ikut pindah, keuangan negara belum memungkinkan. Sementara itu ada 22% yang ragu terhadap konsep tersebut bisa memecahkan persoalan nasional. Ada 1% yang tidak menjawab.

(28)

lingkungannya. Akhirnya ada rata-rata 2% responden yang memberi alasan pemindahan ibukota akan mendorong pertumbuhan kawasan, menghindari kelumpuhan ekonomi bila ada aksi politik, memanfaatkan lahan yang kurang produktif di suatu pulau.

Keempat, bagaimana sebaiknya pemindahan ibu kota dilakukan. Mayoritas (33%) berpandangan pemindahan ibukota dilakukan dengan langkah teknisi pemindahan kantor kepresidenan, departemen, parlemen dan kedutaan asing secara bertahap. Ada 33% yang membayangkan pemindahan ibukota di Indonesia dengan meniru pola Australia yang memisahkan cukup jauh pusat politik dari pusat ekonomi (dari Sydney, ke Malbourn, lalu ke Canberra). Ada 18% yang membayangkan ibukota Indonesia yang baru pindah ke sekitar Jawa Barat meniru pola Malaysia. Ada 3% yang membayangkan pusat politik tetap di Jakarta, namun pusat industri dan ekonomi dipindahkan ke luar Jakarta. Ada 1% yang membayangkan teknisnya dipergilirkan antar propinsi/daerah waktu. Ada sekitar 1% yang menginginkan Jakarta tetap sebagai ibukota negara. Selebihnya, sekitar 11% tidak menjawab.

5.B. SARAN-SARAN

Ada sejumlah rekomendasi berkaitan dengan wacana pemindahan ibukota negara dan prioritas ke depan yaitu pemerataan pembangunan dan integrasi nasional:

1. Menumpuknya persoalan Jakarta dan ide pemindahan ibukota sudah mendapat respon di tingkat empiris dari DPR RI. Untuk itu disarankan tindaklanjutnya agar DPR RI dan lembaga Keperesidenan dalam hal ini kantor Sekretariat Negara perlu berkoordinasi dengan LIPI, Bappenas dan institusi resmi negara lainnya untuk melakukan upaya tindak lanjut mempelajari dan membuat simulasi yang lebih kongkret tentang model-model pemindahan ibukota untuk Indonesia.

2. Jika setuju dengan jalan keluar pemindahan ibukota, pemindahan ibukota mulai dilakukan dengan langkah teknis pemindahan dua institusi pokok yaitu kantor kepresidenan dan parlemen. Sementara itu. departemen terkait dan kedutaan asing baru belakangan secara bertahap dipindah ke lokasi yang baru, sesuai dengan kondisi keuangan dan kesiapan institusi tersebut.

3. Jika yang dianggap menjadi akar persoalan di Indonesia adalah belum meratanya pembangunan nasional. Begitu pula pengelolaan keuangan negara dan konsentrasi pembangunan cenderung terfokus hanya di Jakarta dan pulau Jawa maka alternatif solusinya adalah pemindahan ibukota sebaiknya dipergilirkan diantara tiga daerah waktu di Indonesia. 4. Langkah teknisnya antara lain: (a) Membuat pertimbangan berapa lama suatu daerah atau

(29)

Daftar Pustaka

Giddens, Anthony.

Kapitalisme dan Teori Sosial Modern

, terj. Soeheba

Kramadibrata. Jakarta : UI Press, 1986.

Islamy, Irfan.

Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara

. Jakarta: Bumi

Aksara, 1991.

Johara T. Jayadinata.

Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan dan

Perkotaan dan Wilayah

.Bandung: Penerbit ITB, 1999.

M.Baiquni.

Membangun Pusat-Pusat di Pinggiran

. Yogyakarta: Ideas, 2004.

M.Baiquni dan Susilowardani.

Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan: Refleksi

Kritis Pembangunan Indonesia.

ogyakarta: Penerbit Transmedia Global

Wacana, 2002.

Rozi, Syafuan.

Memindahkan Ibukota Negara

. Republika, 4 Maret 2006.

Solichin Abd. Wahab,

Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi

Kebijaksanan Negar

a.Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

Survey Padamu Negeri, Metro TV. Kamis malam, 8 November 2007.

Sutikno. “Perpindahan Ibu Kota, Suatu Keharusan atau Wacana?”, Sabtu, 14 April

2007,

http://www.sutikno.org

. Diskusi Sejarah, Kota dan perubahan Sosial

dalam Perspektif Sejarah, yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah

dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Hotel Matahari, 11-12 April 2007.

Wardaya,Baskara.

Memindahkan Ibu Kota RI, Perlukah?

. Kompas, Jumat, 26 Juli

2002.

Gambar

Tabel 3.1.Sikap Responden tentang Pemindahan Ibukota Baru Sekedar Wacana
Tabel 3.2.Sikap Responden tentang Alasan  Bertumpuknya Persoalan Jakarta
Tabel 3.3.Sikap Responden Berdasarkan Latar Belakang Jurusan/Non Jurusan terhadap Rencana Pergiliran Ibukota (n=200)
Tabel 3.4.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat Peraturan Presiden mengenai pemindahan status Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke IKN [...] sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

Rencana dan desain ibu kota baru diperoleh dari proses kompetisi internasional tahun 1911 Mengutamakan keserasian lansekap,topografi, dan keindahan beautiful new city dalam

Saya menyambut dengan gembira terbitnya buku yang berjudul “PEMINDAHAN IBU KOTA INDONESIA: PERSPEKTIF SOSIOLOGIS” yang ditulis oleh Rohani Budi Prihatin, seorang peneliti pada

Rencana Induk Ibu Kota Nusantara adalah dokumen perencanaan terpadu dalam melaksanakan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan

telah diundangkan sebelum Peraturan Pemerintah ini, berlaku secara mutatis mutandis terhadap kegiatan perencanaan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta

Pada pertanyaan lain mengenai Ibu Kota Negara, sebesar 50 persen narasumber ahli menjawab setuju apabila pemindahan Ibu Kota Negara dijadikan bagian dari kontrak politik

Atas dasar pertimbangan di atas, tulisan ini akan mendiskusikan persoalan sosio demografi yang menyangkut kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dari berbagai generasi

Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha dalam rangka pendanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota